BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

34
BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU PERTAMA KARYA ANAK NEGERI Oleh: Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Abstract Research on the influence of Arabic syntax to Malay language or Indonesia language in 19 th century is really difficult to be found. In fact, the 19 th century is the century that is important in the assessment phase of the Indonesia grammar (Malay), because in this phase began many grammar books and dictionaries of Malay language, both written by Europeans (British-Dutch- French), as Marsden (1812), Crawfurd (1852), Favre (1875), Hollander (1882), and Wijk (1889), as well as written by the Malay people Raja Ali Haji (1850 and 1859). There are fundamental differences between the grammar books written by the Dutch and the Malays. Books written by Europeans was Europe-centric, while the book written by the Malays are very Arab-centric. In fact, since Islam arrived in the archipelago, the influences of Arabic syntax are felt in the archipelago texts, especially religious texts. The fact that the Arabic influence is strong enough to precisely the Malay language syntax encourage Ronkel (1899) wrote an article entitled "Over Invloed der Arabische Syntaxis op de Maleische". Bustān al- Kātibīn is the first book written by country boy, who was very clearly demonstrated the influence of Malay language to Arabic language. The influence was not only in vocabulary, but also on the structure and rule of grammar. Keywords: Syntax, Arabic language, Malay language. Abstrak Penelitian tentang pengaruh sintaksis bahasa Arab terhadap bahasa (Melayu) Indonesia abad ke-19, agak sulit ditemukan. Padahal, abad ke-19 merupakan abad yang amat penting dalam fase pengkajian tata bahasa (Melayu) Indonesia, karena pada fase ini mulai banyak buku-buku tata bahasa dan kamus bahasa Melayu, baik yang ditulis oleh orang Eropa (Inggris-Belanda-Prancis), seperti Marsden (1812), Crawfurd (1852), Favre (1875), Hollander (1882), dan Wijk (1889), maupun oleh orang Melayu seperti Raja Ali Haji (1850 dan 1859). Ada perbedaan mendasar antara buku tata bahasa yang ditulis oleh orang Belanda dan orang Melayu. Buku yang ditulis orang Eropa sangat Eropa sentris, sementara buku yang ditulis orang Melayu sangat Arab sentris. Padahal

Transcript of BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Page 1: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

BUSTĀN AL-KĀTIBĪN

KITAB TATA BAHASA MELAYU PERTAMA KARYA ANAK

NEGERI

Oleh: Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat

Abstract Research on the influence of Arabic syntax to Malay language or

Indonesia language in 19th century is really difficult to be found. In fact, the 19th

century is the century that is important in the assessment phase of the Indonesia

grammar (Malay), because in this phase began many grammar books and

dictionaries of Malay language, both written by Europeans (British-Dutch-

French), as Marsden (1812), Crawfurd (1852), Favre (1875), Hollander (1882), and

Wijk (1889), as well as written by the Malay people Raja Ali Haji (1850 and 1859).

There are fundamental differences between the grammar books written by the

Dutch and the Malays. Books written by Europeans was Europe-centric, while

the book written by the Malays are very Arab-centric. In fact, since Islam arrived

in the archipelago, the influences of Arabic syntax are felt in the archipelago

texts, especially religious texts. The fact that the Arabic influence is strong

enough to precisely the Malay language syntax encourage Ronkel (1899) wrote

an article entitled "Over Invloed der Arabische Syntaxis op de Maleische". Bustān al-

Kātibīn is the first book written by country boy, who was very clearly

demonstrated the influence of Malay language to Arabic language. The influence

was not only in vocabulary, but also on the structure and rule of grammar.

Keywords: Syntax, Arabic language, Malay language.

Abstrak Penelitian tentang pengaruh sintaksis bahasa Arab terhadap bahasa

(Melayu) Indonesia abad ke-19, agak sulit ditemukan. Padahal, abad ke-19

merupakan abad yang amat penting dalam fase pengkajian tata bahasa (Melayu)

Indonesia, karena pada fase ini mulai banyak buku-buku tata bahasa dan kamus

bahasa Melayu, baik yang ditulis oleh orang Eropa (Inggris-Belanda-Prancis),

seperti Marsden (1812), Crawfurd (1852), Favre (1875), Hollander (1882), dan

Wijk (1889), maupun oleh orang Melayu seperti Raja Ali Haji (1850 dan 1859).

Ada perbedaan mendasar antara buku tata bahasa yang ditulis oleh orang

Belanda dan orang Melayu. Buku yang ditulis orang Eropa sangat Eropa sentris,

sementara buku yang ditulis orang Melayu sangat Arab sentris. Padahal

Page 2: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

2

faktanya, semenjak Islam masuk ke nusantara, pengaruh sintaksis bahasa Arab

sangat terasa dalam naskah-naskah nusantara, terutama naskah keagamaan.

Fakta bahwa pengaruh bahasa Arab cukup kuat terhadap sintaksis bahasa

Melayu pulalah yang mendorong Ronkel (1899) menulis artikel yang berjudul

“Over Invloed der Arabische Syntaxis op de Maleische”. Bustān al-Kātibīn adalah

buku pertama yang ditulis anak negeri, yang dengan sangat gamblang

memperlihatkan keterpengaruhan bahasa Melayu oleh bahasa Arab.

Keterpengaruhan itu tidak hanya pada kosakata, tetapi juga pada struktur dan

kaidah tata bahasa.

Kata kunci: Sintaksis, bahasa Arab, bahasa Melayu.

A. PENDAHULUAN

Minat dan kecendekiaan Raja Ali Haji (selanjutnya disingkat

RAH) dalam berbagai bidang, sangat kentara bila memperhatikan

karya-karyanya yang beragam. Hal ini pula tampaknya yang membuat

para peneliti pada mulanya kesulitan menetapkan RAH sebagai tokoh di

bidang apa.1 Untuk menghindari kesalahan penilaian, para peneliti

menilainya sebagai pengarang yang teramat pandai pada abad ke-19.2

Windstedt menyebutnya sebagai pengarang Melayu terbesar abad ke-

19.3 Putten dan Al Azhar menilai RAH sebagai penulis Melayu abad ke-

19 paling terkemuka.4

Meski demikian, ada empat bidang utama yang tampaknya

menjadi minat RAH bila menilik lebih lanjut karya-karyanya itu: sejarah,

sastra, hukum Islam, dan bahasa. RAH mulai dikenal komunitas ilmu

melalui Gurindam Dua Belas dan magnum opus-nya, Tuhfat al-Nafis. Karya-

karya RAH—yang menurut catatan Hamidy berjumlah 13 kitab,5

sementara menurut Heer berjumlah 12 kitab.6 Karya-karya tersebut telah

menarik banyak ahli untuk menelitinya, meskipun dengan porsi yang

berbeda-beda.

1 Hamidy, UU. Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu. (Pekanbaru:

Bumi Pustaka 1981), hlm. 5. 2 C. Hooykaas. Perintis Sastera, (Groningen-Djakarta: Wolters, 1951), hlm. 137. 3 Sir. Richard Winstedt. A History of Classical Malay Literature, (Kuala Lumpur:

Oxford University Press, 1977), hlm. 164. 4 Jan van der Putten dan Al Azhar. Dalam Berkekalan Persahabatan. (Jakarta: KPG,

2007), hlm. xix-xx. 5 Ibid. 6 Nicholas Heer, A Concise Handlist of Jawi Authors and Their Works. (Seattle-

Washington: tp. 2009), hlm. 23—24.

Page 3: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

3

Dari sejumlah karya itu, dua karya di antaranya yang

memperlihatkan kepeminatan RAH yang besar terhadap bahasa

Melayu, yaitu Bustān al-Kātibīn dan Kitab Pengetahuan Bahasa. Dua karya

ini masing-masing menjadi karya pertama dalam khazanah ilmu bahasa

Melayu. Bustān al-Kātibīn dinilai sebagai kitab tata bahasa pertama,

sementara Kitab Pengetahuan Bahasa dinilai sebagai kamus monolingual

pertama dalam bahasa Melayu.

B. KORPUS

1. Naskah Bustān al-Kātibīn

Naskah Bustān al-Kātibīn, yang judul lengkapnya adalah Bustān

al-Kātibīn li al-S{ibyān al-Muta’allimīn (Taman Para Penulis untuk Anak-

anak Pelajar) —yang selanjutnya disingkat BK— dalam bentuk

manuskrip, tersimpan di antaranya di Yayasan Inderasakti Pulau

Penyengat7, PNRI,8 dan Perpustakaan Universitas Leiden.9 Namun,

informasi ihwal manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Universitas

Leinden ini belum banyak saya peroleh.

Khusus untuk naskah BK yang terdapat di PNRI, dalam Katalog

Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

yang disunting Behrend pada “Indeks Naskah Berbahasa Melayu”,10 BK

tersimpan di PNRI dengan kode naskah ML 26, W 218, dan W 219.

Hanya saja naskah ML 26 terdapat tambahan kode (*) sebelum ML. Pada

bagian “Kata Pengantar” (hlm. xxv), kode (*) tersebut ternyata berarti

naskah dimaksud kini telah hilang. Dengan kata lain, yang tersisa

naskah BK di PNRI hanya naskah W 218 dan W 219, yang oleh Behrend

dicatatkan sebagai salah satu dari koleksi Von de Wall.11 Sayangnya,

kondisi kedua naskah tersebut sangat memprihatinkan dan diberikan

catatan “rusak” oleh pihak PNRI. Untuk naskah W 219, bagian halaman

kiri sama sekali tidak terbaca dan tulisan bagian halaman kanan agak

kabur karena tintanya rusak. Sementara itu, hanya ada beberapa bagian

pada naskah W 218 yang tidak bisa dibaca, karena kertasnya sebagian

7 Ibid., hlm. 227. 8 T. E. Behrend (Peny.). Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia. 1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-EFEO), hlm. 332. 9 Heer Nicholas. A Concise Handlist of Jawi Authors and Their Works. (Seattle-

Washington: tp. 2009), hlm. 23. 10 Ibid. 11 Ibid.

Page 4: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

4

sudah rusak dan tintanya pun mulai memakan kertas. Meski demikian,

naskah W 218 masih bisa diakses dengan memanfaatkan hasil print out

dari mikrofilmnya.

Jumlah halaman naskah BK pun berbeda-beda. Yang tersimpan

di Yayasan Inderasakti naskahnya berjumlah 56 halaman, sementara

yang di PNRI untuk naskah W 218 berjumlah 52 halaman dan naskah W

219 berjumlah 88 halaman. Perbedaan halaman ini tampaknya

berhubungan dengan ukuran kertas dan ukuran tulisan masing-masing

naskah. Khusus yang di PNRI, gambaran mengapa terjadi perbedaan

halaman ini terlihat pada Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,12 naskah W 218 dideskripsikan

mempunyai ukuran 33 x 21 cm, 56 halaman, 25 br., huruf Arab, jelas.

Sementara itu, naskah W 219 dideskripsikan berukuran 21 x 16 cm, 88

halaman, 14 br., huruf Arab, jelas, dan paragrafnya tidak bernomor.

Kolofon berbagai naskah memperlihatkan masa akhir penulisan

yang agak berbeda. Naskah yang tersimpan di Yayasan Inderasakti

mencatat tanggal 20 Sya’ban 1274 (1857 M).13 Sementara itu, naskah W

218 yang tersimpan di PNRI mencatat tanggal 20 Sya’ban 1273 H (1856

M), dan naskah W 219 mencatat tanggal 18 Zulkaidah 1267 H (1850 M).

Perbedaan ini sendiri membuat Hamidy (1982) meragukan kebenaran

BK sebagai karya RAH, selain kapan sebenarnya BK ditulis RAH.

