Prakata · 2020. 4. 3. · Manifesto Gerakan Intelektual Profetik v Prakata...
Transcript of Prakata · 2020. 4. 3. · Manifesto Gerakan Intelektual Profetik v Prakata...
vManifesto Gerakan Intelektual Profetik
Prakata
Bismillaahirrahmannirrahim, dengan segala kerendahan
hati penulis mengucapkan syukur kepada Allah Swt, atas
berkah, rahmat dan pertolongan-Nya sehingga buku
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik dapat terselesaikan
sesuai dengan waktunya. Karena tanpa pertolongan dan
hidayah-Nya buku tersebut tidak mungkin hadir ditangan
pembaca.
Buku tersebut merupakan jawaban atas paradigma Ikatan
yang selama ini berbeda masing-masing pimpinan dari
tingkatan Pusat hingga Komisariat. Buku ini juga melengkapi
literatur Ikatan yang sudah jarang ditemukan serta menjadi
bahan bacaan bagi yang mengkaji paradigma profetik serta
gerakan kemahasiswaan. Buku ini mengkaji nilai-nilai yang
ada dalam diri Ikatan serta bagaimana menghadirkan nilai
tersebut sebagai jatidiri yang membedakan Ikatan dengan
gerakan mahasiswa yang lain. Nilai tersebut menjadi alat
pandang dan cara menyelesaikan proses dehumanisasi disaat
ini, dengan membawanya pada cita-cita ideal yang diingin-
kan.
Beroganisasi merupakan suatu pilihan untuk mengem-
bangkan diri menuju kedewasaan, hal tersebut dikarenakan
dalam beroganisasi mendapatkan segala hal yang diingikan
seperti pengalaman hidup bahkan pendamping hidup. Sebagai
orang yang bergelut dalam organisasi pergerakan mahasiswa
lebih dari delapan tahun, telah memiliki pengalaman tertentu
dengan organisasi yang ditekuninya. Pengalaman tersebut
vi Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
menjadi bekal utama sehingga lahirlah tulisan Manifesto
Gerakan Intelektual Profetik (GIP). Manifesto GIP
merupakan tulisan yang mengupas tentang paradigma Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah dalam merespon realitas makro,
mezo dan mikro, respon tersebut merupakan jawaban Ikatan
atas proses dehumanisasi yang terjadi sampai saat ini. Kerja
nyata yang dilakukan oleh ikatan dalam realitas ini,
merupakan kerja kemanusiaan dalam bingkai nilai transenden
dalam rangka beribadah kepada Allah (taqarub ilallah).
Buku tersebut, terdiri dari sebelas bagian dimana bagian
satu dengan yang lain mencapai satu kesatuan pemahaman
yang utuh. Bagian pertama, membahas tentang manusia
sebagai personal manusia ideal yang digambarkan oleh Ikatan.
Bagian kedua, mengupas tentang simbol Ikatan sebagai
paradigma atau nilai-nilai serta tujuan ikatan dalam
melakukan perubahan. Bagian ketiga, membahas tentang
profil kader secara personal dalam sebuah organisasi. Bagian
keempat, mengupas tentang realitas sekarang atau kondisi saat
ini yang mengambarkan dehumanisasi. Dengan penggambar-
an tersebut, sehingga mengetahui apa yang harus dilakukan
oleh Ikatan. Bagian kelima, membahas tentang Muhammad-
iyah yang selayaknya mengkaji kembali pemikiran Kiai
Ahmad Dahlan untuk menjawab realitas yang mengalami
dehumanisasi. Bagian keenam, menganalisis kesadaran dalam
melakukan transformasi sosial dengan nilai-nilai yang
diidealkan. Bagian ketujuh, mengupas tentang indikator serta
metodologi dalam melakukan transformasi profetik. Bagian
kedelapan, mengulas tentang etos profetis dalam mewujudkan
cita-cita profetis. Bagian kesembilan, membahas tentang teori
sosial yang digunakan dalam melakukan transformasi profetis.
viiManifesto Gerakan Intelektual Profetik
Bagian kesepuluh, menganalisis filsafat gerakan yang
dilakukan intelektual profetik dalam melakukan transformasi.
Dan bagian kesebelas, membahas transformasi profetik yang
dilakukan oleh ikatan guna mewujudkan masyarakat yang
diidealkan.
Penulis menyampaikan terimakasih kepada Prof. Dr.
Abdul Munir Mulkhan, ditengah kesibukannya meluangkan
waktu untuk menuliskan kata pengantar dalam buku ini,
selanjutnya kepada Dr. Zakiyuddin Baidhawy, MA salah satu
Cendekiawan Muda Muslim, yang telah memberikan epilog
pada buku yang berada ditangan pembaca. Selanjutnya
penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang
telah konsen diskusi tentang Paradigma Profetik dalam
Wisma Diaspora yakni Muttaqidul Fahmi, Moh. Mudzakkir,
Muadin Wasis, Iskam Triwibowo, Arief Rahman, dan Husnul
Muttaqin yang telah mengenalkan konsep profetik. Penulis
untuk sekian kalinya mengucapkan terimakasih pada teman-
teman Ikatan dari tingkatan Pusat hingga Komisariat, “Kaulah
tempat aku berproses sehingga menjadi seperti sekarang ini”,
mereka itulah motivasi serta teman dalam berbagi yang tidak
dapat saya tuliskan satu persatu. Penulis secara mendalam
menyampaikan terimakasih pada Korps Instruktur DPP IMM
yakni Khotimun Sutanti, Susanti Faipri Salegi, Muhammad
Sobar, Khuratul A’yuni, Rizky Fauzy, Hafidz Fakhrudin, Asri
Kusuma Ningrum, Tinuk, Ilyas Daud, Malik, kaulah yang
telah memberikan makna dalam mengisi hari-hariku bersama
Ikatan. Mudah-mudahan karya sederhana ini dapat bermanfat
bagi kader. Untuk sekian kali penulis menyampaikan terima
kasih pada Ifa Rachim yang telah mengajarkan bagaimana
berbagi dan memberi tanpa menuntut balas. Sekian kalinya
viii Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
penulis mengucapkan terimakasih kepada segenap keluarga
yang memberikan dukungan secara moral dalam mengem-
bangkan pemikiran Intelektual, yakni Ibunda (Tumirah),
Ayahanda (Muhammad Jubaidi (alm)) dan Kakak-kakak ku
tercinta (Muhammad Taufiqul Hidayat dan Muhammad
Abdul Basir Imam Basuki) serta Ade’ ku (Muhammad
Abdullah Saefuddin (alm)). Selanjutnya penulis menyampaikan
terimakasih kepada saudara seikatanku Muhammad Naim
yang telah bekerja dengan keras menyelesaikan pengeditan
buku ini. Sekian kali penulis mengucapkan terimakasih pada
DPD IMM Kalimantan Timur yang telah membantu
mencarikan dana agar buku tersebut terbit, yakni Immawan
Andre dan teman-teman. Selanjutnya pada Immawan
Miftachul Huda yang telah membantu mencetak buku ini,
sehingga dapat dibaca oleh pembaca yang budiman. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang
tidak dapat dituliskan satu persatu, semoga amal teman-teman
semuanya dapat diterima dan mendapatkan balasan yang
maksimal dari Allah Swt.
Beji Timur-Depok, Awal tahun 2011
Muhammad Abdul Halim Sani
ix
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Kata PengantarOleh : Abdul Munir Mulkhan
Makna Profetis dan Suara Kenabiandalam Gerakan1
Untuk memahami lebih jernih buku karya Muhammad
Abdul Halim Sani berjudul ”Manifesto Gerakan Intelektual
Profetis” dengan latar belakang gerakan IMM (Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah) ini kiranya perlu dikaji lebih
dahulu dua hal atau dua permasalahan. Pertama, persoalan
yang berkaitan dengan pemaknaan kata dan istilah profetis
yang seringkali dipandang seolah selalu identik dan paralel
dengan kata dan istilah nabi atau kenabian. Kedua, persoalan
pemaknaan gerakan Muhammadiyah yang lahir tahun 1912
dalam kandungan gagasan besar mujtahid Kiai Ahmad
Dahlan. Ini penting agar selain memperoleh pijakan konsep-
tual akademik, juga pijakan kultural dan historis, selain pijak-
an teologis yang otentik. Apalagi judul bukunya mengguna-
kan kata yang cukup gagah, yakni ”manifesto” yang saat
mendengar saja banyak orang bisa jadi salah paham dengan
maksudnya.
1. Abdul Munir Mulkhan, Dakwah Profetis Etika Welas-Asih Kiai Dahlan Dalam DinamikaKeagamaan Dan Kebangsaan semula disusun dan disampaikan dalam acara “SekolahProphetic IMM FISIP UMY” dengan tema “Menghidupkan kembali Misi Profetik Ummat diTengah Arus Perubahan” di UMY 2 November 2010. Makalah ini semula disusun dandisampaikan dalam acara Seminar “Kontekstualisasi Ideologi Profetik dalam TransformasiSosial” dalam rangka Semiloknas dan Rakornas DPP IMM 7-10 Desember 2006, tanggal 8Desember 2006 di Wisma Depsos Jakarta Selatan.
x
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Kiai Dahlan lah yang mulai memobilisasi gerakan filan-
tropi (kedermawanan melalui ”sekularisasi” praktik zakat,
infak, sedekah (sodakoh), ibadah sosial seperti fitrah dan
korban) secara terorganisasi yang peruntukannya bagi kepen-
tingan sosial publik umat.2 Gerakan guru keliling, kemudian
lebih populer disebut tabligh dan berkembang menjadi peng-
ajian di kampung-kampung hampir tiap jam sepanjang hari
merupakan karya pembaruan sosial keagamaan lain dari Kiai
Ahmad Dahlan. Melalui program guru keliling itu tradisi
belajar yang semula dengan pola murid mendatangi guru atau
kiai menjadi guru atau kiai mendatangi murid di seluruh
kawasan perkotaan dan atau pedesaan. Di kawasan-kawasan
perkotaan atau pedesaan tersebut, beberapa umat dan masya-
rakat kemudian membentuk kelompok-kelompok pengajian,
diantaranya berkembang menjadi sekolah atau madrasah
formal yang terlembaga secara moderen.
Prof. Dr. Kuntowijoyo menyatakan ”Tabligh yang se-
karang tampak sebagai perbuatan yang biasa, pada waktu itu
(tahun 1912-an/pen) adalah perbuatan luar biasa. Setidaknya
tabligh mempunyai dua implikasi, yaitu perlawanan tak
langsung terhadap idolatri (pemujaan tokoh) ulama dan per-
lawanan tak langsung terhadap mistifikasi agama (agama
dibuat misterius). Seperti diketahui pada waktu itu keduduk-
an ulama dalam masyarakat sangat tinggi. Mereka adalah
mediator antara manusia dengan Tuhan, elite agama dalam
masyarakat, dan tuanku, guru, kiai, tuan guru (baca: guru)
yang menyampaikan agama. Kalau kedudukan sebagai elite
2. Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, Buku
Kompas, Jakarta, 2010.
xi
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dan guru adalah konsekuensi sosial dari keulamaan mereka,
maka kedudukan sebagai mediator itulah yang terancam oleh
tabligh, menjadikan penyampai agama sebagai orang sehari-
hari yang tidak keramat. Kegiatan menyiarkan agama telah
dibuat kamanungsan, kekeramatan ulama badhar (batal) oleh
tabligh. Monopoli ulama atas agama, yang dimungkinkan oleh
budaya lisan, dihilangkan oleh tabligh.”3
Dalam kesempatan yang sama, Kuntowijoyo menyatakan:
”Selanjutnya tabligh juga merupakan perlawanan tak langsung
terhadap mistifikasi agama, yaitu pengaburan agama, agama
dianggap misterius, tinggi, dan adiluhung yang hanya patut
diajarkan oleh orang-orang terpilih (tuanku, guru, kiai, tuan
guru). Dengan tabligh agama yang semula misterius menjadi
agama yang sederhana, terbuka, dan accesible bagi setiap
orang. Agama yang semula bersifat esoteris-mistis milik kaum
virtuosi (spesialis) menjadi agama etis-rasional milik orang
awam.”4
Gerakan keagamaan profetis dapat diartikan dalam dua
makna. Makna pertama, ialah gerakan atau sikap kritis atas
kecenderungan pelemahan pemihakan lembaga keagamaan
pada kelas akar rumput atau kelompok yang menderita saat
elite gerakan keagamaan mulai berkolaborasi dengan
penguasa. Pengertian pertama ini muncul sebagai reaksi
kecenderungan pemimpin agama di Eropa pada sekitar abad
ke-19 yang lebih status-quo.5 Makna kedua, ialah basis
3. Kuntowijoyo, “Menghias Islam” dalam Abdul Munir Mulkhan, Marhaenis Muhammadiyah,GalangPress, Yogjakarta, 2010, hlm 19.
4. Kuntowijoyo, “Menghias Islam” dalam Abdul Munir Mulkhan, Marhaenis Muhammadiyah,GalangPress, Yogjakarta, 2010, hlm 19-20.
5. Robert A. (W) Friedrichs dalam bukunya Sociology of Sociology terbitan Free Press, NewYork, 1970 membedakan Sosiologi Imam (priestly) dengan Sosiologi Profetis. “Model profetis
xii
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kenabian bagi gerakan kemanusiaan sebagai wujud dari ajaran
dan tradisi serta sunah nabi sebagai suara kenabian yang lebih
otentik ketika memihak kaum dhuafa sebagai sebuah gerakan
kemanusiaan (humanis). Faktanya acap kali gerakan keagama-
an (Islam) di satu sisi lebih tertarik melakukan gerakan
perlawan terhadap dominasi bangsa-bangsa maju tetapi di sisi
lain melupakan nasib kaum tertindas.
Bincangan teori dan kata profetis barangkali lebih
menarik dikaitkan dengan ide dan pemikiran Robert W.
Firedrichs. Sosiolog ini mulai membedakan antara sosiologi
”profetis” dan sosiologi ”imam” (priestly), yang berbeda satu
sama lain dalam sikap dan dukungan implisitnya terhadap
status-quo. ”Model profetis mempunyai satu pendirian kritis
terhadap status-quo; kelompok ini berpendapat bahwa peran-
an sosiologi yang dapat diterima adalah mengidentifikasi
kekurangan-kekurangan dan hal-hal yang tidak karuan dalam
struktur sosial, dan memberikan suatu kecerahan yang mem-
berikan peluang pada kemungkinan-kemungkinan yang lebih
manusiawi. Model imam cocok untuk kerangka struktur yang
sudah mapan. Ahli sosilogi dalam kelompok imam ini tidak
perlu sadar akan implikasi nilai dalam pekerjaan mereka.
Tetapi kritikan-kritikan terhadap mereka, yang muncul dari
ahli sosiologi ”baru” atau yang berhaluan radikal, akan
mengemukakan bahwa karena para ahli sosiologi itu gagal
memberikan kritik terhadap status-quo, maka mereka yang
mempunyai satu pendirian kritis terhadap status-quo; kelompok ini berpendapat bahwaperanan sosiologi yang dapat diterima adalah mengidentifikasi kekurangan-kekuarangan danhal-hal yang tidak karuan dalam struktur sosial, dan memberikan suatu kecerahan yangmemberikan peluang pada kemungkinan-kemungkinan yang lebih menusiawi. Model imamcocok untuk kerangka struktur yang sudah mantap.” (Doyle Paul Johnson, Teori SosiologiKlasik dan Modern Jld I, 1988, Gramedia, Jakarta, hlm 51).
xiii
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dari kelompok sosiologi imam atau yang sudah mantap ini
memberikan dukungan diam-diam terhadap status-quo
karena kelalaiannya. Pengecam-pengecam dari kelompok
profetis mengemukakan bahwa netralitas dan sikap tidak
memihak (impartiality) benar-benar tidak mungkin dan
bahkan seorang ahli sosiologi secara eksplisit tidak berjuang
meningkatkan struktur sosial menjadi lebih manusiawi, pada
dasarnya ia menerima legitimasi status-quo.”6
Satu hal yang mungkin sering dilupakan bagi mereka
penganut ideologi jihad yang anti Eropa dan Amerika atau
anti Negara dan Bangsa-Bangsa Barat, bahwa apapun ideologi
yang dianut, praktik kehidupan seseorang, hubungan sosial
orang yang bersangkutan dengan orang lain tergantung ada
tidaknya empati kemanusiaan di dalam hati si penganut ideo-
logi tersebut. Keterpincutan dr. Soetomo ketika mengamati
sepak-terjang Kiai Ahmad Dahlan justru lebih didasari oleh
apa yang ia sebut sebagai Etika Welas Asih yang ia pahami
dari aksi-aksi kemanusiaan Kiai Dahlan. Soetomo bahkan
sampai pada kesimpulan bahwa Etika Welas Asih merupakan
gagasan orisinal Kiai Ahmad Dahlan yang secara sengaja
dikemas sebagai oposisi (perlawanan) ide Darwinian yang
menguasai pikiran dunia Barat dan menjadi akar peradaban
moderen saat ini. Bukan yang kuat harus menang, tapi
bagaimana yang lemah memperoleh ruang dan peluang
mengembangkan diri. Itulah hakikat Etika Welas Asih Kiai
Ahmad Dahlan.
6. Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm 51-52. lihat juga Robert W. Fiedrichs, A Sociology of Sociology, The Free Press, New York,1970, p. 67, 70, 72-73, 107-108, 111, 124, 127, 133, 136, 292-293, 310, 328.
xiv
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Berdasar prinsip etis itulah mengapa Kiai Ahmad Dahlan
dengan gampang dan begitu cair berdialog dengan peradaban
Barat Nasrani-sekuler yang kapitalistik serta kolonial. Kiai ini
tidak segan mengambil manfaat pengalaman orang-orang
Eropa yang penjajah, kafir, dan kapitalis serta Nasrani. Model
komunikasi itu pula yang membuat Kiai Ahmad Dahlan tidak
merasa terganggu memenuhi posisi sebagai pejabat Kerajaan
Jogjakarta yang menjadi pusat orientasi kebudayaan Jawa
yang kejawen tanpa kehilangan keluhuran kesalehan religius-
nya. Hanya dalam periode pasca wafat Kiai, Muhammadiyah
mulai anti tradisi Jawa dan Kejawen.7
Uraian di atas merupakan petunjuk tentang transformasi
sosial ideologi profetik yang tampaknya lebih mementingkan
segi atau empati kemanusiaan daripada legalitas ritual
keagamaan. Dari sini pula pentingnya pendekatan kebudaya-
an dalam merealisasi ideologi profetik atau pun ideologi jihad
yang anti Barat. Khusus bagi mahasiswa, perlu dipertimbang-
kan untuk menyiapkan diri agar bisa mempelajari budaya,
tradisi dan iptek di negara maju yang Barat itu tanpa biaya
atau dengan biaya dari negara maju itu sendiri. Caranya ialah
menguasai bahasa asing khususnya Inggris dengan nilai toefl
600, maka anda akan bebas memilih negara yang dituju
dengan beasiswa sekitar 1500 dolar perbulan.
Di sisi lain bisa saja seseorang anti Barat yang sekuler,
kafir atau dekaden, tapi bisa jadi orang tersebut lebih kafir,
dekaden dan penindas sesamanya walaupun de jure beragama.
Mari kita lihat praktik berpolitik dan berbangsa dan beragama
di negeri seribu masjid ini. Tidak ada jaminan di negeri
7. Lihat laporan penelitian Tesis Ahmad Najib Burhani yang terbit dengan judul MuhammadiyahJawa, Al-Wasat, Jakarta, 2010.
xv
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
berpenduduk muslim dengan jamaah haji terbesar di dunia ini
orang miskin hidup terjamin, dan para pemimpin memikirkan
nasib rakyat dan umatnya. Kecenderungan demikian dengan
gampang kita saksikan setiap hari di koran atau lapangan.
Di masa bencana gempa dahsyat melanda Yogyakarta
tahun 2006 lalu, muncul pemandangan menarik. Korban
gempa Jogja mulai kedinginan tidur di tenda yang mulai bocor
di awal musim hujan. Warga Merapi mulai cemas oleh
ancaman lahar dingin tumpahan material erupsi gunung itu
sebelumnya. Banyak anak-anak gagal menatap masa depan
tidak bisa sekolah akibat kemiskinan, banyak anak-anak
menjadi pengamen jalanan akibat ditinggal orang-tua mereka.
Di saat-saat seperti itu, ternyata anggota dewan Jogja begitu
bersemangat menaikkan gaji menjadi 200 %.
Di saat ribuan warga diberbagai kota digusur dan terusir
dari tempat mencari nafkah oleh kebijakan politik dewan,
alangkah bijak jika anggota dewan itu bercakap dengan rakyat
yang memilihnya sebelum menyetujui APBN atau APBD.
