POLIMORFISME GEN PFMDR1 PLASMODIUM FALCIPARUM DAN …
Transcript of POLIMORFISME GEN PFMDR1 PLASMODIUM FALCIPARUM DAN …
POLIMORFISME GEN PFMDR1 PLASMODIUM FALCIPARUM DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN MALARIA DI DISTRIK PRAFI KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI
PAPUA BARAT
THE POLYMORPHISMS GENE PFMDR1 PLASMODIUM FALCIPARUM AND FACTORS RISK MALARIA IN DISTRIC
PRAFI MANOKWARI WEST PAPUA PROVINCE
BUDI LAMAKA
P0201313007
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : BudI Lamaka
Nomor Pokok : P0201313007
Program Studi : Ilmu Kedokteran S3 Universitas Hasanuddin
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi yang saya tulis
ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan
disertasi ini hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
atas perbuatan tersebut.
Makassar, September 2017
Yang menyatakan,
Budi Lamaka
PRAKATA
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, serta salam dan salawat tercurah kepada junjungan
Nabiullah Muhammad SWA, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan
disertasi ini dengan judul “Polimorfisme Gen Pfmdr1 Plasmodium
Falciparum Dan Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Distrik Prafi
Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat”.
Selesainya penulisan disertasi ini tidak terlepas dari keterlibatan
berbagai pihak yang telah memberikan masukan yang sangat berarti bagi
penulis. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya yang tulus kepada yang terhormat
Bapak Prof. Dr. drg. Andi Arsunan Arsin, M.Kes., selaku Promotor,
Prof. Dr. Gemini Alam, dan Hasanuddin Ishak, Ph.D. sebagai Co-
Promotor, yang telah meluangkan waktu dengan penuh kesabaran untuk
membimbing dan mengarahkan penulis sejak pengembangan konsep
permasalahan yang akan dikaji, pelaksanaan penelitian sampai
penyelesaian disertasi ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua
orang tua saya tercinta, Ibunda Asjia A.Hi. Rasjid, BA (Alm) dan
Ayahanda Drs. Arief Lamaka (Alm) yang telah melahirkan, membesarkan
dan mendidik saya sejak kecil dengan penuh kasih sayang hingga saya
mampu mencapai keadaan seperti ini. Ucapan terima kasih yang tulus
juga kepada mertua saya Husen Al Hadar dan Seha Al Idrus yang telah
senantiasa memberikan semangat, motivasi dan doa dalam
melaksanakan tugas sehari-hari dan penyelesaian studi saya.
Rasa bangga dan terima kasih yang tak terhingga kepada mereka
yang amat saya cintai dan sayangi, Istri saya tercinta Laila Al Hadar dan
anakku tersayang Balqis B Lamaka, atas segala pengertian, kesabaran,
dukungan doa dan cinta kasih yang tak ternilai. Kepada saudaraku Fitria
Lamaka, Lely Lamaka, SKM, drg. Arni A Lamaka dan Ramli Lamaka,
S.Kom. Serta saudara iparku Mun Al Hadar, SE, Halid Al Hadar, Warda
Al Hadar, S.Hi, Ibrahim Al Hadar, S.Sos, Zen Al Hadar, ST dan Zainal
Abidin Al Hadar, SE yang selalu memberikan doa dan dukungan moril
dalam menjalani pendidikan.
Dalam kesempatan ini pula penulis menyampaikan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Unhas,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan di Universitas Hasanuddin.
2. Prof. Dr. Muhammad Ali, SE., MS., selaku Dekan Sekolah
Pascasarjana Unhas yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar.
3. Prof. Dr. dr. H. Andi Asadul lslam, Sp.BS., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Unhas yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis melanjutkan studi program Pascasarjana di Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
4. Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes., selaku Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Unhas yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis mengikuti pendidikan program Pascasarjana di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
5. Prof. dr. H. Mochammad Hatta, Ph.D, Sp.MK (K)., selaku Ketua
Program Studi S3 llmu Kedokteran Universitas Hasanuddin dan
sebagai tim penguji yang telah mengarahkan pada awal pemilihan
topik penelitian dan memberikan saran demi kesempurnaan disertasi
ini.
6. Prof. dr. H. Veni Hadju, M.Sc. Ph.D., selaku Ketua Program Studi S3
Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin dan sebagai tim
penguji yang telah memberikan saran demi kesempurnaan disertasi
ini.
7. Dewan Penguji Prof. Dr. H. Guntur Yusuf, M.Si. (Penguji Eksternal),
Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM., M.Sc.PH., Prof. Dr. Natsir Jide
dan Dr. H. Stang, M.Kes., yang telah memberikan saran dan
masukan demi kesempurnaan disertasi ini.
8. Seluruh Staf dan Pengajar S3 llmu Kedokteran dan S3 llmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar yang telah
memberikan bekal ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.
9. Gubernur Sulawesi Tengah Bapak Drs.H. Longki Djanggola, M.Si
yang telah memberikan kesempatan Tugas Belajar untuk melanjutkan
studi S3 di Universitas Hasanuddin Makassar
10. Bapak Suhari, SKM, selaku Kepala Puskesmas Prafi yang telah
memberikan izin selama penelitian di Wilayah kerja Puskesmas Prafi.
11. Ibu Ivon dan ibu Roestinah selaku tenaga Laboratorim di Puskesmas
Prafi yang telah membantu kami selama penelitian di distrik Prafi.
12. Zubair B huja beserta keluarga, Asmat, Arfan, Billy, nene, Popy,
Miaty dan Bayu sekeluarga atas bantuannya selama berada di
Manokwari,.
13. Keluarga H. Muh. Taslim, SKM. M.Kes atas kebersamaannya selama
mengikuti pendidikan di Makassar
14. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana S3 ilmu kedokteran
angkatan 2013, atas segala kerjasama dan partisipasi yang diberikan
serta memberikan dorongan moril, kritik, dan saran yang bermanfaat
bagi penulis terkhusus teman pondokan U1 bapak Dr. Budy Utomo,
SKM. M.Si. MPH.
15. Semua pihak yang telah ikut membantu dalam kelancaran penulisan
ini.
Akhir kata semoga Allah SWT selalu melimpahkan karunia-Nya
kepada kita semua dan semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak
dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Makassar, September 2017
Penulis
ABSTRAK
BUDI LAMAKA. Polimorfisme Gen Pfmdrl Plasmodium Falciparum dan FaktorRisiko Kejadian Malaria di Disfik Praft Kabupaten Manokwari Provinsi PapuaEarat (dibimbing oleh A. Arsunan Arsin, GeminiAlam, dan Hasanuddin).
Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor risiko yang berhubungandengan polimorfemis gen Pfmdrl di codon 86 pada parasit plasmodiumfalciparum dan faktor risiko kejadian malaria di Distrik Prafi KabupatenManokwari, Provinsi Papua Barat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian epidemiologi yangberbentuk observasiona! dengan pendekatan potong lintang (cross sectionalstudy). Pengambilan sampel dilakukan secara purposif (sampel yang diambilmemiliki kriteria positif malaria tropika). Sampel sebanyak 43 responden yangmemenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data dianalisis menggunakan rumusstatistik ujichisquare (o= 0,05).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa swamedikasi berhubungan denganpolimorfisme gen Pfmdrl N86Y pada parasil plasmodium falciparum, baik padainfeksi tunggal maupun infeksi campuran @lasmodium falciparum dan vivax'1(p= 0,046). Kepatuhan minum obat tidak berhubungan dengan polimorfismegen Pflndr1 N86Y. Faktor risiko yang berhubungan dengan kajadian malaria diwilayah Distrik Prafi ada empat variabel yaitu: aktivitas di Iuar rumah padamalam hari (p= 0,019), pemakaian plapon dalam rumah (p= 0,045), pemakaiankasa pada ventilasi (p= 0,006) dan jenis dinding rumah (p= 0,008). Untukpemakaian obat anti nyamuk, pemakaian kelambu, dan lingkungan sekitarrumah bukan merupakan faktor risiko kejadian malaria.
Kata kunci: Gen Pfmdrl, swamedikasi, kepatuhan minum obat, Distrik Praf.
ABSTRACT
BUDI LAMAKA. Polymorphism Gen Pfmdrl Plasmodium Falciparum and theRisk Factor of Malaria Case in Prafi Sub-District, Manokwari Regency, WestPapua Province (superuised by A. Arsunan Arsin, Gemini Alam, andHasanuddin Ishak
This research aimed to analyze the risk factors related to polymorphismgen Pfmdrl in codon 86 in the parasite of Plasmodium Falciparum and the riskfactors of malaria cases in Prafi Sub-District, Manokwari Regency, West PauaProvince.
The research method used was the epidemiological research in the form ofobservation with the cross sectional study approach. The samples were chosenusing the Purposive sampling technique The samples chosen were those whohad the positive criteria of malaria tropika) and the total samples was 43respondents who met the inclusive and exclusive criteria. The data wereanalyzed using the statistical formula of Chi square test (o=0.05)
The research results indicated that the self-medication had a correlationwith Polymorphism of Pfmdrl gen N86Yin Plasmodium Falciparum parasite,either in single or in mixture infections ( Plasmodium Falciparum and vivax)(p=0.046). The obedience to take medicine had no correlatin with olymorphism ofgen Pfmdrl N86Y. The risk factor related to malaria incident in the area of PrafiSub-District had 4 variables, namely the outdoor activity at night (p=0.0t9), theuse of home ceiling (p=0.045), the use of ventilation gause (p=0.006) and thetype of house walls (p=0.008). The use of anti-mosquito medicine, the usemosquito nets, and the environment around the houses were not the risk factorsof malaria cases. Extension activities should be done for the society about themalaria impact on the health and about the self-medication without the re-examination by the doctor. ln order to undertand the eficasy of DHP medicine ofprimaquin, the in-vivo test should be done as the follow up action of thisresearch, because the mutation in the Pfmdrl gen codon 86 had been found.
Keywords: Pfmdrl gen, self-medication, obedience in taking medicine, PrafiSub-District
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………. i
HALAMAN PENGESAHAN HASIL PENELITIAN ............................................. ii
DAFTAR TIM PENGUJI...................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI............................................................ iv
PRAKATA........................................................................................................... v
ABSTRAK........................................................................................................... ix
DAFTAR ISI........................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 9
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Penyakit Malaria ...................................................... 12
1. Epidemiologi Malaria ................................................................... 12
2. Vektor Malaria ............................................................................. 14
3. Faktor Agent ............................................................................... 17
4. Faktor Host ................................................................................ 19
5. Faktor Environment ................................................................... 20
6. Diagnosa Penyakit Malaria ........................................................ 24
7. Pengobatan Malaria ................................................................... 27
8. Pencegahan Malaria .................................................................. 29
B. Tinjauan Umum Nyamuk Anopheles ................................................ 31
1. Perilaku Hidup dan Berkembang Biak ........................................ 31
2. Perilaku Mencari Darah .............................................................. 32
3. Perilaku Istirahat ......................................................................... 32
C. Tinjauan Umum Plasmodium Falciparum.......................................... 33
1. Penyebab Malaria Tropika .......................................................... 33
2. Karakteristik Genom Plasmodium Falciparum ............................ 34
3. Siklus Hidup Plasmodium Falciparum ........................................ 34
4. Diagnosis Plasmodium Falciparum ............................................ 38
5. Pengobatan Malaria Tropika ..................................................... 39
D. Tinjauan Tentang Faktor Risiko Kejadian Malaria ........................... 42
1. Aktifitas Berada di Luar Rumah pada Malam hari ....................... 42
2. Pemakaian Kelambu .................................................................. 43
3. Pemakaian Obat Anti Nyamuk ................................................... 44
4. Pemakaian Plapon dalam Rumah .............................................. 47
5. Pemakaian Kasa pada Ventilasi .................................................. 48
6. Jenis Dinding Rumah .................................................................. 48
7. Lingkungan Sekitar Rumah ....................................................... 50
E. Tinjauan Tentang Gen Pfmdr1 ........................................................ 51
F. Tinjauan Tentang Resistensi Obat anti malaria ................................ 53
G. Tinjauan Tentang Faktor Risiko Mutasi Gen ..................................... 56
1. Swamedikasi.................................................................................. 56
2. Kepatuhan Minum Obat................................................................ 57
H. Kerangka Teori Penelitian .............................................................. 60
I. Kerangka Konsep Penelitian ........................................................... 61
J. Hipotesis Penelitian ......................................................................... 62
K. Definisi Operasional Dan Kriteria Objektif ...................................... 63
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian .................................................................... 68
B. Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………………. 68
C. Populasi dan Sampel ………………………………………………….. 68
D. Besar Sampel ………………………………………………………….. 69
E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ………………………………………….. 71
F. Cara Kerja Pemeriksaan Sampel Darah …………………………….. 71
G. Pengolahan dan Penyajian Data ……………………………………… 75
H. Analisa Data …………………………………………………………….. 75
I. Alur Penelitian ……………………………….…………………………. 77
J. Etika Penelitian ………………………………………………………….. 78
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian …………………………………… 80
1. Gambaran Umum Kabupaten Manokwari ………………………. 80
2. Gambaran Umum Distrik Prafi …………………………………….. 83
B. Hasil Penelitian ………………………………………………………….. 87
1. Pemeriksaan Nested PCR …………………………………………. 88
2. Analisis Univariat …………………………………………………… 91
3. Analisis Bivariat ……………………………………………………… 113
C. Pembahasan …………………………………………………………….. 123
D. Keterbatasan Penelitian ……………………………………………….. 142
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………………………………………………………………. 143
B. Saran …………………………………………………………………….. 144
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………. 145
LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
ACT :Artemisin Combination Therapy
AN : Anopheles
BP : Base Pair
BPS : Badan Pusat Statistik
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
DHP : Dihydroartemisinin Piperakuin
DKK : Dan Kawan-kawan
DNA : Deoksiribo Nucleic Acid
Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
MB : Mega Basa
MDGs : Millenium Development Goals
MDR : Multi Drug Resisten
OR : Odds Ratio
PCR : Polymerase Chain Reaction
PFMDR1 : Plasmodium Falciparum Multi Drug Resisten 1
PGH1 : P- glikoprotein homolog -1
RDT : Rapid Diagnostic Test
RFLP : Restriction Fragment Length Polymorphism
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
SD : Sediaan darah
SNP : Single Nucleotida Polimorphisme
WHO : World Health Organization
DAFTAR TIM PENGUJI
Prommotor : Prof. DR. drg. A. Arsunan Arsin, M.Kes.
Co-Prommotor : Prof. DR. Gemini Alam, M.Sc, Apt.
Dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc. Ph.D.
Penguji : Prof. DR. H. Guntur Yusuf, M.S.i
Prof. dr. H. Mochammad Hatta, Ph.D, Sp.MK (K).
Prof. DR. Ridwan Amiruddin, SKM, M.Sc, PH.
Prof. DR. H. M. Natsir Djide, M.Si, A.pt.
DR. H. Stang, M.Kes.
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Peta endemisitas malaria di Kabupaten dan kota di Indonesia……....…..12
Gambar 2. Sebaran geografis nyamuk anopheles di Asia Tenggara ………….……..13
Gambar 3. Sebaran vektor nyamuk anopheles di Indonesia ……….…………..……..14
Gambar 4. Siklus hidup Parasit Plasmodium ……….…………………..………………36
Gambar 5. Stadium Parasit Plasmodium Falciparum …………….………...………….37
Gambar 6. Malaria resisten obat anti malaria di kawasan Asia .………………………54
Gambar 7. Kerangka Teori Penelitian…….….……………………...…………………..59
Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian ………………………………….……..………60
Gambar 9. Alur Penelitian ……………………..…………………..………………………76
Gambar 10. Peta Kabupaten Manokwari ………………………………………………….79
Gambar 11. Peta Distrik Prafi ………………………………………………………………83
Gambar 12. Peta Kampung di Distrik Prafi ……………………………………………….84
Gambar 13. Distribusi penderita malaria Falciparum di Wilayah Distrik Prafi ………..87
Gambar 14. Visualisasi hasil amplifikasi PCR sampel 1 -16……………………………88
Gambar 15. Visualisasi hasil amplifikasi PCR sampel 17 -32 ….………………………89
Gambar 16. Visualisasi hasil amplifikasi PCR sampel 33 -43…………………...………90
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Pengobatan lini pertama - 1 malaria falciparum dengan
Artesunat - amodiakuin + primakuin berdasarkan umur…..……… 39
Tabel 2. Pengobatan lini pertama - 2 malaria falciparum dengan
DHP (Dihydroartemisinin Piperakuin + Primakuin) berdasarkan
umur……………………………………………………………………… 40
Tabel 3. Luas Wilayah Kabupaten Manokwari Menurut Distrik (Kecamatan)
Jumlah Kampung dan Kelurahan……………………………………… 81
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Kampung Di Distrik Prafi Tahun 2015…. 85
Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Tempat (Desa)
di Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016…………………… 91
Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Golongan Umur
di Wilayah Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016 ………… 92
Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Jenis Kelamin
di Wilayah Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016………….. 93
Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pendidikan
di Wilayah Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016 ………… 94
Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerjaan
di Wilayah Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016…………. 95
Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Suku
di Wilayah Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016……….. 96
Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Infeksi Malaria
Falciparum (Infeksi Tunggal dan Infeksi Campuran)
di Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Tahun 2016 …………………. 97
Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel aktivitas berada
di luar rumah pada malam hari di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016.. 98
Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Pemakaian
Kelambu di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016…………………………. 99
Tabel 14. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Pemakaian Obat Anti
Nyamuk di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016………………………….. 100
Tabel 15. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Pemakaian Plafon
di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016……………………………………. 101
Tabel 16. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Pemakaian Kasa
di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016…………………………………….. 102
Tabel 17. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Jenis Dinding
Rumah di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016……………………………. 103
Tabel 18. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Lingkungan
Sekitar Rumah di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016………………….. 104
Tabel 19. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Swamedikasi di Wilayah
Distrik Prafi tahun 2016…………………………………………………. 105
Tabel 20. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Kepatuhan Minum
Obat di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 ……………………………. 106
Tabel 21. Distribusi Polimorfime Gen Pfmdr1 N86Y pada Penderita
Malaria di di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 ……………………… 107
Tabel 22. Distribusi Karakteristik 8 sampel penderita malaria yang
mengalami Mutasi Gen Pfmdr1 di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016… 108
Tabel 23 Hubungan Aktivitas berada diluar rumah pada malam hari dengan
kejadian malaria di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016………………… 110
Tabel 24. Hubungan Pemakaian Kelambu dengan kejadian malaria di
Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 ……………………………………… 111
Tabel 25. Hubungan Pemakaian Obat anti Nyamuk dengan kejadian
malaria di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 …………………………. 112
Tabel 26. Hubungan Pemakaian Plapon Rumah dengan kejadian malaria
di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 ………………………………….. 113
Tabel 27. Hubungan Pemakaian Kasa pada ventilasi dengan kejadian
malaria di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016 ………………………… 115
Tabel 28. Hubungan Jenis Dinding Rumah dengan kejadian malaria
di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016……………………………………. 116
Tabel 29. Hubungan Lingkungan sekitar Rumah dengan kejadian malaria
di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016…………………………………….. 117
Tabel 30. Hubungan Swamedikasi dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1 N86Y
di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016……………………………………. 119
Tabel 31. Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Polimorfisme
Gen Pfmdr1 N86Y di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016. ……………. 120
Tabel 32. Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Polimorfisme
Gen Pfmdr1 N86Y di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016…………….. 122
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Unhas
2. Surat Permohonan Izin Penelitian
3. Kuesioner Penelitian
4. Output SPSS hasil uji statistic ( Univariat dan Bivariat )
5. Dokumentasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekitar 3,2 miliar orang hampir setengah dari populasi dunia berisiko
malaria. Pada tahun 2015, diperkirakan ada 214 juta kasus baru malaria dan
438.000 kematian, terutama di sub-Sahara Afrika. Jutaan orang belum dapat
mengakses pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan untuk mencegah
dan mengobati malaria. Beban terberat adalah di daerah afrika, dimana
sekitar 90 % kematian terjadi karena penyakit malaria dan pada anak-anak
yang berusia di bawah 5 tahun (78 %) dari semua kematian (WHO, 2016).
Para pemimpin dunia telah menetapkan dalam MDGs (Millenium
Development Goals) bahwa malaria menjadi salah satu penyakit yang
diprioritaskan. Tahun 2015 diharapkan penyakit malaria berkurang paling
tidak 50 %. Malaria juga bertanggung jawab secara ekonomis terhadap
kehilangan 12 % pendapatan nasional, negara-negara yang memiliki malaria.
Di daerah Asia Tenggara 70% dari jumlah penduduknya atau sekitar
1216 juta jiwa, bertempat tinggal di daerah endemis malaria. Sekitar 96% dari
penduduk yang berisiko tertular malaria di daerah Asia Tenggara tinggall di
Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar dan Thailand. dan menyebabkan
95% kasus-kasus malaria (baik yang sakit maupun yang meninggal dunia) di
daerah tersebut (Soedarto, 2011).
2
Di Indonesia malaria sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat. Angka kesakitan malaria masih cukup tinggi terutama
di luar Pulau Jawa dan Bali. Hal ini terbukti dengan dimasukannya upaya
pengendalian penyakit malaria sebagi isu penting dalam mencapai tujuan
Millenium Development Goals (MDGs) atau pembangunan Millenium pada
tahun 2015.