Meskipun, bukti-bukti lain melemahkan keraguan Hamidy ini, seperti

yang terlihat dalam surat RAH kepada Wall yang menunjukkan betapa

bangganya RAH setelah selesai merampungkan BK.14

Selain naskah itu, menurut Heer (2009: 23), BK tersebut pernah

dicetak (printed editions) batu di Pulau Penyengat pada tahun 1274/1857;

juga di Singapura sebelum Nopember 1882 dan 1310/1892. Data yang

diungkap Putten (1996: 15) juga menyebut tahun 1868 sebagai cetak

litografi BK untuk teks ketiga yang berasal dari Riau. Mikrofilm BK

tersimpan di perpustakaan SOAS Universitas London, Universitas

London, Universitas Monash, dan Universiti Malaya.

Naskah BK sendiri sudah ditransliterasikan. Sejauh yang saya

ketahui, ada tiga transliterasi BK yang sudah dibuat. Pertama,

transliterasi naskah yang bersumber dari manuskrip Klinkert yang

12 Ibid., hlm. 333. 13 M. Hasan Junus, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia.

(Pekanbaru: Unri Press, 2004), hlm. 64. 14 Ibid., hlm. 47.

Page 5: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

5

tersimpan di Universitas Leiden, dibuat oleh Musa (2005). Sayangnya,

saya belum mendapatkan hasil transliterasi ini. Saya baru bisa

mendapatkan penilaian yang sangat awal tentang transliterasi ini dari

Putten, yang menurutnya dibuat dengan kurang memadai.15 Meski

demikian, saya harus membuktikan penilaian Putten tersebut, setelah

mendapatkan buku Musa itu.

Kedua, transliterasi naskah yang terdapat di Pulau Penyengat,

yang saya dapatkan atas kebaikan budi Kridalaksana yang bersedia

meminjamkan hasil transliterasi. Sayangnya, saya belum mendapat

informasi pasti ihwal siapa yang mentransliterasikan BK yang dari

Pulau Penyengat ini. Kridalaksana hanya menyampaikan bahwa hasil

transliterasi itu disediakan oleh Raja Hamzah Junus. Kridalaksana tidak

bisa memastikan apakah transliterasi itu berdasarkan salinan dari

manuskrip atau cetak batu.16

Terdapat perbedaan isi antara transliterasi itu dengan naskah

yang terdapat di PNRI. Setidaknya, berdasarkan pengamatan awal saya,

pada bagian mukadimah, naskah PNRI lebih panjang daripada hasil

transliterasi dari Pulau Penyengat. Naskah yang di PNRI sudah

mencantamkan “daftar isi” di bagian depan buku, sementara hasil

transliterasi mencantumkan “daftar isi” di bagian belakang. Bagian

penutup (khatimah) juga tidak ditransliterasikan, sementara naskah PNRI

mencantumkannya. Selain itu, kelemahan yang paling mendasar adalah

tidak adanya panduan kerja filologis dalam pentransliterasian naskah

yang dari Pulau Penyengat tersebut. Transliterasi naskah dari Pulau

Penyengat ini pun tidak mencantumkan kolofon.

Ketiga, transliterasi yang dibuat oleh Mu’jizah dan Muhammad

Hamidi, untuk keperluan tugas mata kuliah Sejarah Studi Bahasa

Indonesia yang diampu oleh Kridalaksana. Keduanya mentransliterasi

naskah W. 218, yang tersimpan di PNRI. Pedoman pentransliterasian

juga telah dibuat oleh keduanya. Pengamatan sekilas terhadap hasil

transliterasi yang dibuat keduanya, tampak ada beberapa kelemahan,

seperti tidak ditransliterasikannya أ���, juga kata آ�� yang

ditransliterasikan menjadi kalbun pada bagian pengantar BK, yang

15 Pendapat Putten ini disampaikan saat saya bertanya ihwal hasil kerja Musa

tersebut dan peluang saya melakukan kerja filologis terhadap BK di sela-sela

kunjungannya ke FIB UI beberapa waktu lalu (25 Pebruari 2010). 16 Harimurti Kridalaksana, “Pandangan Raja Ali Haji tentang Kelas Kata dalam

Bahasa Melayu” dalam Beberapa Masalah Linguistik Indonesia (Kumpulan Karangan).

(Jakarta: FS UI, 1978), hlm. 29.

Page 6: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

6

seharusnya ditransliterasikan menjadi gelap. Meski demikian,

pentransliterasian keduanya dapat dikatakan cukup lengkap karena

telah mentransliterasikan semua bagian BK, termasuk tiga pesan yang

dicantumkan dalam naskah W. 218. Kaidah syair Melayu dan syair ikat-

ikatan setelah bagian penutup, yang ada di naskah PNRI, juga

ditransliterasikan.

2. Kandungan Isi Bustān al-Kātibīn

BK terdiri dari sebuah mukadimah dan 31 pasal. Mukadimah

menjelaskan kelebihan ilmu dan akal. Bagian isi yang terdiri dari 31

pasal dapat dibagi menjadi tiga kelompok pembahasan: tata ejaan,

pembahasan kelas kata, analisis kalimat. Berikut penjelasan detail

mengenai masing-masing pasal sesuai kelompok pembahasannya:

a. Tata Ejaan

Tata ejaan dimuat dalam BK pada pasal 1 sampai pasal 10,

sebagai berikut: (1) pasal pertama mengenai jenis-jenis huruf Arab yang

dipakai dalam menuliskan bahasa Melayu dan tentang beberapa huruf

Arab yang tidak dipakai dalam bahasa Melayu, serta beberapa huruf

Arab yang tidak dipakai dalam bahasa Melayu, serta beberapa huruf

Arab yang diberikan nilai baru dalam bahasa Melayu; (2) pasal kedua

berisi daftar semua huruf yang tersebut di atas; (3) pasal ketiga tentang

huruf suratan, yaitu huruf yang terdapat dalam abjad Arab dan dikenal

dalam bahasa Melayu, dan huruf-huruf yang terpakai di dalam

penuturan orang Melayu; (4) pasal keempat tentang prinsip pemakaian

huruf Arab dalam bahasa Melayu; (5) pasal kelima berisi tata cara untuk

merangkai huruf alif; (6) pasal keenam berisi kaidah penulisan bahasa

Melayu; (7) pasal ketujuh berisi tata cara untuk merangkai semua huruf

dalam bahasa Melayu; (8) pasal kedelapan tanda atau baris yang

menjadi sesuatu huruf berbunyi yang dalam bahasa Arab disebut i’rab;

(9) pasal kesembilan berisi penjelasan tentang rangkaian huruf-huruf

yang membentuk kata-kata yang berbunyi; (10) pasal kesepuluh berisi

cara para penulis yang sudah ahli untuk membuang huruf-huruf

tertentu, namun tidak merusak makna kata.

b. Pembagian Kelas Kata

Pembahasan tentang pembagian kelas kata dimuat dalam BK

pada pasal 11 sampai pasal 14. RAH membagi kelas kata dalam bahasa

Page 7: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

7

Melayu atas: ism ‘nama’, fi’l ‘perbuatan’, dan harf ‘partikel’. RAH

memberikan penjelasan tentang ism sebagai berikut: “Tiap-tiap barang

menunjukkan maknanya pada dirinya tiada beserta dengan masa yang

tiga, yakni masa yang telah lalu, masa yang lagi akan datang, dan masa

hal sekarang. Ism terbagi dua, yaitu: ism nakirah, yaitu ‘nama yang

melengkapi jenisnya dan yang melengkapi pada macamnya yang tiada

tertentu kepada sesorang (nomina taktakrif); dan ism ma’rifah, yakni ‘nama

yang diketahui’ (nomina takrif), yang terdiri atas: ism d}amir ‘nama yang

tersembunyi’ (pronomina), ism ‘alam ‘nama yang diketahui’ (nama diri),

ism isha>rah ‘tiada ditentukan akan dia, tetapi diisyaratkan’

(demonstrativa), ism maus}u>l ‘yang’ (nomina relatif), ism ida >fah ‘pada yang bersandar kepada suatu nama’ (relasi posesif).

Selain itu, masih ada sejumlah kata yang menurut BK termasuk

ism, yaitu: (a) nama yang menjadi syarat (perangkat kondisional),

maknanya ‘jika’, kata-kata barang siapa, barang yang, mana-mana,

manakala, betapa, sekira-kira, sebagaimana; (b) bilangan-bilangan

(numeralia), seperti satu, dua, sebelas, dan beberapa; (c) asma’ul af’al ‘nama

bagi perbuatan dan suara (onomatope); (d) nama, yang terbagi menjadi:

nama diri, seperti si Zaid, si Umar; nama gelaran, seperti tengku, sultan.

Nama gelaran ini ada gelar kepujian atau memuji, seperti si Polan yang

cantik, dan ada pula nama gelaran yang kecelaan, seperti si Anu itu

hidungnya kepik; nama timang-timangan, seperti pak Husin, pak Ngah,

intan, payung, cahaya mataku.

Mengenai fi’l, RAH mendefinisikan fi’l adalah ‘yang dinamai

perbuatan’. Ada dua macam pembagian, yang pertama terbagi tiga,

yaitu: fi’l madi ‘perbuatan yang telah lalu (verba perfektif), diandai oleh

kata telah’, fi’l mudari’ ‘perbuatan yang lagi akan datang’ (verba

imperfektif), ditandai oleh kata lagi akan, fi’l amr ‘menuntut perbuatan,

yakni menyuruh berbuat’ (verba imperatif).

Fi’l dibagi lagi atas dua bagian berdasarkan ketransitivannya,

yaitu: fi’l lazim ‘tentu bagi dirinya’ (verba intransitif), seperti telah berdiri

si Zaid; dan fi’l muta’adi (verba transitif). Dua jenis fi’l muta’adi: yang

tiada musyarakah (pekerjaan yang berlangsung sepihak), seperti telah

menyimpan si Zaid; yang musyarakah (pekerjaan yang berlangsung

berbalasan atau resiprokal), seperti berpukul-pukulan.

Selain itu, masih disebut beberapa fi’l lain, yaitu: fi’l naqis ‘fi’l

kurang’, tiada sempurna ia melainkan ada kabarnya, seperti adalah,

jadilah, berpagi-pagi, berpetang-petang, waktu duha, malam-malaman, dan

Page 8: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

8

senantiasa; fi’l muqarabah, fi’l berhampir-hampiran, contohnya mudah-

mudahan; fi’l puji dan cela, contohnya sebaiknya lagi si Anu, sejahat-jahatnya

lagi si Anu; fi’l syak dan fi’l yaqin, keduanya disebut sebagai fi’l qulub,

‘yakni fi’l hati’, seperti aku kira-kirakan si Zaid itu orang lebih.

Mengenai harf, RAH memberikan penjelasan, harf adalah ‘yang

ada baginya makna. Yaitu memberi faedah pada perkataan masing-

masing dengan maknanya dan gunanya’. Pembicaraan tentang harf ini

dimulai dengan jarr. Dalam bahasa Melayu jarr ini tidak ada. RAH

menyatakan, “Jika bahasa Melayu tiadalah dibicarakan majrur-nya itu,

melainkan kehendak maknanya jua adanya.” Kemudian berturut-turut

dibicarakan harf dengan, daripada, kepada, hingga, pada, demi, bagi, beberapa,

atas, seperti, selama-lamanya, istithna ‘kecuali. (partikel berkasus genetif).