Pemerintah dan pejabat negara dengan tugas utama sebagai
pelayan kehidupan warga, justru merasa benar menggusur
atau membangun tanpa bertanya lebih dahulu kepada warga
tentang apa yang mereka perlukan dan bagaimana pendapat
warga itu. Di negeri yang bertuhan ini, rakyat seolah tak
perlu dihitung kecuali di masa pemilu, itupun sekedar
melegitimasi apa kehendak sang penguasa dan wakil rakyat
yang tak pernah mengerti kemauan rakyat.
Alangkah bijak jika separuh saja dari kenaikan gaji dewan
itu dihibahkan kepada anak-anak jalanan, untuk SPP anak-
anak miskin atau merekosntruksi rumah-rumah warga yang
diwakilinya. Di saat ribuan atau jutaan orang menderita
xvi
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
akibat luapan lumpur Lapindo, anggota dewan yang juga
aktivis gerakan Islam dengan tertawa dan senyum penuh
kemenangan merekam adegan mesum dengan wanita bukan
istrinya. Apa yang tersisa di negeri ini untuk dapat dijadikan
harapan bagi orang-orang tertindas, miskin dan terlantar?
Paradaban global dengan kacanggihan teknologi trans-
portasi dan informasi telah membuka ruang rahasia kehidup-
an privat manusia. Penganut agama yang paling saleh sangat
terpukul oleh gaya hidup manusia global. Seolah syahwat
menjadi ideologi baru yang mewarnai kehidupan politik, eko-
nomi, bahkan juga praktik keagamaan ketika TV menjadikan
simbol-simbol keagamaan sebagai komoditi yang ternyata
ratingnya tinggi. Budaya artifisial (apus-apusan/Jw) seolah-
olah enak dan bahagia menjadi lebih penting daripada
memecahkan problem secara otentik.
Dalam situasi demikian, manusia terperangkap pada
budaya artifisial dan mimpi. Ironi dan celakanya budaya
fatamorgana itu lebih mudah menarik minat dan partisipasi
publik ketika dibungkus simbol religi dan surgawi. Fenomena
ini juga melibatkan partai dan gerakan keagamaan, termasuk
IMM dan partai-partai Islam. Pertanyaan yang lebih penting
dijawab ialah adakah organisasi dimana kita aktif di dalamnya
itu benar-benar mempunyai fungsi bagi kemanusiaan?
A. Gerakan Budaya yang Terlupakan8
Permasalahan utama yang dihadapi gerakan Muhammad-
iyah dan gerakan Islam yang sudah mapan (seperti halnya
IMM) ialah kegagalan membaca pesan sentral pendiri gerakan
8. Abdul Munir Mulkhan, Gerakan Budaya yang Terlupakan, Harian Kompas, 4 Desember 2009,hlm 7
xvii
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
tersebut. Pada umumnya aktivis gerakan ini (Muhammadiyah
dan IMM) lebih memahami gerakan tersebut sebagai gerakan
pemberantasan TBC yang jauh dari minat membela kaum
dhuafa hanya karena kecenderungan tradisi kehidupan kelas
bawah itu diselimuti aura TBC. Banyak orang kurang me-
mahami dan bisa membedakan antara hasil (meninggalkan
tradisi pemberoson) dengan bagaimana proses sosial-budaya
yang mendorong tumbuhnya kesadaran rasional dan laku
obyektif seseorang atau sekelompok orang (umat dan
masyarakat).
Dalam hubungan itulah kiranya kritik Kuntowijoyo ter-
hadap gerakan pembaruan Islam dan gerakan Islam pada
umumnya patut dicerna. Kritik Kuntowijyo (Muslim Tanpa
Masjid) bahwa Muhammadiyah adalah gerakan budaya tanpa
kebudayaan, penting menjadi catatan abad keduanya. Ini
terlihat ketika Muhammadiyah sekedar meniru Kiai Ahmad
Dahlan tanpa memahami gagasan dan etos gerakannya. Daya
kreatif ijtihad (pembaharuan) bagi kemajuan dan kesejahtera-
an umat membeku, terperangkap birokrasi organisasi, gurita
pendidikan dan rumah sakit, sehingga terasing dari kehidupan
rakyat. Hal serupa dihadapi bangsa ini ketika praktik pen-
didikan nasional menjadi ritual dan kehilangan etos budaya
kreatif.
Awalnya, gerakan ini sibuk memberdayakan fakir miskin
melalui pendidikan, kesehatan, dan berbagai aksi sosial.
Seperti tesis Max Weber tentang Etika Protestan dengan para-
digma this worldly, aktivis gerakan ini memandang kesalehan
surgawi bisa dicapai dengan memajukan dan menyejahterakan
rakyat yang tertindas. Tahun 1930-an lebih sebagai gerakan
kelas menengah kota ketika purifikasi dipahami sebagai
xviii
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
pembersihan Islam dari tradisi bermuatan virus TBC (tahyul,
bid’ah, k(c)hurafat). Akibatnya, semakin kehilangan nuansa
budaya dan terasing dari dinamika kehidupan mayoritas
penduduk.
Citra anti tradisi yang secara keras memberantas TBC
seperti Wahabi itu adalah episode generasi kedua sesudah Kiai
Ahmad Dahlan wafat pada Februari 1923. Posisi Kiai sebagai
abdi dalem kraton yang saat itu menjadi pusat tradisi dan ikon
budaya rakyat tidak memungkinkannya melancarkan kritik
dan memberantas tradisi secara terbuka.
Posisi Kiai tersebut lebih jelas dalam paparan GBPH
Joyokusumo, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X pada
Sidang Tanwir ’Aisyiyah 2002, tentang peran Hamengku
Buwono VII dalam kelahiran Muhammadiyah. Rajalah yang
memberangkatkan Kiai Ahmad Dahlan naik haji, mengganti
nama Mohammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan, dan
mendorong Kiai terlibat dalam Budi Utomo. Problem yang
dihadapi generasi pendiri bukanlah tradisi lokal, tetapi
penolakan umat terhadap sistem pendidikan dan kesehatan
moderen, penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu
atau Jawa, pembagian zakat, fitrah, dan korban kepada fakir
miskin.
Saat didirikan tujuan Muhammadiyah ialah: ”a. Memaju-
kan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama
Islam, b. memajukan dan menggembirakan cara kehidupan
sepanjang kemauan agama Islam.” Kegiatannya meliputi: ”a.
mendirikan dan memeliharakan atau membantu sekolah-
sekolah yang diberi pengajaran agama Islam juga, lain dari
ilmu-ilmu yang biasa diajarkan di sekolah; b. mengadakan
perkumpulan sekutu-sekutunya dan orang-orang yang suka
xix
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
datang; dibicarakan perkara-perkara agama Islam; c.
mendirikan dan memeliharakan atau membantu tempat sem-
bahyang, yang dipakai melakukan agama buat orang banyak;
dan d. menerbitkan serta membantu terbitnya kitab-kitab,
sebaran khotbah, surat kabar yang muat perkara ilmu agama
Islam, ilmu ketertiban cara Islam dan i’tikad cara Islam, tetapi
sekali-kali tiada boleh menyalahi undang-undang tanah di
sini dan tiada boleh melanggar keamanan umum atau
ketertiban.”
Masa itu anggotanya terbagi menjadi; anggota biasa,
kehormatan, dan donatur. Anggota biasa ialah semua orang
Islam, kehormatan ialah orang yang berjasa besar pada
Muhammadiyah, donatur ialah siapa saja tanpa memandang
agama dan kebangsaan yang bersedia memberi bantuan.
Sasaran kegiatan Muhammadiyah masa generasi pendiri
ialah mengubah cara pandang umat tentang kehidupan
duniawi melalui pendidikan, dakwah, penerbitan, pendirian
tempat ibadah, penerjemahan Alquran, penerbitan buku,
pelatihan dan pendidikan guru desa dan guru keliling,
santunan kesehatan dan ekonomi bagi fakir-miskin. Zakat mal
dan fitrah, korban dan infak dikelola secara moderen bagi
peningkatan taraf hidup rakyat kebanyakan sehingga
berkemajuan dan sejahtera. Selanjutnya dengan sendirinya
umat akan menanggalkan tradisi TBC diganti ilmu dan
teknologi.
Pengelolaan rumah sakit melibatkan dokter-dokter
Nasrani Belanda yang bekerja sukarela, sekolah dikelola
secara moderen guna meningkatkan taraf hidup dan berperan
dalam dunia moderen. Umat mulai menyadari manfaat
bekerjasama dengan semua pihak tanpa melihat agama dan
xx
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kebangsaannya, bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Citra gerakan berubah setelah Dahlan wafat ketika orientasi
budaya digeser orientasi legal-formal. TBC diberantas secara
keras dan terbuka bersamaan pembentukan lembaga tarjih
tahun 1927.
Orientasi budaya bisa dibaca dari naskah ”Tali Pengikat
Hidup Manusia”, Pidato Kiai Ahmad Dahlan dalam Kongres
1922 (Almanak Muhammadiyah 1923; lihat ”The Humanity
of Human Life” dalam Charles Kurzman Modernist Islam: A
Sourcebook). Kiai Ahmad Dahlan menyatakan: “Kebanyakan
pemimpin-pemimpin belum menuju kepada baik dan enaknya
segala manusia, baru kaumnya (golongannya) sendiri.
Marilah, lekas kita pemimpin-pemimpin berkumpul mem-
bicarakan benar itu (hak) tak usah memilih-milih bangsa,
Orang itu harus dan wajib mencari tambahnya pengetahuan,
jangan sekali merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri,
apakah pula menolak pengetahuan orang lain.”
Bersediakah Muhammadiyah melakukan kritik budaya
mengaktualkan kembali peran kreatif ijtihad membela dluafa?
Saatnya menjawab “untuk siapa gerakan ini bekerja, untuk
anggota atau bangsa dan kemanusiaan?” Dari sini Muham-
madiyah bisa berperan bagi kemajuan bangsa dan pemelihara-
an martabat kemanusiaan universal.
B. Nabinya Mustadl’afin9
9. Lihat Abdul Munir Mulkhan, “Teologi Kiri dalam Kebertuhanan Siti Jenar” dalam Makrifat SitiJenar; Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta,2004, hlm 279-290. Lihat juga Teologi Kiri; Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin,Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002.
xxi
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Tuhan mengecam Nabi Muhammad Saw karena bermuka
cemberut (menunjukkan rasa kurang suka) ketika datang
kepadanya orang-orang yang buta padahal mereka sedang
berusaha membersihkan diri dan mencari pembelajaran
dengan penuh ketundukan. Hal yang sama terjadi saat Nabi
tampak lebih berkenan menerima dan melayani orang-orang
yang berkecukupan harta dan kekuasaan. Kritik keras Tuhan
terhadap sikap Muhammad yang kurang berpihak pada kaum
dhuafa dan lebih berpihak pada kelas lebih tinggi ini bisa
dikaji dalam surat ‘Abasa ayat 1-11.
Dalam surat Kahfi ayat 28 Tuhan berfirman “sabarkanlah
dirimu jika berkumpul dengan orang-orang yang senantiasa
berdoa pada Tuhan di waktu pagi atau sore semata mengharap
keridhaan Tuhan dan jangan memalingkan muka dari mereka
hanya karena memandang kekayaan duniawi (karena miskin).
Tuhan berfirman dalam surat al Dluhaa ayat 9-10: Adapun
terhadap anak yatim janganlah kaum paksakan dan kepada
peminta-minta janganlah kau bentak. Dalam surat al Maa’un
ayat 1-3 Allah berfirman: Tahukah engkau orang yang
mendustakan hari pembalasan? Mereka itulah orang-orang
yang menolak anak yatim dan tidak suka menganjurkan
memberi makan pada orang msikin.
Sa’ad bin Abi Waqqash ra berkata, ketika kami berenam
sedang duduk di sisi Nabi Saw, datanglah pemuka-pemuka
kaum musyrikin dan berkata kepada nabi: “Usirlah orang-
orang yang berada di sisimu agar mereka tidak berlaku kurang
ajar kepada kami” Keenam orang itu ialah saya sendiri,
Abdullah bin Mas’ud, seorang suku Hudzail, Bilal, dan dua
orang yang sengaja tidak saya sebutkan namanya. Nabi
tampak tergerak untuk memenuhi tuntutan pemuka kaum
xxii
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
musyrikin tersebut. Tiba-tiba turunlah ayat wa laa tathrudi
alladziina yad’uuna rabbahum bi alghadaati wa al’asyiyyi
yuriiduuna wajhahu (dan janganlah kamu mengusir orang-
orang yang selalu berdoa kepada Tuhan di waktu pagi dan
sore karena hanya mengharap keridhaan Allah (riwayat
Muslim, Riadhus Shalihin, I, hlm 264).
‘An Haaritsata ibni Wahab r.a qaala: sami’tu rasulullaah
Saw yaquulu: alaa uhbirukum bi ahli al jannati? Kullu
dha’iifin mutadla’afin lau aqsama ‘alaa al llaahi laabarrahu,
alaa uhbirukum bi ahli al naari? Kullu ‘utullin jawwaadlin
mustakbirin. (muttafaq alaihi) Artinya: Dari Harits bin Wahb
r.a berkata, saya telah mendengar Rassulullah Saw bersabda:
“Sukakah saya beritahukan kepadamu tentang ahli surga?
Mereka seluruhnya adalah orang-orang dhaif dan didhaifkan,
tapi jika mereka meminta sesuatu kepada Allah pasti
permintaan mereka itu akan dipenuhi. Sukakah engkau saya
beritahu siapa ahli neraka? Mereka adalah orang-orang yang
keras hati, tabi’atnya kaku dan berlaku sombong” (riwayat
Bukhari, Riadhus Shalihin, I, hlm 254-255).
Abul Abbas Sahl bin Sa’ad Asaa’idy ra berkata, ketika
Rasul sedang duduk lewatlah seseorang (di depannya). Rasul
lalu bertanya kepada orang yang duduk di sebelahnya:
“bagaimana pendapatmu tentang orang itu?” jawab orang di
sebelah Rasul: “itulah seorang bangsawan yang demi Allah
pinangannya layak diterima dan jika meminta seseorang
mengerjakan sesuatu pasti dipenuhi”. Rasul diam mendengar
jawaban itu. Tak berapa lama lewat lagi seseorang di
depannya. Rasul bertanya lagi pada orang yang sama:
“bagaimana pendapatmu tentang orang ini?” Teman duduk
Rasul itu pun menjawab: “Ya Rasul itulah orang miskin yang
xxiii
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
pinangannya jika ia meminang patut ditolak dan jika meminta
melakukan sesuatu tidak akan dipenuhi”. Rasul lalu bersabda:
“orang inilah yang lebih baik dari sepenuh bumi orang-orang
bangsawan” (riwayat Bukhari, Riadhus Shalihin, I, hlm 255-
256).
Abu Said Al Khudry ra berkata, bersabda Nabi Saw:
“suatu ketika terjadi perdebatan antara surga dan neraka.
Neraka berkata bahwa dirinya akan dipenuhi oleh orang-
orang besar yang berkuasa dan sombong. Sementara surga tak
kalah berkata bahwa dirinya akan dipenuhi kaum dlu’afaa dan
miskin. Allah lalu memutuskan perdebatan neraka dan surga
itu dengan menyatakan bahwa “Kau surga! Kau adalah tempat
rakhmat-Ku. Aku merakhmati dengan surga kepada siapa
yang Kukehendaki. Kau neraka! Kau adalah tempat siksa-Ku,
Aku menyiksa dengan siapa yang Kukehendaki dan bagi
kaum neraka dan surga pasi akan Aku penuhkan isimu”
(riwayat Muslim, Riadhus Shalihin, I, hlm 256).
Abu Hurairah ra berkata, ada seorang tukang sapu masjid
yang selama beberapa hari belakangan tidak dilihat
Rasulullah. Rasul lalu bertanya tentang si tukang sapu masjid
tersebut. Ketika Rasul mendapat jawaban bahwa si tukang
sapu telah mati, Nabi bersabda: “mengapa engaku tidak mem-
beritahukan kematiannya kepadaku? Tunjukanlah kepadaku
dimana tempat kuburnya!” Orang-orang pun segera menun-
jukkan kepada Nabi Saw di mana kuburan si tukang sapu
tersebut. Nabi segera pergi ke kuburan si tukang sapu itu lalu
melakukan shalat jenazah. Nabi pun bersabda: “sesungguhnya
kuburan ini penuh kegelapan dan Allah telah menerangi
dengan salatku pada mereka” (riwayat Bukhari-Muslim,
Riadhus Shalihin, I, hlm 257).
xxiv
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Abu Hurairah ra berkata bersabda Rasulullah Saw:
“kadangkala seseorang yang rambutnya kusam dan terurai,
betolak dari satu pintu ke pintu rumah (meminta-minta) dan
dipandang rendah oleh manusia, tapi jika ia meminta kepada
Allah dengan penuh kesungguhan, pasti Allah akan meme-
nuhinya” (riwayat Muslim, Riadhus Shalihin, I, hlm 257-258).
Usamah bin Zaid ra berkata, bersabda Rasulullah Saw:
“saya berdiri di depan pintu surga, tiba-tiba masuklah ke
dalamnya orang-orang yang pada umumnya miskin, ketika
orang-orang yang kaya masih tertahan oleh perhitungan
kekayannya. Dan, ketika saya berdiri di dekat pintu neraka
yang telah dibuka, tiba-tiba kebanyakan orang yang masuk ke
dalamnya kaum perempuan” (riwayat Bukhari-Muslim,
Riadhus Shalihin, I, hlm 258).
Sayangnya dalam ajaran Islam formal, Tuhan tak mudah
didekati bagaikan subyek pelaku yang tak dapat disentuh oleh
makhluknya sendiri; manusia, yang diciptakan penuh kesem-
purnaan. Wajah tuhan tercitrakan sebagai wajah penindas
yang kejam tanpa welas asih yang hanya bisa dibujuk dengan
ritus-ritus pengorbanan. Politik keagamaan dan negara-negara
bangsa merupakan sebuah sistem pelestari wajah buruk
Tuhan di abad peradaban moderen.
Ada semacam ghirah dan semangat pemihakan ke-
manusiaan dari buku Muhammad Abdul Halim Sani dalam
uraian sepanjang bukunya ini. Demikian pula gagasan tentang
kader IMM, juga kader gerakan Muhammadiyah yang ia beri
simbol profetis atau juga kenabian. Persoalannya, seberapa
pembaca dan penulis buku ini sendiri bisa menangkap pesan
kenabian dalam bingkai gerakan profetis tersebut secara
xxv
Makna Profetis dan Suara Kenabian dalam Gerakan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
otentik? Tentu semuanya terpulang pada para pembaca, selain
kritik kenabian kepada penulis buku ini. Selamat membaca.