Insiden Malaria pada penduduk Indonesia tahun 2013 adalah 1,9
persen menurun dibanding tahun 2007 (2,9%), tetapi di Papua Barat
mengalami peningkatan tajam jumlah penderita malaria. Prevalensi malaria
tahun 2013 adalah 6,0 persen. Lima provinsi dengan insiden dan prevalensi
tertinggi adalah Papua (9,8% dan 28,6%), Nusa Tenggara Timur (6,8% dan
23,3%), Sulawesi Tengah (6,7% dan 19,4%), Papua Barat (5,1% dan 12,5%),
dan Maluku (3,8% dan 10,7%) . Dari 33 provinsi di Indonesia, 15 provinsi
mempunyai prevalensi malaria di atas angka nasional, sebagian besar
berada di Indonesia Timur. Laporan Riskesdas tahun 2013 Propinsi Papua
Barat masuk pada urutan ke empat propinsi di Indonesia yang memiliki
insiden dan prevalensi malaria tertinggi (5,1% dan 12,5%) dan penduduknya
yang mengobati sendiri penyakit malaria (Swamedikasi) yang dideritanya
(2,8%) (Kemenkes, 2014).
Saat ini secara administratif wilayah Papua Barat terbagi atas 12
Kabupaten dan 1 Kota dan salah satunya adalah Kabupaten Manokwari.
Meningkatnya kasus malaria disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya
3
adalah kasus malaria yang sudah resisten terhadap obat anti malaria (BPS
Manokwari, 2016).
Resistensi parasit malaria terhadap klorokuin pertama kali di Thailand
pada tahun 1961 dan di Amerika Serikat pada tahun 1962. P.falciparum yang
sudah resisten terhadap klorokuin telah di laporkan dari semua daerah
endemis malaria, kecuali Korea sehingga hampir 400 juta orang hidup di
daerah berisiko tertular malaria yang resisten klorokuin. Selain itu resisten
terhadap sulfadoksin-pirimetamin juga dilaporkan dari dari daerah endemis
malaria (kecuali Sri Lanka dan Korea) dengan jumlah penduduk 140 juta jiwa
yang berisiko tertular malaria resisten kombinasi obat ini.
Terapi kombinasi berbasis artemisinin sekarang direkomendasikan
oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pengobatan lini pertama
malaria falciparum tanpa komplikasi di semua wilayah endemik malaria
(Dondorp et al., 2009). Terapi kombinasi berbasis Artemisinin (ACT) adalah
obat anti malaria terbaik yang ada saat ini (Mutabingwa, 2005). Sejak tahun
2006, kebanyakan negara endemik P.falciparum telah meningkatkan
kebijakan pengobatan mereka dari gagalnya klorokuin dan sulfadoksin-
pirimetamin ke terapi kombinasi berbasis artemisinin (WHO, 2015).
Namun akhir-akhir ini kegagalan pengobatan malaria dengan ACT
(Artemisinin basedcombination therapy) telah dilaporkan di beberapa
beberapa negara. Salah satu mekanisme resistensi pengobatan diduga
berkaitan dengan polimorfisme pada gen Pfmdr1 yang menyebabkan
4
terjadinya mutasi pada gen tersebut dan berdampak menyebabkan
terjadinya resistensi obat antimalarial. (Wongsrichanalai, Pickard, Wernsdorfer, & Meshnick, 2002)
P.falciparum resistensi terhadap artemisinin telah terdeteksi di lima
negara di sub regional Greater Mekong. Di Kamboja, tingkat kegagalan yang
tinggi setelah pengobatan dengan ACT (WHO, 2016b). Polimorfisme
di pfmdr1 juga dapat dikaitkan dengan resistensi terhadap klorokuin,
meflokuin, kina, dan artemisinin (Wongsrichanalai et al., 2002).
Terjadinya resistensi obat malaria karena adanya strain parasit yang
mampu bertahan hidup atau bertambah banyak walaupun sudah diberikan
obat antimalaria dengan dosis sama atau lebih tinggi yang masih dapat
ditoleransi manusia (Bloland & WHO, 2001). Gen pfmdr1 mengkode homolog
P-gliko-protein (Pgh1), Pgh1 adalah pompa yang bergantung ATP dan
terdapat di membran vakuola makanan pada Plasmodium. Mutasi pada gen
ini dapat menyebabkan perubahan Pgh1 sehingga menyebabkan resistensi
pada beberapa obat antimalaria: kuinin, meflo-kuin, dan halofantrin.
P.falciparum mengekspresi Pgh-1 yang terdapat pada vakuola makanan,
perubahan struktur dan gangguan fungsi dari Pgh-1 dapat menyebabkan
penurunan akumulasi dari klorokuin pada vakuola makanan. (Saleh, Handayani, & Anwar, 2014)
Polimorfisme pada pfcrt 76-Thr dan pfmdr1 86Y ditemukan pada
semua isolat. Temuan ini menjelaskan terjadinya kegagalan pengobatan
dengan klorokuin dalam beberapa tahun terakhir di Sumatera Selatan (Saleh
et al., 2014). Hasil penelitian lain tentang gen Pfmdr1 yaitu pada analisis
5
DNA urutan gen pfmdr1 yang bergabung pada galur alel intragenik resisten
terhadap meflokuin. Ekspresi mRNA pfmdr1 yang berlebihan menyebabkan
mekanisme resisten mefloquin menjadi 7,2 kali lebih tinggi (Kim et al., 2001).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi obat
antara lain ketidak patuhan minum obat.. Kondisi demikian akan
menyebabkan kadar obat di dalam darah tidak sesuai lagi, dan tidak mampu
membunuh Plasmodium. Kadar obat dalam darah yang tidak sesuai ini akan
mengakibatkan Plasmodium mampu melakukan adaptasi, sehingga akhirnya
akan timbul kasus resisten (Wuryanto, 2005). (Lario, Bidjuni, & Onibala, 2016)
Selain ketidak patuhan minum obat, Minum obat bebas (Swamedikasi)
tanpa mendapat resep dari dokter juga merupaka salah satu faktor yang
dapat menyebabkan terjdainya resistensi obat. Penggunaan obat yang
berlebihan dan tidak tepat pada pengobatan malaria klinis memudahkan
terjadinya resistensi obat. Minum obat yang tidak benar antara lain kepatuhan
yang kurang baik atau dosis obat yang tidak tepat menambah peluang
berkembangnya parasit resistensi obat (Tjitra, 2005).
Dari laporan Riskesdas tahun 2013 menyebutkan bahwa penduduk
Indonesia yang yang mengobati sendiri penyakit malaria yang dideritanya
adalah 0,6 %. Lima provinsi tertinggi yang penduduknya mengobati sendiri
penyakit malaria adalah Papua Barat (5,1%), Papua (4,1%), Papua Barat
(2,8%), Nusa Tenggara Timur (2,7%) dan Maluku Utara (2,3%).
7
pemakaian obat anti nyamuk dengan kejadian malaria. Dalam uji tersebut
diperoleh Odds Ratio (OR) 2,3 dengan kata lain responden tidur pada malam
hari tidak memakai obat anti nyamuk mempunyai risiko 2,3 kali untuk terkena
malaria dibandingkan dengan responden yang menggunakan obat anti
nyamuk.
Faktor Lingkungan sekitar rumah juga merupakan salah faktor risiko
penyebab terjadinya malaria. Hasil penelitian Ahmadi (2008) bahwa
Kelompok kasus yang disekitarnya terdapat genangan air lebih banyak
(68,6%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (22,9%). Analisis bivariate
yang telah dilakukan diperoleh hasil terdapat hubungan bermakna antara
keberadaan genangan air terhadap kejadian malaria (nilai p=0,000).
Pengobatan malaria dengan klorokuin mengalami banyak kegagalan
dengan penyebab tersering adalah resistensi, oleh sebab itu
penatalaksanaan malaria telah menggunakan terapi kombinasi. Tujuan dari
terapi kombinasi adalah untuk meningkatkan efikasi antimalaria maupun
aktivitas sinergik antimalaria, dan memperlambat progresifitas resistensi
parasit terhadap obat-obat yang baru. ACT atau Artemisinin-based
Combination Therapy adalah terapi kombinasi yang direkomendasikan WHO
untuk mengobati malaria tanpa komplikasi sebagai lini pertama karena
berefikasi tinggi pada pengobatan malaria. Artemisinin dipilih sebagai basis
terapi kombinasi malaria yang penting saat ini dikarenakan kemampuan
8
untuk menurunkan parasitmia lebih cepat dari pada obat antimalaria lainnya
(Ogbonna & Uneke, 2008).
Sampai saat ini penelitian tentang MDR (Multi Drug Resisten)
p.falciparum di Propinsi Papua Barat khususnya di wilayah Distrik Prafi
Kabupaten Manokwari belum pernah di lakukan. Masih tingginya angka
kejadian malaria tropika di wilayah Distrik Prafi yang berulang setiap
tahunnya sehingga peneliti ingin melakukan penelitian malaria di wilayah
tersebut, apakah sudah terjadi Polimorfisme pada gen parasit P.falciparum
yang timbul akibat adanya gejala resisten obat sehingga kejadian malaria
tetap ada dan berulang setiap tahunnya dengan melihat pula kondisi
lingkungan dan perilaku penduduk setempat yang dapat menjadi faktor risiko
terjadinya malaria.
B. Rumusan Masalah
Pada tahun 2015 jumlah total keseluruhan penderita malaria tropika di
kabupaten Manokwari berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium yaitu
1.672 kasus dimana konstribusi kasus terbanyak berada di wilayah kerja
Puskesmas Prafi (960 kasus). Hampir setiap tahun angka kasus malaria
tropika di wilayah Puskesmas Distrik Prafi cukup tinggi di banding wilayah
puskesmas lainnya. Berdasarkan laporan bulanan dari Dinas kesehatan
Manokwari untuk tahun 2016, jumlah penderita malaria tropika pada bulan
Januari sebanyak 81 penderita, bulan Februari sebanyak 102 penderita dan
9
bulan Maret sebanyak 146 penderita. Pengobatan yang di lakukan terhadap
penderita malaria falciparum tanpa komplikasi menggunakan terapi
pengobatan lini pertama yaitu DHP Primakuin.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dibuat rumusan
masalah penelitian yaitu
1. Apakah kasus malaria di wilayah Distrik Prafi berhubungan dengan
adanya Polimorfisme gen Pfmdr1 di codon 86 pada penderita positif
malaria falciparum dengan melihat factor risiko swamedikasi dan
kepatuhan minum obat
2. Apakah aktivitas berada di luar rumah pada malam hari, pemakaian
kelambu, pemakaian obat anti nyamuk, pemakaian plapon, pemakaian
kasa pada ventilasi, jenis dinding rumah dan lingkungan sekitar rumah
adalah factor risiko kejadian malaria.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan polimorfisme
gen Pfmdr1 di codon 86 pada parasit P.falciparum dan faktor risiko kejadian
malaria di Distrik Prafi kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat.
2. Tujuan Khusus
a. Melihat besarnya variasi polimorfisme gen Pfmdr1 di codon 86 pada
43 sampel penderita malaria Tropika.
10
b. Menganalisis hubungan Swamedikasi (Pengobatan Sendiri) dengan
Polimorfisme gen Pfmdr1 di codon 86
c. Menganalisis hubungan Kepatuhan minum Obat dengan Polimorfisme
gen Pfmdr1 di codon 86
d. Menganalis faktor risiko ( aktivitas di luar rumah pada malam hari,
pemakaian kelambu, Pemakaian Obat anti nyamuk, Pemakaian Plafon
di dalam rumah, , Pemakaian kasa pada ventilasi / jendela, Jenis
dinding rumah dan lingkungan sekitar rumah) sebagai faktor risiko
kejadian malaria di Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Propinsi Papua
Barat.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dijadikan strategi
dalam upaya tindakan pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria
terutama pada bidang klinis.
2. Manfaat Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi
Pemerintah Daerah Papua Barat khususnya Kabupaten Manokwari dalam
rangka penentuan arah kebijakan program pemberantasan malaria.
11
3. Manfaat bagi Peneliti
Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti
tentang keberadaan malaria di Kabupaten Manokwari
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Penyakit Malaria
1. Epidemiologi Malaria
Pada tahun 2015 terdapat 95 negara yang wilayahnya masih memiliki
transmisi malaria. Sekitar 3,2 miliar orang - hampir setengah dari populasi
dunia beresiko malaria. Sebagian besar kasus malaria dan kematian terjadi di
sub-Sahara Afrika. Namun Asia, Amerika Latin, dan, pada tingkat lebih
rendah, Timur Tengah juga berisiko (WHO, 2016c)
Menurut data terbaru WHO (2015) memperkirakan ada 214 juta kasus
malaria pada tahun 2015 denngan 438.000 kematian. Di daerah dengan
transmisi malaria yang tinggi, anak-anak di bawah 5 sangat rentan terhadap
infeksi, penyakit dan kematian; lebih dari dua pertiga (70%) dari semua
kematian malaria terjadi pada kelompok usia ini. Antara tahun 2000 dan
2015, di bawah-5 angka kematian malaria turun 65% secara global,
menerjemahkan ke dalam sekitar 5,9 juta jiwa anak diselamatkan antara
tahun 2001 sampai 2015.
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih terjadi transmisi
malaria (Berisiko Malaria/Risk-Malaria), dimana pada tahun 2011 terdapat
422.477 kasus dan pada tahun 2012 terjadi penurunan kasus malaria positif
menjadi 417.819 kasus. Penyakit malaria salah satu penyakit menular yang
13
hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk
Indonesia. Berikut ini dapat di lihat Gambaran peta endemisitas malaria di
kabupaten dan kota di Indonesia.
Sumber : Kemenkes RI, 2016
Gambar 1 : peta endemisitas malaria di kabupaten dan kota di Indonesia
Terlihat penurunan jumlah yang sangat tajam daerah endemis tinggi
dari 17,4% pada tahun 2011 menjadi 8,8% pada tahun 2015. Dan daerah
endemis sedang juga menurun dari 18,6% tahun 2011 menjadi 17% pada
tahun 2015, serta daerah endemis rendah juga mengalami menurun yang
tajam dari 42,8% pada tahun 2011 menjadi 28,8% pada tahun 2015.
Sebaliknya daerah bebas malaria mengalami peningkatan dari 21,5% pada
tahun 2011 menjadi 45,4% pada tahun 2015. Pada RPJM 2015-2019
indikator yang pakai adalah jumlah kumulatif kabupaten/kota mencapai status
eliminasi. Saat ini terdapat 232 kabupaten/kota yang telah mencapai status
eliminasi dari 225 kabupaten / kota yang ditargetkan (Kemenkes RI, 2016).
14
2. Vektor Malaria
Nyamuk Anopheles gambiae complex adalah vektor utama malaria
Afrika sedangkan vektor utama malaria di Amerika Utara adalah A. freeborni.
Sekitar 45 spesies nyamuk Anopheles ditemukan di India dan spesies yang
berperan dalam penularan malaria di kawasan tersebut adalah A.culifacies,
A.fluviatilis, A.minimus, A. philOpinensis, A.stephensi, A.sundaicus, dan
A.leucopus. Daerah sebaran nyamuk-nyamuk tersebut berbeda-beda:
A.fluviatilis dan A.minimus ditemukan di daerah perbukitan (foot-hill region),
A.stephensi dan A.sundaicus di daerah pantai, sedangkan A. philippinensis
dan A.culifacies banyak ditemukan di dataran rendah (plains area) dan
A.stephensi adalah nyamuk Anopheles yang amat potensial menularkan
malaria di India. (Soedarto, 2011).
Sumber : WHO-SEARO, 2007 dalam Soedarto, 201.
Gambar 2. Sebaran geografis nyamuk anopheles di Asia Tenggara
15
Terdapat sekitar 20 spesies Anopheles yang ditemukan di Indonesia
merupakan nyamuk vektor yang dapat menularkan malaria antara lain adalah
A. aconitus, A. sundaicus, A. subpictus, A. balabacensis., A. hyrcanus group,
A. maculatus, A. letifer, , A. umbrosus, A. ludlowe, A. flavirostris, A. minimus,
A. nigerimus, A. farauti, A. holiensis, A. punctulatus. Empat spesies yang
banyak ditemukan dan tersebar di berbagai pulau baik di Jawa, Bali maupun
pulau-pulau lainnya adalah A.aconitus, A.sundaicus, A.maculatus, dan
A.barbirostris (Soedarto, 2011)
Gambar 3. Sebaran vektor nyamuk anopheles di Indonesia
Berdasarkan tempat berkembang biak, vektor malaria dapat
dikelompokkan dalam tiga tipe, yaitu berkembang biak di persawahan,
perbukitan/hutan dan pantai/aliran sungai. Vektor malaria yang berkembang
biak di daerah persawahan adalah An. aconitus, An. annullaris, An.
16
barbirostris, An. kochi, An. karwari, An. nigerrimus, An. sinensis, An.
tesellatus, An. vagus, An. letifer. Vektor malaria yang berkembang biak di
perbukitan / hutan adalah An. balabacensis, An. bancrofti, An. punculatus,
An. umbrosus. Sedangkan untuk daerah pantai/aliran sungai jenis vekor
malaria adalah An. flavirostris, An. koliensis, An. ludlowi, An. minimus, An.
punctulatus, An. parangensis, An. sundaicus, An. Subpictus (Arsin, 2012).
Waktu aktivitas menggigit vektor malaria yang sudah diketahui yaitu
jam 17.00-18.00, sebelum jam 24.00 (20.00-23.00), setelah jam 24.00 (00.00-
04.00). Vektor malaria yang aktivitas menggigitnya jam 17.00-18.00 adalah
An. tesselatus, sebelum jam 24.00 adalah An. aconitus, An. annullaris, An.
barbirostris, An. kochi, An. sinensis, An. vagus, sedangkan yang menggigit
setelah jam 24 adalah An. farauti, An. koliensis, An. leucosphyrosis, dan An.
Unctullatus (Arsin, 2012).
Nyamuk anopheles betina menggigit antara waktu senja dan subuh,
untuk kebiasaan makan nyamuk anopheles dapat dikelompokan yaitu
Endofagik (suka menggigit di dalam rumah), Eksofagik (suka menggigit di
luar rumah), Antropofilik (Suka menggigit manusia) dan Zoofilik (suka
menggigit binatang). Untuk kebiasaan istirahat nyamuk Anopheles dapat
dikelompokkan yaitu Endofilik (suka tinggal dalam rumah) dan Eksofilik (suka
tinggal di luar rumah) (Arsin, 2012).
17
3. Faktor Agent
Penyebab Malaria adalah parasit plasmodium yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk anopheles betina. Dikenal 5 (lima) macam spesies yaitu:
P.falciparum, P.vivax, P.ovale, P. malariae dan P.knowlesi. Parasit yang
terakhir disebutkan ini belum banyak dilaporkan di Indonesia.
Parasit plasmodium, termasuk dalam famili plasmodiae. Parasit ini
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di
dalam darah. Pembiakan seksual plasmodium terjadi dalam tubuh nyamuk,
yaitu anopheles betina. Selain menginfeksi manusia, plasmodium juga
menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Pada
manusia, plasmodium menginfeksi sel darah merah dan mengalami
pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. (Depkes RI, 2008).
Agent penyebab penyakit malaria termasuk agent hidup biologis yaitu
protozoa / plasmodium. Spesies parasit malaria yang menginfeksi manusia
yaitu P.falcifarum (Welch, 1897), P.vivax (Grassi and Feletti, 1890),
P. malariae (Laveran, 1881) dan P. ovale (Stephens,1922) (Bruce-chawaat,
1993) (Harijanto, 2000).
a. Plasmodium Falcifarum
Suatu serangan bisa diawali dengan menggigil. Suhu tubuh naik
secara bertahap kemudian tiba-tiba turun. Serangan bisa berlangsung
selama 20 – 36 jam. Penderita tampak lebih sakit dibandingkan dengan
malaria vivax dan sakit kepalanya hebat. Diantara serangan (dengan selang
18
waktu 36-72 jam), penderita biasanya merasa tidak enak badan dan
mengalami demam ringan.
b. Plasmodium Vivax
Menyebabkan malaria tertiana benigna atau sering disebut malaria
vivax. Suatu serangan bisa dimulai secara samar-samar dengan menggigil, di
ikuti berkeringat dan demam yang hilang – timbul. Dalam 1 minggu, akan
terbentuk pola yang khas dari serangan yang hilang timbul. Suatu periode
sakita kepala atau rasa tidak enak badan akan di ikuti oleh menggigil.
Demam berlangsung selama 1- 8 jam. Setelah demam reda, penderita
merasakan sehat sampai terjadi menggigil berikutnya. Pada malaria vivax,
serangan berikutnya cenderung terjadi setiap 48 jam.
c. Plasmodium Ovale
Spesies yang paling jarang dijumpai juga menyebabkan malaria
tertiana benigna atau sering disebut dengan malaria Ovale. serangan bisa
dimulai secara samar-samar dengan menggigil, di ikuti berkeringat dan
demam yang hilang – timbul. Dalam 1 minggu, akan terbentuk pola yang
khas dari serangan yang hilang timbul. Suatu periode sakita kepala atau rasa
tidak enak badan akan diikuti oleh menggigil. Demam berlangsung selama 1-
8 jam. Setelah demam reda, penderita merasakan sehat sampai terjadi
menggigil berikutnya.
19
d. Plasmodium Malariae
Spesies ini menyebabkan malaria quartana. Suatu serangan seringkali
di mulai secara samar-samar. Serangannya menyerupai malaria vivax
dengan selang waktu antara dua serangan adalah 72 jam.