Sesudah jarr dibicarakan ‘segala harf yang memberi faedah pada

maknanya dan perkataan’. Harf-harf itu adalah harf munada ‘menyeru’;

melainkan, bahwa, sesungguhnya, dan bahwasannya disebut harf littahqiq

‘menyuguhkan perkataan dengan sebenarnya’; seolah-olah, tetapi, wahai

kiranya, mudah-mudahan, tiada, hendaklah, jangan, jika, dan jikalau. Harf-harf

lain yang dibicarakan kemudian ialah harf bertanya, seperti adakah,

betapakah, karena apa, berapa, siapa, manakala, di mana-mana; harf menjawab,

seperti bahkan atau iya, supaya, dan makna; harf ‘ataf maka, kemudian,

atau, tetapi (tetapi yang memperdapat’ dan tetapi yang berpaling); harf-harf

lain, seperti kah, lah (partikel penegas); harf-harf yang dibicarakan lepas-

lepas, yaitu cih, uwah, nah, amboi, tah, hal, istimewa pula, syahdan

(fatis).

c. Analisis Kalimat

Pembicaraan mengenai aspek ini dimulai pada pasal 15 dengan

judul “Perkataan, kata, dan kata”. Perkataan adalah “lafal yang memberi

faedah. Contonya berdirilah engkau, dipertentangkan dengan di atas kita

sebagai lafad yang tidak memberi faedah. Kata-kata adalah ‘barang yang

tiada dengan orang yang mendengar daripada menantikan suatu yang

lainnya” (dilihat dari contoh yang diberikan mungkin yang dimaksud

ialah kalimat minor). Kata adalah ‘melengkapi ia akan segala yang

tersebut itu, yakni perkataan pun boleh dikatakan kata, dan kata-kata

pun boleh dikatakan kata.

Pembicaraan dilanjutkan dengan mubtada dan khabar. Mubtada

adalah ‘permulaan perkaraan’ (pokok atau subjek). Khabar adalah

‘bersandar daripada permulaan (sebutan atau predikat). Yang menjadi

Page 9: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

9

mubtada adalah nama bagi tiap suatu (nomina). Khabar dibagi dua, yaitu

khabar mufrad ‘khabar tunggal’ (predikat tunggal) dan khabar jumlah

(predikat berupa klausa). Khabar jumlah ini terbagi lagi dua, yaitu

jumlah ismiyah (klausa nominal) dan jumlah fi’liyah (klausa verbal).

Selanjutnya, dibicarakan pertambatan perkataan (hubungan

fungsional), yaitu mubtada dengan khabarnya, fa’il dengan fi’il

(hubungan pelaku-aktivitas), dan fa’il dan maf’ulnya (hubungan pelaku-

objek). Dibicarakan juga maf’ul mutlaq (objek mutlak), maf’ul lah (tujuan),

maf’ul fih (adverbia), maf’ul ma’ah (kebersamaan). Dilanjutkan dengan hal

(determinator), tamyiz (spesifikasi), badl (permutatif), sifat (adjekif), idafat

(frasa nominal-posesif).

3. Bustān al-Kātibīn di Mata Para Peneliti

Seperti sudah disinggung pada bagian sebelumnya, ada dua

karya RAH yang terkait dengan bahasa: Bustān al-Kātibīn dan Kitab

Pengetahuan Bahasa. Namun, sangat disayangkan bila melihat tidak

banyak tinjauan yang mendalam mengenai kedua karya itu. Kedua

karya itu baru menarik minat para peneliti setelah Kridalaksana

mengulasnya secara padat dalam tulisannya pada 1978, meskipun

sebelumnya nama RAH sebagai ahli bahasa Melayu telah disinggung

oleh ahli yang lain, seperti Ronkel,17 Teeuw (1961) dan Za’ba.18 Padahal,

menurut Kridalaksana pada 1996 di Simposium Hari Raja Ali Haji, karya

Raja Ali Haji dalam bidang ilmu bahasa perlu dikaji lagi secara ilmiah

untuk memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang bahasa

Melayu, yang hasil kajiannya bisa dimanfaatkan bagi pengembangan

bahasa Melayu, baik sebagai bahasa daerah maupun sebagai cikal-bakal

bahasa Indonesia.

Khusus mengenai BK yang akan menjadi perhatian pada tulisan

ini, sebetulnya begitu pentingnya BK sebagai buku tata bahasa Melayu

pertama yang ditulis oleh orang Melayu sendiri, harusnya telah bisa

disadari saat van Ronkel menerjemahkan karya ini ke dalam bahasa

Belanda dengan judul “De Maleische schriftleer en spraakkunst getiteld

Boestanoe’l Katibin, door Radja Ali Hadji” yang dimuat dalam TBG,

XLIV, 1900, hlm. 512-581. Terjemahan itu setidaknya menandakan

17 1870—Putten dan Al Azhar, 2007, hlm. 47. 18 Osman, Mohd. Taib. “Raja Ali Haji of Riau: a Figure of Tradition or the Last of

The Classical Pujangga” dalam Bunga Rampai Sejarah Studi Bahasa Indonesia. (Jakarta: FS UI,

1982).

Page 10: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

10

bahwa ada hal penting yang harus dihadirkan ke khalayak akademisi

Belanda peminat bahasa Melayu dari BK. Dengan kata lain, RAH dalam

BK memberi sumbangan besar terhadap khazanah ilmu bahasa Melayu.

Soal sumbangan RAH dalam bidang bahasa, memang ada dua

kelompok: kelompok yang kritis dan kelompok yang apresiatif.

Kelompok yang kritis dipelopori oleh Za’ba, sementara kelompok yang

apresiatif dipelopori oleh Kridalaksana. Terkait kelompok yang kritis,

sebetulnya tidak banyak informasi yang didapat, seperti informasi

Osman yang mengutipkan pendapat Za’ba berikut19: “… kaidah Arab

dan sebutan-sebutan Arab banyak dipakainya pada nahwu dan lain-

lain, padahal bahasa Melayu ada adatnya sendiri….” Pendapat kritis

lain berasal dari Wall (1870: 571), seperti dikutip Kridalaksana yang

mengatakan, “… saya sangat menyesal tidak dapat memberi penilaian

yang baik terhadap tata bahasanya….”.20

Terkait kelompok yang apresiatif, dapatlah ditempatkan di sini

tulisan-tulisan Kridalaksana (1978, 1982, 1984) yang menganggap tidak

adil orang yang menilai tata bahasa RAH sebagai karya yang tidak

ilmiah. Menurutnya, keilmiahan suatu karya disesuaikan zamannya.

Selain itu, tidak adil juga mengkritik RAH yang menggunakan teori tata

bahasa Arab untuk mengurai tata bahasa Melayu, karena orang Belanda

yang menulis tata bahasa Melayu juga mendasarkan kajiannya pada tata

bahasa Latin. Meski demikian, Kridalaksana sendiri sebetulnya juga

mengkaji karya RAH ini dalam tinjauan linguistik modern, sementara

RAH menggunakan perangkat gramatika bahasa Arab tradisional

(nahwu). Karenanya, penjelasan Kridalaksana terkadang tidak

sepenuhnya sesuai dengan kaidah gramatika yang dianut RAH, seperti

pertanyaan mengapa berpagi-pagi dan berpetang-petang dikategorikan

sebagai fi’il oleh RAH.21 Padahal, kata itu memang merupakan

19 Mohd. Taib Osman. “Raja Ali Haji of Riau: a Figure of Tradition or the Last of

The Classical Pujangga” dalam Bunga Rampai Sejarah Studi Bahasa Indonesia (Jakarta: FS UI,

1982), hlm. 83-84. 20 Harimurti Kridalaksana, “Suatu Rintisan dalam Historiografi Linguistik

Indonesia” dalam Rintisan dalam Linguistik Indonesia (Kumpulan Karangan) (Jakarta: FS UI,

1984), hlm. 199. 21 Harimurti Kridalaksana, “Pandangan Raja Ali Haji tentang Kelas Kata dalam

Bahasa Melayu” dalam Beberapa Masalah Linguistik Indonesia (Kumpulan Karangan).

(Jakarta: FS UI, 1978), hlm. 31

Page 11: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

11

terjemahan dari as}bah}a dan amsā yang dalam bahasa Arab termasuk

kategori fi’il.22

Terlepas dari itu, apresiasi Kridalaksana juga terlihat saat

menyebut BK telah menunjukkan bahwa gramatika Arab pernah

mempengaruhi dunia bahasa dan dunia pengajaran bahasa Indonesia.23

Sikap apresiasinya terhadap kerja RAH pula yang membuat

Kridalaksana mencantumkan nama RAH sebagai ahli bahasa dan istilah-

istilah kebahasaan yang dipakainya telah dimuat dalam Kamus

Linguistik,24 juga dalam bagan yang menempatkan posisi RAH dalam

kajian bahasa Melayu-Indonesia.

4. Beberapa Catatan Mengenai Tata Bahasa Bustān al-Kātibīn

Sebagai buku tata bahasa, BK sebetulnya telah memberikan

pedoman yang sangat jelas, contohnya pun memadai. Bahkan, pada

setiap bagian ada instruksi “dan kiaskan olehmu pada barang yang

lainnya pada yang semacam itu”. Ini sekaligus menunjukkan bahwa BK

diniatkan juga sebagai buku pelajaran. Ini pula yang membuat sebagian

ahli mulanya mengira buku ini merupakan buku didaktik.

Ada beberapa catatan ihwal tata bahasa Melayu yang dibuat

RAH dalam BK. Pertama, tampaknya kata atau kalimat Melayu

diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kemudian diklasifikasikan sesuai

dengan kaidah-kaidah tata bahasa Arab. Ini tampaknya memang

disengaja oleh RAH sebagai bagian dari kampanye jargonnya “bahasa

menunjukkan bahasa”. Dia tampaknya ingin mengkontraskan tata

bahasa yang dibuatnya dengan tata bahasa Melayu versi orang Belanda.

Bahasa Arab dipilih atas pertimbangan akses keilmuan yang

dimilikinya. Kedua, pada beberapa kasus, memang RAH tampak

“memaksakan” kaidah bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu. Namun,

harus juga disadari bahwa “pemaksaan” seperti itu tidak hanya

dilakukan oleh RAH, karena model “pemaksaan” seperti itu sebetulnya

sudah menjadi ciri tata bahasa tradisional, yang cenderung pedagogis

dan preskriptif.25

22 Fuad Ni’mah. Mulakhkhas} Qawa’id al-Lughah al-Arabiyyah (Beirut: Dar al-

Thaqafah al-Islamiyyah, tt), hlm. 36. 23 Ibid., hlm. 31. 24 Ibid. 25 Ibid., hlm. 13.

Page 12: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

12

Dalam kasus kata yang digolongkan sebagai isim, misalnya.

Tidak bisa RAH dianggap salah hanya karena yang dalam bahasa

Indonesia modern dikategorikan partikel. Apalagi bila mengingat saat

itu belum ada buku tata bahasa Melayu yang dijadikan pedoman utama.

Contoh lain adalah kasus si Zaid dalam budak si Zaid yang digolongkan

sebagai ism idafat. Inipun tidak bisa dikatakan sepenuhnya salah.

Menurut Kridalaksana,26 ini sama dengan kasus mijn dan zijn atau my

atau his sebagai pronomina posesif yang dalam kasus bahasa Indonesia

oleh sebagian ahli disamakan dengan -ku atau -nya. Padahal dalam

bahasa Indonesia milik diungkapkan dalam urutan kata. Ketiga, RAH

sebetulnya melakukan peminjaman konsep bahasa Arab yang kebetulan

sudah mapan lebih dulu untuk memasukkan kasus bahasa Melayu. Soal

pembagian kelas kata, pembagian ism, pembagian fi’l, menurut hemat

saya apa yang dilakukan oleh RAH sudah tepat. Karena, kasusnya bisa

ditemukan pada bahasa Melayu. Meski demikian, tidak semua pinjaman

konsep tata bahasa RAH sudah tepat, dan ini sebagian disadari oleh

RAH, seperti dalam kasus majrur. Namun, ini pun harus pula dicermati

secara seksama, supaya kita bisa menilai lebih adil lagi ihwal sosok

RAH.