Kotagede awal tahun 2011
xxvManifesto Gerakan Intelektual Profetik
Daftar Isi
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Prakata – v
Kata Pengantar – ix
Daftar Isi – xxv
Bagian 1. Manusia dalam Perfektif Ikatan – 1
A. Pengungkapan Manusia – 1
B. Hakekat Manusia – 2
C. Kedudukan dan Peran Manusia – 15
D. Tujuan Hidup Manusia dalam Ikatan – 19
Bagian 2. Menggali Makna Ikatan;
Interpretasi terhadap Simbol IMM – 23
A. Prawacana Ikatan – 23
B. Tujuan Ikatan – 25
C. Semboyan Ikatan – 28
D. Trilogi Ikatan – 32
Bagian 3. Upaya Mewujudkan Kader Ikatan; Profil Kader
Ikatan – 41
A. Landasan Illahiah – 41
B. Pengungkapan Intelektual Profetik Ikatan – 46
1. Intelektual – 46
2. Profetik – 48
3. Intelektual Profetik (IP) Ikatan – 50
C. Sejarah Intelektual Profetik – 50
xxvi Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
D. Kenapa Harus Intelektual Profetik ? – 52
1. Realitas Mikro (Diri atau Ikatan) – 53
2. Realitas Makro – 56
3. Realitas Lokal – 58
E. Tugas Intelektual Profetik – 59
1. Humanisasi – 60
2. Liberasi – 61
3. Transendensi – 62
F. Kompetensi Dasar Intelektual Profetik – 63
1. Basis Ideology – 64
2. Basis Knowledge – 64
3. Basis Skill – 65
Bagian 4. Realitas Sekarang; Globalisasi dan
Multikulturalism – 66
A. Prawacana Globalisasi dan Multikulturalism
– 66
B. Globalisasi – 69
C. Multikulturalisme – 75
Bagian 5. Realitas Muhammadiyah; Bercermin pada Pendiri
Muhammadiyah – 84
A. Prawacana Muhammadiyah – 84
B. Sejarah Muhammadiyah – 87
1. Faktor Internal – 89
2. Faktor Eksternal – 91
C. Sistem Pemikiran Kiyai Ahmad Dahlan – 92
1. Akal – 94
2. Relativisme dalam Pemahaman
Keagamaan – 96
xxviiManifesto Gerakan Intelektual Profetik
3. Filsafat Toleransi – 97
4. Penafsiran Agama tidak Absolut – 98
5. Iman dan Tanggungjawab Sosial – 99
6. Shalat, Amal dan Tanggungjawab Sosial
– 100
D. Realitas Muhammadiyah – 102
E. Relevansi Pemikiran Kiyai Ahmad Dahlan
– 108
Bagian 6. Pentingnya Kesadaran, dari Kesadaran Kritis
Menuju Kesadaran Profetis – 112
A. Prawacana Kesadaran – 112
B. Proses Kesadaran – 115
1. Kesadaran Magis – 118
2. Kesadaran Naif – 119
3. Kesadaran Kritis – 120
4. Kesadaran Profetik – 122
C. Etika Profetis – 127
1. Konsep Umat yang Terbaik – 131
2. Kesadaran Sejarah dalam Ikatan – 133
3. Konsep Profetis – 135
Bagian 7. Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik,
Penjelasan Manifesto Gerakan Intelektual
Profetik Ikatan – 138
A. Indikator Cendekiawan Profetis – 138
1. Individu Kader – 139
2. Ikatan dalam Bentuk Kolektif – 143
B. Metodologi Transformasi Profetis – 146
1. Refleksi, Belajar dari Pengalaman – 147
xxviii Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
2. Dialogis – 147
3. Kontekstualisasi Doktrin Agama – 147
C. Indikator Transformasi Profetis – 149
1. Perubahan Sistematis – 150
2. Partisipatoris – 150
3. Perubahan Spritual dan Material – 150
4. Alur Metodelogi Profetis – 151
D. Aksi Transformasi Profetis – 151
1. Prioritas Isu/Program/Kasus – 152
2. Pemilihan Pemihakan – 152
3. Membentuk Kelompok Inti – 153
4. Merancang Sasaran dan Strategi – 153
5. Menggalang Sekutu dan Pendukung–154
6. Membentuk Pendapat Umum – 155
7. Pemantauan dan Evaluasi Program Aksi
– 155
Bagian 8. Etos Profetis; Upaya Mewujudkan Kebudayaan
Ilmu dalam Ikatan – 156
A. Prawacana Etos – 156
B. Etos dan Kebudayaan – 157
C. Bercermin pada Sejarah Muhammadiyah dan
Ikatan – 161
1. Tajdid dalam Masalah Keagamaan – 164
2. Tajdid dalam Masalah Kemasyarakatan –
165
3. Sejarah Ikatan – 166
4. Pengungkapan Diri Ikatan – 167
5. Realitas Ikatan – 168
6. Kontekstualisasi Ikatan – 170
xxixManifesto Gerakan Intelektual Profetik
D. Menggagas Kebudayaan Ilmu pada Ikatan –
171
1. Kebudayaan Ilmu dalam Pemikiran
2. Kebudayaan sebagai Sistem Aktivitas –
172
3. Kebudayaan dalam Artifak – 173
Bagian 9. Teori-Teori Sosial; Ilmu Sosial Sekuleristik
Menjuju Ilmu Sosial Integralistik – 175
A. Prawacana Ilmu Sosial – 175
B. Paradigma Ilmu Sosial – 178
C. Ilmu Sosial Positivistik – 180
D. Ilmu Sosial Konstruktivisme – 187
E. Ilmu Sosial Kritis – 191
F. Ilmu Sosial Profetik – 197
G. Pilar Ilmu Sosial Profetik – 203
Bagian 10. Filsafat Pergerakan; Mewujudkan Sosiologi
Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan – 210
A. Prawacana Pergerakan – 210
B. Nilai Dasar Ikatan – 213
1. Ikatan sebagai Organisasi Pergerakan –
214
2. Ikatan sebagai Organisasi Kader – 216
C. Realiatas Sekarang – 217
D. Sosiologi Gerakan – 222
E. Diaspora Gerakan Ikatan – 226
Bagian 11. Transformasi Profetik; Mewujudkan Khairul
Ummat – 234
xxx Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
A. Prawacana Perubahan – 234
B. Transformasi Sosial Emile Durkheim – 237
C. Transformasi Sosial Max Weber – 239
D. Transformasi Sosial Karl Marx – 241
E. Transformasi Profetis – 243
F. Khairul Ummat – 251
Epilog – 254
Lampiran I. Ilmu Sosial – 262
Lampiran II. Bagan Kesadaran pada Manusia – 263
Lampiran III. Bagan Manifesto Gerakan Intelektual Pro-
fetik dalam Rekonstruksi Peradaban – 264
Daftar Bacaan – 265
1
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B a g i a n
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Dengan nama Allah yang maha Pengasih dan Penyayang.Demi tin dan zaitun, dan Bukit Sinai, dan kota ini yang aman.Kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik,kemudian Kami jatuhkan dia serendah-rendahnya kecualimereka yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan. Makabagi mereka pahala yang tiada putusnya. Sesudah itu, apayang menyebabkan mereka menyangkal. Engkau tentang harikiamat akan datang? Bukankah Allah Hakim yang palingbijaksana? (QS. At-Tin 1-8)
A. Pengungkapan Manusia
Kejadian manusia dan asul-usulnya dipandang dengan
cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dikarenakan dari
segi memandangnya yang berbeda misalnya dari segi agama
ataupun ilmu pengetahuan. Pandangan agama tentang
manusia juga memiliki keberagaman misalkan dalam agama
Hindu manusia berkaitan erat dengan kejadian alam semerta.
Pada gambaran tersebut tidak memberikan gambaran yang
jelas agar dapat mudah dipahami. Kejadian manusia dalam
agama ini diceritakan bahwa alam terjadi sewaktu Dewa
Barahma yang sedang mandi dan tetesannya mengalir menjadi
sungai Gangga, selanjutnya terjadinya alam akibat bertemu-
nya dua dewa sehingga tercipta bulan, matahari, manusia,
awan dan sebagainya. (Saleh A. Nahdi, Adam Manusia
1
2
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Pertama) Kisah yang lain dalam kitab Taurat menyebutkan
bahwa kejadian manusia terurai dengan jelas, tercantum
dalam kitab Kejadian pasal 1:2, pasal 12: 21-22 yang intinya
menyatakan bahwa manusia dijadikan secara mendadak,
termasuk Siti Hawa dari tulang rusuk Adam. (Lembaga Kitab
Indonesia, Alkitab dengan Kidung Jemaat)
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam
bahasa arabnya berasal dari kata nasiya yang berarti lupa.
Sedangkan dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak.
Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia
memiliki sifat lupa dan jinak, dalam hal ini manusia selalu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya.
Manusia dengan cara keberadaannya sekaligus membedakan
secara nyata dengan mahluk yang lain. Dalam kenyataan
mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir
dan berfikir tersebut, yang menentukan manusia pada
hakekatnya. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan
sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam
karyanya dapat dilihat dalam setting sejarah, setting psikologis
situasi emosional dan intelektual yang melatarbelakangi
karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadi-
kan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia
juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam
pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya
dengan melengkapi sisi transendensi dikarenakan pemahaman
lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang
ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan
tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999).
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam
fikiran adalah berbagai macam persfektif, ada yang mengata-
3
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kan manusia adalah hewan rasional (animal rational) dan
pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain
menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan
tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasi-kan bahasa
melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-
simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia
adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan
yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja.
Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarena-kan
disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia
memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan
dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuai-
kan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia
dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia bersikap arif
karena memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang
lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut
dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat
dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia
juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang
bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya
dalam suatu kebudayaan bersifat fun yang merupakan
kombinasi lucu dan menyenangkan. Permainan dalam
sejarahnya juga digunakan untuk memikat dewa-dewa dan
bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan
sebagai ritus suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern,
2005)
Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan
binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu
dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat
kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya.
4
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara
langsung bagi dirinya dan keturunnya, sedangkan manusia
berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia
baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari
kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya
dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan
jenis produksinya, manusia berproduksi mnurut berbagai jenis
dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia
berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia
dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas dapat bekerja
meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal
dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan
yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak
hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu
menurut Marx manusianya terbuka pada nilai-nilai estetik
dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah
menunjukan hakekat bebas dan universal. (Franz Magnis
Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999).
Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang
filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia dan
sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan
tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian
menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia
sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan
tentang makna hidupnya ditengah dinamika perubahan yang
kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah
kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat
manusia merupakan pertanyaan kuno seumur keberadaan
manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak
pernah akan selesai dikarenakan realitas dalam kehidupan
5
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak
berubah. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Manusia menurut Paulo Freire merupakan satu-satunya
mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia
berbeda dengan hewan yang tidak memiliki sejarah, dan
hidup dalam masa kini yang kekal, mempunyai kontak tidak
kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusia
dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk
melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas,
keterarahan, temporaritas dan transendensi) yang menjadikan
mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampai-
kan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran
manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan
dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini ber-
hubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan ber-
hubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah
juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis
Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya,
2002).
Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok
yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme,
mencari unsur pokok dan yang menentukan adalah hal
bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme,
atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, dan
dualisme yang memiliki pandangan dalam menetapkan
adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling
menafikan yaitu materi dan rohani. Pandangan pluralisme
yang menetapkan adanya berbagai unsur pokok pada dasarnya
mencerminkan unsur yang ada dalam macro cosmos atau
pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada ke-
6
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
satuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletak-
kan hakekat pada kesatuan semua unsur yang membentuk-
nya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan diri-
nya, akan tetapi bukan berarti bahwa ia tidak dapat menentu-
kan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam
kehidupan dunia ini untuk mencapai kedewasaan, dan semua
kenyataan itu akan memberikan andil atas jawaban mengenai
pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam
kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
B. Hakekat Manusia
Kata yang berkaitan dengan manusia dalam al Qur’an
paling tidak ada tiga macam. Pertama, menggunakan huruf
alim, nun dan sin seperti insan, ins, nas, dan unas. Kedua,
menggunakan kata basyar. Dan ketiga, menggunakan kata
Bani Adam dan zuriyat Adam. Selanjutnya pengungkapan
kata manusia lebih menggunakan kata basyar dan insan. Kata
basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya menampak-
kan sesuatu yang baik dan indah. Kata basyar juga menunjuk-
an suatu proses tentang kejadian manusia sampai tahap
kedewasaan. Selanjutnya kata insan merupakan penunjukan
tentang seluruh totalitas manusia seperti jiwa, dan raga
manusia yang berbeda satu dengan yang lain. (H.A. Sholeh
Dimyati, Tinjauan Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan tantang
Manusia).
Penggambaran manusia juga tertuang dalam sebuah
perkatan Nabi yang berisi tentang hati untuk mengungkapkan
kondisi manusia;
7
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
“Dalam tubuh manusia ada sebuah segumpal daging apabiladaging itu rusak maka rusaklah seluruh tubuh manusia, taukahapakah segumpal daging itu?Segumpal daging itu adalah hati.”
Melihat hadist tersebut hati merupakan bagian yang
fundamental dari manusia. Dalam tradisi kaum sufi hati
merupakan yang penting dalam memgambarkan perjalanan
spiritual dan organ yang memendam misteri-misteri Ilahi.
Hati berjalan langsung dalam pengembaraan menuju kesem-
purnaan batin. Kaum sufi mempercayai di dalam hati terdapat
realitas dari dunia yang tak berbentuk dan kesatuan wujud.
Hal tersebut dikarenakan ketika manusia berdialog dengan
Tuhan terjadi di dalam hatinya dan hatinya pun dapat
menyaksikan serta merasakan kehadiran Tuhan. (Sara Sviri,
Demikianlah Kaum Sufi Berbicara). Hati manusia dalam
ajaran agama Islam diidentikan dengan seperangkat penge-
tahuan dan bukan seperangkat emosi, kadang-kadang
digambarkan barzakh (tanah-genting). Hati juga memisahkan
dan sekaligus menyatukan “dua lautan“ yang bersifat Illahiah
ataupun yang bersifat duniawi. (Charles Le Gai Eaton,
Manusia, dalam Sayyed Hussein Nasr, Ensiklopedi Tematis
Spiritualitas Islam).
Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah
yang ada dalam kehidupan ini. Begitupula dengan peradaban
hari ini pun didasarkan atas humanisme, martabat manusia
serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa
agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah
memaksa mengorbankan dirinya demi Tuhan. Agama telah
memaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka
manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum
Tertindas, 2001). Muhammad Iqbal memandang manusia
8
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dengan ego, sedangkan ego memiliki sifat bebas unifed dan
immortal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar
pengandaian logis. Pendapat yang dikemukakan oleh
Muhammad Iqbal tentang ego ini dapat membantah tesis yang
dikemukanakn oleh Kant. Kant berpendapat bahwa diri bebas
dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkrit
namun secara logis harus dapat dijadikan postulas bagi
kepentingan moral. Hal ini dikarenakan, moral manusia tidak
masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan
tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. (Donny Grahal
Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Menurut Muhammad Iqbal bahwa ego terbagi menjadi
tiga macam; pantheisme, empirisme dan rasionalisme.
Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi
dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Muhammad
Iqbal menolak pendangan ego yang bersifat pantheisme
dikarenakan ego manusia adalah nyata, hal tersebut diketahui
dengan manusia berfikir dan manusia bertindak membukti-
kan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros
pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar
penanaman yang ril adalah pengalaman. Benak manusia
dalam pandangan ini adalah ibarat panggung sandiwara, bagai
pengalaman yang silih berganti. Muhammad Iqbal menolak
empirisme jika orang yang tidak dapat menyangkal
pengalaman dan tentang yang menyatukan pengalaman dalam
kehidupan. Muhammad Iqbal juga tidak sependapat dengan
rasionalisme, dikarenkan ego yang diperoleh melalui penalar-
an dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali
aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mem-
pertegas keberadaannya). Ego dalam pengertian Muhammad
9
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Iqbal adalah bebas, terpusat, dapat diketahui dengan
menggunakan intuisi. Muhammad Iqbal menggambarkan
aktivitas ego pada esensinya adalah berupa aktivitas
kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang
bergerak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan
agar tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh
hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia
berkehendak bebas dan kreatif. (Donny Grahal Adian,
Matinya Metafisika Barat, 2001)
Manusia merupakan mahluk yang paling menakjubkan.
Jantung manusia memompa 4,5 liter darah setiap menit
hidupnya. Tubuh manusia mengandung 2,5 milyar sel darah
merah, dan 2,5 milyar sel darah putih, yang berfungsi sebagai
bagian yang terpenting dalam kekebalan tubuh. Otaknya
terdiri dari 3 pon benda seperti adonan berwarna putih dan
keabu-abuan dan milyaran komponen yang bekerja. Dalam
sekejap otak dapat melakukan ribuan komunikasi yang saling
terhubung. (Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Eksistensi
Manusia, 2008).
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya yakni
nafs, keakuan, diri, ego. Pada tahap ini semua unsur mem-
bentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian dinamik, dan
aktualisasi kekinian yang dinamik berada dalam perbuatan
dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek
dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik
karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs
hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatan-
nya, sedangkan pada ketauhidan hakekat dan fungsi manusia
sebagai ‘adb dan khalifah. Kesatuan aktualisasi sebagai
kesatuan jasad dan ruh yang membentuk tahapan nafs secara
10
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999). Penggabungan
nafs yang aktual ini menjadikan manusia berkembang
sehingga mewujudkan manusia yang “ideal”, berpusat pada
yang menciptakan-Nya. Usaha yang dilakukan oleh manusia
dalam tahapan tersebut merupakan suatu hal yang biasa,
dikarenakan semua itu pernah dilakukan oleh orang-orang
sufi untuk mencapai harmonisasi dan keselarasan dengan
alam.
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan
kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Dunia
bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia
dapat mempersepsikan kenyataan di luar maupun keberadaan
di dalam dirinya dan hubungan ini bersifat unik. Status unik
manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasitas-
nya dapat mengetahui. Mengetahui merupakan tindakan yang
mencerminkan orientasi manusia terhadap dunia. Dari sini
memunculkan kesadaran atau tindakan autentik, dikarenakan
kesadaran merupakan penjelasan eksistensi manusia didunia.
Orientasi dunia yang terpusat oleh refleksi kritis serta
kemampuan pemikiran adalah proses mengetahui dan
memahami. Dari sini manusia sebagai suatu proses dan ia
adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu.
Manusia memiliki kemampuan dan harus bangkit terlibat
dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti
Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004).
Proses penciptaan manusia merupakan suatu kejadian
yang terkecil dari apa yang diciptakan oleh Tuhan. Manusia
terbuat dari tanah liat, atau Lumpur, kemudian ditiupkan oleh
Allah roh-Nya, lalu diciptakan indera pendengaran, peng-
lihatan dan hati. Manusia juga diminta untuk merenungkan
11
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dirinya yang bgitu remeh. Bahan yang membentuknya
hanyalah segumpal tanah atau tanah liat. Kemudian datang
kehidupan dan reproduksi kehidupan manusia melalui sperma
(air mani), yang merupakan sari pati tiap bagian tubuh laki-
laki. Cairan tersebut merupakan sel-sel hidup yang terbentuk
dari sari pati asal usul kehidupan nenek moyang. Ovum atau
telur betina dibuahi oleh sperma jantan maka terbentuklah
suatu kehidupan pribadi yang berwujud, dan berangsur-
angsur membentuk rupa. Anggota badan terbentuk, kehidup-
an hewani mulai berfungsi dan semua adaptasi yang indah
lahir. Setelah itu roh Tuhan ditiupkan kepadanya. Kemudian
ia terangkat lebih tinggi dari pada hewan dan sebagai seorang
manusia ia memperoleh kecerdasan yang lebih tinggi dan
kemampan untuk mendengarkan ajaran Allah, penglihatan
batin, serta hati nurani yang memahami kehidupan batin.
(Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Eksistensi Manusia,
2008).
Dalam ayat al Qur’an membincangkan asal usul manusia
sebagai wujud yang hidup, al Qur’an menggunakan perkataan
basyar atau insan bukan Adam yang disediakannya bagi
manusia sebagai khalifah Tuhan di dunia. Penggunaan Adam
dalam menjelaskan eksistensi manusia yang ada di qur’an
merupakan sebuah konsep, dari pada sebuah manusia yang
nyata. (Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam
Pemikiran Islam, 1978)
Manusia dalam konsep Al-Quran mengunakan kensep
filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian Adam
mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna
dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kodrat ruhaniah
12
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah Adam
dapat diredusir menjadi rumus;
Ruh Tuhan + Lempung Busuk Manusia
Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol
individu. Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung
busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua
istilah itu harus bermakna simbolis. “Lempung busuk”
merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak.
Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah
kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas. Pernyataan
al Quran bahwa manusia merupakan gabungan ruh Tuhan
dan lempung busuk. (‘Ali Syariati, Paradigma Kaum
Tertindas, 2001).
Roh merupakan sumber perbedaan antara lumpur
dengan manusia, energi yang sangat menakjubkan dan
kekuatan relatif yang tak terbatas. Energi ini tidakhanya
terbatas pada adam, tetapi ada dalam setiap manusia sejak
awal penciptaan manusia. (Muhammad Chirzin, Al-Quran
dan Eksistensi Manusia, 2008). Manusia adalah suatu
kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu
stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan
syaitan. Gabungan tersebut menjadikan manusia bersifat
dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai realitas
dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia ber-
kehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan
bertanggungjawab. Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati
adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh tuhan
13
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dengan lempung dan yang dominan dalam dirinya adalah ruh
Tuhan. (‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001).
Manusia juga diberikan anugerah berupa kemampuan
otak yang sangat dahsyat dalam pengungkapan kebenaran.
Disamping itu, Tuhan memberikan sarana berupa wahyu,
melalui orang-orang yang kedudukan rohaninya sangat tinggi.
Kalau manusia bersyukur dia akan menerima bimbingan atau
petunjuk tersebut menjadi orang-orang yang beriman dan
bersama-sama menjadi orang-orang yang mendapatkan
kebahagiaan. Kalau tidak, dia mengingkari tujuannya,
merantai dirinya sendiri, jadi kehilangan kebebasannya dan
membebani diri dalam dosa. (Muhammad Chirzin, Al-Quran
dan Eksistensi Manusia, 2008)
Manusia merupakan mahluk unik yang menjadi salah
satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang
merupakan mikro kosmos. Dalam pembagian filsafat materi
terbagi menjadi dua macam, esensi dan eksistensi. Demikian
halnya manusia sebagai materi yang terdiri atas esensi dan
eksistensi menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi
dan eksistensi berjalan secara bersamaan dan dalam
perjalanannya ada yang mendahulukan esensi dan juga
eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia
bersifat tidak bergerak dan menuju lebih dalam, tanpa
melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan
eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada
tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikemukakan
oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi manusia merupakan dialektika
antara ruh Tuhan dengan lempung, dari dialektika tersebut
menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya
manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan
14
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan
oleh Socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas
untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat
memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia
yang memahami tentang dirinya sendiri maka ia akan
memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan
pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurna-
an. Proses pemahaman diri dengan refleksi kritis, agama dan
realitas, hal tersebut menjadikan manusia insan kamil atau
manusia sempurna.
Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia
NoEksistensimanusia
Esensi KesadaranFitrah
(Basic Human Drives)
Basic HumanValues
(Basic IslamicValues)
KebutuhanDasar (Basic
HumanNeeds)
1 Al Insan Rasa ingin tahu Intelektual Intelektual
2 Al BasyarRasa lapar, haus,dingin
Biologis Biologis
3 AbdullahSarat ingin berterimakasih dan bersyukurkepada Tuhan
Spiritual Spiritual
4 An-NasRasa tahan sendiri danmenderita dalamkesepian
Sosial Sosial
5Khalifah filardhi
Butuh keamanan,ketertiban, kedamaian,kemakmuran, keadilandan keindahanlingkungan
Estetika Estetika
Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia
mahluk yang berdimensional dan bersifat unik. Manusia
15
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya
yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam
eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan
khalifah, dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia
seperti intelektual, biologis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat
dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif
dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai
transendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal tersebut
menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik
profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah
pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya dan
pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya
sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak
orang lain. Manusia yang bereksistensi sebagai khalifah fil
ardh menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan
menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi dalam
rangka beribadah pada-Nya.
C. Kedudukan dan Peran Manusia
Ketahuilah bahwa Allah telah memililih beberapa
manusia sebagai seorang yang memberi kabar kepada manusia
yang lain. Allah memuliakan mereka dengan mendapatkan
firman-Nya dan mereka mampu untuk mengetahui-Nya.
Mereka merupakan media penghubung Allah dengan hamba-
Nya, mereka merupakan hamba Allah yang terbaik dan
menggerakkan hatinya untuk mencari pentujuk sendiri
tentang kebenaran dan mereka menyelamatkan manusia yang
lain dari kesesatan serta memberikan petunjuk pada
keselamatan. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah).
16
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Pengungkapan surga yang terjadi pada nabi adam adalah
suatu yang sederhana. Hal tersebut, dikatakan oleh
Muhammad Iqbal sebagai berikut; bahwa jannah dalam al
Qur’an merupakan suatu gagasan keadaan primitif dimana
manusia praktis tidak ada hubungannya dengan lingkungan
dan sebagai akibat dari tiada merasakan desakan dari
kebutuhan manusia yang kelahirannya merupakan suatu
tanda-tanda dari kebudayaan umat manusia. (Muhammad
Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pemikiran Islam, 1978).
Hal ini juga dijelaskan dalam surat at Thoha;
Tidak kan lapar padanya dan tidak akan telanjang … dan tidakakan dahaga dan tidak akan merasakan panas.(QS. Thoha;118-119)
Proses kejatuhan Adam tidak ada hubungannya dengan
munculnya manusia pertama kali di bumi, tetapi tujuannya
adalah untuk menunjukan kebangkitan manusia dari
kedudukan nafsu instingtifnya yang sederhana kepada pilihan
sadar dari sesuatu diri yang bebas, yang sanggup curiga dan
melawan. Kejatuhan tersebut bukanlah kehilangan moral
tetapi merupakan peralihan kesadaran yang sederhana
menuju cahaya pertama dari kesadaran diri, seperti sadar dari
mimpi dan sadar tentang sebab musabab mengenai dirinya
sendiri. Bahkan dalam al Qur’an digambarkan bumi bukanlah
sebagai ruang siksa yang memenjarakan manusia dari dosa
asal. Sikap tidak patuh yang pertama merupakan untuk
memilih secara merdeka, oleh karena itu pelanggaran pertama
dalam hal tersebut dimaafkan. Kebaikan bukanlah soal
paksaan tetapi penyerahan secara bebas dari diri untuk
17
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
sebaik-baiknya moral. Kemerdekaan merupakan syarat
kebaikan. Kemerdekaan untuk memilih yang baik mengan-
dung juga kemerdekaan untuk memilih yang tidak baik.
Tuhan telah mengambil resiko dengan menunjukan keper-
cayaan kepada manusia dan sekarang bagi kita adalah menjaga
kepercayaan tersebut. (Muhammad Iqbal, Pembangunan
Kembali Alam Pemikiran Islam, 1978). Hal ini, juga dijelas-
kan dalam surat at-Tin tentang kedudukan mulia dan
kejatuhan derajat manusia kecuali orang yang beriman dan
melakukan amal kebaikan.
Pengungkapan manusia paripurna yakni Adam ter-
maktub dalam Al Qur’an yang layak sebagai pemimpin umat.
Adam mengatur keperluan pokok umatnya yakni air,
sandang, papan. Kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan
manusia sepanjang masa. Jika kebutuhan itu terpenuhi secara
adil maka yang akan terjadia adalah kentenraman dan hidup
yang lebih damai. (H.A. Sholeh Dimyati, Tinjauan Al Qur’an
dan Ilmu Pengetahuan tantang Manusia). Manusia sebagai
mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan
yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran
dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan
eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam
hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan
khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan
ia dalam kelima eksistensi tersebut. Manusia ditetapkan
sebagai khalifah yang berarti sebagai pengganti generasi
sebelumnya ataupun seorang nabi dan penerus misi
sebelumnya. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai
pengganti Tuhan, manusia disini harus bersentuhan dengan
sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi
18
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
ingin tahu, menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan
disemangati nilai-nilai transendensi.
Islam memandang manusia sebagai khalifah Tuhan di
bumi dan sebagai proyeksi dimensi vertikal kedalam tataran
horizontal. Hal tersebut dikarenakan manusia yang memiliki
akal mengetahui realitasnya sendiri dan menjadi salah satu
manifestasinya. Ia dapat bangkit melampaui egonya yang
bersifat duniawi dan kontigen. Kemampuannya yang dimiliki-
nya tersebut dapat berdialog dengan Tuhan. Manusia merupa-
kan cerminan yang didalamnya terpantul nama dan sifat-sifat
Allah yang dihadapan-Nya berdiri tegak dan untuk selama-
lamanya. (Charles Le Gai Eaton, Manusia, dalam Sayyed
Hussein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam)
Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai
hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an
tertanam sebagai penganti Tuhan di muka bumi. Manusia
dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang
dan saling berkerjasama dalam rangka memakmurkan bumi.
Manusia berkedudukan sebagai wakil Tuhan di muka bumi
yang dapat terdiri atas dua macam yakni perwujudan dari
sulthan sebagai kepala negara dan fungsi manusia di muka
bumi sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna. (M.
Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al Qur’an; Tafsir Sosial Ber-
dasarkan Konsep-Konsep Kunci). Khalifah yang dimaksud
merupakan kekuasaan oleh Tuhan untuk memakmurkan
bumi dalam rangka ibadah kepada Allah. Pemberian khalifah
ini dikarenakan potensi yang mengaktual pada manusia
dijalankan secara selaras dan seimbang.
Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk
meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap
19
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam
rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Manusia yang
memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan
keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-
syari’ah, yang merupakan tujuan utama diciptanya sebuah
hukum atau nilai esensi dari hukum, dimana harus menjaga
agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Tindakan
manusia yang sesuai dengan aturan tersebut menentukan
terciptanya kemakmuran dunia.
D. Tujuan Hidup Manusia dalam Ikatan
Manusia dalam perkembangan kebutuhan menurut
Abraham Maslow berada pada piramida yang tertinggi yakni
kebutuhan yang bersifat abstrak pada dunia spiritual dan
religiusitas. Sedangkan pada tingkatan yang paling bawah
manusia memenuhi kebutuhan dengan makan dan minum
untuk memuaskan kebutuhan biologisnya. Setelah kebutuhan
biologis terpenuhi maka secara langsung meningkat pada
kebutuhan yang berikutnya yakni kebutuhan akan kasih
sayang, ketentraman, dan rasa aman. Jika kebutuhan itu
terpenuhi maka yang diinginkan adalah mengaktualisasikan
diri agar dapat berkembang. (Jalaluddin Rakhmat, Madrasah
Ruhani; Berguru pada Ilahi di Bulan Suci). Pengungkapan
kebutuhan yang telah diuraikan oleh Abraham Maslow
tersebut bertujuan pada peningkatan kebutuhan yang bersifat
transenden dalam mengharapkan perjumpaan dengan sang
pencipta.
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu denganhati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalamjama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.(Q.S Al Fajr 27-30)
20
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Jiwa yang tenang merupakan perkembangan spiritual
yang tertinggi dan konsep tersebut dekat dan dikembangkan
oleh kaum sufi. Ketika melihat manusia maka esensinya
merupakan jiwanya, hal tersebut dikarenakan jiwa yang
mencerminkan perbuatan. Misalkan seorang dikatakan kikir
karena jiwanya yang kikir. (M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi
Al Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci).
Jiwa yang tenang merupakan cita-cita yang dimiliki oleh
manusia sebagai hamba yakni kembali pada Tuhan dengan
ridha-Nya. Proses kembalinya jiwa yang tenang ini merupa-
kan suatu konsep menyatunya mahluk dengan pencipta-Nya,
yang dapat kita lihat pada diri nabi dan para sufi.
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan
kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan
Pencipta-Nya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembali-
nya air hujan ke laut. Kembalinya manusia sesuai dengan
asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari
Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan
bentuknya, misalkan dalam bentuk imateri maka kembali
kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur
materi yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada
materi yang membentuk jasad manusia. Nafs yang dimiliki
manusia merupakan nafs yang terbatas dan akan kembali
bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, kembalinya nafs
manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal.
Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan
perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam
dimensi spiritualitas. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan
manusia dan melalui keratifitasnya, manusia menaiki tangga
21
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
mi'raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya
kreatifitas abadi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam
kondisi spiritual tercapai jika manusai berusaha membersih-
kan diri dari sifat yang buruk. Perjumpaan nafs tersebut dapat
dilihat pada sufi yang memunculkan berbagai macam ekspresi
dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al
Halaj, Yazid al Bustami, Rabiah al Adawiyah dan yang lain,
mereka memiliki ekspreasi dan kelakuan yang berbeda ketika
merasakan bertemunya dengan Pencipta. Tetapi dari sini
manusia mendaki tangga mi'raj menuju nafs Tuhan dengan
cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia.
Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan
Pencipta, lantas tak memperdulikan yang lain, dengan
menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setelah
menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan
untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta
tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang
lain, menjadikan diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka
bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia
sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi
rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.
Kita mengetahui bahwa proses akhir kehidupan setelah
di dunia adalah mengharapkan perjumpaan kembali dengan-
Nya. Proses perjumpaan kembali ini dapat terjadi sebelum dan
setelah kita meninggalkan dunia. Perjumpaan manusia
dengan Pencipta adalah akhir kehidupan dan pengharapan.
Tetapi, sekarang proses perjumpaan tersebut dapat dilakukan
sebelum orang tersebut tiada, hal ini terjadi pada peristiwa
isra’mi’raj nabi Muhammad dan masa ekstase orang sufi dalam
22
Manusia dalam Persfektif Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
beribadah. Perjumpaan tersebut sangat menyenangkan dan
menggairahkan dikarenakan hal itu merupakan tujuan akhir
manusia dalam kehidupannya.
Perjumpaan dengan Pencipta bagi orang yang ber-
kesadaran mistik merupakan tujuan akhir manusia kembali
pada kehadirat-Nya dalam keadaan tenang, sehingga menjadi-
kan manusia larut dengan ritual ibadah. Manusia lebih
memilih untuk terus menyatu pada-Nya (kepentingan
individu) tanpa berusaha kembali pada realitasnya (melaku-
kan perubahan sosial) dan bahkan cenderung melupakannya.
Hal tersebut akan berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
nabi setalah berjumpa dengan Tuhan. Nabi lebih aktif dalam
melakukan perubahan sosial guna tercipta masyarakat yang
berkeadilan. Perjumpaan dengan Tuhan tersebut sebagai
sarana membangkitkan semangat untuk melakukan transfor-
masi yang berkeadilan dalam rangka meningkatkan kualitas
ibadah kepada Tuhan. Kesadaran tersebut merupakan
kesadaran kenabian sebagai manusia yang terlibat dalam
sejarah dan menentukan jalannya sejarah.
Manusia dalam pandangan ikatan adalah manusia
berkesadaran kenabian yang berupaya melakukan trans-
formasi sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh masing-
masing kader. Manusia ini mengaktualkan potensi yang ada
agar berubah menjadi eksistensi sehingga terlaksananya
kedudukan manusia sebagai khalifah yang bertugas memak-
murkan bumi dalam rangka meningkatkan ibadah pada
Tuhan. Pengaktualan tersebut menjadikan manusia ber-
karakter insan kamil yang memberikan kebahagiaan dan
peringatan terhadap sesama ataupun alam.
23
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B a g i a n
Menggali Makna IkatanInterpretasi Terhadap Simbol IMM
A. Prawacana Ikatan
Manusia dalam memandang kehidupan realitas sosial
merupakan cerminan dari kerangka pikir yang dibangun
berdasarkan dialektika diri, dengan lingkungannya. Dialektika
tersebut, melahirkan suatu kebudayaan yang beragam dalam
menyikapi alam atau realitas. Kebudayaan dalam kerangka
ini, secara sederhana terbagi menjadi dua macam yakni
manusia sebagai subjek sekaligus objek dari alam. Manusia
sebagai objek dari alam adalah sikap manusia yang kurang
dapat memanfaatkan alam secara maksimal tetapi menjadikan
alam sebagai sesuatu yang sakral sehingga yang dilakukan
oleh manusia untuk menjaga keamanannya dalam kehidupan.
Hal ini terjadi pada manusia yang hidup dengan pola sangat
sederhana, manusia belum menguasai teknologi dan ilmu
pengetahuan. Kejadian ini lebih dekat dengan masa primitif
atau zaman purba yang terjadi pada ribuan tahun yang lalu.
Manusia sebagai subjek dari alam atau realitas merupa-
kan suatu sikap kreatif, inovatif manusia yang sudah
mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan ilmu
pengetahuan tersebut sebagai sarana agar alam dapat diman-
faatkan untuk kepentingan hidup manusia. Sikap tersebut
tumbuh semenjak manusia mengenal ilmu pengetahuan yang
2
24
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
terkenal dengan era industri, terjadi di negara barat
khususnya Inggris pada awal abad 19. Dalam era tersebut alam
bukanlah suatu yang sakral dan suci lagi tetapi merupakan
suatu bahan yang dapat digunakan untuk menambah
kesejahteraan manusia.
Kemajuan teknologi yang begitu pesat di era sekarang
menimbulkan berbagai persoalan diantaranya ekologi, ketim-
pangan sosial dan kebudayaan. Persoalan tersebut, ada
dikarenakan sikap manusia yang kurang mampu melakukan
pengembangan diri sehingga tertinggal dengan yang lain.
Kurangnya pengembangan diri tersebut dikarenakan akses
dalam menggali potensi tidak dimaksimalkan. Kemajuan
teknologi terus mengalir menjadikan masyarakat yang
berkembang menjadi masyarakat post industri, dengan
kerangka pemikirannya lebih cenderung bersifat konsumer-
isme dari pada memproduksi. Hal ini, dikarenakan pola fikir,
serta budaya instan yang terjadi dalam masyarakat.
Melihat berbagai persoalan tersebut diatas, kelahiran
ikatan merupakan suatu keniscayaan. Keniscayaan ini, dapat
dilihat dalam sumbangsih ikatan pada proses kebangsaan,
digali dari doktrin yang merupakan simbol diri ikatan dalam
mengawal perubahan sosial. Simbol yang selama ini melekat
dalam ikatan merupakan ruh, serta paradigama gerakan dalam
menyikapi realitas sosial yang terjadi. Pengungkapan doktrin
adalah sebuah meta teori yang harus diturunkan menjadi
sebuah teori agar dapat dioperasionalkan dalam melakukan
transformasi sosial. Bentuk transformasi sosial yang dilakukan
oleh ikatan merupakan pengejawantahan dari paradigma yang
terbangun sejak awal berdirinya ikatan sampai sekarang.
Melihat pentingnya doktrin ikatan, mari kita lihat apa yang
25
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
menjadi gerakan ikatan dalam melaksanakan tugas
kemanusiaan.
B. Tujuan Ikatan
Sebuah organisasi memiliki mimpi (angan-angan) dalam
mewujudkan apa yang dicita-citakan atau diidealkan. Peng-
gambaran cita-cita, merupakan tujuan akhir dari perjuangan
yang dilakukan oleh organisasi maupun akhir dari setiap
kader yang berada dalam sebuah organisasi. Tujuan merupa-
kan gambaran reflektif kolektif dari para pendirinya dalam
menyikapi realitas yang ada pada saat itu dan mimpi terhadap
realitas yang ideal di masa yang akan datang. Pengungkapan
realitas yang ideal itu bersifat abstrak dikarenakan manusia
yang berfikir kedepan hanya bisa memperlihatkan kondisi
ideal dan menyebutkan ciri-cirinya. Hal ini, dapat dilihat dari
semua tujuan baik Muhammadiyah ataupun pergerakan yang
lain. Penggambaran realitas yang ideal ini menjadi tujuan
dalam melakukan segala perjuangan baik yang dilakukan
secara kolektif dalam organisasi atapun seorang kader ikatan.
Pengungkapan kondisi yang ideal misalkan dalam gerakan
Marxian mengidealkan masyarakat tanpa kelas. Masyarakat
tanpa kelas yang diinginkan adalah kesetaraan dan tidak
adanya penindasan yang dilakukan oleh kelas borjuis kepada
kelas proletar. Gerakan yang dilakukan oleh aliran ini, lebih
bersifat struktural dan dilakukan dengan cara penghilangan
struktur kelas borjuis sebagai sumber penindasan.
Ikatan merupakan suatu ortom dari organisasi sosial
kemasyarakatan Muhammadiyah, maka yang dilakukan oleh
ikatan adalah mencerminkan dari Muhammadiyah itu sendiri.
Muhammadiyah dalam gerakannya menggambarkan kondisi
26
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
masyarakat yang ideal. Gambaran masyarakat ideal
Muhammadiyah ini tertuang dalam ideologi Muhammadiyah
pada Muqadimah AD dan ART. Tujuan didirikannya
Muhammadiyah sebagai “baldatun thayyibatun warabbun
ghafur”. Penggambaran ideal masyarakat dalam cita-cita
Muhammadiyah yakni masyarakat yang indah, bersih suci,
dan makmur dibawah perlindungan Tuhan Yang Maha
Pengampun. Masyarakat tersebut menurut Muhammadiyah
merupakan pengantar pada gerbang surga dengan keridhaan
Allah yang Maha Rahman dan Rahim. (AD dan ART
Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Muhammadiyah).
Pengungkapan tujuan Muhammadiyah terlihat dalam
tujuan Ikatan serta bentuk perjuangan yang akan dilakukan
oleh ikatan. Sebagaimana tercantumkan dalam tujuan IMM
yang sesuai dengan AD IMM dalam Bab II pasal 6 adalah
“mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang ber-
akhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammad-
iyah”. Dari sini, tujuan ikatan merupakan cita-cita dari
personal kader dan organisasi secara kolektif menjadikan
spirit dalam diri untuk berproses dalam menjalankan
kehidupan serta jalannya roda organisasi. Ikatan sebagai
pionir Muhammadiyah dalam hal keilmuan, hal ini dikarena-
kan tujuan serta basis massa dalam ikatan merupakan masya-
rakat akademis yang berfikir rasional dan ilmiah.
Melihat dari tujuan serta harapan Muhammadiyah
terhadap ikatan bahwa yang dilakukan oleh ikatan adalah
gerakan ilmu amaliah dan amal ilmiah. Ikatan memiliki tugas
yang berat, dikarenakan ikatan sebagai proses dan eks-
perimentasi masyarakat ilmu sebagaimana dikatakan oleh
Kuntowijoyo sebagai masyarakat ilmu. Masyarakat ilmu
27
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
mempunyai kerangka fikir yang bersifat ilmiah, rasional,
terbuka dan melakukan praksis kemanusiaan. Gerakan ilmu
dalam ikatan merupakan kewajiban berbasis disiplin keilmuan
kader bukan dalam nalar politis maupun ideologis. Gerakan
ikatan dalam bidang ilmu ini yang membedakan ikatan
dengan organ pergerakan yang lain serta ortom yang berada
di lingkungan Muhammadiyah. Latar belakang gerakan ikatan
dalam ilmu menjadikan pilihan sadar dimana basis dari kader
bergerak dalam dataran akademisi yang terbiasa dengan logika
ilmiah bukannya emosional. Gerakan ilmu yang dimiliki oleh
ikatan ini menjadikan tradisi serta etos dari suatu komunitas
yang membedakan dengan organ yang lain.