4. Faktor Host
a. Umur
Diperkirakan ada sekitar 216 juta kasus malaria pada tahun 2010,
dimana sekitar 81% atau 174 juta kasus, berada di Wilayah Afrika. Di
perkirakan 655.000 kematian akibat malaria pada tahun 2010, dimana 91% di
Afrika. Sekitar 86% kematian akibat malaria secara global adalah anak-anak
di bawah usia 5 tahun (WHO, 2011). Malaria merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan kematian terutama pada
kelompok risiko tinggi yaitu bayi, balita, dan ibu hamil (Kementerian
Kesehatan, 2011).
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah
manusia, ditularkan oleh nyamuk malaria (Anopheles) betina, dapat
menyerang semua orang baik laki-laki ataupun perempuan pada semua
golongan umur dari bayi, anak-anak dan orang dewasa. Berdasarkan hasil
penelitian Petronela (2004) di kecamatan Abepura didapatkan hasil bahwa
20
kejadian malaria cenderung selalu tinggi pada kelompok umur < 1 tahun, 1-4
tahun dan 15-44 tahun dibandingkan kelompoknumur 5-14 dan > 45 tahun.
b. Jenis Kelamin
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya malaria adalah
faktor genetika dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah
respons imunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor
(Harijanto P, 2000). Beberapa faktor genetik bersifat protektif terhadap
malaria yaitu : (Zhao, Chen, Feng, Li, & Zhou, 2014)
a. Golongan darah Duffy negatif
b. Hemaglobin S yang menyebabkan sickle cell anemia
c. Thalasemia (alfa dan beta)
d. Hemoglobinopati lainnya (HbF dan HbE)
e. Defisiensi G-6-PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase)
f. Ovalositosis (di Papua New Guinea dan mungkin juga di Irian Jaya)
5. Faktor Environment
Unsur lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam
menentukan terjadinya suatu penyakit malaria. Beberapa faktor lingkungan
yang mendukung terjadinya transmisi malaria yaitu :
21
a. Lingkungan Fisik
1) Suhu
Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu
yang optimum berkisar antara 20 dan 300C. Makin tinggi suhu maka makin
pendek masa inkubasi ekstrinsik (Sporogoni) dan sebaliknya makin rendah
suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Hasil penelitian yang di
lakukan oleh Zhao et al. (2014) di hasilkan bahwa suhu antara 24-25° C atau
21-23° C terdeteksi sebagai suhu optimal untuk transmisi malaria.
2). Kelembaban Udara
Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek umur nyamuk,
meskipun berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan
batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada
kelembaban yang lebih tinggi, nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering
menggigit.
3). Curah Hujan
Pada umumnya hujan akan mempermudah perkembangan nyamuk
dan terjadinya epidemic malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada
jenis dan curah hujan, jenis vektor dan jenis perindukan. Hujan yang diselingi
panas matahari akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya
nyamuk anopheles.
22
4). Ketinggian
Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin
bertambah. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada
ketinggian diatas 2000 M jarang ada transmisi malaria.
5). Angin
Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk
yang dengan sendirinya akan mempengaruhi jumlah kontak antara nyamuk
dengan manusia.
6). Sinar Matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk
berbeda –beda. An.sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh,
an.hyrcanus sp dan an.pinculatus sp lebih menyukai tempat terbuka dan
an.barbirostis dapat hidup baik ditempat teduh maupun yang terang.
7). Arus Air
An.barbirostis lebih menyukai perindukan yang airnya statis atau
mengalir lambat sedangkan an.minimus lebih menyukai aliran yang deras
dan an.letifer lebih menyukai aliran yang tergenang.
b. Lingkungan kimiawi
Lingkungan ini yang baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam
dari tempat perindukan. Sebagai contoh an. sundaicus tumbuh optimal pada
air payau yang kadar garamnya 12 -18 % dan tidak berkembang pada kadar
23
garam 40% ke atas. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula perindukan
an. sundaicus dalam air tawar. Sedangkan An. Letifer dapat hidup di tempat
yang asam / pH rendah. An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang
kadar garamnya 12 – 18 % dan tidak berkembang pada kadar garam 40%
keatas. Namun di Sumatra Utara ditemukan pula perindukan An.sundaicus
dalam air tawar (Harijanto, P.N, 2000).
c. Lingkungan Biologik
Segala unsur flora dan fauna yang berada di sekitar manusia termasuk
lingkungan biologi, antara lain meliputi berbagai mikroorganisme patogen dan
tidak patogen, berbagai binatang dan tumbuhan yang mempengaruhi
kehidupan manusia, fauna sekitar manusia yang berfungsi sebagai vektor
penyebab penyakit menular (Noor, 2004).
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lainnya
dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena dapat melindungi dari
serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva
seperti ikan kepala timah, (panchax sp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain
akan mempengaruhi populasi nyamuk disuatu daerah. Adanya ternak seperti
sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada
manusia (Cattle Barier), apabila ternak tersebut dikandangkan dekat rumah
(Depkes, 2003).
24
d. Lingkungan sosial budaya
Lingkungan sosial budaya merupakan bentuk kehidupan sosial,
budaya, ekonomi, politik, sistem organisasi serta peraturan yang berlaku bagi
setiap individu yang membentuk masyarakat tersebut, serta kebiasaan hidup
sehat pada masyarakat setempat, kepadatan penduduk, kepadatan rumah
tangga, dan berbagai sistem kehidupan sosial lainnya (Noor, 2004).
Lingkungan sosial budaya lainnya adalah tingkat kesadaran masyarakat akan
bahaya malaria. Tingkat kesadaran ini akan mempengaruhi kesediaan
masyarakat untuk memberantas malaria, antara lain dengan menyehatkan
lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan
menggunakan obat nyamuk. Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan
bendungan, pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman
baru / transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang
menguntungkan penularan malaria (man - made malaria).
6. Diagnosa Penyakit Malaria
Diagnosa penyakit malaria terdiri atas diagnosa klinis dan diagnosa
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium :
a. Diagnosa Klinis
Gambaran khas dari penyakit malaria adalah adanya demam yang
periodik, pembesaran limpa dan anemia (turunnya kadar haemoglobin dalam
darah ).
25
1. Demam
Biasanya sebelum timbul demam, penderita malaria akan mengeluh lesu,
sakit kepala, nyeri pada tulang dan otot, kurang nafsu makan, rasa tidak enak
pada perut, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin dipunggung.
Umumnya keluhan seperti ini timbul pada malaria yang disebabkan oleh
P.vivax dan P.ovale, sedangkan pada malaria yang disebabkan oleh
P.falciparum dan P.malariae, keluhan-keluhan tersebut tidak jelas. Serangan
demam yang khas pada malaria terdiri dari 3 stadium. Berikut dipaparkan
stadium demam yang khas pada malaria :
1.a. Stadium Menggigil
Dimulai dengan perasaan kedinginan hingga menggigil. Penderita sering
membungkus badannya dengan selimut atau sarung. Pada saat menggigil,
seluruh tubuhnya bergetar, denyut nadinya cepat tetapi lemah, bibir dan jari-
jari tangannya biru serta kulitnya pucat. Pada anak-anak sering disertai
dengan kejang - kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam
yang diikuti dengan meningkatnya suhu badan.
1.b. Stadium Puncak Demam
Penderita yang sebelumnya merasa kedinginan berubah menjadi panas
sekali. Wajah penderita merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar,
frekuensi pernapasan meningkat, nadi penuh dan berdenyut keras, sakit
kepala semakin hebat, muntah- muntah, kesadaran menurun sampai timbul
26
kejang ( pada anak-anak ). Suhu badan bisa mencapai 410C. Stadium ini
berlangsung selama 2 jam atau lebih yang diikuti dengan keadaan
berkeringat.
1.c. Stadium Berkeringat
Penderita berkeringat banyak diseluruh tubuhnya hingga tempat tidurnya
basah. Suhu badan turun dengan cepat, penderita merasa sangat lelah dan
sering tertidur. Setelah bangun dari tidurnya, penderita akan merasa sehat
dan dapat melakukan pekerjaan seperti biasa padahal sebenarnya penyakit
ini masih bersarang dalam tubuh penderita. Stadium ini berlangsung 2
sampai 4 jam.
2. Pembesaran Limpa
Pembesaran limpa merupakan gejala khas pada malaria kronis atau
menahun. Limpa menjadi bengkak dan terasa nyeri. Limpa membengkak
akibat penyumbatan oleh sel-sel darah merah yang mengandung parasit
malaria. Lama-lama, konsistensi limpa menjadi keras karena jaringan ikat
pada limpa semakin bertambah. Dengan pengobatan yang baik, limpa
berangsur normal kembali.
3. Anemia
Pada penyakit malaria, anemia atau penurunan kadar hemoglobin darah
sampai dibawah nilai normal disebabkan penghancuran sel darah merah
27
yang berlebihan oleh parasit malaria. Selain itu, anemia timbul akibat
gangguan pembentukan sel darah merah di sum - sum tulang. Gejala
anemia berupa badan yang terasa lemas, pusing, pucat, penglihatan kabur,
jantung berdebar-debar dan kurang nafsu makan. Diagnosis anemia
ditentukan dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dalam darah. Anemia
yang paling berat adalah anemia yang disebabkan oleh P.falciparum.
b. Diagnosa Laboratorium
Untuk dapat melihat adanya parasit di dalam darah penderita, perlu
dibuat sediaan darah malaria (SD). Selanjutnya diwarnai dengan pewarnaan
giemsa. SD ditetesi minyak imersi dan diperiksa di bawah mikroskop
menggunakan lensa objektif 100x. Jika ditemukan parasit pada pemeriksaan,
penderita dinyatakan positif malaria. Manifestasi klinis malaria dapat berupa
malaria tanpa komplikasi dan malaria berat. Diagnosis malaria ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
laboratorium. Sedangkan untuk malaria berat diagnosis ditegakkan
berdasarkan kriteria WHO. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan
pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopis atau uji diagnostik cepat
(Rapid Diagnostic Test /RDT) (Kemenkes RI, 2011).
7. Pengobatan Malaria
ACT direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk
malaria disebabkan oleh P. falciparum adalah parasit plamodium yang paling
28
berbahaya menginfeksi manusia. Pada tahun 2011, 79 negara dan wilayah
telah mengadopsi ACT sebagai pengobatan lini pertama untuk P. falciparum
malaria (WHO, 2012).
Salah satu tantangan terbesar dalam upaya pengobatan malaria di
Indonesia adalah terjadinya penurunan efikasi pada penggunaan beberapa
obat anti malaria, bahkan terdapat resistensi terhadap klorokuin. Hal ini dapat
disebabkan antara lain oleh karena penggunaan obat anti malaria yang tidak
rasional. Sejak tahun 2004 obat pilihan utama untuk malaria falciparum
adalah obat kombinasi derivat Artemisinin yang dikenal dengan
Artemisininbased Combination Therapy (ACT). Kombinasi artemisinin dipilih
untuk meningkatkan mutu pengobatan malaria yang sudah resisten terhadap
klorokuin dimana artemisinin ini mempunyai efek terapeutik yang lebih baik.
(Kemenkes RI, 2012).
Diagnosis dan pengobatan malaria dini dapat mengurangi angka
kesakitan dan mencegah kematian. Hal ini juga memberikan kontribusi untuk
mengurangi penularan malaria.Tersedia pengobatan yang terbaik, terutama
untuk P. falciparum malaria berbasis artemisinin terapi kombinasi (ACT).
WHO merekomendasikan bahwa semua kasus yang dicurigai malaria harus
melalui konfirmasi tes diagnostik baik mikroskop atau tes diagnostik cepat
sebelum memberikan pengobatan (WHO, 2016).
Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis
obat harus benar dan cara meminumnya harus tepat waktu yang sesuai
29
dengan acuan program pengendalian malaria. Pengobatan efektif adalah
pemberian ACT (Artemicin-based Combination Therapy) pada 24 jam
pertama pasien panas dan obat harus diminum habis dalam tiga hari. Hasil
Riskesdas 2013 menyatakan bahwa proporsi pengobatan efektif Indonesia
sebesar 45,5%. Lima provinsi tertinggi dalam mengobati malaria secara
efektif yaitu Kep. Bangka Belitung (59,2%), Sumatera Utara (55,7%),
Bengkulu (53,6%), Kalimantan Tengah (50,5%), dan Papua (50,0%)
(Kemenkes RI, 2013).
8. Pencegahan Malaria
Berbagai kegiatan yang dapat dijalankan untuk mengurangi malaria
yaitu:
a. Menghindari gigitan nyamuk malaria
Di daerah pedesaan atau pinggiran kota yang banyak sawah, rawa-rawa atau
tambak ikan, disarankan untuk memakai baju lengan panjang dan celana
panjang saat keluar rumah terutama pada malam hari, juga pada mereka
yang tinggal didaerah endemis malaria agar memasang kawat kasa dijendela
dan ventilasi rumah, serta menggunakan kelambu saat tidur. Masyarakat
dapat juga memakai obat anti nyamuk saat tidur dimalam hari untuk
mencegah gigitan nyamuk malaria.
30
b. Membunuh jentik dan nyamuk malaria dewasa
Untuk membunuh jentik dan nyamuk malaria dewasa dapat dilakukan
beberapa tindakan berikut ini :
b.1. Penyemprotan rumah
Sebaiknya penyemprotan rumah-rumah didaerah endemis malaria dengan
insektisida dilaksanakan 2 kali dalam setahun dengan interval waktu 6 bulan.
b.2. Larvaciding
Larvaciding merupakan kegiatan penyemprotan rawa-rawa yang potensial
sebagai tempat perindukan nyamuk malaria.
b.3. Biological control
Biological control adalah kegiatan penebaran ikan kepala timah dan ikan
guppy digenangan – genangan air yang mengalir dan persawahan. Ikan-ikan
tersebut berfungsi sebagai pemangsa jentik-jentik nyamuk malaria.
c. Mengurangi tempat perindukan nyamuk malaria
Tempat perindukan nyamuk malaria bermacam-macam, tergantung spesies
nyamuknya. Didaerah endemis malaria, masyarakatnya perlu menjaga
kebersihan lingkungan. Tambak ikan yang kurang terpelihara harus
dibersihkan, parit-parit disepanjang pantai bekas galian yang terisi air payau
harus ditutup, bekas roda yang tergenang air atau bekas kaki hewan pada
31
tanah berlumpur yang berair harus segera ditutup untuk mengurangi tempat
perkembangbiakan larva nyamuk malaria.
d. Pemberian obat pencegahan malaria
Pemberian obat pencegahan (profilaksis) malaria bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi, serta timbulnya gejala-gejala penyakit malaria. Orang yang
akan berpergian ke daerah-daerah endemis malaria harus minum obat anti
malaria sekurang-kurangnya seminggu sebelum keberangkatannya sampai 4
minggu setelah orang tersebut meninggalkan daerah endemis malaria.
B. Tinjauan Umum Nyamuk Anopheles
1. Perilaku Hidup dan Berkembang biak
Nyamuk anopheles betina mempunyai kemampuan untuk memilih
tempat perindukan (Breeding Place) atau tempat berkembang biak sesuai
dengan kesenangannya. An.sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh,
An.hyrcanus sp dan An.pinculatus sp lebih menyukai tempat terbuka dan
An.barbirostis dapat hidup baik ditempat teduh maupun yang terang.
An.barbirostis lebih menyukai perindukan yang airnya statis atau mengalir
lambat sedangkan An.minimus lebih menyukai aliran yang deras dan
an.letifer lebih menyukai aliran yang tergenang.
32
2. Perilaku Mencari Darah
Di dalam mencari darah nyamuk anopheles mempunyai beberapa
sifat yaitu :
a. Dikaitkan dengan waktu
Nyamuk anopheles pada umumnya aktif mencari darah pada waktu
malam hari. Perilaku nyamuk ini ada yang mulai mengigit senja hingga
tengah malam dan ada pula yang mulai menggigit mulai tengah malam
hinga menjelang pagi.
b. Dikaitkan dengan tempat
Kebiasaan menggigit dari nyamuk anopheles betina dewasa terbagi 2
yaitu ada yang menggigit mangsa diluar rumah (eksofagik) dan ada
yang menggigit mangsa didalam rumah (endofagik).
c. Dikaitkan dengan sumber darah
Kebiasaan menggigit nyamuk ada yang sifatnya suka mencari darah
manusia (antrofilik) dan ada yang sifatnya suka mencari darah hewan
(zoofilik).
3. Perilaku Istirahat
Pada umumnya nyamuk beristirahat pada tempat teduh, lembab dan
aman. Setiap spesies nyamuk mempunyai perilaku istirahat yang berbeda-
beda. An.aconitus hanya beristirahat hinggap ditempat dekat tanah,
33
sedangkan An.sundaicus di tempat-tempat yang lebih tinggi. Pada waktu
malam ada nyamuk masuk kedalam rumah hanya untuk menghisap darah
lalu keluar dan ada pula sebelum maupun sesudah menghisap darah
hinggap didinding untuk beristirahat terlebih dahulu (Depkes RI,2000).
Nyamuk mempunyai 2 cara beristirahat yaitu :
a. Istirahat yang sebenarnya yaitu selama waktu menunggu proses
perkembangan telur
b. Istirahat sementara Yaitu pada waktu sebelum dan sesudah mencari
darah.
C. Tinjauan Umum Plasmodium Falciparum
P. falciparum adalah protozoa parasit, salah satu spesies plasmodium
yang menyebabkan penyakit malaria pada manusia. Protozoa ini masuk pada
tubuh manusia melalui nyamuk Anopheles betina. P.falciparum
menyebabkan infeksi paling berbahaya dan memiliki tingkat komplikasi dan
mortalitas malaria tertinggi.
1. Plasmodium falciparum Penyebab Malaria Tropika
Masing-masing spesies plasmodium menyebabkan infeksi malaria
yang berbeda. P. vivax menyebabkan malaria vivax / tertiana, P.falciparum
menyebabkan malaria falciparum / tropika, Plasmodium malariae
menyebabkan malaria malariae / quartana, dan P. ovale menyebabkan
malaria ovale (Prabowo. A, 2004).
34
2. Karakteristik genom Plasmodium falciparum.
P.falciparum memiliki genom yang berukuran 22,8 Mega basa (Mb)
yang tersebar pada 14 kromosom yang masing-masing berukuran sekitar
0,643-3,29 Mb. Jumlah gen yang terdapat dalam kromosom P.falciparum
adalah sebanyak 5.300 gen yang mengkode berbagai protein (Wahyuniati,
2016). Gen Pfmdr1 terletak pada kromosom 5 parasit P. falciparum dimana
pada kromosom 5 ini terdapat 329 gen salah satunya adalah gen Pfmdr1.
Pada kromososm 5 ini juga terdapat 311 protein salah satunya adalah protein
Pgh1 dimana protein ini di sandi oleh gen Pfmdr1.
3. Siklus Hidup Plasmodium falciparum
Menurut Good (2007) dalam Roihatul (2012) bahwa plasmodium
mempunyai siklus hidup yang lebih kompleks, karena selain terjadi
pergantian generasi seksual dan aseksual juga mengalami pergantian
hospes. Terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang berlangsung pada
nyamuk Anopheles betina, dan siklus aseksual yang berlangsung pada
manusia. Siklus hidup pada manusia terdiri dari fase exo-erithrocytic di dalam
parenkim sel hepar dan fase erithrocytic schizogoni.
a. Siklus Seksual di dalam Tubuh Nyamuk
Fase Seksual terjadi pada lambung nyamuk. Segera setelah nyamuk
anopheles betina menghisap darah penderita malaria, gametosit jantan akan
mengeluarkan 4-8 flagel. Dengan flagel, gametosit jantan bergerak menuju
35
ke gametosit betina dan membuahinya. Hasil fertilisasi bergerak menembus
dinding lambung dan membentuk kista sepanjang dinding lambung nyamuk.
Bila kista pecah akan keluar sporozoit yang akan masuk ke kelenjar liur
nyamuk dan siap menginfeksi manusia. Rentang waktu antara masuknya
gametosit sampai terbentuknya sporozoit adalah 1-2 minggu, tergantung
spesies dan suhu sekitarnya (Kemenkes RI, 2011).
b. Siklus Aseksual di dalam Tubuh Manusia
1. Fase Hati
Bila nyamuk anopheles betina yang infektif menggigit manusia, maka
parasit malaria akan ditularkan ke orang tersebut. Parasit mengikuti sirkulasi
darah dan masuk ke dalam sel hati. Dalam waktu 7-21 hari parasit akan
tumbuh dan berkembang biak, sehingga memenuhi seluruh sel hati.
Selanjutnya sel hati pecah dan parasit masuk ke aliran darah, menginfeksi
sel darah merah. Hal ini berlaku untuk infeksi P. falciparum dan P. malariae.
Pada infeksi P. vivax dan P. ovale, sejumlah parasit tetap berada dalam hati
dan tidak berkembang biak (dorman).
Parasit yang dorman ini dapat menyebabkan kekambuhan pada
pasien dengan infeksi P. Vivax dan P. Ovale.
2. Fase Sel Darah Merah
Fase ini merupakan fase aseksual. Pada saat merozoit dalam sel hati
pecah, maka akan membebaskan tropozoit yang selanjutnya menginfeksi sel
36
darah merah. Tropozoit akan terus mengalami perkembangan menjadi
skizon. Skizon akan berkembang menjadi merozoit dan pecah membebaskan
tropozoit. Siklus ini akan berlanjut sampai 3 kali.