C. KONTEKS

1. Situasi Kebahasaan sebelum Abad ke-19

Hasil penelitian Collins.27 menunjukkan bahwa bahasa Melayu

hingga kini melewati lima tahapan periodisasi, mulai dari periode

prasejarah (sebelum abad ke-7), periode awal bahasa Melayu (abad ke-7

hingga abad ke-16), periode awal bahasa Melayu modern (abad ke-16

hingga abad ke-18), periode akhir bahasa Melayu modern (abad ke-18

hingga awal abad ke-20), hingga periode bahasa Melayu pascakolonial

(pertengahan abad ke-20).

Tiap periode memiliki kekhasannya masing-masing

berdasarkan pengaruh bahasa-bahasa yang masuk ke wilayah

Nusantara, seperti bahasa Sansekerta, Arab, Cina, Portugis, Belanda, dan

Inggris; juga bahasa daerah, seperti di antaranya bahasa Jawa. Periode

prasejarah menunjukkan adanya hubungan antara bahasa Melayu dan

26 Ibid., hlm. 311. 27 James T Collins, Bahasa Melayu, Bahasa Dunia: Sejarah Singkat (Jakarta: YOI,

2005)

Page 13: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

13

bahasa-bahasa Madagaskar.28 Periode awal bahasa Melayu ditandai

dengan pengaruh ortografi India berdasarkan tulisan Palawa pada

bahasa Melayu kuno. Teks bahasa Melayu kuno yang ditemukan pada

prasasti dan piring perunggu yang ditemukan di Sumatra dan Bangka

(bertahun 686), Jawa (832), Utara Filipina (900), secara kronologis

menunjukkan perluasan teks bahasa Melayu kuno yang

memperlihatkan kekuatan terpusat dari tradisi literasi bahasa Melayu,

yang dilepaskan secara dinamis dari gabungannya dengan tradisi

filosofis yang maju dari agama Budha.29 Bahasa Melayu kuno masih

digunakan untuk prasasti dan batu nisan sampai abad ke-14, meskipun

dalam beberapa kasus tertentu ortografinya sudah diubah dalam bahasa

Jawa Kuno.

Pada abad ke-14, tulisan pada batu nisan masih

mempertahankan penggunaan bahasa Melayu dan Sansekrta dengan

tambahan tulisan hiasan berupa kata atau frasa bahasa Arab.30 Bahkan,

prasasti Melayu tertua dituliskan dalam tulisan Jawi, ditemukan

bertahun 1303. Meskipun Johns mengungkap ada bukti arkeologis tertua

yang ditemukan di sebuah pilar bertuliskan huruf Arab, di Phanrang,

bertahun 1050 dan nisan raja-raja Pasai bertahun 1237.31

Selanjutnya, abad ke-15 dan abad ke-16 menjadi abad peralihan

dari tradisi Hindu-Budha ke dalam tradisi Islam, yang ditandai dengan

penguatan tulisan Jawi dalam kesusasteraan Melayu, karena dianggap

berhubungan erat dengan tulisan Arab.32 Abad ke-16 juga menunjukkan

masa awal hubungan antara penutur bahasa Melayu di Asia Tenggara

dan orang-orang Eropa.33 Pada abad inilah untuk pertama kalinya buku

pelajaran bahasa Melayu berupa percakapan ditulis. Meskipun buku

yang ditulis de Houtman ini ditujukan untuk orang yang tidak berbicara

dalam bahasa Melayu, namun dampak buku itu luar biasa besar setelah

diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, lalu ke dalam bahasa Inggris.34

Pada abad ke-17, bahasa Melayu telah mendominasi arena

budaya di semua daerah di Asia Tenggara. Bahasa Melayu bernuansa

28 Ibid., hlm. 3. 29 Ibid., hlm. 9. 30 Ibid., hlm. 12. 31 A.H. Johns. “Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu: Sebuah

Renungan”. Sadur: Sejarah Terjemahan d Indonesia dan Malaysia. Ed. Henri Chambert-Loir (Jakarta: KPG, EFEP, FJP, Pusat Bahasa, Universitas Padjajaran, 2009), hlm. 51.

32 Collins, Op. Cit., hlm. 20 33 Ibid., hlm. 28. 34 Ibid., hlm. 35.

Page 14: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

14

Islam tersebar di manuskrip-manuskrip bertuliskan Jawi. Mungkin

dapat dikatakan bahwa abad ke-17 merupakan masa keemasan

penulisan naskah di Nusantara, melihat banyaknya naskah penting yang

ditulis pada abad ini. Pada abad ini pula, alfabet Latin juga sudah mulai

muncul berupa sejumlah kecil teks yang dicetak sebagai buku pegangan

untuk para pelancong dari Eropa yang akan singgah di Asia Tenggara.35

Abad ke-18 menandai pemeliharaan yang terbatas dari sejumlah daftar

bahasa Melayu tulis yang dimulai dari perjanjian dan surat keterangan

resmi pemerintahan kolonial Belanda sampai pada penerjemahan Injil

ke dalam bahasa Arab-semu oleh Leydekker. Hal ini diakibatkan oleh

bangkitnya persaingan kepentingan Inggris dan Belanda di Asia

Tenggara.

Khusus terkait pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu,

penting dikemukakan di sini hipotesis Johns dalam Chambert-Loir36

bahwa “penerjemahan” bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu

mengalami empat tahap. Johns membagi tahap “penerjemahan” bahasa

Arab ke dalam bahasa Melayu ke dalam empat tahap: (1) penerjemahan

lisan kutipan-kutipan pendek Al-Qur`an ke dalam bahasa setempat; (2)

terjemahan antarbaris dan catatan pinggir dalam bahasa Melayu; (3)

terjemahan antarbaris lengkap bagi seluruh teks; (4) karya asli berbahasa

Melayu berdasarkan khazanah Arab dari wacana Islam.

Harahap (1992) menyebut beberapa kitab dan hikayat yang agak

penting sampai abad ke-18, seperti Sulalat al-Salatin karya Tun Sri

Lanang (1612), Hikayat Inderaputera (1634), Bustanus Salatin karya

Nuruddin al-Raniri (1638), Kitab Seribu Masalah (1726), Hikayat Ghulam

(1736), Hikayat Acheh (1736), Hikayat Bayan Budiman (1736), Syair Emop

(1740), Misa Melayu (1742), menunjukkan pengaruh bahasa Arab,

meskipun hanya di bagian pendahuluannya saja. Johns sendiri

mencatatkan sejumlah naskah yang menjadi bukti “penerjemahan” yang

disinggungnya, terutama tahap ketiga dan keempat, seperti al-Aqaid al-

Nasafiyyah (1590), Burda, Bustan al-Salatin (1638), dan Tarjuman al-

Mustafid (1604).37

35 Ibid., hlm. 43. 36 Ibid. 37 A.H. Johns, Op. Cit.

Page 15: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

15

2. Situasi Kebahasaan Abad ke-19

Abad ke-19 menandai dimulainya era baru yang menunjukkan

minat besar untuk meneliti bahasa Melayu dengan menggunakan satu

pendekatan baru.38 Bila sebelumnya tradisi bahasa Latin dan Yunani

masih terasa sekali dalam analisis gejala-gejala bahasa non-India, maka

pada pertengahan abad ini ada beberapa ahli linguistik Eropa yang

berusaha keras untuk mengesampingkan tradisi itu dan mencoba

menemukan kaidah-kaidah baru dalam bahasa Melayu.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Collins yang sudah

disebutkan sebelumnya, bahasa Melayu pada abad ke-19 sudah

memasuki tahap yang mulai relatif mapan. Ini ditandai dengan

munculnya beberapa buku tata bahasa dan kamus bahasa Melayu yang

ditulis oleh linguis dari Eropa, seperti Marsden (1812), Crawfurd (1852),

Hollander (1882), Favre (1875), dan Wijk (1889). Bahkan, pada awal abad

ke-20, muncul juga buku tata bahasa dan perkamusan yang ditulis

Ophuijsen (1910, 1929), yang masih merupakan kelanjutan dari periode

ini. Yang cukup menggembirakan juga bahwa pada periode ini anak

negeri turut memberikan kontribusinya dalam percaturan tata bahasa

dan perkamusan bahasa Melayu dengan munculnya RAH (1857) yang

menulis BK dan Kitab Pengetahuan Bahasa.

Dengan kata lain, pada periode ini bahasa Melayu sudah

mengalami pembakuan. Peneliti bahasa baik dari Eropa maupun

pribumi, telah membuat prakarsa pembakuan bahasa Melayu, yang ini

pada gilirannya turut memudahkan pengkaidahan tata bahasa dan

perkamusan bahasa Indonesia di kemudian hari. Bila buku-buku tata

bahasa Melayu yang ditulis oleh peneliti bahasa asal Eropa dipelajari

dan dipergunakan untuk kepentingan kolonialisme dan misionarismu,39

maka buku tata bahasa yang ditulis oleh anak negeri seperti BK,

dipelajari di sekolah-sekolah kerajaan Riau,40 Singapura dan Johor,41

sebagai batu loncatan untuk mempelajari bahasa Arab dan teks

keagamaan Islam.42

Pembakuan bahasa ini turut pula memperkuat tradisi tulis yang

menggunakan bahasa Melayu dan memantapkan kedudukan bahasa

38 JJ. De Hollander. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. (Jakarta: Balai Pustaka,

1984), hlm. ix. 39 Collins, Op. Cit., hlm. 28, 32. 40 T.p., Naskah Melayu Kuno Daerah Riau. (Pekanbaru: tp, 1985), hlm. 45. 41 Putten, Op. Cit., hlm. 17. 42 Ibid., hlm 85.

Page 16: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

16

Melayu sebagai bahasa yang paling berpengaruh di kawasan Nusantara

(sekarang Asia Tenggara) dan satu dari lima bahasa dunia yang

mempunyai jumlah penutur terbesar.43 Meskipun pada mulanya terjadi

persaingan pengaruh antara peneliti bahasa asal Inggris dan asal

Belanda, juga Prancis, sesuai dengan kekuatan penetrasi kolonialisme

yang sedang mereka lakukan. Namun, pada akhirnya hanya

kepentingan Inggris dan Belanda yang dominan, setelah Lord Minto

menyerang Prancis.

Setelah penandatanganan perjanjian Inggris-Belanda pada tahun

1824, (yang berisi Belanda harus menyerahkan Malaka dan semua

haknya di Semenanjung Malaysia kepada Inggris; Inggris juga harus

menyerahkan Bengkulu dan semua haknya di daerah Sumatra dan Jawa

kepada Belanda), dunia bahasa Melayu dibagi secara politis dan

simbolis.44 Sebagai kelanjutan dari perjanjian ini, bahasa Inggris

berpengaruh sangat dominan di kawasan Semenanjung Malaysia,

sementara bahasa Belanda menempati posisi penting dalam

pertumbuhan dan perkembangan bahasa Melayu di beberapa wilayah

yang kemudian masuk ke dalam wilayah Indonesia, baik dalam varian

bahasa tulis maupun dalam bahasa lisan regional.

Hasil kajian Marsden (1812) yang berasal dari Inggris,

memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Melayu di Semenanjung

Malaysia, karena koloni Inggris berkembang pesat di kawasan itu.

Sementara itu, kajian Hollander45 dan Wijk (1889) yang asal Belanda,

turut memberi corak penting dalam perkembangan bahasa Melayu di

beberapa kawasan Nusantara yang nantinya akan termasuk ke dalam

wilayah Indonesia. Pengaruh bahasa Belanda ini mencapai puncaknya

ketika Ophuijsen (1910) membakukan ejaan resmi untuk bahasa Melayu,

yang turut menggusur aksara Jawi dan meromanisasi aksara lainnya

dalam bahasa Melayu.

Pembakuan selain memiliki sisi positif, juga memiliki sisi

negatif, karena pembakuan juga ternyata merupakan bagian dari upaya

kekuatan imperialis untuk menciptakan bahasa Melayu yang akan

menjadi alat yang lebih efektif bagi sentralisasi. Modernisasi bahasa

Melayu dengan ditulisnya sejumlah buku teks yang berjenjang dan

43 Ibid., hlm. xvii. 44 Ibid., hlm. 74. 45 JJ. De Hollander. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. (Jakarta: Balai Pustaka,

1984).