Gerakan ilmu ikatan yang tertanam dalam diri kader
merupakan tindakan praksis kemanusian didasarkan pada
basis keilmuan kader dalam upaya ibadah kepada Allah.
Pengejawantahan kata berakhlak mulia dipahami menjadi dua
macam, pertama, sebagai tindakan praksis, kedua, tindakan
transenden pada Tuhan. Tindakan praktis dikarenakan dalam
akhlak merupakan sikap yang terlihat serta terbaca oleh
manusia. Akhlak ini mencerminkan prilaku dari seseorang
dalam menyikapi berbagai macam persolan yang terjadi pada
realitas sosial. Bagitu pula, yang dilakukan oleh Ikatan
merupakan konsekuensi masyarakat ilmu yang bersifat praksis
kemanusiaan (amal ilmiah dan amal ilmiah). Selanjutnya,
tindakan yang dilakukan oleh kader ikatan maupun ikatan
secara organisatoris merupakan cerminan dari pengetahuan
yang berdialektika dengan agama, dalam rangka mening-
katkan ibadah kepada Allah
Melihat tujuan ikatan yang melahirkan gerakan ilmu,
konsep keilmuan yang dilmiliki oleh ikatan berbeda dengan
28
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
keilmuan Antonio Gramsci. Kerangka keilmuan ikatan secara
teori memiliki kedekatan dengan Gramsci tetapi yang
membeda-kannya adanya nilai transendental yang dimiliki
ikatan, merupakan pengejawantahan terhadap Islam. Jika
dilihat konsep ikatan ini, dekat dengan istilahnya Kunto-
wijoyo dengan Paradigma Profetik, ‘Ali Syari’ati dengan
Rausan Fikr serta Muhammad Iqbal dengan Eksistensialisme
Religius. Lontaran tersebut merupakan interpretasi yang
singkat dari tujuan IMM, terbentuknya akademisi Islam yang
berakhlak mulia.
C. Semboyan Ikatan
Manusia merupakan mahluk simbolis (homo simbol-
icum) dikarenakan manusia dalam berinteraksi dengan
lingkungan berbentuk simbol. Simbol merupakan cerminan
perbuatan dan perilaku manusia yang tertuang dalam bahasa.
Sedangkan bahasa merupakan salah satu hasil dari kebudaya-
an. Ikatan sebagai organisasi juga memiliki simbol dalam
rangka pembacaan terhadap realitas. Oleh karena itu,
memerlukan tafsiran lain dalam rangka memahami simbol
yang ia ciptakan dan memperoleh makna dari simbol tersebut.
Simbol yang berada pada manusia sangat diperlukan
dikarenakan untuk mengenalkan dirinya dengan yang lain.
Begitupula dengan organ, ia mencitrakan diri agar berbeda
dengan organ yang lain, misalkan dengan KAMMI, pencitraan
kadernya tercermin dalam pakaian yang ia kenakan dan corak
pemikiran dalam pemahaman keagamaan dengan pendekatan
ideologis. Simbol yang ia ciptakan merupakan sebagai alat
untuk mempersatukan emosional anggotanya dan membeda-
kan anggotanya dengan organ yang lain.
29
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Simbol merupakan suatu yang penting bagi manusia
dikarenakan manusia senantisa berkomunikasi menggunakan
bahasa yang tertuang pada realitas tertentu. Penggunaan
simbol yang baik dalam berkomunikasi menjadikan komuni-
kator yang baik dalam semua lini. Demikian halnya ketika
dunia simbol memasuki organisasi, memberi pengaruh
terhadap sikap kader dan pencitraan dalam menggerakan atau
mengarahkan organisasi demi tujuan yang diinginkan.
Penggunaan simbol dalam sebuah organisasi memiliki makna
yang filosofis dan mendalam.
Selayaknya Ikatan dalam realitasnya memiliki simbol,
juga memiliki ruh dalam menggerakan Ikatan. Simbol dalam
Ikatan menjadi ciri khas seperti warna merah dan semboyan-
nya. Penggunaan warna merah dan semboyan dalam
sejarahnya memiliki makna filosofis yang tinggi untuk kader
yang baru mengenal Ikatan. Ahmad Mansur Surya Negara
selaku pendiri ikatan dan sejarawan UNPAD Bandung
mengemukakan bahwa warna merah didasari oleh dua alasan
yakni memiliki nuansa Islami dan sifat rahim.
Pengaplikasian warna merah dalam sejarah ikatan
dilakukan pada awal penerimaan calon kader baru. Penerima-
an calon kader baru tersebut dikenal dengan MAKASA (Masa
Kasih Sayang), merupakan suatu pengenalan ikatan dengan
calon kader dengan memberikan bimbingan pada setiap
mahasiswa yang ada agar menimbulkan ketertarikan terhadap
ikatan. Proses yang terjadi dalam Makasa adalah penerjemah-
an sifat kasih sayang ikatan pada calon kadernya, sehingga
memiliki kesadaran mengenal dan melanjutkan jenjang
perkaderan di ikatan dan Muhammadiyah. Kegiatan yang
dilakukan pada Makasa bersifat hiburan dan mendidik.
30
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Menurut sejarahnya bahwa warna yang disukai oleh nabi
Muhammad Saw adalah merah dan putih. Warna merah
memiliki arti terdekatnya dengan sifat Allah yang rahmaan
dan rahiim. Warna merah juga diidentikan dengan sifat yang
pemberani, pantang menyerah dan sungguh-sungguh.
Sedangkan untuk warna putih adalah melambangkan kesuci-
an, dan sering digunakan dalam ritual seperti dalam ibadah
haji serta pakaian dalam sholat khususnya shalat jum’at.
Penerjemahan warna ini, selayaknya menjadikan cerminan
karakter kader dalam kehidupan dan merespon realitas yang
ada.
Selain warna merah, ikatan juga memiliki semboyan yang
terinternalisasi oleh kadernya. Semboyan ikatan yakni
”Anggun dalam Moral, Unggul dalam Intelektual”, merupakan
doktrin dan spirit bagi kader dalam meneguhkan gerak dan
langkahnya di ikatan. Semboyan yang selama ini dimiliki
IMM, merupakan lambang ataupun motto yang digunakan
oleh santriwati/siswa Madrasah Mualimat Yogyakarta dan
seterusnya diadopsi oleh ikatan. Pengadopsian ini dikarena-
kan mengandung bahasa yang sederhana tetapi memiliki arti
yang mendalam. Sebagai salah satu kader ikatan yang sudah
mengenal semboyan tersebut mencoba melakukan kritik
terhadapnya. Sejarah pengkritisan itu sebenarnya sudah
dilakukan sejak di dalam pimpinan komisariat hingga terbawa
pada Musda XII DPD IMM Yogyakarta. Semboyan ikatan
”anggun dalam moral dan unggul dalam intelektual” secara
struktur kalimat tidak memiliki masalah karena merupakan
kata majemuk yang digabungkan, memiliki arti yang utuh dan
tidak dapat dipisahkan. Tetapi jika dilihat dalam sisi lain
dengan menggunakan logika ataupun alur berfikir secara
31
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
filosofis, maka itu akan bertentangan dan tumpang tindih.
Sebagaimana dalam filsafat yang merupakan satu kesatuan,
berlaku secara sistematis, dan berbicara tentang ontologi,
epistemologi dan axiologi.
Kiranya dapat dianalisa kata ”anggun dalam moral” pada
kajian filsafat merupakan bagian dari axiologi yang berisi etika
dan estetika, sedangkan ”unggul dalam intelektual”, adalah
wilayah epistemologi yang mengkaji tentang sumber dan cara
memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, semboyan ikatan
dapat dipertanyakan, yakni bagaimana cara mengetahui baik
dan buruk, jika tidak mengenali apakah yang dikatakan baik
dan buruk, dan bagaimana cara memper-olehnya. Jadi secara
filosofis struktur dalam semboyan ikatan tidak tersistematis
dan menimbulkan kerancuan dalam logika berfikir.
Pembenahan terhadap semboyan ini menjadikan kader
menginternalisasi semboyan dengan logika berfikir yang
sistemtis, dan benar. Dalam semboyan ikatan yang dahulunya
”anggun dalam moral, unggul dalam intelektual” dibalik men-
jadi ”Unggul dalam Intelektual, Anggun dalam Moral, dan
Radikal dalam Gerakan”. Penambahan kata radikal tindakan
praksis untuk melakukan transformasi sosial. Radikal
memiliki arti secara mengakar, menyeluruh dan mendalam,
sehingga yang ingin dicapai adalah tindakan yang bersifat
menyeluruh serta praksis dalam gerakan. Gambaran yang
sederhana seorang kader ikatan memilki kecerdasan intelek-
tual, kecerdasan moral dan melakukan aksi nyata.
Pembenahan terhadap semboyan ikatan tersebut men-
jadikan kader mencoba menggali apa yang selama ini sudah
mapan dan perlu didiskusikan kembali dalam rangka
memahami makna yang berada dalam semboyan tersebut.
32
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Rekontruksi terhadap semboyan ini sesuai dengan tujuan
IMM yaitu terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak
mulia, bermakna sama dengan semboyan ikatan ”Unggul
dalam Intelektual, Anggun dalam Moral, dan Radikal dalam
Gerakan”.
D. Trilogi Ikatan
Trilogi Ikatan merupakan lahan juang dan simbol ikatan
dalam melakukan transformasi sosial. Trilogi Ikatan merupa-
kan hal penting, dikarenakan dalam trilogi memiliki makna
yang kompleks, sebagai ruh Ikatan dalam menilai diri, dan
cara melakukan transformasi sosial. Pelaksanaan trilogi Ikatan
secara integral dan komprehensif, menjadikan Ikatan berbeda
dengan pergerakan yang lain. Pengaplikasian trilogi Ikatan
secara berkelanjutan menjadikan eksistensi Ikatan muncul
seperti pada pergerakan yang lain; KAMMI, PMII, dan HMI.
Ikatan sebagai sebuah organisasi memiliki tugas dalam
rangka melakukan transformasi sosial. Ikatan merupakan
pergerakan kemahasiswaan yang basis kadernya adalah
mahasiswa yang memiliki kultur berbeda dengan pergerakan
lain. Pergerakan ikatan masih dalam lingkungan Muhammad-
iyah untuk bangsa dan agama Islam. Oleh karena itu, perlu
mengedepan-kan bidang atau garapan yang tertuang dalam
trilogi IMM; kemahasiswaan, keagamaan dan kemasyarakat-
an. Trilogi yang dimiliki oleh ikatan ini merupakan tugas
berat buat kader-kader IMM untuk melaksanakan ketiganya
sebagai cerminan dalam gerak transformasi sosial.
Sifat dari trilogi merupakan kesatuan yang terintegral
dimana satu sama lain tidak dapat dipisahkan tetapi dapat
dibedakan. Hal tersebut dikarenakan ketiganya merupakan
33
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
cerminan dari realitas pada diri Ikatan, meliputi asal, latar
belakang, basis kader Ikatan, basis keagamaan dan lahan garap
untuk melakukan transformasi sosial baik dalam wilayah ke-
mahasiswaan, keagamaan dan kemasyarakatan. Dalam sejarah
munculnya, trilogi Ikatan merupakan pengambilan intisari
dalam Deklarasi ikatan pada waktu Muktamar IMM di Solo.
D E K L A R A S I S O L O
1. IMM, adalah gerakan mahasiswa Islam;
2. Kepribadian Muhammadiyah, adalah landasan
perjuangan IMM;
3. Fungsi IMM, adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam
Muhammadiyah (stabilisator dan dinamisator);
4. Ilmu adalah amaliyah IMM dan amal adalah ilmiyah
IMM;
5. IMM, adalah organisasi yang sah mengindahkan segala
hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah negara
yang berlaku;
6. Amal IMM, dilahirkan dan diabadikan untuk
kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Musyawarah Nasional (MUKTAMAR) IMM
Kota Barat - Solo, 5 Mei 1965
Deklarasi Kota Barat merupakan suatu peristiwa yang
penting dan dijadikan tonggak sejarah oleh ikatan guna
membuktikan eksisitensi ikatan dalam sejarah. Pengambilan
intisari dalam deklarasi Kota Barat tersebut memunculkan
trilogi ikatan yang kita kenal dengan kemahasiswaan,
keagamaan, dan kemasyarakatan. Kemahasiswaan merupakan
penerjemahan dari ikatan sebagai gerakan mahasiswa Islam,
34
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dan fungsi ikatan merupakan sebagai eksponen gerakan
mahasiswa dalam Muhammadiyah (stabilisator dan dinami-
sator). Untuk keagamaan merupakan pengaplikasian dari
kepribadian Muhammadiyah sebagai landasan perjuangan,
sedangkan kemasyarakatan merupakan amal yang diabdikan
bagi ikatan untuk nusa dan bangsa.
Pemaknaan tersebut, merupakan tujuan ikatan secara
organisatoris ataupun individu/kader ikatan yang berjuang
bersama ikatan. Pengungkapan ini menjadikan langkah yang
diambil oleh ikatan dalam melakukan pembacaan ulang
terhadap yang sudah. Pemaknaan yang tertera pada trilogi
ingin menjadikan spirit atau yang harus dimiliki oleh ikatan
sebagai seorang kader. Interpretasi terhadap simbol ini yang
tertuang dalam trilogi; keagamaan, kemahasiswaan, dan
kemasyarakatan. Interpretasi tersebut membuat keagamaan
menjadi religiusitas (transendensi), kemahasiswaan menjadi
intelektualitas dan kemasyarakatan menjadi liberatif dan
humanitas. Jadi ketiga unsur ini, menjadikan IMM dimata
kader-kadernya dan pergerakan lain memiliki ciri khas
tersendiri.
Keagamaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Hasan
Hanafi dalam melakukan tugas pembangunan peradaban,
maka seorang kader menguasai tiga tradisi. Ketiga tradisi
tersebut, adalah pertama, tradisi klasik yang digunakan agama
sebagai semangat pembebasan dan praksis sosial, kedua adalah
tradisi sekarang yang dikenal dengan Oksidentalism. Tradisi
sekarang ini menjadikan umat Islam melihat peradaban barat
yang sangat maju dan kita belajar pada mereka dengan
melengkapinya sehingga memiliki kedudukan yang sama
antara barat dengan Islam dalam mengkaji pengetahuaan, hal
35
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
ini menurut Hasan Hanafi sebagai kesejajaran ego barat
dengan Islam. Ketiga, tradisi masa depan yakni tradisi yang
menjadikan Islam bersentuhan dengan tradisi sekarang dan
meramalkan Islam merekontruksi peradaban. Menurut Hasan
Hanafi, dalam mencapai tradisi kedepan penggalian atau
pemaknaan ajaran agama bercorak liberatif, emansipatoris,
berpihak dan tidak bebas nilai.
Umat Islam juga berhak menilai dirinya sendiri dan dapat
menilai dan melakukan kajian terhadap peradaban barat, dari
sini maka terjadinya kesejajaran ego antara barat dengan
Islam. Pemahaman keagamaan ikatan berbeda dengan yang
lain menjadikan ciri yang khas pada ikatan dengan
menjadikan agama Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
Pelaksaan agama Islam menjadi rahmat dengan mendialogkan
antara keshalehan individual dan keshalehan sosial. Keshaleh-
an individual merupakan cerminan dari sifat sufistik orang-
orang tasawuf dan kesalehan sosial merupakan cerminan dari
gerakan liberatif kaum marxian. Dari perpaduan tersebut
sebenarnya sudah dilaksanakan oleh para nabi terdahulu yang
menjadi panutan bersama dalam membebaskan kaumnya.
Pelaksanaan transformasi profetik ini menjadikan Islam
sebagai rahmat untuk alam, manusia dan menjadikan ajaran
Islam melampaui zaman dan waktunya ketika itu. Bahkan
semangat agama sebagai pembebasan atau keberpihakan,
sudah diterapkan oleh pendiri Muhammadiyah dengan
berdirinya sekolah, pantai asuhan, rumah sakit dan lembaga
sosial yang lain. Semangat yang dibawa oleh Kiyai Ahmad
Dahlan adalah semangat profetis agama dalam melakukan
transfor-masi sosial. Pemahaman keagamaan ikatan dapat
digali dari pemikiran tokoh-tokoh keagamaan dan beberapa
36
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
ilmuan sosial yang menjadikan ilmunya untuk kemanusia
bukan kepentingan penguasa dan pemodal. Islam disini
menjadi sumber dan inspirasi dalam mengatasi problem sosial
kemanusian dan problem lain. Problem yang lain tersebut,
seperti terekploitasinya kepentingan modal dan tak
memberikan manfaat bagi manusia serta terjadinya kerusakan
alam yang berdampak bagi generasi sekarang dan akan datang.
Bahkan yang masih populer sekarang adalah menjadikan
Islam sebagai ajaran yang bersikap damai dan rahmat
bukannya dilabelkan sebagai agama teroris yang mengupaya-
kan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Kemahasiswaan. Interpretasi terhadap simbol trilogi yang
kedua, kemahasiswaan menjadi intelektualitas. Maha-siswa
merupakan salah satu generasi yang memiliki sensitifitas
sosial, kepeduliaan terhadap perkembangan ilmu penge-
tahuan, dan bagaimana menyikapi. Kalangan maha-siswa juga
dikatakan sebagai generasi akademis yang memiliki sifat
terbuka, siap menerima kritikan dan menghargai kebenaran
bersifat plural sebagai corak berfikir futuristik. Hal tersebut
merupakan bagian dari cita-cita Kuntowijoyo yakni, tercipta
masyarakat ilmu sebagai ciri khas mahasiswa.
Gerakan yang dilakukan oleh ikatan memiliki sifat
keilmuan yang akademis sebagai pengembangan dari
kekayaan keilmuan kader. Bentuk transformasi sosial serta
kesatuan paradigma gerakan yang dilakukan ikatan bersikap
profesional. Tetapi ketika sudah selesai dari ikatan, maka
bentuk transformasi disesuaikan dengan keahlian dan basis
keilmuan masing-masing kader, membuka kesempatan
kepada kader-kader memberi warna pada lingkungan profesi-
nya. Sebuah analogi yang sederhana, meskipun para kader di
37
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
tanam pada tanah yang tandus, besar harapan tanah itu
menjadi subur, sehingga mengandung intan, permata, emas
agar bermanfaat bagi yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa
gerakan yang dilakukan ikatan berbasis keilmuan, memberi
manfaat yang luas, bukan gerakan politis yang cenderung
mementingkan diri sendiri dan golongan tertentu.
Gerakan keilmuan dianalogikan oleh Kuntowijoyo
seperti menanam pohon jati, dimana dalam menanam pohon
tersebut, memakan waktu yang lama, berpuluh-puluh tahun
dan bahkan satu generasi atau lebih demi hasil yang maksimal
dan terbaik. Nampak dari pohon jati yang semakin tua
memiliki kualitas yang bagus, harganya pun tinggi. Berbeda
dengan gerakan yang bersifat politis, mencari momentum
yang tepat. Hal ini, diibaratkan pohon pisang yang cepat
berbuah dan berkembang, tetapi setelah itu ia akan mati.
Gerakan keilmuan ini juga dapat dilihat dari perjalanan
sejarah Muhammadiyah dengan Serikat Islam (SI) pada masa
menjelang kemerdekaan. Gerakan yang dilakukan Muham-
madiyah memerlukan kesabaran dan waktu yang lama,
sehingga pada tahun 60-90an kader-kader Muhammadiyah
banyak yang menduduki dataran pemerintahan dan meng-
gunakan perangkat tersebut untuk melakukan transformasi
sosial. Sedangkan SI dalam waktu yang relatif singkat
berkembang dengan pesat, terbukti dengan jumlah anggota
yang begitu besar menduduki kursi pemerintahan ditingkat
wilayah dan nasional, tetapi seiring berjalannya waktu
riwayat organisasi itu hilang ditelan sejarah.
Gerakan keilmuan dalam ikatan merupakan obor yang
menjadikan Ikatan harus berani melakukan pilihan yang
sadar untuk menentukan gerakannya. Sebagaimana tujuan
38
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
terbentuknya akademisi Islam yang beraklak mulia untuk
mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah.
Kemasyarakatan, dengan interpretasi humanitas dan
liberatif. Humanitas yang dilakukan oleh ikatan merupakan
tuntutan realitas yang mengalami dehumanisasi disebabkan
konsep kesadaran manusia yang berdasarkan antroposentris.