Kemudian sebagian Merozoit akan berkembang menjadi bentuk
gametosit dan bila terhisap oleh nyamuk Anopheles sp betina siap
melakukan perkembangbiakan seksual di dalam tubuh nyamuk (Kemenkes
RI, 2011). Berikut ini dapat di lihat gambar siklus hidup parasit P.falciparum
yang terdiri dari fase seksual dan fase aseksual
38
4. Diagnosis Plasmodium Falciparum
Untuk menetapkan tindakan dan pengobatan malaria tropika maka
diagnosis malaria harus dipastikan lebih dahulu, baik secara klinis maupun
secara laboratoris. Di dalam sel darah merah penderita malaria, P.falciparum
dapat ditemukan dalam bentuk cincin, trofozoit, skizon dan bentuk
gametosit yang memiliki cri-ciri khas tertentu.
Gambar 5 : Stadium Parasit P.falciparum (Sumber
Sumber : Kemenkes RI, 2011
Gambar 5 : Stadium Parasit Plasmodium Falciparum
39
5. Pengobatan Malaria Plasmodium Falciparum
a. Pengobatan Lini Pertama
Pengobatan Lini Pertama - 1
Saat ini pada program malaria untuk pengobatan lini pertama - 1
malaria falciparum digunakan obat Artemisinin Combination Therapy (ACT)
yaitu: Artesunat - Amodiakuin + Primakuin atau Dihydroartemisinin -
Piperakuin + Primakuin. Obat program yang tersedia saat ini adalah sediaan
artesunate – amodiaquin dan dihydroartemisinin – piperaquin. Setiap
kemasan artesunate – amodiaquin terdiri dari 2 blister, yaitu blister
amodiakuin 200 mg ( setara amodiakuin basa 153 mg) 12 tabelt dan blister
artesunat 50 mg 12 tablet. Obat diberikan selama 3 hari dengan dosis
tunggal harian amodiakuin basa 10 mg/kg BB dan artesunat 4 mg/kg BB,
primakuin 0,75 mg/kg BB.
Sebaiknya obat di berikan sesuai dengan berat badan agar lebih tepat
sehingga tidak timbul efek samping berupa mual, muntah dan sakit kepala.
Dosis pemberian berdasar berat badan yaitu Amodiakuin base 10 mg/kg BB,
Artesunat 4 mg/kg BB dan Primakuin 0,75 mg/kg BB. Jika tidak
memungkinkan di berikan berdasarkan berat badan, obat dapat diberikan
berdasarkan golongan umur sesuai dengan tabel berikut ini
40
Tabel 1 . Pengobatan lini pertama - 1 malaria falciparum dengan
Artesunat - amodiakuin + primakuin berdasarkan umur.
Hari Jenis Obat
Jumlah tabelt per hari menurut kelompok umur
0-1 bulan 2-11 bulan 1-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun >15 tahun
1 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Primaquin - - ¾ 1 ½ 2 2-3
2 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
3 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Pengobatan Lini Pertama - 2
Dosis pemberian berdasar berat badan yaitu DHA : 2 – 4 mg / kg BB.
Piperakuin : 16 – 32 mg / kg BB dan Primakuin : 0,75 mg / kg BB. Jika tidak
memungkinkan di berikan berdasarkan berat badan, obat dapat diberikan
berdasarkan golongan umur sesuai dengan tabel berikut ini :
41
Tabel 2 . Pengobatan lini pertama - 2 malaria falciparum dengan
DHP (Dihydroartemisinin Piperakuin + Primakuin) berdasarkan umur.
Hari Jenis Obat
Jumlah tabelt per hari menurut kelompok umur
0-1
bulan
2-11
bulan
1-4
tahun
5-9
tahun
10-14
tahun
>15
tahun
1 DHP ¼ ½ 1 1 ½ 3 3 – 4
Primaquin ¼ ½ ¾ 1 ½ 2 2-3
2-3 DHP ¼ ½ 1 1 ½ 2 3-4
b. Pengobatan Lini Kedua
Pengobatan lini kedua di berikan jika pengobatan lini pertama tidak
efektif (parasit seksual tidak berkurang atau terjadi rekrudesensi). Pemberian
obat lini kedua terdiri dari obat Kina + Doksisiklin atau tetrasiklin + Primakuin.
1. Kina
Di Indonesia setiap tablet kina mengandung 200 mg kina fosfat atau
sulfat. Kina diberikan per oral 3x sehari dengan dosis 10 mg/kgBB/kali selama
7 hari. Dosis maksimal pemberian kina pada penderita dewasa adalah 9 tablet
/ hari.
2. Doksisiklin
Doksisiklin tersedia dalam bentuk tablet atau kapsul yang
mengandung 50 mg dan 100 mg Doksisiklin HC1. Doksisiklin diberikan 2 x
sehari selama 7 hari dengan dosis dewasa 4 mg/kgBB/ hari, sedangkan dosis
42
anak umur 8-14 tahun adalah 2 mg/kgBB/har.i Bila Doksisiklin tidak ada dapat
diganti dengan Tetrasiklin. Doksisiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil atau
anak berumur di bawah 8 tahun.
3. Tetrasiklin
Obat ini dikemas sebagai kapsul yang mengandung 250 mg atau 500
mg Tetrasiklin HC1. Obat diberikan 4x sehari selama 7 hari dengan dosis 4-5
mg/kgBB/kali. Tetrasiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak
berumur di bawah 8 tahun.
4. Primakuin
Obat ini diberikan seperti pemberian pada lini pertama. Pemberian obat
sebaiknya berdasar berat badan, namun jika tidak memungkinkan obat dapat
diberikan berdasar golongan umur. Dosis pemberian Primakuin pada orang
dewasa adalah 3 tablet.
D. Tinjauan Tentang Faktor Risiko Kejadian Malaria
1. Aktifitas Berada di Luar Rumah Pada Malam Hari
Pada umumnya nyamuk anopheles lebih senang menggigit pada
malam hari. Perilaku nyamuk anopheles dalam mencari darah (feeding
places) terbagi berdasarkan spesies yaitu ada nyamuk yang aktif menggigit
mulai senja hari hingga menjelang tengah malam dan ada nyamuk yang aktif
43
menggigit mulai tengah malam sampai pagi hari. Aktifitas menggigit nyamuk
anopheles berlangsung sepanjang malam sejak matahari terbenam yaitu
pukul 18.30 – 22.00 ( Pranoto,dkk, 1980 dalam Lario et al. (2016) ).
Penelitian yang di lakukan di Tentena poso menunjukan bahwa
perilaku masyarakat yaitu kebiasaan beraktifitas diluar saat malam hari
adalah salah satu Faktor Risiko terkena penyakit malaria sebesar 6,891 kali
dibandingkan dengan tidak keluar pada malam hari (Lario et al., 2016).
Harijanto (2000) bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan
(berkebun, nelayan dan buruh yang bekerja pada malam hari) dengan
kejadian malaria. Adanya Kebiasan berada di luar rumah pada malam hari
merupakan faktor risiko untuk tergigit nyamuk anopheles penyebab malaria
terutama dari nyamuk golongan eksofili golongan nyamuk yang senang
tinggal diluar rumah dan golongan eksofagi yaitu golongan nyamuk yang
suka menggigit diluar rumah.
2. Pemakaian Kelambu
Kelambu merupakan alat yang telah digunakan sejak dahulu kala.
Sesuai persyaratan Depkes (1983) kelambu yang baik yaitu memiliki jumlah
lubang per cm antara 6 - 8 dengan diameter 1,2 - 1,5 mm. Ada dua jenis
kelambu yang sering digunakan masyarakat yaitu kelambu yang tidak
menggunakan insektisida dan kelambu yang dicelup dengan insektisida.
44
WHO (World Health Organization) telah menganjurkan pengembangan
metode alternatif pemberantasan vektor malaria yang lebih efisien dari
penyemprotan yaitu dengan penggunaan kelambu berinsektisida permetrin.
Menurut Shreck dan Self, permetrin adalah insektisida sintetik yang bekerja
secara kontak langsung atau lewat saluran pencernaan. Pemakaian dosis
rendah yang diresapkan pada kelambu sangat baik untuk membunuh
nyamuk dan tidak berbahaya bagi manusia. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Ahmas (2009) di Kepulauan Riau di dapatkan bahwa responden yang
tidak menggunakan kelambu pada waktu tidur malam beresiko menderita
malaria sebesar 2,3 kali dibanding yang menggunakan kelambu.(A Arsunan, Nasir, & Nawi, 2013)
Hasil penelitian lainnya di dapatkan bahwa frekuensi penggunaan
kelambu adalah variabel yang memiliki korelasi kuat dengan kejadian malaria
di Kabupaten Halmahera Timur.(A Arsunan et al., 2013)
3. Pemakaian Obat Anti Nyamuk
Berbagai usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian
malaria diantaranya yaitu dengan menggunakan obat anti nyamuk. Jenis dari
obat anti nyamuk yang banyak beredar di masyarakat yaitu obat nyamuk
bakar (Fumigan), obat nyamuk semprot (Aerosol), obat nyamuk listrik
(Electrik) dan zat penolak nyamuk (Repellent).
45
3.a. Obat nyamuk bakar (Fumigan)
Salah satu jenis obat anti nyamuk yang paling banyak digunakan di
masyarakat yaitu obat nyamuk bakar. Obat nyamuk bakar ini terbuat dari
bahan tumbuhan atau bahan kimia sebagai bahan tunggal atau campuran.
Ada yang hanya menggunakan bahan d – allethrin 0,18% atau hanya
bioallethrin 0,20%, tetapi ada pula yang menggunakan campuran dua bahan
yang berbeda misalnya d- allethrin 0,24% dan propoxur 0,12% atau
campuran bioallethrin 0,06% dan diklorovinyl dimetil-fosfat 1,1%. Febrikasi
obat nyamuk ada yang berupa mosquito coil yang dibakar atau ada yang
berujud tikar yang di uapkan (vaporizing mats). Fumigan dari obat nyamuk
bakar ini dapat bersifat membunuh nyamuk yang sedang terbang atau
hinggap didinding dalam rumah atau mengusirnya pergi untuk tidak mengigit
(Sugeng J.M, 1997, Arsin , 2012 dalam (Lario et al., 2016)
3.b. Obat nyamuk semprot ( Aerosol )
Obat nyamuk semprot (Aeorosol) umumnya digunakan oleh
masyarakat perkotaan untuk mengurangi gigitan nyamuk dan mengendalikan
serangga rumah tangga seperti lalat, kecoa dan semut. Aerosol tersebut
banyak di jual di toko, pasar maupun swalayan. Macam kemasan dan berat
bersih yang dipasarkan juga sangat bervariasi dari 150 – 500 gram.
Kandungan bahan aktif pada umumnya dari kelompok sintetik pyrethroid (d -
allethrin, prolethrin, d - fenothrin, bioallethrin, esbiothrin dan transfluthrin).
46
Tetapi ada juga bahan aktif diklorvos dan diklorovinyl dimethilfosfat dari
kelompok organofosfat ( WHO, 1978 ) dan propoksur dari kelompok karbamat
( Vandekar,1975).
3.c. Obat nyamuk listrik ( Elektrik)
Elektrik adalah suatu jenis obat anti nyamuk telah dikembangkan
dengan menggunakan bantuan listrik. Jenis ini mulai banyak di pasarkan di
masyarakat terutama di supermaket. Elektrik ini berukuran 3 x 2 cm yang
terbuat dari lembar lapik (Mat) yang mengandung insektisida yang mudah di
uapkan misalnya bioallethrin, dan d – allethrin ( WHO, 1995). Bahan aktif dan
pewanginya akan dikeluarkan secara bertahap melalui proses penguapan.
Jumlah insektisida yang di keluarakan cukup untuk mencegah masuknya
nyamuk selama beberapa jam kedalam kamar. Berubahnya warna biru
menjadi putih menunjukkan bahwa bahan aktif yang dikandungnya telah
habis ( Depkes, 1983 ).
3.d. Zat penolak nyamuk ( Repellant)
Tujuan utama dari pemakaian repellent adalah untuk menolak atau
mencegah diri dari gigitan nyamuk pada senja dan malam hari menjelang
tidur dan dini hari sebelum fajar, sewaktu orang tidak lagi berlindung dalam
kelambu ( WHO Malaria Study Group, 1995 ). Bahan repellent yang biasa
digunakan oleh orang, ada yang sifatnya tradisional dari bahan tumbuhan
seperti minyak sereh dan minyak kayu putih meskipun daya tolaknya hanya
47
berkisar antara 15 – 20 menit dan ada pula berasal dari bahan kimia sintetik
seperti dietiloluamid 15% dan dimetilftalat. Repellent yang beredar sekarang
dipasaran dibuat dalam berbagai merk seperti Autan dan dalam kemasan
pemakaian yang berbeda seperti bentuk cairan oles atau krim, namun
semuanya mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai zat penolak dari
gigitan nyamuk anopheles penyebab penyakit malaria. (Santoso, Pribadi, Roekmono, Soesanto, & Zalbawi, 1992)
4. Pemakaian Plapon dalam rumah
Salah satu cara untuk menghindari masuknya nyamuk kedalam rumah
atau ruangan tertentu adalah dengan pemakain langit-langit rumah atau
Plapon. Penelitian yang di lakukan oleh Kermelita (2011) dimana hasil
penelitian menunjukkan bahwa langit-langit rumah / plafon berpengaruh
sebagai faktor risiko terhadap kejadian malaria dengan OR=3,315 dan nilai
p=0,002.
Berbeda dengan hasil penelitian yang di lakukan oleh Thaharuddin,
Soeyoko, and Sutomo (2015) di Kota Sabang menunjukkan bahwa plafon
bukan merupakan variabel yang dapat mempengaruhi kejadian rnalaria (p =
0,080). Penelitian yang lain di lakukan di Lombok Utara dimana Pemakaian
plafon tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian malaria oleh (Getas &
Zaetun, 2012a).
48
5. Pemakaian kasa pada Ventilasi
Pemakain kasa nyamuk pada ventilasi adalah salah satu cara
pencegahan agar nyamuk tidak dapat masuk kedalam rumah atau ruangan
tertentu. Kain kasa nyamuk terdiri dari beberapa jenis, yang semuanya
berfungsi untuk menghalangi masuknya serangga atau nyamuk kedalam
rumah.
Penelitian yang di lakukan oleh Babba (2007) di wilayah kerja
puskesmas hamadi kota jayapura dimana didapatkan hasil bahwa bahwa
kawat kasa yang tidak terpasang pada semua ventilasi merupakan faktor
risiko terjadinya malaria (0,04) dengan risiko terkena malaria 2,14 kali
daripada orang yang rumahnya memasang kawat kasa pada semua ventilasi
(OR : 2,14 ; 95% CI : 1,02 – 4,47). Hasil penelitian lainnya yang dilakukan
oleh Rizal, 2001 dalam Babba (2007) bahwa masyarakat yang rumahnya
tidak terlindung dari nyamuk mempunyai risiko 2,41 kali untuk tertular malaria
dibandingkan dengan rumah yang terlindung dari nyamuk. (Thaharuddin et al., 2015)
6. Jenis Dinding Rumah
Jenis dinding rumah yang rapat atau tidak berlubang, dapat
mengurangi faktor risiko dari gigitan nyamuk anopheles betina. Rumah yang
memiliki dinding terbuat dari papan kayu dan memiliki lubang memudahkan
nyamuk untuk masuk ke dalam rumah di malam hari baik untuk beristirahat
maupun untuk mencari darah. Hal ini menyebabkan penghuni rumah berisiko
49
untuk tergigit oleh nyamuk dan menderita malaria. Rumah yang dinding dan
lantainya terbuat dari kayu sehingga banyak lubang-lubang yang tidak dapat
di tutup menyebabkan kemungkinan nyamuk masuk kedalam rumah lebih
besar (Santoso et al., 1992).
Penelitian yang di lakukan oleh Suwadera (2003) bahwa ada
hubungan antara keadaan dinding / lantai rumah dengan kejadian malaria
(p=0,000), dimana rumah dengan dinding/lantai berlubang berpeluang
menderita malaria 2,74 kali dibandingkan dengan rumah yang keadaan
dinding/lantai rapat. Penelitian yang dilakukan oleh Yoga (1999) di Jepara
menyatakan bahwa penduduk dengan rumah yang dindingnya banyak
berlubang berisiko sakit malaria 18 kali di banding dengan rumah penduduk
yang mempunyai dinding rapat. (Muslimin, Arsin, & Nawi, 2011)
Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa variabel kondisi fisik
rumah merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian malaria
dengan nilai wald 4,546 dan berpengaruh 8,490 kali terhadap kejadian
malaria (Muslimin et al., 2011). Kondisi dinding rumah merupakan faktor
risiko terjadinya malaria artinya responden yang kondisi rumahnya tidak rapat
mempunyai risiko terkena malaria lebih besar dibandingkan dengan
responden yang dinding rumahnya rapat dengan OR = 2,464 (Getas &
Zaetun, 2012a).
50
7. Lingkungan Sekitar Rumah
Didalam ilmu Epidemiologi ada 3 faktor utama yang dapat
menyebabkan terjadinya malaria yaitu faktor host ( manusia ), faktor agent
( plasmodium ) dan faktor environment ( lingkungan ). Bila ke 3 faktor ini
terjadi ketidak seimbangan antara faktor satu dengan faktor lainnya, maka
keadaan inilah yang dapat menyebabkan timbulnya kejadian malaria.
Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan bendungan,
pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman baru /
transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang
menguntungkan penularan malaria (man - made malaria).
Beberapa hasil penelitian yang telah di lakukan sehubungan dengan
pengaruh lingkungan rumah atau tempat tinggal terhadap kejadian malaria
yaitu Hasil penelitian di Thailand menunjukkan bahwa rumah yang dekat
dengan tempat perkembangbiakan nyamuk menyebabkan meningkatnya
risiko penularan 2,37 kali, sedangkan di daerah hutan dimana terjadi
penularan aktif meningkat 7,19 kali. (Honrado ER, Fungladda W, 2003, Kholis
ernawati,2011).
Selain itu penelitian tentang keberadaan semak-semak di sekitar
rumah juga mempengaruhi kejadian malaria. Hasil penelitan Ahmad Saikhu
(2007) menunjukan bahwa seseorang dengan tempat tinggal yang di
sekitarnya terdapat semak-semak memiliki risiko untuk terkena malaria
sebesar 5,1 kali. (OR=5,1).
51
Penelitian Sarumpaet dan Tarigan pada tahun 2007 di Kabupaten
Karo, menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki jarak rumah dengan
tempat perindukan nyamuk < 2 km memiliki risiko terkena malaria sebesar
3,7 kali. Adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi
jumlah gigitan nyamuk pada manusia (Cattle Barier), apabila ternak tersebut
dikandangkan dekat rumah (Depkes. R.I., 2003).
E. Tinjauan Tentang Gen Pfmdr1
Gen Pfmdr1 adalah salah satu gen dari 5300 gen yang terdapat pada
parasit p.falciparum . Gen ini terletak pada chromosome 5 dari 14
chromosom yang ada pada p.falciparum. Gen Pfmdr1 menyandi protein Pgh1
pada P.falciparum dimana fungsi dari protein Pgh1 adalah sebagai pengatur
masuk keluarnya obat anti malaria pada vakuola makanan parasit falciparum.
Parasit P.falciparum dapat mengembangkan mekanisme resistensi
terhadap obat anti-malaria melalui mutasi gen yang terjadi pada parasit
tersebut, termasuk gen P.falciparum multi-drug resistance protein 1 (Pfmdr1).
Mutasi pada gen Pfmdr1 dapat terjadi pada beberapa posisi codon (Yusuf,
2015). Ada 4 codon yang menjadi titik mutasi yaitu kodon 86 (asparagin
menjadi tirosin), kodon 1034 (serin menjadi sistein), kodon 1042 (asparagin
menjadi asam aspartat), dan kodon 1246 (asam aspartat menjadi tirosin)
(Mehlotra et al., 2008). (Ruetz, Delling, Brault, Schurr, & Gros, 1996)
52
Pfmdr1 adalah resistensi Parasit P.falciparum terhadap lebih dari satu
jenis obat anti malaria (Simamora, 2013). Sejak Foote berhasil
mengidentifikasi gen Pfmdr 1, banyak penelitian yang dilakukan untuk
membuktikan hubungan mutasi gen tersebut dengan resistensi P. falciparum.
Adanya resistensi P.falciparum pada klorokuin menyebabkan
menurunnya akumulasi klorokuin dalam vakuola digesti Plasmodium
sehingga menyebabkan meningkatnya pengeluaran klorokuin dari vakuola
digesti itu. Adanya Pengeluaran klorokuin dari vakuola digesti terjadi akibat
ekspresi P-glikoprotein pada membran parasit. P-glikoprotein ini berperan
dalam memompa molekul antimalaria keluar dari vakuola digesti sehingga
tidak terjadi akumulasi. Gen yang mengkode P-glikoprotein pada P.
falciparum telah berhasil diisolasi, dikarakterisasi dan dinamakan gen pfmdr
yang merupakan sub famili dari gen ABC (ATP-binding Cassette) (Ruetz et
al., 1996).
Penelitian (Price et al., 1999) yang dilakukan di perbatasan barat
Thailand dimana P.falciparum telah menjadi resisten terhadap hampir semua
parasit. Di dapatkan bahwa terjadi mutasi pada kodon 86 yang
mengakibatkan perubahan Asn untuk Tyr dan sensitif terhadap mefloquine.