Page 17: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

17

digunakan dalam sistem pendidikan nasional yang baru, ternyata

dikembangkan untuk melayani kebutuhan negara pusat yang saat itu

dikuasai oleh kaum penjajah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa

pemerintah imperialis memberi perhatian yang sangat besar pada

perencanaan dan pengembangan bahasa.

3. Pulau Penyengat sebagai Pusat Bahasa dan Budaya Melayu Abad

ke-19

Selain konteks situasi kebahasaan pada abad ke-19, yang juga

patut dicermati adalah kondisi Pulau Penyengat yang sangat kondusif,

sehingga memungkinkan RAH yang diikuti oleh penulis-penulis

setelahnya, untuk meletakkan dasar-dasar penggunaan bahasa Melayu

tulis. Kondisi ini juga didukung oleh Kerajaan Riau-Lingga yang

mendirikan percetakan Mathba’ah Riauwiyah pada tahun 1886. Bahkan,

selain menulis berbagai buku, penulis-penulis asal Pulau Penyengat ini

juga berhasil menerbitkan majalah kebudayaan Islam yang diberi nama

Al-Ima>m yang terbit di Singapura pada tahun 1906. Orang yang berada di balik Al-Ima>m ini, menurut Putten adalah Syed Syekh Al-Hadi yang

lahir di Melaka dan “dititipkan” kepada keluarga diraja di Penyengat

(Raja Ali Kelana).46 Majalah ini sendiri sangat dipengaruhi dan bahkan

sering mengutip pemikiran pembaruan keagamaan Muhammad Abduh

dan beberapa tulisan lain yang dimuat majalah al-Manār.47 Kelahiran

majalah al-Ima>m sendiri menjadi titik tolak penting bagi perkembangan

jurnalisme Melayu.

Pengenalan terhadap teknologi modern disadari dengan baik

kepentingannya bagi RAH dan penulis Pulau Penyengat setelahnya

untuk menjaga posisi mereka sebagai orang Bugis yang menetap di

Riau. Menurut Putten,48 tujuan penulis-penulis tersebut menulis banyak

karya adalah untuk melegitimasi keberadaan mereka di Riau dan

memfasilitasi integrasi suku Bugis ke dalam masyarakat Melayu. Ini

pula yang membuat RAH menulis Tuh}fah al-Nafīs dan Salasilah Melayu dan Bugis, yang menurut Putten memperlihatkan memang adanya

konflik terbuka di antara dua etnis tersebut.

46 Komunikasi pribadi melalui e-mail tertanggal 27 Mei 2009. 47 Alimuddin Hassan Palawa, “The Penyengat School: A Review of The

Intellectual Tradition in the Malay-Riau Kingdom”, dalam Jurnal Studia Islamika, vol. 10, no. 3, 2003), hlm 96.

48 Putten, Op. Cit., hlm. 343.

Page 18: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

18

Konflik antaretnis itu sendiri sebetulnya bermuara pada posisi

strategis Pulau Penyengat saat itu. Posisi Pulau Penyengat sebagai pusat

kegiatan ekonomi dan perdagangan saat itu, seperti yang

diinformasikan dari Hamidy,49 menunjukkan bahwa Pulau Penyengat

memungkinkan terjadinya persinggungan dengan dunia luar,

khususnya dunia Islam.50 Hubungan dengan Belanda yang cenderung

kondusif, juga memungkinkan perkembangan Pulau Penyengat sebagai

pusat bahasa dan budaya.

Hubungan dengan dunia Timur Tengah pun memungkinkan

kaum terpelajar Pulau Penyengat mendapat pengaruh gerakan reformis

Islam saat itu. Ini pun didukung kemampuan pihak kerajaan yang

berhasil mendatangkan para ulama dari Haramaian, yang turut

memberi pengaruh mendalam bagi masyarakat Kerajaan Riau-Lingga.

Bahkan, Junus menuturkan bahwa RAH sendiri mendapat didikan dari

tokoh-tokoh terkemuka yang datang dari berbagai daerah.51

Pusat Kebudayaan Melayu di Pulau Penyengat yang difokuskan

pada pengkajian ajaran Islam pun menarik para ulama dari Jawa,

Madura, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Timur Tengah, untuk

datang ke kawasan ini.52 Mereka datang untuk mengajar dan belajar. Hal

ini disebabkan karena Pulau Penyengat saat itu menjadi tempat bahasa

dan kesusasteraan dipelihara dan dikembangkan secara bersemangat

dan menyentuh semua kalangan. Tak mengherankan bila kawasan ini

pernah menjadi Pusat Bahasa dan Budaya Melayu pada abad ke-19

hingga seperempat pertama abad ke-20, yang dipelopori oleh RAH dan

dilanjutkan oleh kaum cendekiawan kawasan ini yang membentuk

kelompok bernama Rusydiah Klab.

4. Situasi Pernaskahan di Pulau Penyengat pada Abad ke-19

Kondisi Pulau Penyengat yang demikian menjadikannya sebagai

kawasan pada masa itu yang memiliki tradisi tulis yang terbesar. Bila

melihat katalog yang dibuat oleh Hamidy (1985), kawasan ini tampak

sekali kaya dengan berbagai karya tulis yang meliputi berbagai bidang

ilmu. Dalam katalog itu, tidak kurang dari 137 judul buku yang ditulis

di Riau pada masa itu. Tema-tema yang diangkat, menurut catatan

49 Hamidy, Op. Cit., hlm. v. 50 M. Hasan Junus, Op. Cit., hlm. 327. 51 M. Hasan Junus, Op. Cit., hlm. 39. 52 Alimuddin Hassan Palawa, Op. Cit., hlm. 96.

Page 19: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

19

Hamidy,53 seperti agama Islam (dalam pengertian sempit) sebanyak 43

naskah, ilmu-ilmu sosial (sejarah, hukum, adat, undang-undang, catatan

harian, kecantikan, dsb.) sebanyak 48 naskah, bahasa Melayu sebanyak 8

naskah, karya sastra (syair dan hikayat) sebanyak 33 naskah, dan obat-

obatan sebanyak 5 naskah.

Menurut Hamidy,54 nama-nama penulis Riau berdasarkan

naskah-naskah itu adalah sebagai berikut: (1) Raja Ali Haji; (2) Raja

Muhammad Yusuf al-Ahmadi; (3) Raja Ali Kelana; (4) Abu Muhammad

Adnan; (5) Raja Haji Ali; (6) Raja Haji Muhammad Sa’id; (7) Raja Haji

Ahmad Riau; (8) Raja Haji Awang; (9) Raja Haji Abdullah bin Raja Haji

Usman bin Ishak Meral Karimun; (10) Raja Muhammad Yunus Ahmad;

(11) Raja Abas; (12) Raja Haji Umar; (13) Raha Abdul Mutalib; (14) Raja

Jumat; (15) Raja Aisyah Sulaiman; (16) Khadijah Terung; (17) Badriah

Muhammad Tahir; (18) Salamah bin Ambar; (19) Tengku Bagus Siak;

(20) Ja’far; (21) Tengku Abdul Kadir; (22) Encik Ismail Datuk

Syahbandar Riau; (23) Engku Haji Daud; (24) Haji Muhammad Qasim;

(25) Haji Ja’far bin Abubakar Lingga; (26) Muhammad bin Haji Muh.

Said; (27) Haji Abdul Rahi bin Haji Abdul Rauf; (28) Haji Abdul Kadir

bin Abdul Rauf; (29) Haji Ahmad Yusuf; (30) Haji Ahmad Bunda; (31)

Haji Abdurrahman Siddiq; (32) Abdurrahman bin Almarhum Ya’kub;

(33) Muhammad bin Mahbub; (34) Kalisumah; (35) Haji Hitam Khalid.

Dari sekian data tersebut, tampak ada beberapa penulis wanita, seperti

Aisyah Sulaiman, Badriah Muhammad Taher, Khadijah Terung, dan

Salamah binti Ambar. Menurut Hamidy55, karya mereka di antarnya

tentag kecantikan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Pulau Penyengat

telah memberi kesempatan kepada kaum wanita untuk menunjukkan

eksistensi mereka melalu karya.

Selain itu, menurut Ikram,56 anggota keluarga kerajaan yang

sebagian besar melaksanakan ibadah haji, turut menjadikan komunikasi

dengan dunia Timur Tengah lebih intensif, yang ditandai dengan

banyaknya buku cetakan dan manuskrip yang didatangkan ke Pulau

Penyengat dan beredar di sana. Ini terlihat dari banyaknya karya penulis

terkemuka Timur Tengah yang tersimpan di Masjid Pulau Penyengat,

53 Hamidy, Op. Cit., hlm. 224. 54 Ibid. 55 Ibid., hlm. 221. 56 Junus, Op. Cit., hlm. 327.

Page 20: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

20

yang tidak kurang dari 45 judul buku.57 Hal ini pula yang membuat

karya-karya yang terlahir dari penulis Pulau Penyengat kental sekali

dipengaruhi oleh penulis-penulis Timur Tengah.58

Bahkan, untuk BK, Saleh dkk.59 berpendapat bahwa saat

bermukim beberapa waktu di Mekah, RAH bertemu dengan berbagai

buku karangan ulama ahli bahasa Arab, seperti Kitab al-Mas}a >dir karya az-Zauzani, al-Awāmil al-Mi’a karya al-Jurjani, al-Ajrūmiyyah karya al-

S{anhaji. Bahkan, RAH sendiri menyebutkan buku tata bahasa Sharh} al-Ka>fiyah karya Ibn al-Hajib pada suratnya kepada Von de Wall tertanggal

19 Mei 1870.60 Semua buku itu sangat mungkin turut memengaruhi

RAH dalam mengonstruksi dan menteorikan tata bahasa Melayu.

Informasi ini pun sekaligus melengkapi tulisan Kridalaksana yang tidak

menemukan tokoh dan buku yang memengaruhi pemikiran RAH di

bidang bahasa, sehingga ia pun menghubungkan RAH dengan

Sibawaihi, tokoh yang mengarsiteki tradisi tata bahasa Arab yang paling

awal, yang mungkin terlampau jauh jaraknya dan kecil kemungkinan

RAH membaca karya Sibawaihi. 61

5. Politik Bahasa Raja Ali Haji

Siasat buruk dan akal bulus kaum imperialis yang ingin

membakukan segala hal sesuai kepentingan mereka pada akhirnya

dicium juga oleh penduduk pribumi. Pembakuan sistem dan regulasi,

termasuk dalam bidang bahasa, menumbuhkan gerakan perlawanan,

bahkan perlawanan bersenjata (hard war). Pembakuan sistem

pemerintahan kolonial pada abad ke-19 telah memicu perlawanan

Pattimura di Maluku, perlawanan Diponegoro di Jawa, Perang Aceh,

dan Perang Padri di Sumatra. Selain di beberapa kawasan yang nantinya

masuk dalam wilayah Indonesia, beberapa wilayah yang nantinya

masuk dalam wilayah Malaysia, juga muncul gerakan perlawanan,

seperti di Perak, Pahang, dan Trengganu.

Perlawanan lain yang lebih lunak dan tidak menggunakan

senjata (soft war) juga muncul dari penduduk pribumi. Hegemoni teori

57 Ibid., hlm. 156. 58 Riddell, Islam in The Malay-Indonesian World. (London: C. Hurst & Co, 2001),

hlm. 190. 59 Siti Hawa Haji, Saleh dkk. Cendekiawan Kesusastraan Melayu Tradisional (Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987), hlm. 184. 60 Putten dan Al Azhar, Op. Cit., hlm. 116. 61 Harimurti Kridalaksana, Op. Cit., hlm. 105.