Kesadaran ini pertama digulirkan oleh seorang filosof Rene
Descartes seorang filosof dari Prancis dengan jargonnya “saya
berfikir maka saya ada” (cogito ergo sum). Kesadaran yang
dibangun oleh Descartes menjadikan manusia bersifat otonom
dan menentukan nasibnya sendiri dalam menaklukkan alam.
Dalam perkembangannya melahirkan tradisi kebudayaan
barat, dan pada masyarakatnya terjadi kemajuan teknologi
yang ditandai pada awal abad ke-19. Penemuan metode
ilmiah deduksi, induksi, ekperimen oleh Francis Bacon turut
berperan penting mendorong kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Perkembangan industri yang berjalan di Barat
sampai sekarang sudah menuju masyarakat post-industrial
dalam istilah Daniel Bell. Masyarakat barat dengan
perkembangan post industrialisme ini memiliki kehampaan
spiritual dan mereka membutuhkan sentuhan religiusitas
untuk menunjang keberlangsungan peradabannya.
Kebudayaan barat yang mengalami kehampaan spritual
telah memunculkan patology kebudayaan. Hal tersebut,
dilontarkan oleh Doni Grahal Adian yang kemudian memun-
culkan istilah-istilah pragmatisme, anarkhisme, utilitarisme
dalam rangka mengobati peradaban barat tersebut. Dalam
masyarakat post-industrial tujuan teknologi dan sistem
kapitalis adalah untuk mempermudah manusia, tetapi dalam
kenyataannya mempersulit manusia. Hal inilah yang
39
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dikatakan oleh Weber dengan sangkar besi rasionalisme.
Sistem kapitalisme dan perkembangan teknologi telah ber-
jalan sendri tanpa ada yang mengendalikan sehingga menjadi
alat bagi para pemodal dan menyebabkan dehuman-isasi dan
kerusakan ekologi. Masyarakat dan para intelektual telah
terjerumus dalam lembah hitam, bekerja untuk kepentingan
kekuasaan dan pengupayaan keilmuan menjadi alat legitimasi
kekuasaan serta tanpa sadar telah diarahkan untuk kepenting-
an global berupa pasar bebas.
Ikatan sebagai organisasi yang mengetahui dan sadar
dengan realitas tersebut memiliki banyak pilihan dalam mem-
berikan tawaran terhadap persoalan yang tiada akhir. Melihat
problem yang terjadi sekarang, maka di era post-modernisme
yang mencoba mengintegrasikan antara agama dengan ilmu
pengetahuan atau penyapaan bahasa langit dengan bumi.
Pengintegrasian ini mencoba memberikan tawaran terhadap
problem dehumanisasi dengan menggunakan istilah Ali
Syari'ati yang dikutip oleh Kuntowijoyo, humanisme teo-
antroprosentris yang didasarkan pada nilai ajaran agama
dalam melihat manusia, bukan pada manusia itu sendiri.
Disini, Kuntowijoyo memberikan ilustrasi tentang fitrah
adalah memanusiakan manusia, pada derajat yang sesungguh-
nya atau sebaik-baik manusia fi ahsani taqwin. Derajat
manusia yang sesungguhnya adalah mulia, tidak mengalami
keterhinaan baik yang dilakukan oleh struktur ataupun super
struktur yang membentuk kesadaran manusia. Memanusiakan
manusia atau proses humanisasi tersebut didasarkan pada teo-
antroposentris. Proses manusiawisasi adalah upaya melakukan
transformasi kesadaran akan diri manusia yang sesungguhnya
berdasarkan nilai-nilai agama.
40
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Liberatif dengan atau proses pembebasan, dilakukan oleh
kaum marxis dalam menyelesaikan permasalahan sosial.
Proses liberatif yang dilakukukan bersifat kesadaran dari yang
dibebaskan, mereka menyadari bahwa dirinya mengalami
ketertindasan oleh sistem yang selama ini berjalan. Liberatif
dalam ikatan mengarah pada pembebasan dan sekaligus
memiliki arah dan tujuan setelah dibebaskan. Proses pem-
bebasan tersebut dapat dikatakan dengan profetical of
liberatif, yang dalam sejarah kenabiaanya dapat kita merujuk
pada pembebasan yang dilakukan nabi Musa dalam me-
merdekakan kaumnya dari penindasan Fir'aun, dan setelah
melakukan pembebasan dari sistem tersebut maka nabi Musa
mengarahkan agar kaumnya memiliki kesadaran akan adanya
sang Pencipta. Semangat kenabian tersebut, berbeda dengan
yang dilakukan oleh marxian. Sedangkan dalam konteks
masyarakat Indonesia kita dapat melihat sejarah Kiyai Ahmad
Dahlan yang telah berkonstribusi besar dalam melakukan
transformasi sosial. Pembebasan yang dilakukan oleh Kiyai
Ahmad Dahlan jika mengutip Abdul Munir Mulkhan adalah
bersifat profetik. Hal tersebut, dikarenakan Kiyai Ahmad
Dahlan dalam melakukan proses humanisasi dan liberasi
mendekatkan teks terhadap realitas berdasarkan semangat
transendensi. Upaya yang dilakukan Kiyai Ahmad Dahlan
menjadikan nilai-nilai Islam sebagai rahmat bagi manusia dan
alam semesta.
41
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B a g i a n
Upaya Mewujudkan Kader IkatanProfil Kader Ikatan1
A. Landasan Ilahiah
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untukmanusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dariyang mungkar dan beriman kepada Tuhan”. (Qs. Ali Imran:110)
Penciptaan manusia dimaksudkan untuk dapat menjadi
khalifah yang dapat menjaga harmonisasi alam. Misi khalifah
dalam kehidupan dunia salah satunya adalah untuk dapat
menyuruh yang baik dan mencegah yang mungkar dalam
rangka beriman kepada Allah sang Pencipta.
Pada awal penciptaan manusia, terdapat keraguan
diantara malaikat tentang eksistensi dari khalifah ini.
Fenomena tersebut tertuang dalam Surat Ali Imran: 30 yang
menyebutkan “Mereka berkata-berkata (para malaikat) apa-
1. Lihat Grand Design Perkaderan IMM Yogyakarta
3
42
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kah Engkau akan menciptakan di bumi orang yang senang
berbuat kerusakan dan menumpahkan darah. Allah menjawab
sesungguhnya Aku lebih tahu apa yang kamu tidak ketahui”
pada ayat diatas keraguan itu langsung dijawab Allah dengan
sifat Kemaha-tahu-an dari keagungan-Nya dengan kalimat
inni a’lamu ma laa ta’lamuun. Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa kehadiran manusia sebagai khalifatullah fil
ard adalah tanda dari Kemaha-tahu-an dan Keagungan Allah.
Kata ummah dari surat Ali Imran: 110 mengindikasikan
perlunya satu kelompok, perkumpulan atau organisasi yang
mengemban misi kekhalifahan. Yang mana, kerja kolektif
menjadi prioritas dalam mengemban misi tersebut untuk
menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran
dalam rangka beriman kepada Allah Swt. Sifat dari amar
ma’ruf nahi munkar ini bersifat perennial untuk menjaga
dinamisasi dalam kosmos. Sebab, tanpa adanya upaya tersebut
kehidupan mahluk di dunia akan mengalami kehancuran.
Semangat surat Ali-Imran:110 tersebut menjadi salah satu
landasan profil kader ikatan yang berbasis kenabian. Insya
Allah, konsep ini akan dijadikan sebagai rujukan kader yang
tertuang dalam tujuan perkaderan diarahkan pada
terbentuknya kader yang memiliki kompetensi sebagai
khalifah Allah di bumi dalam rangka beribadah kepada Allah.
43
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Artinya: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhan yangmencipta-kan, dia telah menciptakan manusia dari segumpaldarah, bacalah dan Tuhanmu yang paling pemurah, yang telahmengajarkan manusia dengan perantara kalam, Dia mengajar-kan manusia apa yang tidak diketahui.” (Qs. Al Alaq: 1-5)
Surat al Alaq merupakan 5 ayat pertama yang turun
kepada Nabi Muhammad Saw dengan perintah untuk mem-
baca. Membaca disini merupakan hal pertama yang dikenal-
kan Tuhan kepada manusia. Membaca dalam ayat tersebut
memiliki arti yang luas. Disamping perintah untuk membaca
ayat-ayat qauliyah, membaca juga dimaksudkan untuk
mengamati ayat-ayat kauniyah yakni alam dan segala isinya.
Dengan membaca tanda-tanda (quran, alam dan manusia
sendiri) diharapkan manusia dapat mengenal dan menghayati
eksistensi Tuhannya.
Membaca merupakan sarana pembelajaran manusia
untuk dapat mendalami kualitas dirinya sehingga ia dapat
menjaga perannya sebagai khalifah di bumi. Anjuran mem-
baca yang tertuang dalam kata iqro’ bersifat edukatif, di-
karenakan pendidikan menjadi anjuran utama dalam mem-
bentuk kesempurnaan diri. Adapun kalimat bismi rabbikal
lazii khalak menuai makna transendensi yang menjadi
penopang segala aktifitas mahluk dan sandaran ilmu
pengetahuan. Bahwa pendidikan dari ayat ini, tidak memisah-
kan yang bersifat kauniyah dengan semangat transenden.
Ayat ini, juga menjelaskan tentang keintegralan epistemologi
dalam ilmu pengetahuan. Pendidikan dengan aktifitas mem-
bacanya merupakan hal penting, karena menentukan umat
manusia untuk melakukan aktivisme sejarah. Nilai tran-
44
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
sendental dari ayat ini sekaligus menjadi potensi intelektual
yang tertuang dalam eksistensi manusia.
Surat Al Maa’uun: 1-7
Artinya: "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama,itulah orang-orang yang telah menghardik anak yatim, dantidak menganjurkan memberi makan orang miskin, makacelakalah bagi orang yang shalat, yaitu orang yang lalai darishalatnya, orang yang telah berbuat riya, dan engganmenolong dengan barang yang berguna.”
Surat al Maa’uun dan pengurainnya merupakan semangat
agama Islam sebagai praksis sosial ditengah arus peradaban
manusia dalam rangka menjadikan Islam sebagai rahmat.
Dalam surat ini, Allah menyebutkan secara spesifik salah satu
ciri orang yang mendustakan agama. Yakni yang menghardik
anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Dimana
ayat itu mempertegas muatan sosial dan kemanusiaan didalam
kandungan Islam.
Penyebutan kata shalat pada kebanyakan ayat-ayat al-
Qur’an selalu dilekatkan dengan kata aqama atau qaama
dalam berbagai berbentuknya yang berarti menegakkan,
mendirikan, melaksanakan atau mengerjakan. Dalam surat al-
45
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Maa’uun ayat empat kata shalat tidak dikaitkan dengan kata
tersebut, apakah dalam ayat atau pun dalam surat al-Maa’uun
secara keseluruhan. Menurut beberapa ahli tafsir ada maksud
tertentu kenapa kata shalat tidak bertemu kata dengan aqama
atau qaama pada ayat tersebut. Quraish Shihab dalam tafsir al-
Misbah mengatakan; dikaitkannya kata qaama dengan shalat
dalam beberapa ayat al-Qur’an menunjukkan pada makna
shalat secara kuantitatif yakni sebagai ritual agama. Sedang-
kan kata shalat dalam surat al-Maa’uun mengindikasikan pada
arti shalat secara kualitatif.
Maksud dari arti shalat secara kualitatif adalah fungsi
shalat sebagai transformasi sosial. Dimana sifat shalat sebagai
pencegah perbuatan keji dan munkar harus benar-benar
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Sehingga setiap
upaya kejahatan sistematis yang menindas kaum mustadh-
’afiin dapat terelakkan. Hal ini, yang menjadikan transendensi
sebagai bagian yang menjiwai humanisasi dan liberasi. Ke-
sadaran yang dibangun dalam ayat ini adalah teologi sebagai
praksis sosial dalam melakukan transformasi kemanusiaan.
Surat ini jugalah menjadi pedoman Kiyai Ahmad Dahlan
bersama lembaga yang didirikannya, Muhammadiyah. Ada
kisah menarik ketika sang kyai mengajarkan surat ini ber-
ulang-ulang kepada muridnya. Suatu saat muridnya menanya-
kan; “kenapa setiap hari kami belajar surat ini saja sedangkan
masih banyak surat yang lain? Ia menjawab, tujuan surat ini
adalah amal, maka sebelum mengamalkan apa yang di-
perintahkan oleh surat, selama itu beliau tidak akan berhenti
mengajarkannya.”
46
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B. Pengungkapan Intelektual Profetik Ikatan
Sebagai hadiah malaikat menanyakan apakah aku ingin berjalandi atas mega dan aku menolak karena kaki ku masih di bumisampai kejahatan terakhir dimusnahkan sampai dhu’afa danmustadh’afin diangkat Tuhan dari penderitaan. (Kuntowijoyo,Makrifat Daun, Daun Makhrifat)
1. Intelektual
Alkisah Tancha seorang ilmuan dan tabib dari
kerajaan Majapahit. Ia mengabdi kepada kekuasaan,
bersembunyi dibalik jubah kekuasaan dengan ilmu di
tangannya. Dengan ilmunya, Tancha justru telah me-
rintangi orang untuk mendekatkan dirinya dengan
masyarakat tempat dia hidup. Pengetahuan di tangan
Tancha hanya menjadi alat untuk mengejar gairah
duniawi kekuasaan ataupun status sosial. Menurut Benda
dalam bukunya Penghianatan kaum cendekiawan bahwa
yang dilakukan Tancha sesungguhnya telah menghianati
fungsinya sebagai cendekiawan. Ia tidak dapat bersikap
kritis tetapi telah menjadi penganut kekuasaan. Seharus-
nya cendekiawan membawa manusia pada pemaham-an
yang dalam terhadap penderitaan batin masyarakat.
Kecendikiaan hadir dalam penghayatan penderitaan
manusia atas penderitaan lainnya. Tetapi itu saja belum
cukup bila tidak bergerak untuk kerja-kerja penyadaran
dan mengarahkan tujuan dan cita-cita mereka. Bagi
Kuntowijoyo, cendekiawan bukanlah sosok yang berjalan
di atas mega, pemikirannya melangit, tinggal dimenara
gading, tetapi cendekiawan adalah pemikir yang tidak
tercerabut dari akar-akar sosialnya, yang menginjakkan
47
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kaki di bumi dan memiliki kesadaran akan tanggung-
jawab sosial untuk memusnahkah kejahatan, kepedulian
terhadap kaum dhu’afa, orang lemah, membela kaum
mustad’afiin, tertindas, orang yang dilemah-kan oleh
struktur kekuasaan yang zalim atau dipinggirkan oleh
sistem ekonomi, politik, sosial, budaya yang tidak adil.
Ali Syatiati menyebutnya dengan raushanfikr, orang
yang mampu memunculkan tanggungjawab dan kesadar-
an dalam dirinya, serta memberi arah intelektual ke
masyarakat.
Tujuan dan tanggung jawab utamanya adalah untuk
membangkitkan karunia Tuhan yang mulia menyatu
dengan kesadaran diri melakukan transformasi sosial
bersama masyarakat. Lontaran apa yang dilakukan oleh
kaum cendekiawan menurut Muslim Abdurrahman
dalam bukunya Islam Transformatif adalah membangun
suatu gerakan-gerakan yang setia terhadap nilai-nilai
luhur untuk membangun sejarah kemanusiaan dalam
rangka membangkitkan karunia Tuhan dalam bumi.
Seorang cendekiawan merupakan penafsir jalan hidup
manusia selalu melakukan transformasi terhadap tradisi
yang ada dalam rangka menciptakan keadilan.
Cendekiawan pada dasarnya adalah pekerja-pekerja
budaya yang selalu berupaya agar kebudayaan berkem-
bang menjadi suatu yang lebih beradab, sesuai dengan
tuntunan zaman berdasarkan nilai-nilai Illahi. Pangkal
atau titik tolak cendekiawan nampak pada kegelsiahan
dan keprihatinan intelektualnya didasari pada kesadaran
nilai-nilai agama, ketika berbenturan dengan realitas
sosial. Kesadaran tersebut, merupakan selaras dengan
48
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
keprihatinan yang dimiliki oleh para nabi, mujtahid,
yang mempertanyakan keharusan teologis yang terpantul
dalam realitas sosial. Oleh karena itu, tugas seorang
cendekiawan adalah meneruskan tradisi kenabian dalam
melakukan transformasi sosial yang berkeadilan guna
terciptanya khairul ummat.
2. Profetik
Asal dari kata profetik berasal dari kata prophet yang
berarti nabi. Kata profetik juga menjadi icon dalam
perjuangan pembebasan yang dilakukan oleh masyarakat
di kawasan Amerika Latin. Filosof muslim Muhammad
Iqbal (turut mempengaruhi pemikiran seorang peng-
gagas ilmu sosial profetik Indonesia Kuntowijoyo selain
Roger Goraudy) menguraikan etika profetik, mengutip
dari perkataan Abdul Quddus seorang mistikus Islam dari
Gangga “Muhammad dari jazirah Arab ke Mi’raj, ke
langit yang setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah
aku bersumpah, jika sekiranya aku sampai mencapai titik
itu, pastilah sekali-kali aku tidak akan kembali lagi ke
bumi.”
Dari ungkapannya, kelihatannya sang mistikus tidak
memiliki sense sosial, baginya keasyikan dan keterlenaan
dalam pengalaman mistik adalah tujuan, sehingga ia tidak
hendak kembali melihat realitas dan menghadapi
kenyataan. Nabi adalah seorang manusia pilihan yang
sadar sepenuhnya dengan tanggung jawab sosial. Ia
bekerja kembali dalam lintasan waktu sejarah, hidup
dengan realitas sosial kemanusian dan melakukan kerja-
kerja transformasi sosial. Seorang nabi datang dengan
49
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
membawa cita-cita perubahan dan semangat revo-
lusioner. Selanjutnya pengupasan tentang etika profetik,
oleh Roger Garaudy yang mengatakan bahwa sejarah
filsafat barat sejak zaman Yunani kuno memiliki subuah
plot narasi yang kurang jelas, sebuah cerita mengenai
pertarungan dua buah peradaban Logos dan Mitos. Narasi
filosofis biasanya menutup kemenangan sang protagonist
logos dengan kematian antagonis mitos. Dalam pemikiran
barat moderen pertarungan tersebut menjadi pertarungan
ilmu ke-alam-an yang bersifat posifistik dan empiris
dengan pendekatan yang lain yang tidak berbasiskan
empiris. Perkembangan segi material dan empiris
kebudayaan moderen telah menempatkan ilmu alam
pada kedudukan sebagai logos sedangkan cara pendekat-
an lain dengan spekulasi-metafisik teologis tanpa dasar
empiris menjadi antagonisnya mitos. Dari sini, terbukti
dengan logos sebagai pemenangnya yakni terjadinya
kemajuan teknologi. (Fransisco Budi Hardiman, Ilmu
Sosial dalam Diskursus Modern dan Pasca Modern). Dari
pertentangan tersebut berhadaplah tradisi logos berupa
narasi budi manusia dan tradisi mitos merupakan suatu
narasi tentang agama. Kebudayaan barat sekarang hidup
dengan mengindahkan nilai-nilai agama dan mengalami
kemajuan dan teknologi yang pesat tetapi meninggallkan
residu peradaban moderen. Residu peradaban moderen
yakni kesenjangan antara kaya, miskin, teknologi yang
tak terkendali serta kerusakan alam. Roger Garaudy
dalam bukunya Janji-Janji Islam, menurutnya filsafat
barat tidak memuaskan dikarenakan hanya ter-ombang-
ambing antara dua kutub idealisme (mitos) dan material-
50
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
isme (logos) tanpa berkesudahan. Menurutnya filsafat
barat justru telah membunuh Tuhan dan manusia, karena
itu ia menganjurkan untuk memakai filsafat kenabian
dalam rangka menghindari kehancuran peradaban.
3. Intelektual Profetik (IP) Ikatan
Istilah intelektual profetik dimaksudkan bagi mereka
yang memiliki kesadaran akan diri, alam dan Tuhan yang
menisbatkan semua potensi yang dimiliki sebagai peng-
abdian untuk kemanusiaan dengan melakukan human-
isasi dan liberasi, dijiwai dengan transendensi disemua
dimensi kehidupan sesuai dengan kompetensi yang
dimiliki dalam rangka beribadah pada Allah Swt, hal ini
sebagai perwujudan khalifah di muka bumi.