Hasil penelitian yang sama di lakukan oleh Jalousian et al. (2008) di
Iran Tenggara dimana telah terjadi mutasi gen pfmdr1 pada kodon N86Y dan
dianggap sebagai penanda resistensi obat kloroquin (CQ). Hasil Penelitian
yang di lakukan di Kenya Barat ditemukan bahwa Delapan puluh dua persen
53
parasit yang resisten terhadap kuinin membawa alel mutan pada kodon
Pfmdr1 86Y (Cheruiyot et al., 2014).
Di Wang Pha, 18 dari 40 pasien (45%) memiliki isolat yang
mengandung banyak salinan Pfmdr1 tidak ditemukan adanya mutasi
gen Pfmdr1 pada posisi N86Y, S1034C, N1042D, dan D1246Y, namun kodon
mutan Y184F ditemukan pada isolat dari 32 dari 40 pasien (80%) di Pailin
dan 12 dari 40 pasien ( 30%) (Dondorp et al., 2009).
.(Talisuna, Bloland, & d’A lessandro, 2004)F. F. Tinjauan Tentang Resistensi Obat Anti Malaria
Resistensi terhadap obat antimalaria di definisikan sebagai kemampuan
dari parasit untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan
menimbulkan gejala penyakit meskipun telah diberikan pengobatan secara
teratur baik dengan dosis standart maupun dengan dosis yang lebih tinggi yang
masih bisa ditolerir oleh pemakai obat (Talisuna et al., 2004).
Resistensi Parasit P.falciparum yang resistensi pada obat Chloroquine
(CQR) pertama kali terdeteksi pada akhir 1950-an di Asia Tenggara
(perbatasan Thailand-Kamboja) dan Amerika Selatan (Venezuela dan
Kolombia) (Mehlotra et al., 2008). Parasit yang telah resisten ini diduga
menyebar ke seluruh Asia dan Amerika Selatan, tiba di Afrika Timur (Kenya
dan Tanzania) pada akhir 1970-an dan menyebar ke seluruh benua Afrika
dalam satu dekade (Wernsdorfer & Payne, 1991).
54
Sejak tahun 1973 ditemukan pertama kali kasus resisten P. falsiparum
terhadap klorokuin di Kalimantan Timur. Sejak itu resisten terhadap klorokuin
semakin meluas bahkan pada tahun 1990 dilaporkan telah terjadi resistensi
parasit Plasmodium falsiparum terhadap klorokuin di seluruh propinsi di
Indonesia. Selain itu dilaporkan juga adanya kasus resistensi Plasmodium
falsiparum terhadap Sulfadoksin-Pirimethamin (SP) di beberapa tempat di
Indonesia. Keadaan seperti ini dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas akibat penyakit malaria. Upaya untuk menanggulangi masalah
resistensi tersebut (multiple drug resistence), maka pemerintah telah
merekomendasikan obat pilihan pengganti klorokuin dan SP terhadap
Plasmodium falsiparum dengan terapi kombinasi artemisinin (artemisinin
combination therapy). Hal ini sejalan dengan rekomendasi WHO (Depkes,
2008b).
Resistensi artemisinin muncul di perbatasan antara Thailand dan
Myanmar pada tahun 2001, tetapi baru teriidentifikasi pada tahun 2008
(WHO, 2016a). Upaya untuk menanggulangi masalah resistensi tersebut
(multiple drug resistence), maka pemerintah telah merekomendasikan obat
pilihan pengganti klorokuin dan SP terhadap Plasmodium falsiparum dengan
terapi kombinasi artemisinin (artemisinin combination therapy). Hal ini
sejalan dengan rekomendasi WHO (Depkes, 2008a).
55
Gambar 6. Malaria resisten obat anti malaria di kawasan Asia Selatan
dan Asia Tenggara (Sumber: WHO-SEARO,2007)
Pada tahun 2005 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
merekomendasikan bahwa terapi kombinasi berbasis artemisinin digunakan
sebagai pengobatan lini pertama untuk malaria falciparum di semua negara
di mana malaria adalah endemic (Ashley et al., 2014). Pada bulan Juli 2016,
telah terjadi resistensi terhadap pengobatan lini pertama untuk P. falciparum
(terapi kombinasi berbasis artemisinin, juga dikenal sebagai ACT) pada 5
negara di kawasan Mekong (Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Laos,
56
Myanmar , Thailand dan Viet Nam). Di kebanyakan tempat, pasien dengan
infeksi akan pulih sepenuhnya setelah pengobatan dengan ACT, namun di
sepanjang perbatasan Kamboja-Thailand, P. falciparum telah menjadi
resisten terhadap obat-obatan antimalaria (WHO, 2016d).(Lario et al., 2016; Simamora, 2013)
G. Tinjauan Tentang Faktor Risiko Mutasi Gen
1. Swamedikasi
Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi diartikan
sebagai pemilihan dan penggunaan obat, termasuk pengobatan herbal dan
tradisional, oleh individu untuk merawat diri sendiri dari penyakit atau gejala
penyakit (WHO, 1998). Menurut Sukasediati (1992), pengobatan sendiri
merupakan upaya yang dilakukan oleh orang awam untuk mengatasi
penyakit atau gejalanya yang dialami sendiri atau oleh orang sekitarnya,
dengan pengetahuan dan persepsinya sendiri, tanpa bantuan atau suruhan
seseorang yang ahli dalam bidang medic atau obat. Upaya pengobatan
sendiri ini dapat berupa pengobatan dengan obat modern atau obat
tradisional.
Apabila swamedikasi tidak dilakukan dengan benar maka dapat
berisiko munculnya keluhan lain karena penggunaan obat yang tidak tepat.
Swamedikasi yang tidak tepat diantaranya ditimbulkan oleh salah mengenali
gejala yang muncul, salah memilih obat, salah cara penggunaan, salah dosis,
dan keterlambatan dalam mencari nasihat/saran tenaga kesehatan bila
57
keluhan berlanjut. Selain itu, juga ada potensi risiko melakukan swamedikasi
misal efek samping yang jarang muncul namun parah, interaksi obat yang
berbahaya, dosis tidak tepat, dan pilihan terapi yang salah (BPOM RI,2014).
Penggunaan obat yang berlebihan dan tidak tepat pada pengobatan
malaria klinis memudahkan terjadinya resistensi obat (Tjitra, 2005). Penelitian
yang di lakukan di Gabon di temukan bahwa pengobatan sendiri dianggap
sebagai faktor kunci terjadinya resistensi obat antimalarial (Mawili-Mboumba
et al., 2014)
Menurunnya sensitifitas dapat timbul akibat pengobatan yang terus
menerus dan tidak adekuat, sehingga terjadi mutasi parasit, di samping itu
juga diduga dibawa dari daerah yang resisten (Emil A, 2004 dalam Santoso
SS, 1992). Tekanan obat yang terus menerus menyebabkan parasit akan
memasuki jalur metabolisme yang lain dan menyebabkan terjadinya mutasi.
Dengan demikian parasit terhindar dari pengaruh obat. Hal inilah yang
menyebabkan resistensi parasit terhadap obat antimalaria terjadi secara
perlahan-lahan (Simamora, 2013).
2. Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul
akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga
pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui
rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes R.I.,2011).
103
Tabel. 16
Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Pemakaian Kasa di Wilayah
Distrik Prafi tahun 2016.
No Pemakaian Kasa N %
1 Tidak 30 69,8
2 Ya 13 30,2
Jumlah 43 100
Sumber : Data Primer
Dari tabel 16 menjelaskan bahwa distribusi responden paling banyak
pada responden yang tidak memakai kasa dengan presentase sebesar 69,8
% dan persentase responden yang paling sedikit pada responden yang
memakai kasa sebesar 30,2 %.
m. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel jenis Dinding Rumah
Jenis dinding rumah merupakan salah satu faktor risiko dimana dapat
memudahkan nyamuk untuk masuk sehingga memungkinkan kontak antara
penghuni rumah dengan nyamuk. Distribusi responden berdasarkan Jenis
dinding rumah di wilyah Distrik Prafi dapat di lihat sebagai berikut :
104
Tabel. 17
Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Jenis Dinding Rumah
di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016.
No Jenis Dinding Rumah n %
1 Berisiko 29 67,4
2 Tidak Berisiko 14 32,6
Jumlah 43 100
Sumber : Data Primer
Dari tabel 17 menjelaskan bahwa distribusi responden paling banyak
pada jenis dinding rumah yang berisiko dengan persentase sebesar 67,4 %
dan persentase paling sedikit pada responden dengan jenis dinding rumah
yang tidak berisiko sebesar 32,6 %.
n. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Lingkungan Sekitar
Rumah
Kejadian penyakit bukanlah disebabkan oleh satu faktor saja
melainkan karena adanya beberapa faktor (Multi Causa). Ketiga komponen
tersebut saling mendukung di dalam kejadian penyakit malaria. Pada daerah
endemis malaria, faktor host dan lingkungan sangat besar pengaruhnya
didalam kejadian malaria. Berikut tabel Distribusi Responden berdasarkan
variabel Lingkungan sekitar rumah di wilayah Distrik Prafi tahun 2016 :
105
Tabel. 18
Distribusi Responden Berdasarkan Variabel
Lingkungan Sekitar Rumah di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016
No Lingkungan Sekitar Rumah n %
1 Berisiko 20 46,5
2 Tidak Berisiko 23 53,5
Jumlah 43 100
Sumber : Data Primer
Dari tabel 18 menjelaskan bahwa distribusi responden paling banyak
pada responden yang lingkungan sekitar rumahnya tidak berisiko dengan
presentase sebesar 53,5 % dan responden yang paling sedikit pada
lingkungan sekitar rumahnya berisiko dengan presentase sebesar 46,5 %.
o. Distribusi Responden berdasarkan Swamedikasi
Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi diartikan
sebagai pemilihan dan penggunaan obat, termasuk pengobatan herbal dan
tradisional, oleh individu untuk merawat diri sendiri dari penyakit atau gejala
penyakit (WHO, 1998). Berikut tabel Distribusi Responden berdasarkan
variabel Swamedikasi di wilayah Distrik Prafi tahun 2016 :
106
Tabel. 19
Distribusi Responden Berdasarkan Variabel
Swamedikasi di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016
No Swamedikasi n %
1 Ya 22 51,2
2 Tidak 21 48,8
Jumlah 43 100
Sumber : Data Primer
Dari tabel 19 menjelaskan bahwa distribusi responden paling banyak
pada responden yang melakukan Swamedikasi presentase sebesar 51,2 %
dibanding responden yang tidak melakukan swamedikasi dengan presentase
sebesar 48,8 %.
p. Distribusi Responden berdasarkan Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul
akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga
pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui
rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes RI, 2011). Berikut tabel
Distribusi Responden berdasarkan variabel Kepatuhan Minum Obat di
wilayah Distrik Prafi tahun 2016 :
107
Tabel. 20
Distribusi Responden Berdasarkan Variabel
Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016
No Kepatuhan Minum Obat n %
1 Tidak 27 62,8
2 Ya 16 37,2
Jumlah 43 100
Sumber : Data Primer
Dari tabel 20 menjelaskan bahwa distribusi responden paling banyak
pada responden yang tidak patuh minum obat dengan presentase sebesar
62,8 % dibanding responden yang patuh minum obat dengan presentase
sebesar 37,2 %.
q. Distribusi Polimorfime Gen Pfmdr1 N86Y pada Penderita Malaria
di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016
Gen Pfmdr1 adalah terjadinya mutasi pada Parasit P.falciparum dan
berdampak terjadinya resistensi terhadap lebih dari satu jenis obat anti
malaria. Berikut tabel Distribusi Polimorfime Gen Pfmdr1 N86Y pada
Penderita malaria di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016:
108
Tabel. 21
Distribusi Polimorfime Gen Pfmdr1 N86Y pada Penderita Malaria di di
Wilayah Distrik Prafi tahun 2016
No Polimorfisme Gen Pfmdr1 n %
1 N86 35 81,4
2 86Y 8 18,6
Jumlah 43 100
Sumber : Data Primer
Dari tabel 19 menjelaskan bahwa dari 43 responden yang menderita
malaria, dengan pemeriksaan PCR di dapatkan bahwa telah terjadi
polimorfisme gen Pfmdr1 dan terbanyak pada N86 (Wild Type) dengan
persentase sebesar 81,4 % dan 86Y (Mutan Type) dengan persentase
sebesar 18,6 %.
r. Distribusi Karateristik Penderita Malaria yang mengalami mutasi
gen Pfmdr1 di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016.
Dari 43 sampel penderita malaria P.falciparum didapatkan ada 8
sampel yang mengalami mutasi pada gen Pfmdr1. Pemeriksaan sampel
dilakukan dengan menggunakan tehnik pemeriksaan PCR –RFLP. Berikut
distribusi karakteristik 8 sampel penderita malaria yang mengalami mutasi
gen Pfmdr1 :
109
Tabel. 22
Distribusi Karakteristik 8 sampel penderita malaria yang mengalami
Mutasi Gen Pfmdr1 di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016
Karateristik Responden Total
6 9 11 14 18 23 31 33
Umur 0 – 5 tahun 6 – 12 tahun 13 – 18 tahun > 18 tahun
1
1
1
1
1
1
1
1
1 2 5
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
1
1
1
1
1
1
1
1
4 4
Pendidikan Belum Sekolah SD SMP SMA PT
1
1
1
1
1
1
1
1
1 1 5 1
Pekerjaan Petani Pekebun Pedagang PNS Pelajar Tidak ada
1
1
1
1
1
1
1
1
3 1
1 3
Suku
Papua Non Papua
1
1
1
1
1
1
1
1
4 4
Infeksi Malaria Mixed Tunggal
1
1
1
1
1
1
1
1
1 7
Dari tabel 22 menjelaskan bahwa dari 8 penderita yang mengalami
mutasi gen Pfmdr1, distribusi berdasarkan karakteristik umur lebih banyak
110
terjadi pada golongan umur > 18 tahun ( 5 orang ) dan paling sedikit pada
golongan umur 6 – 12 tahun ( 1 orang ). Distribusi berdasarkan karakteristik
jenis kelamin antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki peluang
yang sama untuk terjadi mutasi gen Pfmdr1 ( 4 orang ). Distribusi
berdasarkan karakteristik pendidikan lebih banyak terjadi pada penderita
yang ber pendidikan SMA ( 5 orang ). Distribusi berdasarkan karakteristik
pekerjaan lebih banyak terjadi pada penderita yang memiliki pekerjaan
sebagai petani ( 3 orang ) dan sebagai pelajar ( 3 orang ). Distribusi
berdasarkan karakteristik suku antara suku asli papua dan non papua
memiliki peluang yang sama terkena mutasi gen Pfmdr1 ( 4 orang ). Distribusi
berdasarkan infeksi parasit malaria lebih banyak mutasi terjadi pada infeksi
tunggal ( 7 orang ) dari pada infeksi mix ( 1 orang ).
s. Distribusi 8 responden yang mengalami mutasi gen Pfmdr1
berdasarkan Variabel penelitian di Wilayah Distrik Prafi tahun
2016.
Ada 8 responden yang mengalami mutasi pada gen Pfmdr1 dari 43
sampel yang diperiksa dengan menggunakan tehnik pemeriksaan PCR –
RFLP. Berikut distribusi 8 responden penderita malaria yang mengalami
mutasi gen Pfmdr1 berdasarkan variabel penelitian:
111
Tabel. 23
Distribusi 8 responden yang mengalami mutasi gen Pfmdr1 berdasarkan
Variabel penelitian di Wilayah Distrik Prafi tahun 2016.
Karateristik Responden Total
6 9 11 14 18 23 31 33
Aktifitas di luar Rumah pada Malam Hari Ya Tidak
1
1
1
1
1
1
1
1
6 2
Pemakaian Kelambu Tidak Ya
1
1
1
1
1
1
1
1
2 6
Pemakaian OAN Tidak Ya
1
1
1
1
1
1
1
1
6 2
Pemakaian Plapon Tidak Ya
1
1
1
1
1
1
1
1
6 2
Pemakaian Kasa Tidak Ya
1
1
1
1
1
1
1
1
6 2
Jenis Dinding Rumah Berisiko Tidak Berisiko
1
1
1
1
1
1
1
1
5 3
Lingkungan rumah Berisiko Tidak Berisiko
1
1
1
1
1
1
1
1
3 5
Swamedikasi Ya Tidak
1
1
1
1
1
1
1
1
7 1
Kepatuhan Minum Obat
Tidak Ya
1
1
1
1
1
1
1
1
6 2
112
Dari tabel 23 menjelaskan bahwa dari 8 penderita yang mengalami
mutasi gen Pfmdr1, lebih banyak terjadi pada responden yang beraktifitas di
luar rumah pada malam hari ( 6 orang ). Untuk variabel pemakaian kelambu,
mutasi gen Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang memakai
kelambu ( 6 orang ). Untuk variabel pemakaian obat anti nyamuk, mutasi gen
Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang tidak memakai obat anti
nyamuk ( 6 orang ). Untuk variabel pemakaian plapon rumah, mutasi gen
Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang tidak memakai plapon
dalam rumah ( 6 orang ). Untuk variabel pemakaian kasa pada ventilasi,
mutasi gen Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang tidak memakai
kasa pada ventilasi ( 6 orang ). Untuk variabel jenis dinding rumah, mutasi
gen Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang jenis dinding
rumahnya berisiko ( 5 orang ). Untuk variabel lingkungan sekitar rumah,
mutasi gen Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang lingkungan
sekitar rumahnya tidak berisiko ( 5 orang ). Untuk variabel swamedikasi,
mutasi gen Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang melakukan
swamedikasi ( 7 orang ). Untuk variabel kepatuhan minum obat, mutasi gen
Pfmdr1 lebih banyak terjadi pada responden yang tidak patuh minum obat
( 6 orang ).
113
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara masing-
masing variabel. untuk melihat besarnya independen dengan dependen
penelitian (kejadian malaria). Analisis dilakukan dengan menggunakan chi
Square Test untuk melihat besarnya nilai X2 hitung dari masing-masing
variabel independen bila dihubungkan dengan variabel dependen. Hasil
analisis tersebut adalah sebagai berikut :
a. Hubungan Aktifitas diluar rumah pada malam hari dengan
kejadian malaria.
Kebiasaan berada diluar rumah pada malam hari merupakan salah
satu faktor risiko untuk terkena penyakit malaria. Hal ini disebabkan karena
beberapa sifat dari nyamuk anopheles yaitu menggigit pada malam hari dan
bersifat eksofagik yaitu menggigit diluar rumah. Hubungan aktivitas diluar
rumah pada malam hari dengan kejadian malaria dapat di lihat pada tabel
berikut :
114
Tabel 24.
Hubungan Aktivitas berada diluar rumah pada malam hari dengan
kejadian malaria di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016
Aktivitas
Kejadian Malaria Tropika
n
%
Nilai
p
Infeksi
Mixed
Infeksi
Tunggal
N % N %
0,019
Ya 0 0 26 60,5 26 60,5
Tidak 4 9,3 13 30,2 17 39,5
j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100
Sumber : Data Primer
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah
penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang
mempunyai aktivitas di luar rumah pada malam hari yaitu sebesar 60,5 % dari
pada penderita yang tidak mempunyai aktivitas di luar rumah pada malam
hari. Hasil uji statistic dengan menggunakan uji Fishers Exact test di peroleh
nilai p = 0,019 ( p < 0,05 ) yang artinya ada hubungan aktivitas di luar rumah
pada malam hari dengan kejadian malaria Tropica.
b. Hubungan Pemakaian Kelambu dengan kejadian malaria.
Tidak memakai kelambu pada saat tidur malam merupakan salah satu
faktor risiko untuk terkena penyakit malaria. Hal ini disebabkan karena selain
115
bersifat eksofagik (menggigit diluar rumah) nyamuk anopheles juga bersifat
endofagik yaitu menggigit didalam rumah.
Hubungan Penggunaan kelambu dengan kejadian malaria dapat di
lihat pada tabel berikut :
Tabel 25.
Hubungan Pemakaian Kelambu dengan kejadian malaria di Wilayah
Distrik Prafi tahun 2016
Pemakaian
Kelambu
Kejadian Malaria Tropika
n
%
Nilai
p
Infeksi
Mixed
Infeksi
Tunggal
N % N %
0,558
Tidak 0 0 10 23,3 10 23,3
Ya 4 9,3 29 67,4 33 76,7
j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100
Sumber : Data Primer
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah
penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang memakai
kelambu yaitu sebesar 76,7 % dari pada penderita yang memakai kelambu.
Hasil uji statistic dengan menggunakan uji Fishers Exact test di peroleh nilai p
= 0,558 ( p > 0,05 ) yang artinya tidak ada hubungan Pemakaian kelambu
dengan kejadian malaria Tropica.
116
c. Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk dengan kejadian
malaria.
Tidak menggunakan obat anti nyamuk pada saat tidur malam
merupakan salah satu faktor risiko untuk terkena penyakit malaria. Hal ini
disebabkan karena selain bersifat eksofagik (menggigit diluar rumah) nyamuk
anopheles juga bersifat endofagik yaitu menggigit didalam rumah. Hubungan
Penggunaan obat anti nyamuk dengan kejadian malaria dapat di lihat pada
tabel berikut :
Tabel 26.