Page 21: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

21

sastra dan tata bahasa yang ditulis oleh orang Eropa untuk kepentingan

imperialisme, dicoba untuk diruntuhkan. RAH adalah tokoh terpenting

dalam perlawanan model ini. Tuh}fah al-Nafis (1868) telah membuat karya

sastra model baru, yang mendapat penghargaan tinggi dari para

pengkaji sastra Melayu.62 BK (1850) menjadi buku tata bahasa pertama

yang ditulis anak negeri, yang mempunyai corak yang berbeda dengan

buku tata bahasa yang dimuat oleh orang Eropa. Begitu juga dengan

buku Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), yang membuat kamus

ensiklopedis monolingual bahasa Melayu pertama, yang juga berbeda

corak dengan kamus pada umumnya yang dibuat oleh orang-orang

Eropa. Ahli bahasa dari Eropa menonjolkan corak bahasa Eropa dalam

kajiannya terhadap bahasa Melayu, sementara RAH menampakkan

corak bahasa Arab dalam kajiannya.

Perbedaan corak ini tampaknya memang disengaja oleh RAH

yang ingin menunjukkan bahasa Melayu sebagai jati diri bangsa

Melayu.63 Bahkan, Wahid (2009) menyebut RAH telah "memerdekakan"

bahasa Melayu dari pengaruh bahasa Belanda. Anggapan seperti itu

jelas beralasan karena pada masa peralihan posisi Belanda dari

pedagang menjadi penjajah pada akhir abad 18, Belanda dihadapkan

pada tiga pilihan:64 (1) memakai bahasa Belanda; (2) memakai bahasa

daerah; (3) memakai bahasa Melayu. Untuk kepentingan penjajahannya,

tentu saja Belanda ingin menggunakan bahasa Belanda, tetapi keinginan

ini bukan hal yang mudah. Pilihan kedua pun pasti akan menyulitkan

Belanda. Akhirnya, pilihan jatuh pada penggunaan bahasa Melayu,

yang relatif lebih mudah. Padahal, menurut Teeuw,65 Belanda hanya

memberi dua pilihan: menggunakan bahasa Belanda atau bahasa

daerah. Namun dalam kenyataannya, bahasa Melayu yang lebih banyak

dipergunakan. Meski demikian, bahasa Melayu diposisikan sebagai

bahasa kedua setelah bahasa Belanda.66 Orang Belanda sendiri tetap

menganggap bahasa Belanda lebih tinggi daripada bahasa Melayu,

meskipun bahasa Belanda tidak pernah menjadi bahasa resmi di

Nusantara (Putten, komunikasi pribadi melalui e-mail tertanggal 27 Mei

2009) dan tidak dipergunakan oleh selain kalangan mereka.

62 Collins, Op. Cit., hlm. 79. 63 Hamidy, Op. Cit., hlm. 20-21. 64 Ibid., hlm. 19. 65 Hamidy, Op. Cit., hlm. 20. 66 Junus, Op. Cit., hlm. 39 dan Hamidy, Op. Cit., hlm. 20.

Page 22: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

22

Politik bahasa demikian bukan tanpa perencanaan. Belanda

dengan sengaja merencanakan politik bahasa ini untuk kepentingan

imperialismenya. Pada masa itu, meskipun bahasa Melayu

dipergunakan secara luas, namun belum ada upaya dari pribumi untuk

memeliharanya secara sungguh-sungguh. Barulah setelah RAH menulis

BK (1850), dasar-dasar pembinaan dan pemeliharaan bahasa Melayu

mulai mendapat perhatian dari kaum terpelajar pribumi. Dengan kata

lain, RAH telah melakukan upaya untuk membendung politik bahasa

orang Eropa, terutama orang Belanda, dengan politik bahasa yang

dikembangkannya. Bukti upaya itu adalah usaha dari RAH atau

keluarga diraja mencetak litografi BK di Penyengat pada tahun 1857 dan

1868; pada 1870 dan 1890-an dicetak ulang di Singapura (Putten,

komunikasi pribadi melalui e-mail tertanggal 27 Mei 2009), untuk

menyebarluaskan tata bahasa itu dan melawan politik bahasa Belanda

itu dengan nyata. Selain upaya itu—seperti juga disinggung pada bagian

sebelumnya, BK juga dipelajari di sekolah-sekolah di Riau, Johor, dan

Singapura. BK juga meletakkan dasar tradisi linguistik67 oleh orang

Melayu yang dilanjutkan oleh Raja Ali Kelana yang menulis kitab

Bughyat al-Ayni fi Huruf al-Ma’ani (1922 dalam versi cetak batu) dan Raja

Haji Abdullah (Abu Muhammad Adnan), cucu RAH, yang menulis

morfologi bahasa Melayu dengan judul Pelajaran Bahasa Melayu: Pembuka

Lidah dengan Teladan Umpama yang Mudah (ditulis pada 1911 dan 1926

dalam versi cetak batu) dan buku sintaksis bahasa Melayu yang berjudul

Pelajaran Bahasa Melayu: Penolong bagi yang Penuntut akan Pengetahuan

yang Patut (ditulis pada 1911 dan 1926 dalam versi cetak baru) (lih.

Hamidy, 1985: 241-242, 250), serta Ibrahim Munsyi.68

Meski melakukan perlawanan, RAH bukanlah orang Melayu

yang menutup diri dalam pergaulan keilmuan dengan pihak penjajah.

Persahabatannya dengan Von de Wall, seorang asisten residen Belanda,

seperti yang terekam dalam surat-suratnya yang dihimpun oleh Putten

dan Al Azhar69 (1995; dalam edisi bahasa Indonesia 2007), menunjukkan

betapa dua peneliti bahasa Melayu melakukan kerja sama dalam

merumuskan dan menteorikan bahasa Melayu. Bahkan, Raja Haji

Sulaiman, anak RAH, juga menulis syair yang berjudul Syair Van

67 Putten, Op. Cit., hlm. 17. 68 Ibid. 69 Putten dan Al Azhar, 1995, dalam edisi bahasa Indonesia 2007.

Page 23: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

23

Ophuysen, yang berkaitan pertemuannya dengan Ophuijsen, ahli bahasa

yang berada di balik pembakuan pengajaran dan ejaan bahasa Melayu.70

Fakta ini sekaligus membantah pandangan Andaya dan

Matheson dalam Reid dan Marr (1983: 99) bahwa Belanda memandang

RAH sebagai bahaya terhadap kontrol administratif mereka di Riau.

Bahkan, Netcher dalam laporan pensiunnya mendeskripsikan RAH

sebagai cendekiawan yang menentang setiap perubahan atas adat

istiadat tradisional Melayu. RAH juga dianggap sebagai orang yang

bersikap antagonis terhadap kehadiran orang Belanda dan bukan kawan

bagi orang Eropa. Bila memperhatikan dengan seksama surat-surat RAH

kepada Von de Wall, tentu akan mudah dipahami bahwa pandangan

seperti itu tidak berdasar.

6. Nilai Penting BK Pada Abad ke-19

Buku BK-lah yang membedakan RAH dengan Abdullah Munsyi, yang

meskipun juga mengajarkan bahasa Melayu kepada orang putih di

Singapura, tetapi dia tidak menulis buku kaidah pemakaian bahasa

Melayu71. Konsep tata bahasa Arab yang diterapkannya ke dalam

bahasa Melayu, menurut Sugono dan Zaidan,72 memperlihatkan RAH

saat menulis BK hendak mendekatkan tradisi tulis dalam budaya

Melayu sebagai lanjutan dari tradisi tulis yang kuat dikembangkan

dalam agama yang dianutnya.

Kesan bahwa BK “memaksakan” konsep tata bahasa Arab saat

mendeskripsikan tata bahasa Melayu, memang terasa di sana-sini.

Apalagi dua bahasa ini memiliki karakter yang berbeda. Bahasa Arab

merupakan bahasa fleksi, sementara bahasa Melayu merupakan bahasa

aglutinasi. Namun, butuh penelitian lebih lanjut untuk menyimpulkan

bahwa BK bukan tata bahasa Melayu yang baik. Sebagai buku tata

bahasa Melayu pertama yang ditulis anak negeri yang hendak

mengambil posisi politik bahasa yang berbeda dengan posisi politik

bahasa Belanda, tentu tidak mudah menghindari tradisi tata bahasa

70 Collins, Op. Cit., hlm. 79. 71 Harahap (1992) menyebut perbedaan antara RAH dan Abdullah Munsyi

dikarenakan latar belakang pendidikan yang berbeda, kerja yang berbeda, dan lingkungan yang berbeda. Abdullah berpendidikan Inggris, bekerja sebagai penerjemah bahasa Inggris

dan hidup di tengah-tengah masyarakat perdagangan di Singapura. Raja Ali Haji pula

berpendidikan Arab, pendakwah, dan hidup di lingkungan istana di Pulau Penyengat, Riau.

72 Junus, Op. Cit., hlm. 375.

Page 24: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

24

Arab yang dikuasai dan dikenal dengan baik oleh RAH. Dalam kaitan

ini, penilaian terhadap BK, harus ditempatkan pada apakah kaidah yang

ditetapkannya fungsional atau tidak. Apalagi kemudian diketahui BK

ternyata diajarkan di sekolah-sekolah Kerajaan Riau, Johor dan

Singapura,73 dikembangkan oleh Raja Ali Kelana dan Raja Haji

Abdullah, dan dipergunakan oleh para penulis yang tergabung dalam

Rusydiah Klab. Karenanya, tidaklah adil menilai BK dengan ukuran

zaman sekarang, sementara BK dibuat sesuai kepentingan zamannya.

D. ANALISIS PEMINJAMAN GRAMATIKAL BAHASA MELAYU

DARI BAHASA ARAB

Pada bagian ini akan disajikan beberapa peminjaman gramatikal bahasa

Melayu dari bahasa Arab. Analisis ini akan menggunakan BK (1850;

selanjutnya disingkat BK) dan surat-surat RAH kepada Von de Wall,

yang ditransliterasikan Putten dan Al-Azhar (2007) dalam buku Dalam

Berkekalan Persahabatan (selanjutnya disingkat DBP),74 sebagai data

pendukung sekaligus pembanding tata bahasa yang dipergunakan BK.

1. Teks Non Terjemahan

(1) Bermula inilah fihris kitab ini (BK, h. 1, b. 1)

Konstruksi kalimat nominal yang di awal dengan kata bermula

banyak ditemui pada buku-buku bahasa Melayu beraksara Jawi,

termasuk di BK. Meskipun, konstruksi yang dimulai dengan kata

bermula ini tidak ditemukan pada surat-surat RAH kepada Von de Wall.

Dengan kata lain, penggunaan kata bermula hanya untuk bahasa formal,

bukan dalam keseharian. Kata bermula sendiri merupakan terjemahan

dari partikel wa, yang dalam bahasa Arab mempunyai banyak fungsi,75

seperti di antaranya at}f (konjungsi), qasam (sumpah), dan isti’na>f (permulaan). Bila melihat artinya, maka penggunaan kata bermula

merupakan terjemahan dari wa yang berfungsi sebagai isti’na>f. Apalagi bila juga memperhatikan penggunaan kata ini yang selalu ditempatkan

73 Hamidy, Op. Cit., hlm. 45. 74 Beberapa transliterasi dari teks Arab pada DBP tidak terlalu akurat. Oleh

karena itu, beberapa contoh transliterasi dari teks Arab yang dipergunakan di sini telah

disesuaikan dengan kaidah morfologi dan sintaksis bahasa Arab. 75 Antoine Dahdah. A Dictionary of Arabic Grammar: in Charts and Tables. (Beirut:

Librairie du Liban, 1981), hlm. 302.