C. Sejarah Intelektual Profetik
Menurut sosiologi pengetahuan disebutkan bahwa
pengetahuan dilahirkan tidak lepas dari kontekss kelahiran-
nya, kontekss kelahiran tersebut tertuang dalam sejarah dan
mempengaruhi munculnya gagasan. Begitu juga dengan
istilah Intelektual Profetik, merupakan satu istilah yang lahir
bukan hanya kebetulan saja, tetapi memerlukan proses
panjang dari pergulatan wacana di tubuh IMM. Gagasan
Intelektual profetik lahir diawali dari pembacaan terhadap
realitas dunia yang sangat mengkhawatirkan. Dimana ber-
bagai tipologi intelektual belakang ini justru semakin men-
jerumuskan manusia ke dalam jurang materialisme yang tidak
ber-kesudahan dan membuat masyarakat bersifat material-
isme, pragmatisme dan berbudaya instan. Globalisasi yang
diiringi dengan kemajuan teknologi telah melahirkan kejahat-
51
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
an teknologi yang menyebabkan dehumanisasi. Kebudayaan
pragmatis tersebut, masuk dalam relung kehidupan sebagai
gambarannya, pengusaha dalam menjalankan menajemen per-
usahaannya bertujuan mengumpulkan kekayaan tanpa mem-
perdulikan kebutuhan sosial. Ia akan menganggap manusia
seperti mesin yang harus bekerja sesuai target dan tidak mem-
pertimbangkan sisi dimensi manusia yang lain. Globalisasi
dari kontekss kelahirannya merupakan perpanjangan tangan
dari kapitalisme dengan sistem ekonomi neo-liberalisme yang
segala sesuatunya dalam kebijakan harus sesuai dengan pasar.
Globalisasi merupakan alat yang digunakan oleh barat dalam
rangka melakukan penjajahan negara-negara yang ber-
kembang. Negara berkem-bang difungsikan hanya dijadikan
sebagai tempat penjualan (market) dan menjadikan pe-
merintah menjadi buruh di negeri sendiri. Kemajuan tek-
nologi yang menjadikan manusia bersikap serakah dan selalu
merasa kekurangan dalam fasilitas hidupnya. Kita dapat me-
lihat kejahatan yang dilakukan oleh teknologi yang ber-
dampak pada kerusakan alam dan hilangnya keseimbangan
ekologi alam. Sekarang ini, sering terdengar bahwa bencana
melanda Indonesia akibat sikap manusia yang tidak arif
terhadap alam seperti global warming, kekeringan, dan
bencana banjir.
Manusia yang tidak menyadari keberadaanya serta sistem
yang tak adil merupakan hal yang mengakibatkan berbagai
ketimpangan. Dalam realitas sekarang, masalah yang besar
adalah peristiwa dehumanisasi yang melanda berbagai
belahan dunia mengakibatkan sistem makro telah menjadi
sangkar besi rasionalisme. Dari realitas yang menindas, maka
IMM menggali diri dalam rangka menemukan pemecahan
52
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
terhadap berbagai persolan tersebut. Potret realitas ini
menjadi pilihan yang mutlak bagi insan yang berkesadaran
untuk melakukan transformasi sosial. Tranformasi sosial yang
terilhami dari surat Ali Imran ayat 110 “Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan
beriman kepada Tuhan”. Pesan yang terkandung dari ayat
tersebut memberikan semangat etika profetik sebagai sarana
transformasi sosial, sebagaimana keterlibatan manusia dalam
sejarah dan untuk merubah sejarah yang menindas menjadi
masyarakat yang berkeadilan tanpa penindasan.
Istilah intelektual profetik oleh kader-kader IMM
terpengaruh oleh Nabi Muhammad Saw, para sahabat dan
berbagai macam tokoh yang konsen dalam pengkajian yang
bersifat transformatif dan progresif menjadikan Islam sebagai
rahmat. Tokoh muslim yang sangat mempengaruhi adalah
Kuntowijoyo tentang gagasan etika profetiknya. ‘Ali Syariati,
Muhammad Iqbal, Roger Garaudy, Mansour Fakih, Muslim
Abdurrahman, Amien Abdullah, Ahmad Safi’i Maarif, Hasan
Hanafi, Farid Essack, Ali Asghar E, dan tokoh lain yang
mengembangkan wacana bersifat praksis. Sedangkan untuk
tokoh yang berasal dari barat diantaranya; Karl Max, GFW.
Hegel, Jurgen Habermas, Antonio Gramci, Ardorno, Herbert
Marcus, dan Paulo Freire. Tokoh-tokoh tersebut yang menjadi
inspirasi dalam melihat dan mengubah realias sehingga sesuai
dengan cita-cita profetik.
D. Kenapa Harus Intelektual Profetik ?
Pilihan sadar dari teman-teman IMM memunculkan
istilah Intelektual Profetik secara sosiologis terbagi menjadi
53
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
tiga macam. Pertama, merupakan respon terhadap realitas
makro yang menyebabkan dehumanisasi. Kedua, respon
terdapat diri (internal) IMM yang membutuhkan paradigma
gerakan dalam rangka menyikapi realitas sosial. Ketiga, adalah
respon terhadap amal usaha dan sejarah Muhammadiyah,
terjebak dalam ritualitas, birokratis, pragmatisme sehingga
Muhammadiyah menjadi sangkar besi rasionalisme. Semangat
trans-formasi yang dilakukan oleh IMM didasari nilai-nilai
tran-sendensi yang bergerak dalam ranah humanisasi, dan
liberasi demi terciptanya masyarakat berkeadilan dalam
naungan Illahi. Pilihan Intektual Profetik dalam ikatan
merupakan pilihan sadar pengembangan dari dialektika
realias, realitas makro dan realitas sosial.2
1. Realitas Mikro (Diri atau Ikatan)
Realitas diri merupakan upaya yang penting dalam
menentukan sikap dan tindakan yang akan dilakukan.
Sebagaimana yang melekat pada manusia sebagai animal
rational maka tindakan yang dilakukan berdasarkan
pemikiran yang matang dan melalui pertimbangan untuk
memutuskan. Begitupula, realitas kader yang menisbat-
kan diri sebagai Intelektual Profetik merupakan pilihan
yang sadar dalam menyikapi diri, sebagai mahluk Tuhan,
sebagai manusia yang berdimensi sosial, diri sebagai
mahluk yang berfikir, diri sebagai mahluk biologis dan
diri sebagai khalifah dalam mensejahterahkan alam
dalam rangka mengabdikan diri terhadap Tuhan.
2. Lihat Grand Desig Intelektual Profetik dalam Transformasi Sosial (Formulasi DAM 2005)
54
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Realitas diri merupakan dialektika dengan agama
dimana pemahaman agama bersifat inklusif, toleran dan
bersifat praksis. Realitas diri dalam memahami ajaran
agama terinspirasi oleh tafsiran Kuntowijoyo terhadap
surat Ali Imran ayat 110. Makna yang dapat dipetik
dalam surat tersebut adalah; pertama, konsep umat
terbaik, kedua, aktivisme sejarah (kesadaran sejarah),
ketiga, pentingnya kesadaran, dan keempat, etika
profetik.
Konsep tentang umat yang terbaik (the choosen
people) merupakan hal yang penting. Sebagai syarat umat
Islam menjadi umat yang terbaik adalah mengerjakan
amar al-ma’ruf, nahi al-munkar, dan tu’minuna bi allah.
Berbeda juga dengan konsep the chosen people agama
Yahudi yang menjadi mandat kosong penyebab rasial-
isme, sedangkan dalam konsep Islam merupakan tantang-
an untuk bekerja keras, kearah aktivisme sejarah men-
jadikan Islam sebagai agama amal. Maka bekerja keras
ditengah-tengah umat manusia (ukhrijat li an-nas)
merupakan bentuk kesadaran sejarah berlandaskan nilai-
nilai Ilahiah. Kesadaran yang dimiliki Islam adalah
kesadaran super struktur menentukan struktur yang
berlawanan dengan kaum marxis bahwa super struktur
ditentukan oleh struktur. Yang membedakan kesadaran
yang dimiliki Islam dengan etika marxisme karena yang
menentukan kesadaran bukan individu tetapi Tuhan.
Agama yang diajarkan kepada pemeluknya merupa-
kan ajaran yang kurang sesuai dengan realitas dikarena-
kan lebih bersifat dimensi Ilahiah, kurang menanamkan
dimensi sosial. Pelaksanaan ajaran agama tersebut lebih
55
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
mementingkan pengalaman keagamaan dan ekstase
dalam beragama atau keberagamaan bercorak tasawuf.
Pelaksanaan ajaran agama Islam melalui perintah Tuhan
selalu memililiki korelasi positif dengan dimensi sosial
sebagai contoh shalat, zakat, dan puasa. Kita dapat
melihat bahwa shalat merupakan hal yang utama dalam
ritual keagamaan, tetapi penekanan fungsi dalam shalat
adalah dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Hal
tersebut juga, dikupas oleh Muhammad Iqbal dalam
bukunya The Reconstruction of Religious Thought in
Islam, kesempurnaan shalat dicapai secara berjamaah
dengan semangat yang berdimensi sosial. Nilai sosial
dalam shalat berhubungan dengan kemanusian, jamaah
dan solidaritas kemanusiaan. Demikian halnya zakat dan
puasa, sebagaimana yang diutarakan oleh Kuntowijoyo
dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam, ia mencoba
melakukan objektifikasi terhadap ayat yang berada dalam
al Qur’an seperti persoalan zakat, yang diberikan hanya
kepada orang yang seagama, hal itu dianggap masih
bersifat subjektif maka makna zakat harus diobjektifkan
agar dapat diterima oleh siapa saja. Maka Kuntowijoyo
menawarkan solusi zakat untuk mengatasi kemiskinan
dan yang menerimanya bukan hanya orang yang
seagama, dengan demikian ajaran agama bersifat objektif.
Dengan semangat menggali nilai-nilai agama, maka
diharapkan agama dapat bersifat liberatif dan mencerah-
kan. Dialektika diri agama serta alam menjadikan sikap
diri dengan alam sebagai subjek yang kedudukannya
sama dengan manusia dalam mengabdikan diri terhadap
Tuhan. Alam yang selama ini dianggap objek oleh
56
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
manusia, menjadikan manusia bersifat eksploitatif ter-
hadap alam dan menimbulkan bencana yang bersifat
mengglobal.
Demikian dengan ikatan yang mencoba menisbatkan
diri dengan sadar menggunakan istilah intelektual
profetik dalam mewujudkan cita-cita. Dialektika ter-
sebut, menjadikan posisi agama dalam diri kader men-
jelma menjadi kesadaran kolektif dalam mewujudkan
masyarakat yang berkeadilan. Dari pelaksanaan agama
ini, menjadikan Islam yang tertuang dalam teks dapat
disuarakan dalam menjawab dan merespon realitas
sehingga Islam diterima oleh siapa saja karena dan
universalitas ajarannya.
2. Realitas Makro
Realitas makro merupakan suatu hal yang penting,
dalam melakukan pemetaan terhadap realitas, dan apa
yang akan dilakukan setelah mengetahui realitas makro
tersebut. Sebagaimana semangat yang diemban oleh
intelektual profetik adalah aktivisme sejarah bukan
deterministik dalam sejarah. Aktivisme dalam sejarah ini
menjadikan kita berupaya melakukan perubahan ter-
hadap sejarah sehingga berpihak kepada kemanusiaan
dan tidak digunakan oleh kepentingan kekuasaan.
Sejarah yang berfihak pada penguasa dapat menina
bobokan masyarakat, sehingga masyarakat tidak dapat
bersikap kritis terhadap suatu persoalan.
Di era global ini, dunia moderen telah menjajah
negara-negara miskin. Kampanye perdagangan bebas
oleh lembaga keuangan internasional merupakan salah
57
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
satu perangkap globalisasi di bidang ekonomi, sedangkan
di bidang sosial menggunakan istilah developmentalisme
yang kemudian di Indonesia dikenal dengan istilah
pemerataan pembangunan, seperti yang telah dikemuka-
kan oleh Mansour Fakih dalam bukunya Runtuhnya teori
Pembangunan dan Globalisasi, bahwa sistem ekonomi
bangsa ini digiring pada ekonomi liberal. Dana pem-
bangunan yang digunakan oleh pemerintah Indonesia
adalah dana pinjaman luar negeri yang dikeluarkan oleh
Bank Dunia, IMF dan yang lain. Pinjaman yang diberikan
oleh lembaga keuangan internasional ini menjadikan
kebijakan pemerintah terpengaruh oleh kebijakan
lembaga keuangan internasional. Kebijakan yang diambil
oleh pemerintah menjadikan keputusannya tidak ber-
pihak pada kepentingan keadilan tetapi untuk kepen-
tingan pemodal.
Pertumbuhan investasi dengan modal asing misal-
nya, telah menjadikan perusahan-perusahaan raksasa
milik asing mengeksploitasi sumber daya manusia dengan
tidak memperhatikan asas keadilan terhadap kaum
buruh, demikian pula dengan kerusakan ekologi akibat
ketidakseimbangan pengelolaan alam.
Pada bidang pendidikan lembaga pendidikan di-
privatisasi, subsidi dicabut sehingga biaya pendidikan
mahal, kurikulum pendidikan relatif menggunakan pen-
dekatan konservatif yang ditandai dengan lemahnya
praktek selalu dijejali dengan teori serta hilangnya
transfer nilai dan etika akibat terjadi dehumanisasi di
lingkungan sekolah dan masyarakat. Di bidang ekonomi,
masyarakat memiliki mental konsumeristik, pragmatis
58
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dan budaya instan dikarenakan ketidaksiapan sumber
daya manusia dalam rangka menghadapi persaingan
bebas dan kejahatan yang terstruktur. Dengan kebijakan
pasar bebas ini, menjadikan masyarakat dunia ketiga ini
menjadi gelandangan di kampung sendiri (meminjam
istilah Cak Nun), budak dan negaranya dipecundangi
oleh kaum kapitalis. Semua cara dilakukan oleh Negara
maju adalah guna mencukupi kebutuhan industrinya.
Dengan mengetahui bagaimana persoalan dalam
realitas makro, maka menjadi tugas intelektual profetik
melibat-kan semua potensi untuk melakukan trans-
formasi sosial. Kesadaran dari intelektual profetik ini
untuk merubah sejarah bukan larut dalam sejarah.
3. Realitas Lokal
Globalisasi telah merubah alam dan kerusakannya
dapat dirasakan di berbagai daerah. Industri yang masuk
ke pedalaman menjadikan msayarakat kehilangan eksis-
tensinya sehingga mereka melakukan perlawan terhadap
kebijakan negara. Eksistensi dalam bentuk kearifan lokal
yang dimilki oleh masyarakat Dayak misalnya, dalam
memelihara hutan dan melakukan penebangan pohon
memiliki ciri khas tertentu, mereka menebang pohon
harus memperoleh ilham, melalui ritual upacara dan
mendapatkan restu dari masyarakat. Bagi masyarakat
Dayak, yang memiliki kehidupan sosial dan pertanian
berpindah-pindah, tetapi tidak pernah membuat kerusak-
an apalagi mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan.
Kearifan lokal juga dimilki oleh suku-suku yang lain
seperti pada masyarakat Samin. Pada masyarakat Samin
59
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
ini, ketua suku menganjurkan pada anggota masyarakat
untuk tidak menggunakan produk dari luar dan menolak
kebijakan pemerintah.
Realitas sosial ini merupakan salah satu bentuk
perlawanan yang dilakukan dalam rangka menyikapi
globalisasi dan kebijakan pemerintah yang tak berpihak
pada nilai-nilai kemanusiaan. Pemaparan realitas sosial
yang melakukan perlawan terhadap globalisasi menjadi-
kan ia sebagai gerakan sosial yang spesifik, sesuai dengan
keahliaanya dan kepentingannya. Gerakan sosial yang
dilakukan oleh realitas sosial dalam menghadapi global-
isasi merupakan salah satu bentuk gerakan sosial baru
(new social movement). Gerakan sosial baru merupakan
resistensi terhadap globalisasi dengan bentuk perlawanan
dengan spesifikasi seperti gerakan masya-rakat adat,
gerakan anti utang, gerakan lingkungan dan yang lain.
E. Tugas Intelektual Profetik
Tugas utama yang diemban oleh seorang intelektual
adalah untuk merubah dunia bukan hanya menginterpretasi
dunia. Sifat intelektual tersebut yang menjadikan ia bersikap
aktif dalam sejarah dan melakukan pembenahan terhadap
realitas sosial. Setiap apa yang dilakukan oleh intelelektual
profetik adalah sesuai dengan maqasid as-syaria’ah yang
terdiri dari agama, jiwa, keturanan, harta akal dan ekologi.
Sifat yang dibawa oleh intelektual profetik adalah agama
untuk kemanusiaan dan menjadikan agama pemecahan
persoalan-persoalan sosial empiris, ekonomi, pengembangan
masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat dan menge-
luarkan belenggu manusia dari ketidakadilan. Proses trans-
60
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
formasi sosial yang dilakukan sesuai dengan tiga pilar dalam
etika profetik yaitu; humanisasi, liberasi dan transendensi.
1. Humanisasi
Humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amal
ma’ruf yang memiliki makna asal menganjurkan atau
menegakkan kebaikan. Amar ma’ruf bertujuan untuk
meningkatkan dimensi dan potensi positif manusia, yang
membawa kembali pada petunjuk Ilahi untuk mencapai
keadaan fitrah. Fitrah adalah keadaan manusia yang
memiliki kedudukan sebagai mahluk yang mulia sesuai
dengan kodrat kemanusiaannya atau dalam upaya me-
manusiakan manusia yakni menghilangkan kebendaan,
ketergantungan dan kekerasan, serta kebencian dalam
diri manusia. Humanisme yang ditawarkan adalah
humanisme teosentris bukan humanisme antroposentris.
Konsep humanisme tidak dapat dipahami tanpa konsep
transendensi yang menjadi dasarnya. Humanisme yang
berasal dari barat dalam sejarahnya merupakan pem-
berontakan terhadap gereja yang bersifat dogmatis,
terjadi di abad pertengahan. Dari antoprosentrisme men-
jadikan manusia yang berkuasa atas dirinya sendiri. Akal
yang dimiliki oleh manusia menjadi penentu dan ber-
tindak tidak sesuai dan menyebabkan kerusakan pada
alam. Dari sifat tersebut menjadikan manusia sebagai raja
atas manusia yang lain. Humanisme atroposentris ini,
menjadikan manusia telah ‘membunuh Tuhan’ sebagai-
mana yang dikatakan oleh Francis Bacon dikarenakan
pengetahuan, bukannya mencari kebenaran tetapi untuk
mencari kekuatan dan kekuasaan. Humanisme antro-
61
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
posenstris yang memiliki tujuan untuk memanusiakan
manusia telah terjatuh pada dehumanisasi. Humanisme
teosentris Kuntowijoyo berangkat dari konsen iman dan
amal shaleh, yang dapat menghindari manusia jatuh pada
dehumanisasi. Iman sebagai konsep teo-sentris yang
menjadikan Tuhan sebagai konsep pengabdian dan amal
sebagai aksi dalam kemanusiaan. Dalam konsep tersebut,
iman tidak dapat dipisahkan dengan amal, artinya
manusia harus memusatkan diri pada Tuhan dan
memiliki tujuan untuk kepentingan manusia. Human-
isme teo-sentris semata-mata tidak diukur oleh akal
tetapi oleh transendensi. Konsep humanisme yang telah
dilontarkan oleh Kuntowijoyo dalam Intelektual Sosial
Profetik berpara-digma fungsional.
2. Liberasi
Liberasi merupakan terjemahan dari nahi munkar
yang memiliki arti melarang atau mencegah segala
tindakan kejahatan. Liberasi memilki arti pembebasan
terhadap yang termarjinalkan. Liberasi yang mengilhami
Kuntowijoyo adalah liberasi dalam konteks Marxisme,
dan liberasi yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo adalah
liberasi yang mengandung nilai-nilai transendensi.
Liberasi dalam kerangka profetik untuk membebaskan
manusia dari kekejaman kemiskinan, dominasi struktur,
kekerasan dan menolak konservatisme dalam agama.
Liberasi dalam kontekss profetik menjadikan agama
sebagai nilai-nilai transendental, sehingga agama menjadi
ilmu yang objektif dan faktual. Liberasi bukan hanya
dalam dataran moralitas tetapi dilakukan secara konkret
62
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dalam realiatas kemanusiaan. Kuntowijoyo menawarkan
kontekstualisasi liberasi pada sistem pengetahuan, sosial,
ekonomi dan politik yang selama ini membelenggu
manusia sehingga ia dapat mengktualisasikannya dirinya
sebagai mahluk yang merdeka dan mulia.