Hubungan Pemakaian Obat anti Nyamuk dengan kejadian malaria di
Wilayah Distrik Prafi tahun 2016
Pemakaian Obat
Anti Nyamuk
Kejadian Malaria Tropika
n
%
Nilai
p
Infeksi
Mixed
Infeksi
Tunggal
N % N %
0,558
Tidak 4 9,3 29 67,4 33 76,7
Ya 0 0,0 10 23,3 10 23,3
j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100
Sumber : Data Primer
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah
penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang tidak
memakai obat anti nyamuk yaitu sebesar 76,7 % dari pada penderita yang
memakai Obat Anti Nyamuk. Hasil uji statistic dengan menggunakan uji
117
Fishers Exact test di peroleh nilai p = 0,558 ( p > 0,05 ) yang artinya tidak ada
hubungan Pemakaian obat anti nyamuk dengan kejadian malaria Tropica.
d. Hubungan Pemakaian Plapon dengan kejadian malaria.
Salah satu cara untuk menghindari masuknya nyamuk kedalam rumah
atau ruangan tertentu adalah dengan pemakain langit-langit rumah atau
Plapon. Hubungan pemakaian Plapon dalam rumah dengan kejadian malaria
dapat di lihat pada tabel berikut :
Tabel 27.
Hubungan Pemakaian Plapon dengan kejadian malaria di Wilayah
Distrik Prafi tahun 2016
Pemakaian
Plapon
Kejadian Malaria Tropika
n
%
Nilai
p
Infeksi
Mixed
Infeksi
Tunggal
N % N %
0,045
Berisiko 1 2,3 31 72,1 32 74,4
Tidak Berisiko 3 7,0 8 18,6 11 25,6
j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100
Sumber : Data Primer
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah
penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang tidak
memakai Plapon dalam rumah yaitu sebesar 74,4 % dari pada penderita
yang memakai Plapon. Hasil uji statistic dengan menggunakan uji Fishers
118
Exact test di peroleh nilai p = 0,045 ( p < 0,05 ) yang artinya ada hubungan
Pemakaian Plapon dalam rumah dengan kejadian malaria Tropica.
e. Hubungan Pemakaian Kasa pada Ventilasi dengan kejadian
malaria.
Salah satu cara untuk menghindari masuknya nyamuk kedalam rumah
atau ruangan tertentu adalah dengan pemakaian kasa pada ventilasi udara.
Hubungan pemakaian kasa pada ventilasi dengan kejadian malaria dapat di
lihat pada tabel berikut :
Tabel 28.
Hubungan Pemakaian Kasa pada ventilasi dengan kejadian malaria di
Wilayah Distrik Prafi tahun 2016
Pemakaian Kasa
Pada Ventilasi
Kejadian Malaria Tropika
n
%
Nilai p
Infeksi
Mixed
Infeksi
Tunggal
N % N %
0,006
Berisiko 0 0,0 30 69,8 30 69,8
Tidak Berisiko 4 9,3 9 20,9 13 30,2
j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100
Sumber : Data Primer
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah
penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang tidak
memakai kasa pada ventilasi yaitu sebesar 69,8 % dari pada penderita yang
119
memakai kasa. Hasil uji statistic dengan menggunakan uji Fishers Exact test
di peroleh nilai p = 0,006 ( p < 0,05 ) yang artinya ada hubungan Pemakaian
Kasa dengan kejadian malaria Tropica.
f. Hubungan Jenis Dinding Rumah dengan kejadian malaria.
Kondisi rumah yang sifatnya terbuka merupakan salah satu faktor
risiko untuk terkena penyakit malaria. Adanya sifat dari nyamuk anopheles
yaitu bersifat endofagik (menggigit di dalam rumah) sehingga dengan kondisi
rumah yang terbuka tentunya akan memudahkan nyamuk anopheles masuk
kedalam rumah. Hubungan Kondisi rumah dengan kejadian malaria dapat di
lihat pada tabel berikut :
Tabel 29.
Hubungan Jenis Dinding Rumah dengan kejadian malaria
di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016.
Jenis Dinding
Rumah
Kejadian Malaria Tropika
n
%
Nilai
p
Infeksi
Mixed
Infeksi
Tunggal
N % N %
0,008
Berisiko 0 0 29 67,4 29 67,4
Tidak Berisiko 4 9,3 10 23,3 14 32,6
j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100
Sumber : Data Primer
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah
penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki
120
jenis dinding rumah berisiko yaitu sebesar 67,4 % dari pada responden yang
memiliki jenis dinding rumah tidak berisiko. Hasil uji statistic dengan
menggunakan uji Fishers Exact test di peroleh nilai p = 0,008 ( p < 0,05 )
yang artinya ada hubungan jenis dinding rumah dengan kejadian malaria
Tropica.
g. Hubungan Lingkungan sekitar rumah dengan kejadian malaria.
Adanya Breeding Place di sekitar rumah merupakan salah satu faktor
risiko untuk terjadinya malaria seperti daerah sawah, rawa, kolam, kebun
dan semak-semak.
Tabel 30.
Hubungan Lingkungan sekitar Rumah dengan kejadian malaria
di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016.
Lingkungan
Sekitar Rumah
Kejadian Malaria Tropika
n
%
Nilai
p
Infeksi
Mixed
Infeksi
Tunggal
N % N %
0,323
Berisiko 3 7,0 17 39,5 20 46,5
Tidak Berisiko 1 2,3 22 51,2 23 53,5
j u m l a h 4 9,3 39 90,7 43 100
Sumber : Data Primer
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, jumlah
penderita malaria tropica lebih banyak terjadi pada responden yang
Lingkungan sekitar rumahnya tidak berisiko yaitu sebesar 53,5 % dari pada
121
responden yang lingkungan sekitar rumahnya berisiko . Hasil uji statistic
dengan menggunakan uji Fishers Exact test di peroleh nilai p = 0,323
( p > 0,05 ) yang artinya tidak ada hubungan Lingkungan sekitar rumah
dengan rumah dengan kejadian malaria Tropica.
h. Hubungan Swamedikasi dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1 N86Y
Menurunnya sensitifitas dapat timbul akibat pengobatan yang terus
menerus dan tidak adekuat, sehingga terjadi mutasi parasit, di samping itu
juga diduga dibawa dari daerah yang resisten (Emil A, 2004 dalam Santoso
SS, 1992).
Tabel 31.
Hubungan Swamedikasi dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1 N86Y
di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016.
Swamedikasi
Polimorfisme Gen Pfmdr1
n
%
Nilai p 86Y N86
N % N %
0,046
Ya 7 16,3 15 34,9 22 51,2
Tidak 1 2,3 20 46,5 21 48,8
j u m l a h 8 18,6 35 81,4 43 100
Sumber : Data Primer
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, Polimorfisme
gen Pfmdr1 N86Y lebih banyak terjadi pada penderita malaria yang
melakukan swamedikasi (51,2 %) di banding penderita malaria yang tidak
122
melakukan swamedikasi (48,8 %). Hasil uji statistic dengan menggunakan uji
Fishers Exact test di peroleh nilai p = 0,046 ( p < 0,05 ) yang artinya ada
hubungan antara Swamedikasi dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1.
i. Hubungan Kepatuhan minum Obat dengan Polimorfisme Gen
Pfmdr1 N86Y
Ada tiga faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya resistensi.
Faktor tersebut adalah pertama faktor operasional misalnya dosis subterapik,
kepatuhan inang yang kurang, kedua faktor farmakologik dan ketiga adalah
faktor transmisi malaria, termasuk intensitas, drug pressure dan respon imun
inang (Simamora, 2013).
Tabel 32.
Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1
N86Y di Wilayah Distrik Prafi Tahun 2016.
Kepatuhan
Minum Obat
Polimorfisme Gen Pfmdr1
n
%
Nilai p N86 86Y
N % N %
0,688
Tidak 21 48,8 6 14,0 27 62,8
Ya 14 32,6 2 4,6 16 37,2
j u m l a h 35 81,4 8 18,6 43 100
Sumber : Data Primer
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 43 responden, Polimorfisme
gen Pfmdr1 N86Y lebih banyak terjadi pada penderita yang tidak patuh
123
minum obat (62,8 %) di banding penderita malaria yang patuh minum obat
(37,2 %). Namun Hasil uji statistic dengan menggunakan uji Fishers Exact
test di peroleh nilai p = 0,688 ( p > 0,05 ) yang artinya tidak ada hubungan
antara kepatuhan minum obat dengan Polimorfisme Gen Pfmdr1.
C. Pembahasan
Distrik Prafi merupakan salah satu distrik di Kabupaten Manokwari
yang memiliki daerah geografis berupa daerah pegunungan dengan lahan
kelapa sawit dan daerah persawahan yang dekat dengan tempat pemukiman
masyarakat. Kondisi lingkungan berupa lahan kebun sawit merupakan faktor
terhadap keberadaan resting (tempat istirahat) nyamuk, karena sinar
matahari terhalang masuk ke permukaan tanah, hal ini menyebabkan kondisi
lingkungan yang gelap, suhu rendah dan lembab suatu kondisi yang
membuat nyamuk bertahan, nyaman dan akhirnya berkembang menjadi
vektor malaria (Depkes, 2007). (AP, Ishak, & Birawida, 2013)
Hasil pengumpulan sampel dan data yang di lakukan pada bulan April
2016 sampai bulan Mei 2016 di wilayah kerja Puskesmas Prafi, di peroleh
jumlah sampel yang positif malaria Tropika sebanyak 43 sampel yang terdiri
dari dua jenis infeksi yaitu infeksi tunggal dan infeksi campuran (Mixed). Pada
penelitian ini di dapatkan bahwa lebih banyak penderita berasal dari desa
Udapi Hilir sebanyak 12 penderita. Kelompok umur yang paling banyak
menderita adalah kelompok umur > 18 tahun dan paling banyak terjadi pada
124
jenis kelamin laki-laki. Jenis pekerjaan penderita yang paling banyak terjadi
pada pekerjaan sebagai petani.
Penderita malaria Tropica yang terdiri dari 43 orang, semuanya sudah
pernah terkena malaria sebelumya. Tidak ada yang menjadi sampel
penderita baru.
1. Hubungan Kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari
dengan Kejadian Malaria
Perilaku nyamuk anopheles dalam mencari darah (Feeding Places)
terbagi berdasarkan spesies yaitu ada nyamuk yang aktif menggigit mulai
senja hari hingga menjelang tengah malam dan ada nyamuk yang aktif
menggigit mulai tengah malam sampai pagi hari. Aktifitas menggigit nyamuk
anopheles berlangsung sepanjang malam sejak matahari terbenam yaitu
pukul 18.30 – 22.00. (Pranoto 1980 dalam Lario et al. (2016)).
Aktifitas menggigit nyamuk anopheles berlangsung sepanjang malam
sejak matahari terbenam yaitu pukul 18.30 – 22.00. Perilaku nyamuk
anopheles lainnya yang merupakan faktor risiko bagi masyarakat yang
mempunyai kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari yaitu adanya
golongan eksofili yaitu golongan nyamuk yang senang tinggal diluar rumah
dan golongan eksofagi yaitu golongan nyamuk yang suka menggigit diluar
rumah. Penelitian lain yang di lakukan oleh adyana menunjukkan bahwa
perilaku menggigit cenderung eksofagik ditemukan pada An. Kochi, An.
Aconitus dan An.barbirostris dengan puncak kerapatan gigitan di An.
125
Aconitus (0,6 orang / jam) dengan puncak menggigit pada pukul 20:00
sampai 21:00. Perilaku eksofilik cenderung pecah di An. Kochi, An. Aconitus,
An. Tesselatus, An Barbirostris, An. Vagus, An.flavirostris, An. Maculatus dan
An. Indefinitus dengan kepadatan tertinggi di An.aconitus (0,9 orang / jam)
pada pukul 1:00 pagi sampai 2:00 pagi (Adyana, 2011). (Adyana, 2011; Sanaky, Arsunan, & Anwar, 2014)
Hasil penelitian yang di lakukan di Distrik Prafi di peroleh jumlah
responden penderita malaria yang mempunyai kebiasaan berada di luar
rumah pada malam hari sebanyak 26 orang ( 60,5 % ). Hasil uji statistik di
dapatkan nilai p-value=0,019, menyimpulkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari dengan
kejadian malaria. Untuk Odds Ratio (OR) = 1,308. menginterpretasikan
bahwa seseorang yang mempunyai kebiasaan berada di luar rumah pada
malam hari mempunyai risiko terkena malaria 1,3 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai kebiasan berada di luar
rumah pada malam hari. Adanya perilaku masyarakat papua ketika malam
yaitu senang duduk-duduk di luar rumah sampai larut malam dengan
kegiatan kumpul dengan teman sambil minum minuman dan makan pinang
terutama pada jenis kelamin laki-laki sehingga memberikan waktu kontak
nyamuk menjadi lebih panjang dan memungkinkan terjadi penularan. Selain
itu adanya beberapa kelompok masyarakat yang biasa melakukan pekerjaan
di kebun pada malam hari dengan alasan pada malam hari tidak panas dan
adakalanya mereka tidak lagi pulang kerumah sehingga menginap di kebun.
126
Begitu pula pada sebagian kelompok masyarakat yang bekerja sebagai
petani dimana mereka sampai sore masih berada di sawah. Tidak adanya
usaha untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk seperti dengan
menggunakan obat nyamuk oles ( Reppelent ) atau memakai lengan panjang
ketika keluar rumah pada malam hari menyebabkan mempermudah gigitan
nyamuk anopheles yang mempunyai sifat eksofili dan eksofagi.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di kelurahan
Pekaabata kabupaten Polewali Mandar di mana hasil analisis menunjukkan
bahwa ada hubungan antara kebiasaan keluar malam (p=0,000) dengan
kejadian malaria (AP et al., 2013).
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Ikrayama .B di Puskesmas Hamadi Jayapura, bahwa kebiasaan keluar rumah
pada malam hari berpeluang terkena malaria 5,54 kali dibandingkan orang
yang tidak keluar rumah pada malam hari (Babba, 2007).
Penelitian yang tidak sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
di lakukan di Kabupaten Bangka Belitung oleh Sujari (2008) dimana di
dapatkan bahwa kebiasaan keluar rumah pada malam hari menunjukkan
hubungan yang tidak bermakna. Hal yang sama pula pada penelitian yang di
lakukan di kota Ambon di mana hasil uji statistic di dapatkan nilai p = 0,619
yang menunjukan tidak ada hubungan kejadian malaria dengan kebiasaan
keluar rumah malam hari (Sanaky et al., 2014).
127
2. Hubungan Penggunaan Kelambu dengan Kejadian Malaria
Kelambu merupakan alat yang telah digunakan sejak dahulu kala.
Pemakaian kelambu merupakan salah satu tindakan protektif yang bertujuan
untuk mengurangi kontak manusia dengan nyamuk. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi pada 43 responden, di peroleh
bahwa jumlah penderita malaria lebih banyak terjadi pada responden yang
memakai kelambu pada saat tidur malam hari yaitu sebesar 76,7 % dari pada
penderita malaria yang tidak memakai kelambu pada saat tidur malam hari
(23,3%). Hasil uji statistik di dapatkan nilai p-value = 0,558, menyimpulkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan kelambu
dengan kejadian malaria.
Secara teori orang yang memakai kelambu akan terhindar dari gigitan
nyamuk anopheles sehingga dapat terhindar dari sakit malaria. Untuk lebih
mengetahui faktor risiko lain penyebab tingginya penderita malaria pada
responden yang memakai kelambu maka dilakukan crosstabs pada variabel
lainnya yaitu aktivitas diluar rumah pada malam hari, pemakaian plapon,
pemakaian kasa pada ventilasi dan jenis dinding rumah.
Hasil Crosstabs pada empat variabel di dapatkan bahwa dari 33
responden yang memakai kelambu dan menderita malaria ternyata ada 17
responden mempunyai aktivitas diluar rumah pada malam hari. Keadaan ini
tentunya merupakan factor risiko mempermudah nyamuk menggigit karena
128
adanya sifat dari nyamuk anopheles yaitu menggigit di luar rumah
( eksofagik ).
Hasil crosstabs pada variabel pemakaian plapon di dapatkan ada 25
responden yang tidak memakai atap plapon dalam rumahnya sehingga
keadaan ini dapat menyebabkan masuknya nyamuk anopheles yang memiliki
sifat endofilik yaitu nyamuk yang tempat istirahatnya di dalam rumah dan sifat
endofagik yaitu nyamuk senang menggigit di dalam rumah. Keadaan ini
tentunya dapat menyebabkan terjadinya kontak antara nyamuk dengan
manusia di dalam rumah yang tidak memiliki plapon.
Hasil crosstabs pada variabel pemakaian kasa pada ventilasi di
dapatkan ada 24 responden yang tidak memakai kasa sehingga nyamuk
dapat masuk ke dalam rumah dan dapat menyebabkan terjadinya kontak
dengan manusia. Hasil crosstabs pada variabel jenis dinding rumah di
dapatkan ada 24 responden yang rumahnya berisiko dalam hal ini dinding
rumah terbuat dari papan / kayu dan memiliki lubang. Hal ini juga
menyebabkan nyamuk dapat masuk kedalam rumah dan dapat
menyebabkan terjadinya kontak dengan manusia.
Dari hasil crosstabs dapat di ketahui bahwa faktor risiko lain pada
responden yang memakai kelambu yaitu beberapa responden mempunyai
aktivitas di luar rumah pada malam hari, rumah yang tidak memiliki plapon ,
tidak memakai kasa pada ventilasi dan jenis dinding rumah yang berisiko.
129
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di kecamatan Tanjung
Kabupaten Lombok Utara dimana hasil uji statistic di dapatkan nilai
p = 0,168 > 0,005 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara pemakaian
kelambu dengan kejadian malaria (Getas & Zaetun, 2012b). Hasil penelitian
yang sama yang di lakukan oleh Sunarsih, Nurjazuli, and Sulistiyani (2009) di
Pangkalbalam pangkalpinang di dapatkan hasil uji statistik dengan nilai
p = 0,827 > 0,005 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara pemakaian
kelambu dengan kejadian malaria.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di
pulau Kapoposang Kabupaten Pangkep oleh Muslimin et al. (2011) dimana
hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penggunaan kelambu (p=0,046)
berhubungan dengan kejadian malaria. Penelitian lain yang hasilnya tidak
sejalan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang di lakukan di Kecamatan
Kampar kiri tengah Kabupaten kampar, dimana hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor penggunaan kelambu (p=0,017) berhubungan dengan kejadian
malaria (Erdinal & Wulandari, 2006).
Hal yang sama pada penelitian yang di lakukan di Kabupaten Poso di
dapatkan bahwa pemakaian kelambu saat tidur malam hari berhubungan
dengan kejadian malaria (p=0,000). (Lario et al., 2016).
130
3. Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk dengan Kejadian
Malaria
Berbagai usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian
malaria diantaranya yaitu dengan menggunakan obat anti nyamuk. Jenis dari
obat anti nyamuk yang banyak beredar dimasyarakat yaitu obat nyamuk
bakar (Fumigan), obat nyamuk semprot (Aerosol), obat nyamuk listrik
(Electrik) dan zat penolak nyamuk (Repellent).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi pada 43
responden di peroleh jumlah responden yang tidak memakai obat anti
nyamuk pada saat tidur malam sebanyak 33 responden (76,7 %) dan
semuanya menderita malaria. Namun hasil uji statistik di dapatkan nilai p-
value = 0,558 menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pemakaian
obat anti nyamuk dengan kejadian malaria.
Secara uji statistik tidak ada hubungan pemakaian obat anti nyamuk
dengan kejadian malaria namun hasil penelitian di lapangan lebih banyak
penderita malaria di sebabkan karena tidak memakai obat anti nyamuk. Hal
ini disebabkan karena ada 10 orang responden yang memakai obat anti
nyamuk dan semuanya menderita malaria sehingga hal inilah yang
menyebabkan sehingga secara uji statistic tidak bermakna.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh
Kurniawan di Kabupaten Asmat dimana dengan Analisis bivariat di dapatkan
hasil bahwa tidak ada hubungan antara pemakaian obat anti nyamuk dengan
131
kejadian malaria dengan nilai p sebesar 1,000 atau p ≥ 0,05 (Kurniawan,
2008). (Nurlette, Ishak, & Manyullei, 2008)Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini yaitu penelitian
yang di lakukan di Pulau Kapoposang Kabupaten Pangkep di mana di
dapatkan hasil statistic dengan nilai P = 1,000 menunjukan tidak ada
hubungan pemakaian obat nyamuk dengan kejadian malaria (Muslimin et al.,
2011).
Namun lain hal dengan penelitian yang dilakukan oleh Erdinal and
Wulandari (2006) dimana hasil di dapatkan bahwa terdapat hubungan antara
penggunaan obat anti nyamuk dengan kejadian malaria berdasarkan tabulasi
silang (uji chi square) diperoleh nilai p = 0,026, ini berarti secara statistik
terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian obat anti nyamuk
dengan kejadian malaria. Dalam uji tersebut diperoleh Odds Ratio (OR) 2,3
dengan confidence interval (CI) 95 % = 1,158 – 4,564, dengan kata lain
responden tidur pada malam hari tidak memakai obat anti nyamuk
mempunyai risiko 2,3 kali untuk terkena malaria dibandingkan dengan
responden yang menggunakan obat anti nyamuk.