Page 25: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

25

di awal kalimat, sesuai fungsinya dalam bahasa Arab.76 Hal ini

diperkuat pula dengan pendapat Omar (1991: 104), yang memasukkan

kata bermula dalam kelompok kata wacana. Meski agak terasa aneh

dalam penggunaan bahasa Melayu yang umum saat itu, namun

penggunaan kata bermula lebih sesuai dengan makna partikel wa dalam

bahasa Arab daripada partikel wa diterjemahkan dengan dan, yang

banyak dilakukan oleh penulis-penulis buku-buku Islam abad ke-20,

seperti yang terlihat pada Al-Qur’an dan Terjemahannya (1971).

Selain itu, konstruksi inilah fihris kitab ini juga merupakan

pinjaman dari kontruksi kalimat dalam bahasa Arab, yang tampaknya

merupakan terjemahan dari ha>dha huwa fihris ha>dha al-kita>b. Partikel –lah pada inilah merupakan kopula yang menggantikan fungsi huwa dalam

bahasa Arab yang dalam konstruksi itu juga merupakan kopula. Kata

inilah sendiri digolongkan sebagai ism isha>rah (demonstrativa) dalam

bahasa Melayu, yang kaidahnya disinggung RAH pada BK, h. 26

sebagai berikut:

(2) Ism isha>rah, yakni nama yang tiada ditentukan akan dia, tetapi

diisyaratkan seperti ini dan itu dan seperti di sini dan di situ dan

di sana dan nun yakni di sana.

Ketahuilah olehmu, hai orang yang menuntut ilmu ini (BK, h.

22)

Contoh (2) juga memperlihatkan peminjaman tata bahasa Arab,

yang tampaknya merupakan terjemahan dari konstruksi sejenis dalam

bahasa Arab: i’lam, ya t}a>lib al-‘ilm. Selain itu, struktur kalimat tersebut

merupakan bagian pembuka wacana yang lazim dipergunakan pada

sebagian teks klasik berbahasa Arab.

(3) Adapun nama itu nama tiap-tiap sesuatu seperti nama barang

yang di atas seperti langit dan matahari dan bulan dan bintang

(BK, h. 26)

Kalimat contoh (3) dimulai dengan adapun yang merupakan

padanan dari amma, yang lazim ditemukan pada teks Arab dan

berfungsi sebagai pembuka wacana. Contoh (3) juga memperlihatkan

76 Ibid.

Page 26: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

26

penggunaan dan yang berulang-ulang dalam satu kalimat, yang

merupakan pinjaman tata bahasa Arab dari konjungsi wa. Contoh (3) ini

memperlihatkan penggunaan dan tanpa didahului teks Arabnya. Frasa

nama tiap-tiap sesuatu pun tampaknya merupakan terjemahan dari frasa

nominal (id}a >fah) dalam bahasa Arab: ism kull syai’. Kaidah id}a >fah disinggung RH pada BK, h. 27:

Ism id}a >fah artinya nama yang bersandar kepada sesuatu seperti

budak si Zaid.

2. Teks Terjemahan

(1) Al-h}amdu lilla>hi al-ladhi akhraja bi ‘iba>dihi min al-jahl wa al-z}ulam ... Artinya, segala puji bagi Allah ta’ala, Tuhan yang mengeluarkan

akan hambanya bodoh dan gelap (BK, 5, b. 2—3)

Struktur kalimat pada contoh (1) merupakan bagian pembuka,

yang lazim dipergunakan pada teks-teks klasik,77 termasuk pidato dan

khotbah, berbahasa Arab. Bila menggunakan metode yang ditawarkan

oleh Newmark,78 maka terjemahan RAH tersebut dapat dikelompokkan

pada metode penerjemahan setia (faithful translation), yang memang

lebih mengutamakan bahasa sumber (Bsu) daripada bahasa sasaran

(Bsa). Menurut hemat saya, terjemahan RAH tersebut tidak dapat

dikategorikan sebagai penerjemahan harfiah (literal translation), karena

sudah ada upaya untuk mereproduksi makna kontekstual teks sumber

(Tsu) dengan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Reproduksi

makna kontekstual terlihat pada pemunculan kata Tuhan pada

terjemahan nomina relatif (ism maus}u>l) al-ladhi yang kaidahnya dalam

penggunaan bahasa Melayu disinggung RAH pada BK, h. 27.

Sementara itu, pembatasan struktur gramatika bahasa Arab

terlihat pada terjemahan al-h}amdu dengan ‘segala puji’. Fungsi al- sebagai pemarkah takrif dalam bahasa Arab, juga ikut dimunculkan

dalam terjemahannya. Kaidah penggunaan ism ma’rifat juga disinggung

RAH pada BK, h. 26—27. Pembatasan struktur gramatikal Tsu juga

terlihat pada terjemahan bi pada bi ‘iba>dihi dengan akan. Padahal, tanpa

77 Informasi mengenai karakteristik dan teknik menerjemahkan teks Arab, lih.

Hidayatullah, Op. Cit., 57—58. 78 Peter Newmark, A Textbook of Translation (Newyork: Prentice Hall, 1988), hlm.

45-47.

Page 27: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

27

kata akan pun, terjemahan itu terasa lebih nyaman dalam ukuran bahasa

Indonesia kontemporer. Meskipun, fungsi akan pada masa lalu memang

ada yang menjadi pengantar objek. Ini pula yang ditemukan Omar79

pada bahasa Melayu abad ke-16 dalam kitab Aqa’id al-Nasafi. Penjelasan

tentang objek (maf’ul bihi) juga disinggung RAH pada BK, h. 41 sebagai

berikut.

Bermula maf’ul-nya, yakni yang diperbuat akan dia, seperti kata

kita, “Aku pukul akan dia”, atau “Telah memukul si Umar akan

si Zad”. Dan telah memukul itu fi’il-nya dan si Umar itu fa’il-nya.

Dan si Zaid, yang dipukul dengan dia itu maf’ul-nya.

Penggunaan akan sebagai pengantar objek juga dapat ditemui

pada DBP berikut:

Hubba akhaka ka hubbi nafsika, yakni ‘hendaklah engkau kasih

akan saudaramu itu seperti kasih akan dirimu’ (DBP, h58)

Kata akan pada terjemahan tersebut juga merupakan pengalihan

fungsi objek yang melekat pada kata akhaka. Terjemahan fungsi objek

dengan akan sekaligus memperlihatkan upaya RAH untuk menunjukkan

pengaruh bahasa Arab pada bahasa Melayu. Yang membedakan, fungsi

objek dalam bahasa Arab gramatikal, sementara dalam bahasa Melayu

leksikal.

(2) Fa ha>dhihi mukhtas}arah li man yahtaju ‘ala ma’rifat al-h}urufi wa khat}t } al-malayu wa rattabtuha ‘ala muqaddimah wa fus}u>lin wa kha>timatin. Artinya, inilah suatu kitab yang tersimpan bagi orang yang

berkehendak atas mengenal segala huruf Melayu dan suratannya

dan aku atur akan dia atas suatu mukaddimah dan beberapa

fasal dan satu khatimah (BK, h. 5)

Penjelasan pada bagian pengantar seperti pada contoh (2)

tersebut sangat lazim ditemukan pada buku-buku Arab klasik.

Terjemahan kalimat bahasa Arab pada contoh (2) tersebut

memperlihatkan pengaruh Tsu yang sangat kuat terhadap Tsa-nya.

79 Omar, Asmah. Bahasa Melayu Abad ke-16: Satu Analisis Berdasarkan Teks Melayu

(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), hlm. 60.

Page 28: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

28

Konstruksi li man yang diterjemahkan menjadi ‘bagi orang’ merupakan

kasus pinjaman gramatikal. Begitu pun pada konstruksi ‘ala ma’rifat al-

hurufi yang diterjemahkan menjadi ‘atas mengenal segala huruf’. Pada

konstruksi wa rattabtuha ‘ala muqaddimah wa fus}u>lin wa kha>timatin yang diterjemahkan menjadi ‘dan aku atur akan dia atas suatu mukaddimah

dan beberapa fasal dan satu khatimah’, pinjaman gramatikal ini

dilakukan dalam satu klausa penuh, karena RAH terlihat

menerjemahkan kata demi kata, yang oleh Newmark80 disebut sebagai

word-for-word translation. Selain itu, terjemahan wa yang pada contoh

tersebut selalu diterjemahkan dengan dan, juga menguatkan fenomena

pinjaman tata bahasa Melayu dari bahasa tata bahasa Arab. Padahal,

dalam bahasa Indonesia kontemporer, konjungsi wa bisa diterjemahkan

dengan (,) bila konjungsi wa tersebut lebih dari satu dalam kalimat dan

hanya wa yang terakhir saja dalam kalimat tersebut yang

diterjemahkan.81

(3) Muqaddimah fi fad}i >lah al-’ilm wa al-’aql. Artinya, ini suatu pendahuluan pada menyatakan kelebihan ilmu dan akal (BK, h.

5, b. 13—15)

Kalimat pada contoh (3) merupakan judul bab, yang lazim

dipergunakan pada kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Konstruksi ini

suatu pendahuluan pada menyatakan kelebihan ilmu dan akal merupakan

terjemahan dari muqaddimah fi fad}i >lah al-’ilm wa al-’aql. RAH

menerjemahkan konstruksi tersebut dengan memunculkan unsur-unsur

kalimat yang dilesapkan (struktur batin) dalam bahasa Arabnya, karena

konstruksi lengkapnya dalam bahasa Arab adalah [ha>dhihi] muqaddimah fi [bayan] fad}i>lah al-’ilm wa al-’aql. Kata ha>dhihi dan bayan memang tidak

terlihat dalam teks Arabnya, tetapi dalam terjemahannya, RAH

memunculkan keduanya dalam bentuk padanan bahasa Melayunya: ini

dan menyatakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa RAH

meminjam secara utuh konstruksi kalimat tersebut, termasuk unsur-

unsur kalimat yang dilesapkan. Pola terjemahan seperti ini juga bisa

ditemukan pada salah satu kalimat dari surat RAH kepada Von de Wall

berikut:

80 Newmark, Op. Cit., hlm. 45. 81 Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-

Indonesia. (Tangerang: Dikara, 2009), hlm. 105.

Page 29: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

29

Al-rafiq al-salih yuwassi’ al-qalba al-thalih yakni ’tolan yang baik

itu meluaskan hati yang tiada baik’ (DBP, h. 49, 6—7)

Terjemahan yang pada tolan yang baik dan hati yang tiada baik

merupakan terjemahan dari unsur gramatikal dalam bahasa Arab. Kata

yang sendiri sebetulnya bisa dilesapkan, tetapi tampaknya RAH ingin

memunculkan kata itu untuk menerjemahan fungsi s}ifat (ajektif) yang melekat sebagai unsur gramatikal pada nomina al-salih dan al-talih.

Terkait terjemahan fungsi s}ifat ini, RAH juga telah menetapkan

kaidahnya pada BK pasal 28 (h. 45) sebagai berikut.

Bermula sifat itu yang menyempurnakan dan menyatakan satu

sifat dari pada beberapa sifatnya, seperti kata kita, “Lalu aku

dengan laki-laki yang murah.” Dan, yang murah itulah sifatnya.

(4) Kama qala al-nabiyyu s}alla Allah ‘alaihi wa sallama man yurid Allaha bihi khairan, yufaqqihhu fi al-din. Artinya, barang siapa yang

dikehendaki Allah ta’ala dengan dia kebajikan, maka diberi

paham ia pada ilmu al-din, yakni ilmu ugama (BK, h. 5)

Konstruksi kama qala al-nabiyyu s}alla Allah ‘alaihi wa sallama pada contoh (4) tidak diterjemahkan oleh RAH, padahal konstruksi itu jelas

klausa berbahasa Arab yang berarti ‘seperti yang disabdakan Nabi

Muhammad Saw’. Kasus seperti ini di luar kebiasaan RAH dalam BK

yang selalu memberi harakat dan arti untuk frasa atau klausa dari

bahasa Arab. Apakah konstruksi itu sudah diserap dan diketahui luas

oleh penutur bahasa Melayu saat itu? Butuh penelitian lebih lanjut

terkait hal ini. Selain itu, terjemahan man yang berfungsi sebagai adat al-

shart } (konjungtor syarat) dengan ‘barangsiapa’ juga menunjukkan

pengaruh tata bahasa Arab, yang tampaknya sengaja dibatasi oleh RAH

dari man yang sebagai ism maus}u>l (nomina relatif) dan man yang sebagai

ism istifha>m. Terkait terjemahan fungsi man sebagai perangkat

kondisional ini, RAH juga telah menetapkan kaidahnya pada BK (h. 27)

sebagai berikut.

Ketahuilah olehmu, hai orang yang menuntut, adapun nama itu

yang menjadi syarat, manakala ada syaratnya itu, maka

berkehendaklah kepada juz’an, yakni jawab balasnya.

Page 30: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

30

Selain itu, terjemahan jawab al-shart} (apodosis) pada klausa yufaqqihhu fi al-din, juga memperlihatkan pengaruh bahasa Arab yang

kuat, karena dihubungkan oleh konjungtor maka. Pada kasus-kasus

tertentu, kalimat kondisional dalam bahasa Arab memang dihubungkan

oleh konjungtor fa, yang biasanya dipadankan dengan ‘maka’ dalam

bahasa Melayu.82 Padahal pada contoh (4), konjungtor fa pada teks Arab-

nya tidak ada, karena memang dalam bahasa Arab struktur kalimat

contoh (4) tersebut tidak mengharuskan disertakannya fa sebagai

konjungtor apodosis. Hal lain yang juga memperlihatkan pengaruh tata

bahasa pada contoh (4) adalah konstruksi bihi khairan yang

diterjemahkan ‘dengan dia kebajikan’.

E. PENUTUP

Pengetahuan RAH terhadap tata bahasa Arab mendorongnya

menuliskan tata bahasa Melayu dalam model tata bahasa Arab. Ini

merupakan upaya yang sadar dari RAH untuk menunjukkan jati diri

RAH sebagai orang Melayu. Sebagai ahli bahasa pertama yang

meneorikan tata bahasa Melayu, sumbangan RAH terhadap

perkembangan bahasa Melayu tidak bisa dianggap sebelah mata. Dia

menjadi tokoh penting dalam sejarah bahasa Melayu yang berani

melawan arus yang dibuat oleh Belanda yang telah menetapkan tata

bahasa Melayu sesuai standar kaidah bahasa Eropa. RAH juga berbeda

dengan anak negeri terpelajar lainnya yang cenderung menghindari

mengikuti tata bahasa Belanda dan lebih memilih membuat tata bahasa

Arab yang dianggap lebih dekat dengan agamanya, seperti yang

dilakukan Daud al-Fathani, Muhammad Nawawi al-Jawi, dan Haji

Muhammad Ma’shum al-Samarani.

Konteks zaman yang melahirkan BK dan karya RAH yang lain

juga harus diperhatikan. Tradisi berpikir yang didominasi oleh buku-

buku berbahasa Arab, yang menjadi buah dari perkembangan agama

Islam, tentu memengaruhi RAH dan masyarakat pada zaman itu dalam

menulis, membaca, dan mengekspresikan gagasannya. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh tata bahasa Arab dalam

bahasa Melayu tak bisa dipungkiri merupakan efek dari islamisasi ilmu

pengetahuan, yang sering kali tidak bisa dipisahkan dari proses

82 Asmah Omar, Bahasa Melayu Abad ke-16: Satu Analisis Berdasarkan Teks Melayu

(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), hlm. 106.

Page 31: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

31

arabisasi. Selain itu, BK juga telah membuktikan bahwa pengaruh tata

bahasa Arab tidak hanya pada naskah keagamaan. Fakta ini berbeda

dengan pendapat Ronkel (1899: 498).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an dan Terjemahannya. Madinah: Mujamma’ al Malik Fahd li

Thiba’at al Mushaf asy-Syarif, 1971.

Andaya, Barbara Watson dan Virginia Matheson. “Pemikiran Islam dan

Tradisi Melayu: Tulisan Raja Ali Haji dari Riau”. Dari Raja Ali

Haji hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. Ed. Anthony Reid

dan David Marr. Jakarta Pusat: Grafiti Press, 1983.

Baried, Siti Baroroh dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF, 1994.

Behrend, T. E. (peny.). 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia-EFEO.

Collins, James T. Bahasa Melayu, Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta:

YOI, 2005.

Collins, James T. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: KPG dan

EFEO, 2009.

Dahdah, Antoine. A Dictionary of Arabic Grammar: in Charts and Tables.

Beirut: Librairie du Liban, 1981.

Dahdah, Antoine. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: KPG dan

EFEO, 2009.

Hamidy, UU. Naskah Melayu Kuno Daerah Riau. Pekanbaru: tp, 1985.

Hamidy, UU. “Hilang Jasa Kapak Oleh Jasa Ketam: Peranan Raja Ali

Haji dalam Perwujudan Bahasa Indonesia. Majalah Sastra

Horison. Tahun XXXI, no. 12, 1996.

Hamidy, UU. Naskah Kuno Daerah Riau. Pekanbaru: Proyek Inventarisasi

dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Riau, 1982.

Hamidy, UU. Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu.

Pekanbaru: Bumi Pustaka, 1981.

Heer, Nicholas. 2009. A Concise Handlist of Jawi Authors and Their Works.

Seattle-Washington: tp.

Hidayatullah, Moch. Syarif. Tarjim al-An: Cara Mudah Menerjemahkan

Arab-Indonesia. Tangerang: Dikara, 2009.

Page 32: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

32

Hollander, JJ. De. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. Jakarta: Balai

Pustaka, 1984.

Hooykaas, C. Perintis Sastera. Groningen-Djakarta: Wolters, 1951.

Ikram, Achadiati. “Raja Ali Haji, Pahlawan Budaya”. Sejarah Perjuangan

Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Ed. dalam Junus, M.

Hasan. Pekanbaru: Unri Press, 2004.

Ikram, Achadiati. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1997.

Ikram, Achadiati. Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX.

Pekanbaru: Universitas Islam Riau Press, 1998.

Johns, A.H. “”Penerjemahan” Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu:

Sebuah Renungan”. Sadur: Sejarah Terjemahan d Indonesia dan

Malaysia. Ed. Henri Chambert-Loir. Jakarta: KPG, EFEP, FJP,

Pusat Bahasa, Universitas Padjajaran, 2009.

Junus, M. Hasan. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa

Indonesia. Pekanbaru: Unri Press, 2004.

Junus, Umar. Sejarah dan Perkembangan ke Arah Bahasa Indonesia. Jakarta:

Bhratara, 1969.

Kamil, T.W. “Prakata”. dalam Hollander, JJ. De. Pedoman Bahasa dan

Sastra Melayu. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: Gramedia, 1990.

Kridalaksana, Harimurti, dkk. Masa Lalu Bahasa Indonesia. Yogyakarta:

Kanisius, 1991.

Kridalaksana, Harimurti. “Bustanulkatibin dan Kitab Pengetahuan

Bahasa-Sumbangan Raja Ali Haji dallam Ilmu Bahasa Melayu”

dalam Rintisan dalam Linguistik Indonesia (Kumpulan Karangan),

Jakarta: FS UI, 1984.

Kridalaksana, Harimurti. “Daripada Pekerjaan Hendak Mencetak; Raja

Ali Haji dan Percetakan Litografi” dalam Risalah Kegiatan Hari

Raja Ali Haji, (1996): 1—20).

Kridalaksana, Harimurti. “Pandangan Raja Ali Haji tentang Kelas Kata

dalam Bahasa Melayu” dalam Beberapa Masalah Linguistik

Indonesia (Kumpulan Karangan). Jakarta: FS UI, 1978.

Kridalaksana, Harimurti. “Suatu Rintisan dalam Historiografi Linguistik

Indonesia” dalam Rintisan dalam Linguistik Indonesia (Kumpulan

Karangan), Jakarta: FS UI, 1984.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, 2001.

Kridalaksana, Harimurti. Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori

Sintaksis. Jakarta: Atmajaya, 2002.

Page 33: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Bustan al-Katibin: Kitab Tata Bahasa Melayu Pertama Karya Anak Negeri

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

33

Mu’jizah dan Maria Indra Rukmi. Penulusuran Penyalinan Naskah-naskah

Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi. Jakarta: FSUI, 1998.

Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok: FS UI,

1994.

Newmark, Peter. A Textbook of Translation. Newyork: Prentice Hall, 1988.

Ni’mah, Fuad. Mulakhkhas} Qawa>’id al-Lughah al-Arabiyyah. Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyyah, t.t.

Omar, Asmah. Bahasa Melayu Abad ke-16: Satu Analisis Berdasarkan Teks

Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991.

Osman, Mohd. Taib. “Raja Ali Haji of Riau: a Figure of Tradition or the

Last of The Classical Pujangga” dalam Bunga Rampai Sejarah

Studi Bahasa Indonesia. Jakarta: FS UI, 1982.

Palawa, Alimuddin Hassan. “The Penyengat School: A Review of The

Intellectual Tradition in the Malay-Riau Kingdom”. Jurnal Studia

Islamika, vol. 10, no. 3, (2003): 95—123.

Parera, Jos Daniel. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi

Struktural. Jakarta: Erlangga, 1991.

Pudjiastuti, Titik. Naskah dan Studi Naskah. Bogor: Akademia, 2006.

Putten, Jan van der dan Al Azhar. Dalam Berkekalan Persahabatan. Jakarta:

KPG, 2007.

Putten, Jan van der. “A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim's

Strategies of Survival”. Journal of Southeast Asian Studies, 32

(3), (2001): 343—354.

Riddell, Peter G. “Literal Translation, Sacred Scipture, and Kitab Malay”.

Jurnal Studia Islamika, vol. 9, no. 1. (2002): 1—26.

Riddell, Peter G. Islam in The Malay-Indonesian World. London: C. Hurst

& Co, 2001.

Robson, S.O. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL, 1994.

Ronkel, Van. “Over Invloed der Arabische Syantaxis op de Maleische”

dalam Tidjschrift voor Ind. Taal-, Land- en Volkenkunde. Batavia

Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, deel XLI. (1899):

498-528.

Rukmi, Maria Indra. Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta Pada Abad XIX.

Jakarta: FSUI, 1997.

Ruskhan, Abdul Gaffar. Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:

Grasindo, 2007.

Saleh, Siti Hawa Haji dkk. Cendekiawan Kesusastraan Melayu Tradisional.

Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987.

Page 34: BUSTĀN AL-KĀTIBĪN KITAB TATA BAHASA MELAYU …

Moch. Syarif Hidayatullah

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

34

Schendel, Herbert. Historical Linguistics. Oxford: Oxford University

Press, 2001.

Sedyawati, Edi dkk. Kedwiaksaraan dalam Pernaskahan Nusantara: Kajian

Tipologi. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Sugono, Dendy dan A. Rozak Zaidan. 2004. “Raja Ali Haji: Munsyi dan

Pujangga”. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa

Indonesia. Ed. dalam Junus, M. Hasan. Pekanbaru: Unri Press,

2004.

Sutaarga, M. Amir. 1972. Katalog Koleksi Naskah Melayu Pusat Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Kebudayaan Nasional.

Suwarso, Suyati. “Struktur Gramatika Bahasa Melayu dalam Hikayat

Abu Samah” dalam Naskah dan Kita. Depok: FSUI, 1991.

Teeuw, A. A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia.

Nijhoff: the Hague, 1961.

Wijk, d Gerth van. Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Djambatan, 1985.

Winstedt, Sir. Richard. A History of Classical Malay Literature. Kuala

Lumpur: Oxford University Press, 1977.