Penelitian lain yang tidak sejalan dengan penelitian ini adalah
penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Rijali Kecamatan Sirimau Kota Ambon
dimana hasil analisis menunjukkan ada hubungan antara penggunaan obat
anti nyamuk (p = 0,000) dengan kejadian malaria (Nurlette et al., 2008).
132
4. Hubungan Pemakaian Plapon dengan Kejadian Malaria
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi pada 43
responden diperoeh jumlah responden penderita malaria lebih banyak pada
rumah yang tidak memakai Plapon / langit-langit rumah sebanyak 32 orang
( 74,4%) di banding responden yang rumahnya memakai plapon. Hasil uji
statistik menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
pemakaian Plapon / langit – langit rumah dengan kejadian malaria dengan
nilai p-value = 0,045. (Thaharuddin, Soeyoko, & Sutomo, 2004)
Masyarakat di Distrik Prafi terdiri dari dua suku yaitu suku papua dan
non papua yang merupakan pendatang dari jawa melalui program
transmigrasi. Dari hasil penelitian di dapatkan bahwa hampir semua sampel
dari suku papua rumahnya tidak memiliki plapon yaitu sebanyak 13 orang
(86,7%) dari 15 orang penderita malaria tropika. Hai inilah salah satu faktor
yang menyebabkan nyamuk dapat masuk di rumah di tambah lagi sebagian
besar rumah penderita dekat dengan lahan kebun sawit yang merupakan
tempat istirahat / Reesting place nyamuk anopheles.
Penelitian ini sejalan dengan Hasil penelitian Getas and Zaetun
(2012b) di sekitar laguna Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok utara
didadapatkan bahwa rumah yang tidak terdapat langit-langit (kondisi rumah
yang tidak terlindungi) merupakan faktor risiko terhadap kejadian malaria
pada penghuninya dengan nilai p = 0,013 dan OR = 2,618. Penelitian lain
133
yang sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan di kota
Sabang dimana didapatkan hasil p = 0,003 bahwa terdapat hubungan
pemakaian plapon dengan kejadian malaria (Thaharuddin et al., 2004).
Berbeda dengan penelitian yang di lakukan Sari (2016) di Kecamatan
Putri Hijau Kabupaten Bengkulu Utara di mana di dapatkan hasil bahwa tidak
ada hubungan pemakaian plapon dengan kejadian malaria dengan
nilai p = 0,221. Penelitian lain yang juga tidak sejalan dengan penelitian ini
yaitu penelitian yang di lakukan penelitian di Desa Tunggulo Kecamatan
Limboto Barat Kab. Gorontalo di mana Hasil analisis data diperoleh nilai
p value = 0,630 > 0,005, hal ini berarti tidak ada hubungan antara
keberadaan plafon dengan kejadian malaria. (Ma'ruf, 2014).
5. Hubungan Pemakaian Kasa dengan Kejadian Malaria
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi pada 43
responden di peroleh jumlah responden yang tidak memakai kasa pada
ventilasi dan menderita malaria sebanyak 30 orang (69,8%) di banding
responden yang memakai kasa. Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara pemakaian kasa dengan kejadian malaria
dengan nilai p-value = 0,006.
Masyarakat Distrik Prafi khususnya pada 43 sampel penderita malaria
tropika, ada 29 orang (67,4%) memiliki rumah yang dindingnya terbuat dari
papan kayu sehinga hal inilah yang menyebabkan tidak adanya kasa pada
135
merupakan wilayah endemis malaria sehingga faktor gigitan nyamuk banyak
yang menganggap sebagai fenomena alam yang biasa dan tidak merupakan
masalah serius.
6. Hubungan Jenis Dinding Rumah dengan Kejadian Malaria
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Prafi pada 43 responden, di peroleh hasil bahwa jumlah
responden yang lebih banyak menderita malaria pada responden yang
memiliki rumah dengan jenis dinding rumah berisiko yaitu terbuat dari papan
kayu sebanyak 29 orang (67,4 %). Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding rumah dengan kejadian
malaria dengan p-value = 0,008 ( p < 0,05 ).
Rumah yang terbuat dari papan kayu tentunya berbeda kerapatan
dindingnya nya dengan rumah yang terbuat dari dinding batu / beton. Belum
lagi di tambah dengan adanya lobang pada kayu tersebut. Hal ini tentunya
dapat menyebabkan masuknya nyamuk kedalam rumah yang memiliki sifat
endophagic yaitu nyamuk yang suka menggigit di dalam rumah.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Rizal
ahmad ( 2000 ) di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Uban yang menemukan
bahwa kondisi rumah yang terbuka merupakan faktor risiko terhadap kejadian
malaria dengan besar OR = 2,41. Hasil penelitian Harmendo (2008) di
wilayah Puskesmas Kenanga Kabupaten Bangka didadapatkan bahwa
136
dinding rumah yang tidak rapat, merupakan faktor risiko terhadap kejadian
malaria pada penghuninya.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elvi Sunarsih,
dkk (2007) dimana hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan antara
jenis dinding rumah dengan kejadian malaria. Penelitian yang di lakukan olen
Yulianis ( 2006 ) di kabupaten Buru juga menyebutkan bahwa tidak ada
hubungan antara kondisi rumah dengan kejadian malaria dengan uji statistik
p = 0,553.
7. Hubungan Lingkungan sekitar rumah dengan Kejadian Malaria
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Prafi pada 43 responden, di peroleh hasil bahwa jumlah
responden yang lebih banyak menderita malaria pada responden yang
lingkungan sekitar rumahnya tidak berisiko yaitu jauh dari sawah, kebun sawit
atau sungai sebanyak 23 responden. Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara lingkungan sekitar rumah dengan
kejadian malaria dengan p-value = 0,323 ( p > 0,05 ).
Pada penelitian ini ada 23 orang responden yang memiliki lingkungan
sekitar rumah yang tidak berisiko tetapi menderita malaria. Untuk lebih
mengetahui faktor risiko lainnya penyebab terjadinya malaria maka
dilakukan crosstabs antara Lingkungan sekitar rumah dengan faktor risiko
yang berhubungan dengan malaria berdasarkan hasil uji bivariat yaitu
137
aktivitas diluar rumah pada malam hari, Pemakaian Plapon, pemakaian kasa
pada ventilasi dan jenis dinding rumah. Hasil Crosstabs pada ke empat
variabel faktor risiko di dapatkan bahwa dari 23 responden yang memiliki
lingkungan sekitar rumah yang tidak berisiko tetapi menderita malaria di
dapatkan hasil bahwa ada 12 orang yang mempunyai aktivitas di luar rumah
pada malam hari, 15 orang yang rumahnya tidak memakai plapon, 15 orang
yang tidak memakai kasa pada ventilasi dan ada 15 orang yang jenis dinding
rumahnya berisiko yaitu terbuat dari papan / kayu.
Dari hasil crosstabs dapat di ketahui bahwa faktor penyebab mengapa
responden yang lingkungan sekitar rumahnya tidak berisiko tetapi masih
terkena malaria karena adanya faktor risiko lainnya yang memungkinkan
terjadinya kontak dengan nyamuk anopheles. Adanya kebiasaan beraktivitas
di luar rumah pada malam hari yang tentunya akan mempermudah terjadinya
gigitan nyamuk anopheles yang bersifat Nocturnal yaitu aktif di malam hari
ditambah lagi dengan sifat Eksofagi (nyamuk yang suka menggigit di luar
rumah).
Begitu pula pada responden yang memiliki rumah yang berisiko yaitu
rumah yang berdinding kayu , tidak memiliki palpon dan kasa pada ventilasi
tentunya akan mempermudah masuknya nyamuk yang memiliki sifat ensofilik
(suka istirahat di dalam rumah) dan endofagik (Suka menggigit di dalam
rumah).
138
Berbeda dengan Hasil penelitian Hanani dkk (2005) di Kabupaten
Purworejo bahwa responden yang jarak rumahnya dengan breeding places
lebih dari 2 km lebih kecil risiko untuk terjadinya malaria 0.263 kali daripada
responden yang rumahnya terletak kurang dari 2 km dari breeding places.
8. Hubungan Swamedikasi dengan mutasi Gen Pfmdr1
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi di peroleh
hasil bahwa dari 43 sampel yang di periksa ada 8 sampel yang mengalami
mutasi gen Pfmdr1. Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa ada hubungan
antara Swamedikasi dengan terjadinya mutasi gen Pfmdr1 dengan p-value =
0,046 ( p < 0,05 ).
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Gabon
dimana didapatkan hasil bahwa peningkatan frekuensi P. falciparum alel wild
type pfcrt 76K dan pfmdr1 86N diamati dalam waktu singkat setelah
penarikan klorokuin. Proporsi genotipe mutan masih tinggi, terutama di
kalangan pasien yang menggunakan pengobatan sendiri dengan obat
antimalarial (Mawili-Mboumba et al., 2014).
Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis
obat harus benar, dan cara meminumnya harus tepat waktu yang sesuai
dengan acuan program pengendalian malaria. Pengobatan efektif adalah
pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas dan obat harus diminum
habis dalam 3 hari.
139
Hasil Riskesdas 2013 di temukan lima provinsi tertinggi yang
penduduknya mengobati sendiri penyakit malaria adalah Papua Barat (5,1%),
Papua (4,1%), Sulawesi Tengah (2,8%), Nusa Tenggara Timur (2,7%) dan
Maluku Utara (2,3%) (Kemenkes, 2014). Di Indonesia mendiagnosis,
mengobati, dan merawat sendiri bila sakit malaria merupakan hal yang
biasa, masyarakat telah terbiasa mengkonsumsi obat-obatan yang dapat
dibeli di warung tanpa resep dokter (Hasan, 2006) dalam (Depkes, 2008a).
Menderita malaria bagi masyarakat di distrik prafi bukan merupakan
hal yang baru lagi karena mereka sering terkena malaria. Keadaan inilah
yang menyebabkan pada saat terkena malaria, masyarakat lebih memilih
untuk mengobati sendiri penyakitnya dengan cara membeli obat di apotik.
Obat yang di konsumsi tentunya tidak sesuai dengan dosis yang tepat karena
tidak di ketahui apakah memang menderita malaria atau jika menderita
malaria tidak di ketahui jenis parasit penyebab malaria ditambah lagi obat
yang di minum tanpa memperhatikan golongan umur dan berat badan.
Hal ini tentunya akan menyebabkan obat yang di minum tidak adekuat
untuk mematikan parasit dan berdampak terhadap munculnya strain parasit
yang resisten. Di tambah lagi dengan masih adanya obat chlorokuin yang di
jual di apotik dimana untuk daerah papua pemakaian chloroquin sudah
resistensi.
Masyarakat baru akan ke pelayanan kesehatan apabila gejala sakit
yang mereka rasakan belum hilang, sehingga kadang pada saat
140
pemeriksaan mikroskopis, sulit untuk mendapatkan parasit disebabkan
karena sebelumnya penderita sudah mengkonsumsi obat duluan.
Adakalanya apabila hasil pemeriksaan mikroskopis negatif ada masyarakat
yang merasa tidak puas karena kefahaman yang kurang mereka merasa jika
sudah ke Puskesmas harus mendapatkan obat malaria sehingga tidak
kurang mereka pergi ke klinik swasta untuk memeriksakan kembali darahnya
dengan harapan agar mendapat obat. Menurunnya sensitifitas dapat timbul
akibat pengobatan yang terus menerus dan tidak adekuat, sehingga terjadi
mutasi parasit, di samping itu juga diduga dibawa dari daerah yang resisten
(Azlin, 2016).
9. Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan mutasi Gen Pfmdr1
Hasil penelitian yang dilakukan di Distrik Prafi dari 43 sampel darah
penderita yang di ambil selanjutnya di lanjutkan dengan ekstrak DNA sampel
dan di lanjutkan dengan pemeriksaan biomolekuler dengan menggunakan
metode nested PCR- RFLP, di peroleh hasil bahwa dari 43 sampel yang di
periksa ada 8 sampel yang mengalami mutasi gen Pfmdr1.
Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara kepatuhan minum obat dengan terjadinya mutasi gen
Pfmdr1 dengan p-value = 0,688 ( p > 0,05 ). Dari 8 sampel yang mengalami
mutasi pada gen Pfmdr1 ada 6 orang yang tidak patuh dalam minum obat
dan 2 orang yang patuh dalam minum obat. Hal inilah yang menyebabkan
141
sehingga hasil uji statistic didapatkan tidak ada hubungan kepatuhan minum
obat dengan mutasi gen Pfmdr1 karena patuh atau tidak patuh tetap terjadi
mutasi gen.
Salah satu faktor penyebab ketidak patuhan minum obat masyarakat
di Distrik Prafi adalah mereka tidak melanjutkan minum obat sesuai petunjuk
yang di anjurkan yaitu selama 3 hari di karenakan alasan mereka sudah
sehat dan tidak merasakan gejala lagi. Selain itu sakit malaria bagi
masyarakat di Distrik prafi sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka
sehingga ketika minum obat dan gejalanya sudah hilang mereka tidak akan
melanjutkan untuk minum obat.
Penggunaan obat yang berlebihan dan tidak tepat pada pengobatan
malaria memudahkan terjadinya resistensi obat. Minum obat yang tidak benar
antara lain kepatuhan yang kurang baik atau dosis obat yang tidak tepat
menambah peluang berkembangnya parasit yang resistensi obat (Tjitra,
2005). Penelitian yang di lakukan di Banjarnegara bahwa faktor yang
mempengaruhi kepatuhan minum obat dari penderita adalah faktor
pengetahuan dan kepercayaan terhadap pengobatan (Wuryanto, 2005).
Penelitian lainnya yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat
dengan kejadian malaria yang di lakukan di Kecamatan Biak Timur Papua
dimana hasil analisis antara variabel kepatuhan minum obat dengan
kejadian malaria diperoleh nilai p=0,013 dan OR sebesar 5,182 menunjukkan
bahwa orang yang tidak patuh minum obat mempunyai risiko terkena
142
penyakit malaria sebesar 5,182 kali lebih besar dari pada orang yang patuh
minum obat (Yawan, 2006).
D. Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini tidak dilakukan uji in Vivo sehingga tidak dapat di
ketahui efikasi obat DHP primakuin bagi penderita malaria apakah sudah
resisten atau belum.
143
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sesuai dengan hasil penelitian yang mengacu pada rumusan masalah
dan hipotesis penelitian maka dapat di simpulkan :
1. Adanya Polimorfisme gen Pfmdr1 pada codon 86 yaitu sebagai mutan type /
86Y sebanyak 8 sampel (18,6 %) dan sebagai wild type / N86 sebanyak 35
sampel (81,4 %).
2. Swamedikasi berhubungan dengan Polimorfisme gen Pfmdr1 86Y
pada parasit P.falciparum ( p = 0,046 ).
3. Kepatuhan minum obat tidak berhubungan dengan Polimorfisme gen
Pfmdr1 pada parasit P.falciparum
4. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian malaria di wilayah
Distrik Prafi ada 4 variabel yaitu aktivitas di luar rumah pada malam
hari ( p = 0,019 ), Pemakaian Plapon dalam rumah ( p = 0,045 ),
pemakaian kasa pada Ventilasi ( p = 0,006 ) dan jenis dinding rumah
( p = 0,008 )
5. Faktor risiko yang tidak berhubungan degan kejadian malaria di
wilayah Distrik Prafi ada 3 variabel yaitu pemakaian obat anti nyamuk,
pemakaian kelambu dan lingkungan sekitar rumah.
144
B. Saran
Dari hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan maka saran yang
dapat disampaikan adalah :
1. Adanya Polimorfisme gen Pfmdr1 pada codon 86 dan mengalami mutasi di 86Y
sehingga perlu segera di lakukan uji in vivo untuk mengetahui apakah
efikasi dari obat anti malaria yaitu DHP + Primaquin masih efektif atau
sudah resisten
2. Adanya hasil yang bermakna antara swamedikasi dengan mutasi gen
Pfmdr1 sehingga perlu dilakukan sosialisasi atau penyuluhan kepada
masyarakat tentang dampak dari mengkonsumsi obat tanpa ada
pemeriksaan sebelumnya dari dokter.
3. Adanya faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian malaria di
wilayah Distrik Prafi maka perlu di lakukan penyuluhan pada masyarakat
seperti tentang pentingnya pemakaian kasa dan plapon rumah dalam
rangka menghindari masuknya nyamuk ke dalam rumah
4. Perlu di lakukan penelitian lanjutan untuk melihat ada tidaknya mutasi
gen Pfmdr1 selain pada codon 86 yaitu codon 184, 1034, 1042 dan1246.
145
DAFTAR PUSTAKA
A Arsunan, A., Nasir, M., & Nawi, R. (2013). Hubungan Penggunaan Kelambu Berinsektisida dengan Kejadian Malaria di Kabupaten Halmahera Timur.
Adyana, N. W. D. (2011). Beberapa Aspek Bionomik Anopheles sp di Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 21(2 Jun).
Ahmadi, S. (2008). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Desa Lubuk Nipis Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
146
AP, A. E., Ishak, H., & Birawida, A. B. (2013). HUBUNGAN ANTARA PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN MALARIA DI KELURAHAN PEKKABATA KEC. POLEWALI KAB. POLEWALI MANDAR.
Arsin, A. A. (2012). malaria di indonesiab Tinjauan Aspek Epidemiologi. Ashley, E. A., Dhorda, M., Fairhurst, R. M., Amaratunga, C., Lim, P., Suon, S., . . . Sam, B.
(2014). Spread of artemisinin resistance in Plasmodium falciparum malaria. New England Journal of Medicine, 371(5), 411-423.
Azlin, E. (2016). Obat anti malaria. Sari Pediatri, 5(4), 150-154. Babba, I. (2007). Faktor-faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Malaria (Studi Kasus di
Wilayah Kerja Puskesmas Hamadi Kota Jayapura). program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Bloland, P. B., & WHO. (2001). Drug resistance in malaria. Cheruiyot, J., Ingasia, L. A., Omondi, A. A., Juma, D. W., Opot, B. H., Ndegwa, J. M., . . .
Okudo, C. (2014). Polymorphisms in Pfmdr1, Pfcrt, and Pfnhe1 genes are associated with reduced in vitro activities of quinine in Plasmodium falciparum isolates from western Kenya. Antimicrobial agents and chemotherapy, 58(7), 3737-3743.
Corrêa, J. D., Madeira, M. F. M., Resende, R. G., Correia-Silva, J. d. F., Gomez, R. S., Souza, D. d. G. d., . . . Silva, T. A. d. (2012). Association between polymorphisms in interleukin-17A and-17F genes and chronic periodontal disease. Mediators of inflammation, 2012.
Depkes, R. (2003). Pedoman tatalaksana kasus malaria. Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal PPM&PLP, Departemen Kesehatan RI.
Depkes, R. (2007). Vektor malaria di Indonesia. Jakarta: Ditjen PPM dan PL. Depkes, R. (2008a). Pelayanan Kefarmasian untuk Penyakit Malaria. Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian, dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Depkes, R. (2008b). Pelayanan Kefarmasian untuk Penyakit Malaria. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas Dan Klinik. Dondorp, A. M., Nosten, F., Yi, P., Das, D., Phyo, A. P., Tarning, J., . . . Lee, S. J. (2009).
Artemisinin resistance in Plasmodium falciparum malaria. New England Journal of Medicine, 361(5), 455-467.
Erdinal, S. D., & Wulandari, R. A. (2006). Faktor–faktor yang berhubungan dengan kejadian malaria di Kecamatan Kampar Kiri Tengah Kabupaten Kampar, 2005/2006. Makara Kesehatan, 10, 64-70.
Getas, I. W., & Zaetun, S. (2012a). FAKTOR RISIKO PENULARAN PENYAKIT MALARIA DI SEKITAR LAGUNA KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN LOMBOK UTARA: Online), Mataram: Poltekes Kemenkes Mataram.(http://Ipsdmataram. c om) diakses.
Getas, I. W., & Zaetun, S. (2012b). Faktor Risiko penularan penyakit malaria di sekitar Laguna Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara. Media Bina Ilmiah, 1, 6.
Harijanto, P. (2000). Malaria (Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan. Jakarta: EGC, 211.
Harmendo. (2008). FAKTOR RISIKO KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KENANGA KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
147
Hatta, M., & Smits, H. L. (2007). Detection of Salmonella typhi by nested polymerase chain reaction in blood, urine, and stool samples. The American journal of tropical medicine and hygiene, 76(1), 139-143.
Hidayat, A. (2009). Hubungan Aktifitas Keluar Rumah pada Malam Hari dan Penggunaan Kelambu dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Nongsa dan Galang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau Tahun 2009. Thesis). Program Pascasarjana FKM Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Depok.
Jalousian, F., Dalimi, A., Samiee, S. M., Ghaffarifar, F., Soleymanloo, F., & Naghizadeh, R. (2008). Mutation in pfmdr1 gene in chloroquine-resistant Plasmodium falciparum isolates, Southeast Iran. International Journal of Infectious Diseases, 12(6), 630-634.
Kemenkes, R. (2014). Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan, R. (2011). Pedoman Teknis Pemeriksaan Parasit Malaria. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Depkes RI, Jakarta.
Kermelita, D. (2011). KONDISI LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU INDIVIDU SEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN MUARA BANGKAHULU KOTA BENGKULU. Universitas Gadjah Mada.
Kim, H.-S., Okuda, Y., Begum, K., Nagai, Y., Wataya, Y., Kimura, M., & Huruta, T. (2001). Analysis of Pfmdr 1 gene in mefloquine-resistant Plasmodium falciparum. Paper presented at the Nucleic acids symposium series.
Kurniawan, J. (2008). Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku Penduduk Terhadap Kejadian Malaria Di Kabupaten Asmat Tahun 2008. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Lario, J. S. C., Bidjuni, H., & Onibala, F. (2016). Hubungan Karakteristik dan Perilaku Masyarakat Dengan Kejadian Malaria Di Rumah Sakit Sinar Kasih Tentena Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. JURNAL KEPERAWATAN, 4(1).
Ma'ruf, A. (2014). Gambaran Perilaku Masyarakat tentang Penyakit Malaria di Desa Tunggulo Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo.
Mawili-Mboumba, D., Ndong Ngomo, J., Maboko, F., Guiyedi, V., Mourou Mbina, J., Kombila, M., & Bouyou Akotet, M. (2014). Pfcrt 76T and pfmdr1 86Y allele frequency in Plasmodium falciparum isolates and use of self-medication in a rural area of Gabon. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 108(11), 729-734.
Mehlotra, R. K., Mattera, G., Bockarie, M. J., Maguire, J. D., Baird, J. K., Sharma, Y. D., . . . Fryauff, D. J. (2008). Discordant patterns of genetic variation at two chloroquine resistance loci in worldwide populations of the malaria parasit Plasmodium falciparum. Antimicrobial agents and chemotherapy, 52(6), 2212-2222.
Muslimin, I., Arsin, A., & Nawi, R. (2011). POLA SPASIAL DAN ANALISIS KEJADIAN MALARIA DI PULAU KAPOPOSANG KAB. PANGKEP TAHUN 2011.
Mutabingwa, T. K. (2005). Artemisinin-based combination therapies (ACTs): best hope for malaria treatment but inaccessible to the needy! Acta tropica, 95(3), 305-315.
148
Nurlette, F. R., Ishak, H., & Manyullei, S. (2008). Hubungan Upaya Masyarakat Menghindari Keterpaparan Nyamuk Dengan Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Rijali Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2012.
Ogbonna, A., & Uneke, C. J. (2008). Artemisinin-based combination therapy for uncomplicated malaria in sub-Saharan Africa: the efficacy, safety, resistance and policy implementation since Abuja 2000. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 102(7), 621-627.
Petronela, A. (2004). EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF MALARIA DI KECAMATAN ABEPURA PROPINSI PAPUA TAHUN-2000-2003. Diponegoro University.
Price, R., Cassar, C., Brockman, A., Duraisingh, M., Van Vugt, M., White, N., . . . Krishna, S. (1999). The pfmdr1 gene is associated with a multidrug-resistant phenotype in Plasmodium falciparumfrom the western border of Thailand. Antimicrobial agents and chemotherapy, 43(12), 2943-2949.
Ruetz, S., Delling, U., Brault, M., Schurr, E., & Gros, P. (1996). The pfmdr1 gene of Plasmodium falciparum confers cellular resistance to antimalarial drugs in yeast cells. Proceedings of the National Academy of Sciences, 93(18), 9942-9947.
Saleh, I., Handayani, D., & Anwar, C. (2014). Polymorphisms in the pfcrt and pfmdr1 genes in Plasmodium falciparum isolates from South Sumatera, Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 23(1), 3.
Sanaky, M. J., Arsunan, A., & Anwar, D. (2014). HUBUNGAN DAN PETA SEBARAN MALARIA DI KOTA AMBON TAHUN 2014 THE RELATTIONSHIP ANDASSOCIATED AND DISTRIBUTION MAP OF MALARIA IN AMBON CITY IN 2014.
Santoso, S. S., Pribadi, W., Roekmono, B., Soesanto, S. S., & Zalbawi, S. (1992). Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan penyakit malaria lima setengah tahun setelah berakhirnya penelitian di Desa Berakit, Riau Kepulauan. Buletin Penelitian Kesehatan, 20(4 Des).
Sari, F. (2016). HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN PUTRI HIJAU KABUPATEN BENGKULU UTARA. Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, 7(2).
Simamora. (2013). Resistensi Obat Malaria: Mekanisme dan Peran Obat Kombinasi Obat Antimalaria Untuk Mencegah. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 23(2), 82-91.
Sujari, S. (2008). Risk Factors relating to the incidence of Malaria at a Tin Mining Region in Central Bangka Regency of Bangka Belitung Province. Master in Environmental Health.
Sunarsih, E., Nurjazuli, N., & Sulistiyani, S. (2009). Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku Yang Berkaitan Dengan Kejadian Malaria di Pangkalbalam Pangkalpinang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 8(1), 1-9.
Suwadera, I. (2003). Beberapa Faktor Risiko Lingkungan Rumah Tangga yang Berhubungan dengan Kejadian Malaria pada Balita (Studi Kasus Kontrol di Puskesmas Kambaniru Kabupaten Sumba Timur Tahun 2002). FKM-UI.
Talisuna, A. O., Bloland, P., & d’Alessandro, U. (2004). History, dynamics, and public health importance of malaria parasit resistance. Clinical microbiology reviews, 17(1), 235-254.
149
Thaharuddin, T., Soeyoko, S., & Sutomo, A. H. (2004). LINGKUNGAN PERUMAHAN, KONDISI FISIK, TINGKAT PENGETAHUAN, PERILAKU MASYARAKAT DAN ANGKA KEJADIAN MALARIA DI KOTA SABANG (Housing Environment, Physical House Condition, Knowledge, Behaviour and Number of Malaria Occurrence in Sabang). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 11(3), 126-133.
Thaharuddin, T., Soeyoko, S., & Sutomo, A. H. (2015). LINGKUNGAN PERUMAHAN, KONDISI FISIK, TINGKAT PENGETAHUAN, PERILAKU MASYARAKAT DAN ANGKA KEJADIAN MALARIA DI KOTA SABANG (Housing Environment, Physical House Condition, Knowledge, Behaviour and Number of Malaria Occurrence in Sabang). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 11(3), 126-133.
Tjitra, E. (2005). Pengobatan malaria dengan kombinasi artemisinin. Buletin Penelitian Kesehatan, 33(2 Jun).
Wahyuniati. (2016). PERAN INTERLEUKIN-10 PADA INFEKSI MALARIA. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 15(2), 96-103.
Wernsdorfer, W. H., & Payne, D. (1991). The dynamics of drug resistance in Plasmodium falciparum. Pharmacology & therapeutics, 50(1), 95-121.
WHO. (1998). The role of the pharmacist in self-care and self-medication. Report of the 4th WHO Consultive Group on the role of the pharmacist. Geneva: World Health Organization.
WHO. (2011). World malaria report 2011. Geneva: WHO; 2011. See www. who. int/malaria/world_malaria_report_2011/en.
WHO. (2012). World malaria report: World Health Organization Geneva, Switzerland. WHO. (2015). Guidelines for the treatment of malaria: World Health Organization. WHO. (2016a). Artemisinin and Artemisinin-Based Combination Therapy Resistance. WHO. (2016b). Artemisinin and artemisinin-based combination therapy resistance: status
report. WHO. (2016c). World malaria report 2015: World Health Organization. WHO. (2016d). World malaria report 2016. Geneva: WHO. Embargoed until, 13. Wongsrichanalai, C., Pickard, A. L., Wernsdorfer, W. H., & Meshnick, S. R. (2002).
Epidemiology of drug-resistant malaria. The Lancet infectious diseases, 2(4), 209-218.
Wuryanto, M. A. (2005). Beberapa Faktor Risiko Kepatuhan Berobat Penderita Malaria Vivax (Studi Kasus di Kab. Banjarnegara). PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO.
Yawan, S. F. (2006). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak–Numfor Papua. program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Yoga, G. (1999). Studi Beberapa Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Malaria di Puskesmas Mayong I Dati II Jepara: Laporan Penelitian Studi Analitik S2 FETP UGM, Yogakarta.
Yusuf, Y. (2015). Analisis Mutasi Gen Pfmdr1 1246 pada Penderita Malaria di Mamuju Sulawesi Barat. SAINSMAT, 2(2), 185-190.
Zhao, X., Chen, F., Feng, Z., Li, X., & Zhou, X.-H. (2014). Characterizing the effect of temperature fluctuation on the incidence of malaria: an epidemiological study in
150
south-west China using the varying coefficient distributed lag non-linear model. Malaria journal, 13(1), 192.
DAFTAR PUSTAKA
Adyana, N. W. D. (2011). Beberapa Aspek Bionomik Anopheles sp di Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 21(2 Jun).
Ahmadi, S. (2008). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Desa Lubuk Nipis
Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
AP, A. E., Ishak, H., & Birawida, A. B. (2013). Hubungan antara perilaku
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dengan kejadian malaria di kelurahan pekkabata kec. Polewali kab. Polewali mandar.
Arsin, A. A. (2012). malaria di indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi. Arsin, A.A, Nasir, M., & Nawi, R. (2013). Hubungan Penggunaan Kelambu
Berinsektisida dengan Kejadian Malaria di Kabupaten Halmahera Timur.
Ashley, E. A., Dhorda, M., Fairhurst, R. M., Amaratunga, C., Lim, P., Suon,
S., Sam, B. (2014). Spread of artemisinin resistance in Plasmodium falciparum malaria. New England Journal of Medicine, 371(5), 411-423.
Azlin, E. (2016). Obat anti malaria. Sari Pediatri, 5(4), 150-154. Babba, I. (2007). Faktor-faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Malaria
(Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Hamadi Kota Jayapura). program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Bloland, P. B., & WHO. (2001). Drug resistance in malaria. BPS Manokwari. (2016). Statistik Daerah Distrik Prafi Tahun 2016. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Manokwari. Cheruiyot, J., Ingasia, L. A., Omondi, A. A., Juma, D. W., Opot, B. H.,
Ndegwa, J. M., . . . Okudo, C. (2014). Polymorphisms in Pfmdr1, Pfcrt, and Pfnhe1 genes are associated with reduced in vitro activities of quinine in Plasmodium falciparum isolates from western Kenya. Antimicrobial agents and chemotherapy, 58(7), 3737-3743.
Corrêa, J. D., Madeira, M. F. M., Resende, R. G., Correia-Silva, J. d. F., Gomez, R. S., Souza, D. d. G. d., . . . Silva, T. A. d. (2012). Association between polymorphisms in interleukin-17A and-17F genes and chronic periodontal disease. Mediators of inflammation, 2012.
Depkes, RI. (2003). Pedoman tatalaksana kasus malaria. Direktorat
Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal PPM&PLP, Departemen Kesehatan RI.
Depkes, RI. (2007). Vektor malaria di Indonesia. Jakarta: Ditjen PPM dan PL. Depkes, RI. (2008a). Pelayanan Kefarmasian untuk Penyakit Malaria.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian, dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
Depkes, RI. (2008b). Pelayanan Kefarmasian untuk Penyakit Malaria.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. Dondorp, A. M., Nosten, F., Yi, P., Das, D., Phyo, A. P., Tarning, J., . . . Lee,
S. J. (2009). Artemisinin resistance in Plasmodium falciparum malaria. New England Journal of Medicine, 361(5), 455-467.
Erdinal, S. D., & Wulandari, R. A. (2006). Faktor–faktor yang berhubungan
dengan kejadian malaria di Kecamatan Kampar Kiri Tengah Kabupaten Kampar, 2005/2006. Makara Kesehatan, 10, 64-70.
Getas, I. W., & Zaetun, S. (2012a). Faktor Resiko Penularan Penyakit Malaria
Di Sekitar Laguna Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara: Online), Mataram: Poltekes Kemenkes Mataram.
Getas, I. W., & Zaetun, S. (2012b). Faktor resiko penularan penyakit malaria
di sekitar Laguna Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara. Media Bina Ilmiah, 1, 6.
Harijanto, P. (2000). Malaria (Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis,
dan Penanganan. Jakarta: EGC, 211. Harmendo. (2008). Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kenanga Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Hatta, M., & Smits, H. L. (2007). Detection of Salmonella typhi by nested polymerase chain reaction in blood, urine, and stool samples. The American journal of tropical medicine and hygiene, 76(1), 139-143.
Hidayat, A. (2009). Hubungan Aktifitas Keluar Rumah pada Malam Hari dan
Penggunaan Kelambu dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Nongsa dan Galang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau Tahun 2009. Thesis). Program Pascasarjana FKM Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Depok.
Jalousian, F., Dalimi, A., Samiee, S. M., Ghaffarifar, F., Soleymanloo, F., &
Naghizadeh, R. (2008). Mutation in pfmdr1 gene in chloroquine-resistant Plasmodium falciparum isolates, Southeast Iran. International Journal of Infectious Diseases, 12(6), 630-634.
Kemenkes, RI. (2014). Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Kemenkes RI. (2011). Pedoman Teknis Pemeriksaan Parasit Malaria. Dirjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Depkes RI, Jakarta.
Kermelita, D. (2011). Kondisi Lingkungan Rumah Dan Perilaku Individu
Sebagai Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Kecamatan Muara Bangkahulu Kota Bengkulu. Universitas Gadjah Mada.
Kim, H.-S., Okuda, Y., Begum, K., Nagai, Y., Wataya, Y., Kimura, M., &
Huruta, T. (2001). Analysis of Pfmdr 1 gene in mefloquine-resistant Plasmodium falciparum. Paper presented at the Nucleic acids symposium series.
Kurniawan, J. (2008). Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku
Penduduk Terhadap Kejadian Malaria Di Kabupaten Asmat Tahun 2008. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Lamaka, B. (2010). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Bunobogu Kabupaten Buol Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2009. Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Lario, J. S. C., Bidjuni, H., & Onibala, F. (2016). Hubungan Karakteristik dan Perilaku Masyarakat Dengan Kejadian Malaria Di Rumah Sakit Sinar Kasih Tentena Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Keperawatan, 4(1).
Ma'ruf, A. (2014). Gambaran Perilaku Masyarakat tentang Penyakit Malaria di
Desa Tunggulo Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo.
Mawili-Mboumba, D., Ndong Ngomo, J., Maboko, F., Guiyedi, V., Mourou
Mbina, J., Kombila, M., & Bouyou Akotet, M. (2014). Pfcrt 76T and pfmdr1 86Y allele frequency in Plasmodium falciparum isolates and use of self-medication in a rural area of Gabon. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 108(11), 729-734.
Mehlotra, R. K., Mattera, G., Bockarie, M. J., Maguire, J. D., Baird, J. K.,
Sharma, Y. D., . . . Fryauff, D. J. (2008). Discordant patterns of genetic variation at two chloroquine resistance loci in worldwide populations of the malaria parasite Plasmodium falciparum. Antimicrobial agents and chemotherapy, 52(6), 2212-2222.
Muslimin, I., Arsin, A., & Nawi, R. (2011). pola spasial dan analisis kejadian
malaria di pulau kapoposang kab. pangkep tahun 2011. Mutabingwa, T. K. (2005). Artemisinin-based combination therapies (ACTs):
best hope for malaria treatment but inaccessible to the needy! Acta tropica, 95(3), 305-315.
Nurlette, F. R., Ishak, H., & Manyullei, S. (2008). Hubungan Upaya
Masyarakat Menghindari Keterpaparan Nyamuk Dengan Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Rijali Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2012.
Ogbonna, A., & Uneke, C. J. (2008). Artemisinin-based combination therapy
for uncomplicated malaria in sub-Saharan Africa: the efficacy, safety, resistance and policy implementation since Abuja 2000. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 102(7), 621-627.
Petronela, A. (2004). Epidemiologi Deskriptif Malaria Di Kecamatan Abepura
Propinsi Papua Tahun-2000-2003. Diponegoro University.
Price, R., Cassar, C., Brockman, A., Duraisingh, M., Van Vugt, M., White, N., . . . Krishna, S. (1999). The pfmdr1 gene is associated with a multidrug-resistant phenotype in Plasmodium falciparumfrom the western border of Thailand. Antimicrobial agents and chemotherapy, 43(12), 2943-2949.
Ruetz, S., Delling, U., Brault, M., Schurr, E., & Gros, P. (1996). The pfmdr1
gene of Plasmodium falciparum confers cellular resistance to antimalarial drugs in yeast cells. Proceedings of the National Academy of Sciences, 93(18), 9942-9947.
Saleh, I., Handayani, D., & Anwar, C. (2014). Polymorphisms in the pfcrt and
pfmdr1 genes in Plasmodium falciparum isolates from South Sumatera, Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 23(1), 3.
Sanaky, M. J., Arsunan, A., & Anwar, D. (2014). hubungan dan peta sebaran
malaria di kota ambon tahun 2014 the relattionship andassociated and distribution map of malaria in ambon city in 2014.
Santoso, S. S., Pribadi, W., Roekmono, B., Soesanto, S. S., & Zalbawi, S.
(1992). Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan penyakit malaria lima setengah tahun setelah berakhirnya penelitian di Desa Berakit, Riau Kepulauan. Buletin Penelitian Kesehatan, 20(4 Des).
Sari, F. (2016). Hubungan faktor internal dan eksternal lingkungan rumah
dengan kejadian malaria di kecamatan putri hijau kabupaten bengkulu utara. Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, 7(2).
Simamora. (2013). Resistensi Obat Malaria: Mekanisme dan Peran Obat
Kombinasi Obat Antimalaria Untuk Mencegah. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 23(2), 82-91.
Soedarto. Malaria. Jakarta: CV. SagungSeto; 2011. Sujari, S. (2008). Risk Factors relating to the incidence of Malaria at a Tin
Mining Region in Central Bangka Regency of Bangka Belitung Province. Master in Environmental Health.
Sunarsih, E., Nurjazuli, N., & Sulistiyani, S. (2009). Faktor Risiko Lingkungan
dan Perilaku Yang Berkaitan Dengan Kejadian Malaria di Pangkalbalam Pangkalpinang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 8(1), 1-9.
Suwadera, I. (2003). Beberapa Faktor Risiko Lingkungan Rumah Tangga yang Berhubungan dengan Kejadian Malaria pada Balita (Studi Kasus Kontrol di Puskesmas Kambaniru Kabupaten Sumba Timur Tahun 2002). FKM-UI.
Talisuna, A. O., Bloland, P., & d’Alessandro, U. (2004). History, dynamics,
and public health importance of malaria parasite resistance. Clinical microbiology reviews, 17(1), 235-254.
Thaharuddin, T., Soeyoko, S., & Sutomo, A. H. (2004). Lingkungan
Perumahan, Kondisi Fisik, Tingkat Pengetahuan, Perilaku Masyarakat Dan Angka Kejadian Malaria Di Kota Sabang (Housing Environment, Physical House Condition, Knowledge, Behaviour and Number of Malaria Occurrence in Sabang). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 11(3), 126-133.
Thaharuddin, T., Soeyoko, S., & Sutomo, A. H. (2015). Lingkungan
Perumahan, Kondisi Fisik, Tingkat Pengetahuan, Perilaku Masyarakat Dan Angka Kejadian Malaria Di Kota Sabang (Housing Environment, Physical House Condition, Knowledge, Behaviour and Number of Malaria Occurrence in Sabang). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 11(3), 126-133.
Tjitra, E. (2005). Pengobatan malaria dengan kombinasi artemisinin. Buletin
Penelitian Kesehatan, 33(2 Jun). Wahyuniati. (2016). Peran interleukin-10 pada infeksi malaria. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, 15(2), 96-103. Wernsdorfer, W. H., & Payne, D. (1991). The dynamics of drug resistance in
Plasmodium falciparum. Pharmacology & therapeutics, 50(1), 95-121. WHO. (1998). The role of the pharmacist in self-care and self-medication.
Report of the 4th WHO Consultive Group on the role of the pharmacist. Geneva: World Health Organization.
WHO. (2011). World malaria report 2011. Geneva: WHO; 2011. See www.
who. int/malaria/world_malaria_report_2011/en. WHO. (2012). World malaria report: World Health Organization Geneva,
Switzerland.
WHO. (2015). Guidelines for the treatment of malaria: World Health Organization.
WHO. (2016a). Artemisinin and Artemisinin-Based Combination Therapy
Resistance. WHO. (2016b). Artemisinin and artemisinin-based combination therapy
resistance: status report. WHO. (2016c). World malaria report 2015: World Health Organization. WHO. (2016d). World malaria report 2016. Geneva: WHO. Embargoed until,
13. WHO. (2016e). World Malaria Day 2016: End malaria for good. From
http://www.who.int/campaigns/malaria-day/2016/event/en/. Diakses 20 juni 2017
Wongsrichanalai, C., Pickard, A. L., Wernsdorfer, W. H., & Meshnick, S. R.
(2002). Epidemiology of drug-resistant malaria. The Lancet infectious diseases, 2(4), 209-218.
Wuryanto, M. A. (2005). Beberapa Faktor Risiko Kepatuhan Berobat
Penderita Malaria Vivax (Studi Kasus di Kab. Banjarnegara). Program pascasarjana universitas diponegoro.
Yawan, S. F. (2006). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja
Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak–Numfor Papua. program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Yoga, G. (1999). Studi Beberapa Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Malaria di Puskesmas Mayong I Dati II Jepara: Laporan Penelitian Studi Analitik S2 FETP UGM, Yogakarta.
Yusuf, Y. (2015). Analisis Mutasi Gen Pfmdr1 1246 pada Penderita Malaria di
Mamuju Sulawesi Barat. SAINSMAT, 2(2), 185-190. Zhao, X., Chen, F., Feng, Z., Li, X., & Zhou, X.-H. (2014). Characterizing the
effect of temperature fluctuation on the incidence of malaria: an epidemiological study in south-west China using the varying coefficient distributed lag non-linear model. Malaria journal, 13(1), 192.