Kesadaran dari Marxisme adalah kesadaran kelas,
kesadaran deterministik atau materi. Bagi Kuntowijoyo
kesadaran menentukan basis materi. Liberasi dalam
konteks ekonomi adalah menjembatani antara yang kaya
dengan miskin agar tidak terjadi ketimpangan. Liberasi
ekonomi memiliki tujuan terciptanya ekonomi yang
berkeadilan dan berpihak pada kaum miskin. Liberasi
sistem politik membebaskan sistem politik dari kedik-
tatoran, otoriterianisme, dan neo-feodalisme. Hal
tersebut, menjadikan demokrasi dan HAM menciptakan
masyarakat yang berkeadilan. Konsep liberasi yang
diinginkan oleh Kuntowijoyo bercorak marxian tetapi
tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan
persoalan sosial.
3. Transendensi
Transendensi merupakan terjemahan dari tu’minuna
billah yang berarti beriman kepada Allah. Gagasan ini
merupakan jiwa dalam proses humanisasi dan liberasi.
Proses memanusikan manusia dan melakukan proses
pembebasan merupakan sarana untuk kembali pada
Tuhan. Tujuan akhir dari proses liberasi dan humanisasi
adalah Tuhan. Transendensi tersebut merupakan respon
terhadap ilmu sosial yang selama ini bercorak positivistik,
menafikan hal yang berkaitan dengan agama. Proses
63
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
modernisasi yang dilakukan oleh bangsa barat yang
cenderung menafikan agama menjadikan posisi agama
termarginalkan. Tetapi akses positif moderenisasi yang
ditimbulkan barat telah menjadikan agama sebagai alter-
natif untuk menyelesaikan persoalan sosial. Dengan
kritik transendensi, kemajuan teknik dapat untuk meng-
abdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan,
bukan kesadaran materialistik. Pemaknaan transendensi
dalam pemahaman Roger Garaudy; bahwa transendensi
menghilangkan nafsu manusia yang serakah dan nafsu
kekuasaan, memiliki kontinyuitas kebersamaan Tuhan
dan manusia, mengakui keunggulan norma mutlak diatas
akal manusia. Transedensi merupakan suatu penerapan
yang baru dalam ilmu sosial, transen-densi menajdikan
ilmu sosial yang bercorak agamis dan berdasarkan nilai-
nilai al Qur'an. Kuntowijoyo mencontohkan dalam
bukunya Sejarah Dinamika Umat Islam Indonesia, ia
menginginkan al Qur'an sebagai grand theory diturunkan
menjadi middle theory dan kemudian aplikatif. Olehnya
itu, Kuntowijoyo menawarkan al Qur'an sebagai para-
digma dalam melihat realitas dengan melakukan obyek-
tifikasi terhadap al Qur'an.
F. Kompetensi Dasar Intelektual Profetik
Guna mengemban misi profetik; humanisasi, liberasi, dan
transendensi, Intelektual profetik harus memiliki beberapa
kompetensi dasar yang coba dipilah menjadi tiga basis;
ideology, knowledge, dan skill.
64
Menggali Makna Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
1. Basis Ideology
a. Islam sebagai basis nilai, ruh, semangat, tempat cita-
cita disematkan dan sebagai pedoman.
b. Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam, salah
satu entitas Islam obyektif dan ril.
c. IMM sebagai pilihan gerakan diranah juang kemaha-
siswaan
2. Basis Knowledge
a. Tauhid, bagi IP adalah sebagai dasar atau basis
empiris untuk melakukan praksis gerakan, tauhid
disini bersifat liberasi dan humanisasi. Dimana
dalam penggunaan tauhid ini yang terjadi adalah
pencerahan bukannya pembebalan dan revivalisme.
b. Manusia, bagi IP adalah manusia berkesadaran yang
melakukan pola transformasi sosial baik dilakukan
pada alam ataupun manusia yang lain. Sikap ter-
hadap manusia adalah melakukan humanisasi dan
liberasi sesuai dengan semangat surat Ali Imran: 110.
Sikap manusia dengan alam adalah sebagai khalifah
yang bertugas memelihara bumi dan men-jaga
keseimbangan serta kelestarian alam yang digunakan
sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
c. Alam, bagi IP adalah subjek yang dipandang oleh
manusia sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan sarana pendekatan diri pada Tuhan. Sifat
hubungan manusia dengan alam adalah menjaga ke-
seimbangan dan keharmonisan alam sehingga alam
tidak rusak dan menimbulkan berbagai malapetaka
buat manusia.
65
Upaya Mewujudkan Kader Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
d. Masyarakat, bagi IP adalah masyarakat yang terdiri
dari berbagai macam manusia yang memiliki
kesadaran dan berupaya untuk melakukan perubah-
an sosial. Kesadaran dalam masyarakat adalah ber-
dasarkan pada etika profetik yang mengupayakan
terciptanya tatanan sosial yang berkeadilan, tanpa
penindasan dan berdasarkan rahmat Ilahi.
e. Disiplin ilmu kader, merupakan modal bagi IP dalam
melakukan transformasi sosial dan diaspora gerakan
disemua dimensi kehidupan sesuai keahliannya.
3. Basis Skill
a. Kepemimpinan, bagi IP adalah yang memiliki karak-
ter profetik yang mengupayakan transformasi sosial,
didasarkan pada praksis gerakan, kepemimpinan
yang mampu membela kaum ter-marginalkan dan
menjadikan kedudukannya lebih baik sebagai upaya
terciptanya masyarakat yang diidealkan.
b. Komunikasi, bagi IP adalah sarana untuk menyam-
paikan berbagai macam gagasan terkait misi profetik.
Komunikasi yang dapat dimengerti oleh si penerima
pesan tanpa kehilangan subtansinya. Komunikasi
sebagai sarana pertukaran informasi maka yang
diinginkan adalah komunikasi yang berdasarkan
etika profetik.
c. Life Skill, sangat dibutuhkan agar IP dapat hidup
dimana saja secara mandiri, tidak memiliki keter-
gantungan pada yang lain. Sikap ini merupakan
wujud eksistensi manusia dan kelompoknya.
66
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B a g i a n
Realitas Sekarang,Globalisasi dan Multikulturalisme1
Naik kereta api tut tut tut/siapa hendak turut/…kereta ku takberhenti lama (nyayian waktu kecil).
Dengan keberagaman, hidup jadi indah dan penuh warnawarni
A. Prawacana Globalisasi dan Multikulturalisme
Nyanyian kereta api yang biasa dinyanyikan oleh anak-
anak mengambarkan nasib sebagian penghuni bumi yang
tersisir ditinggalkan oleh kereta globalisasi yang melaju
semakin kencang. (B. Hari Juliawan, Keretaku Tak Berhenti
Lama). Memasuki millenium ketiga ini, kita disibukkan
dengan istilah globalisasi sebagai arus yang tidak dapat
dibendung. Shimon Peres menyatakan kekuatan globalisasi
sebagai pengalaman orang yang bangun pagi dan melihat
segala sesuatu sudah berubah. Banyak hal yang kita anggap
sebagai kebenaran kemudian suatu waktu menghilang tanpa
bekas. Para pakar mengakuinya bahwa sekarang perubahan
kehidupan manusia terbawa oleh arus global. Demikian
dengan Masyarakat atau bangsa yang kurang siap, akan
terbawa oleh arus global. (H.A.R.Tilaar, Perubahan Sosial dan
1. Coretan ini ditulis dalam rangka persyaratan mengikuti Darul Arqam Paripurna, dilaksanakanoleh DPP IMM, tanggal 24-28 Maret 2005 di Bandung
4
67
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Pendidikan). Senada pula yang diutarakan oleh Giddens
bahwa globalisasi bukanlah perkataan yang sangat menarik
atau elegan. Namun demikian, tidak seorangpun memahami
prospek kehidupan di akhir abad ini sehingga kita tidak dapat
mengabaikannya. Globalisasi berkaitan dengan tesis bahwa
kita sekarang hidup di satu dunia, tetapi dengan mudah kita
dapat melakukan perjalanan keliling dunia. Dalam setiap
negara membicarakan globalisasi dengan cukup intensif
seperti kata globalisasi dikenal oleh warga Prancis dengan
mondialisation, sedangkan di Spayol dan Amerika Latin kata
ini adalah globalizacion dan untuk Jerman meyebutnya
dengan globalisierung. (Anthony Giddens, Runaway World).
Mengenai fenomena globalisasi sudah banyak dibicara-
kan, bahkan tukang becak pun mahir mengucapkan global-
isasi, anak muda pengelana mall, sampai-sampai pak bupati
rajin mengulang-ulang kata itu, kadang-kadang sambil
meyumpahi dan dilain kesempatan sambil bersyukur. Global-
isasi diibaratkan sebagai "pisau" yang bermata dua, sebagai
kutukan dan berkah. Menurut versi pejabat, globalisasi
membuka peluang investor asing untuk merambah dunia
usaha diberbagai bidang yang kemudian memberi konstribusi
besar untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Sebagai
kutukan, globalisasi dikambing hitamkan oleh pemuka agama
yang mengeluhkan merosotnya moral kaum muda setelah
mengenal internet dan gaya hidup barat. (B. Hari Juliawan,
Keretaku Tak Berhenti Lama).
Bahwa manusia hidup dalam realitas yang plural, hal
yang sama juga terjadi pada masyarakat Indonesia yang
majemuk (plural society). Corak masyarakat Indonesia adalah
ber-Bhineka Tunggal Ika, bukan lagi keanekaragaman suku
68
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
bangsa, melainkan keanekaragaman kebudayaan. Indonesia
sebagai masyarakat yang majemuk memiliki suatu kebudaya-
an yang berlaku secara umum, memiliki coraknya sebagai
mozaik. Seperti yang telah dikemukan oleh the funding father
bangsa Indonesia bahwa kebudayaan bangsa Indonesia adalah
puncak-puncak kebudayaan daerah. (Pasudi Suparlan,
Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Masyarakat yang plural merupakan "belati" bermata
ganda dimana pluralitas sebagai rahmat dan sebagai kutukan.
Pemahaman pluralitas sebagai rahmat adalah keberanian
untuk memerima perbedaan. Menerima perbedaan bukan
hanya dengan kompetensi keterampilan, melainkan lebih
banyak terkait dengan persepsi dan sikap sesuai dengan
realitas kehidupan yang menyeluruh. Sedangkan pluralitas
sebagai kutukan akan menimbulkan sikap penafian terhadap
yang lain, baik individu ataupun kelompok, karena dianggap
berbeda dengan dirinya, dan perbedaan dianggap menyim-
pang atau salah. Penafikan terhadap yang lain pada hakekat-
nya adalah pemaksaan keseragaman dan menghilangkan
keunikan jati diri yang lain, baik individu atau komunitas.
Modus relasi hegemonik berarti mengandaikan konstruksi
sosial hirarkis, dan membangaun pengakuan bahwa seseorang
atau kelompok lain unggul atas yang lain, serta mengajukan
klaim yang melibihi hak-haknya dengan cara merampas hak-
hak pihak lain. (Salam Redaksi, Kalimatun Sawa, Multi
Kulturalisme Desa Global). Menurut Suparlan yang mengutip
dari Fay, Jary dan J. Jary dalam acuan utama masyarakat yang
multikultural adalah multikulturalisme, yakni sebuah ideologi
yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kese-
derajatan baik secara individu ataupun secara kebudayaan.
69
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
(Pasudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikultural)
B. Globalisasi
Bahasa globalisasi patut mendapatkan perhatian khusus.
Kata globalisasi itu sendiri, dalam kebanyakan penggunaan-
nya tidak mengandung satu konsep tertentu. Persoalannya
tidak sekedar penggunaan kata yang bersentuhan dengan sisi
intelektual, penggunan istilah yang kabur maknanya itu
merupakan tabir yang efektif untuk menutup sebab akibat.
Mengenai analisis tentang apa yang sedang terjadi, oleh siapa,
terhadap siapa, untuk siapa, dan akibatnya apa? Dalam sejarah
globalisasi terdapat dua macam perkembangan. Pertama,
perkembangan teknologi dan kedua, perkembangan dalam
pemusatan kekuasaan. (Peter Marcus, Memahami Bahasa
Globalisasi). Globalisasi dengan perkembangan teknologi
yakni tersebarnya teknologi ke seluruh belahan dunia. Misal-
nya, produk hand phone yang sekarang tersebar sampai ke
pelosok dunia. Sedangkan globalisasi sebagai pemusatan
kekuasaan, dapat dilihat dari negara-negara maju yang meng-
ekploitasi negara yang berkembang lewat teknologi serta
sistem ekonomi. Sehingga globalisasi merupakan pertemuan
dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia
yang memanfaatkan jasa komunikasi, dan informasi sebagai
hasil moderenisasi teknologi. Pertemuan dan gesekan ini akan
menghasilkan kompetisi liar yang saling dipengaruhi dan
mempengaruhi, saling bertentangan dan bertabrakan dengan
nilai-nilai yang berbeda, kemudian menghasilkan kalah atau
menang, kerjasama yang menghasilkan sintesa dan analisis
baru. (Qodri Azizy, Melawan Globalisasi).
70
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Beberapa pemikir memperdebatkan pandangan tentang
globalisasi yang masing-masing berbeda satu sama lainnya.
Kaum skeptis menyatakan bahwa segala hal yang menyangkut
globalisasi adalah omong kosong. Manfaat, cobaan, dan ke-
sengsaraan yang ditimbulkannya, mengakibatkan ekonomi
global tidak begitu berbeda dengan yang penah terjadi pada
periode sebelumnya. Kaum skeptisme ini, cenderung di aliran
kiri politik, sebab menganggap semua ini hanya mitos,
pemerintah yang mengendalikan kehidupan ekonomi negara
dan kesejahteraanpun tetap utuh. Gagasan globalisasi merupa-
kan ideologi yang disebarluaskan oleh para pendukung pasar
bebas yang membongkar kesejahteraan dan mengurangi
pengeluaran negara. Selanjutnya adalah kelompok radikal,
bahwa globalisasi tidak hanya sangat ril, melainkan juga
konsekuensi dapat dirasakan dimanapun. Pasar global jauh
lebih berkembang dan mengabaikan batas-batas negara.
Banyak bangsa telah kehilangan daulatnya, dan para politisi
telah kehilangan kemampuannya untuk mempengaruhi
dunia. Kelompok yang masuk aliran kanan adalah kaum
radikal. (Anthony Giddens, Runaway World).
Pasca perang dingin beberapa sistem baru menggugur-
kan hal yang mempersiapakan rangka kerja yang berbeda
untuk hubungan internasional. Pasca perang dingin suasana
dunia sangat berantakan, membingungkan dan tak terdefinisi-
kan. Tetapi lebih dari itu kita berada dalam sistem inter-
nasional yang baru. Sistem yang baru tersebut memiliki logika
dan keunikan tersendiri, berbagai peraturan, tekanan intensif,
dan memiliki nama sendiri yaitu globalisasi. Globalisasi bukan
hanya model ekonomis, dan bukan hanya model yang telah
berlalu. Ini merupakan sistem internasional yang dominan
71
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
menggantikan sistem perang dingin setelah runtuhnya
tembok Berlin di Jerman. Perang dingin memiliki trend
tersendiri yaitu pertikaian antara kapitalisame dengan
komunisme, antara blok barat dengan timur. Dari seluruh
elemen yang berada dalam perang dingin tersebut mem-
pengaruhi perkembangan politik, perdagangan, dan hubungan
negara diberbagai belahan dunia. (Thomas L. Freidman,
Memahami Globalisasi).
Globalisasi merupakan sistem internasional yang serupa
dengan atribut unik dan berbeda, memiliki ciri yang istimewa
dan terintegrasi. Globalisasi ini dihubungkan dengan satu kata
jaringan (web), serta sistem globalisasi bersifat dinamis dan
berkesinambungan. Globalisasi berarti penyebaran kapital-
isme pasar bebas keseluruh negara di dunia. Globalisasi
memiliki peraturan perekonomian tersendiri yakni peraturan
yang bergulir disekitar pembukaan deregulasi, privatisaasi
perekonomian guna lebih kompetitif dan menjadi alternatif
bagi investasi luar negeri. (Thomas L. Freidman, Memahami
Globalisasi).
Kriteria ekonomi yang melekat pada arti globalisasi
merupakan kelanjutan kriteria ekonomi yang melekat pada
pembangunan (development). (Herry Priyono, Marginalisasi
ala Neoliberal). Proses globalisasi ditandai dengan pesatnya
perkembangan paham kapitalisme, yakni terbuka dan meng-
globalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari
perusahaan-perusahaan transnasional yang kemudian dikuat-
kan oleh ideologi dan tata dunia perdagangan dibawah satu
aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas
secara global. Globalisasi muncul bersamaan dengan runtuh-
nya pembangunan di Asia Timur, era globalisasi ini yang
72
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
memiskinkan rakyat di dunia ketiga seolah-olah merupakan
arah baru yang menjanjikan harapan kebajikan bagi umat
manusia dan menjadi keharusan sejarah umat manusia di
masa depan. Globalisai juga melahirkan kecemasan yang tidak
memperhatikan permasalah kemiskinan, marginal-isasi, dan
masalah keadilan sosial. (Mansour Fakih, Runtuh-nya Teori
Pembangunan dan Globalsasi). Salah satu dampak negatif
globalisasi bagi negara berkembang adalah marginal-isasi
sejumlah besar manusia dan pesatnya pertam-bahan angka
kemiskinan. Proses marginalisasi (impoverty) semakin terasa
jika negara mengalami krisis keuangan. Industrialisasi pada
negara berkembang hanya menguntung-kan kaum tertentu
dan memiskinkan rakyat banyak. Demikian pula, dengan
degradasi lingkungan yang ditimbulkan semakin parah.
(H.A.R. Tilaar, Kuasa dan Pendidikan)
Faham globalisasai yang didasarkan pada pasar global
yang intinya sama dengan neo-liberalisme yang didasarkan
pada pokok-pokok sebagai berikut, liberalisasi perdagangan,
liberalisasi investasi, privatisasi, pemotongan anggaran publik
untuk sosial, potongan subsidi negara, devaluasi mata uang,
dan murahnya upah buruh. Liberalisasi perdagangan berarti
menghilangkan segala peraturan yang melindungi industri
dan pasar domestik oleh negara. Logika neoliberal ekonomi
mengatakan bahwa negara akan berkembang jika diserahkan
pada kebijakan pasar. Liberalisasi memberikan kesempatan
pada kapitalis untuk mengeruk keuntungan, dan penghapusan
beban yang harus ditanggung oleh swasta. Hal ini memberi-
kan ruang yang bebas dan terbuka terhadap perdagangan
internasional dan investasi internasional, peran negara
diambil alih oleh lembaga-lembaga keungan internasional
73
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
seperti, IMF, WTO, WB dan TNC/MNC. Liberasi investasi
memberikan masuknya paham neo-liberalisme untuk
menanam saham sebesar 100 persen untuk perusahan inter-
nasional, bebas bea masuk, tingkat suku bungan dan pajak
rendah. Privatisasi penjualan perusahan-perusahaan negara
dan pelayanan publik pada swasta. (Mustofa Abdul Chamid,
Orde Baru Neoliberalsme dan Globalisasi Kaum Miskin).
Kebanyakan perusahaan multinasional yang berbasis di
Amerika. Tidak semuanya berasal dari negara-negara kaya,
namun juga tidak berasal dari wilayah yang lebih miskin di
dunia. Pandangan yang pesimis terhadap globalisasi sebagian
dipengaruhi oleh urusan negara industri utara, dimana
masyarakat yang berkembang di bagian selatan tidak memiliki
ruang dan peluang untuk mengambil peran. Pandangan ini
juga menganggap bahwa globalisasi telah menghancurkan
kebudayaan lokal, memperluas kesenjangan dunia, dan mem-
buat kehidupan kaum miskin semakin terpuruk. Beberapa
pihak mengatakan bahwa globalisasi menciptakan dunia
terbelah antara pemenang dan pecundang, hanya sedikit
sekali yang maju menuju kemakmuran, sementara yang lain
mengalami kehidupan yang penuh kesengsaraan dan keputus-
asaan. Banyak data statistik yang memperlihatkan bahwa
seperlima penduduk dunia tergolong miskin, pendapatannya
merosot dari 2,3 sampai 1,4 % dari seluruh pendapatan dunia,
regulasi mengenai keselamatan dan lingkungan hidup cukup
rendah atau sama sekali tidak ada, tetapi bagi negara yang
maju jumlah pendapatannya meningkat. Dan sebagian orang
berpendapat bahwa kondisi saat ini mirip dengan kampung
global (global village), tetapi lebih tepat dengan penjarahan
global (global pillage). (Anthony Giddens, Runaway World).
74
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Dengan berlangsung-nya proses globalisasi telah melahirkan
apa yang disebut oleh Marshall McLuhan the global village.
(H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan).
Globalisasi dan dampaknya terbagi menjadi dua macam,
positif dan negatif. Sisi negatif atau ancaman dari globalisasi
dapat ditemui dari perkembangan arus informasi dan
komunikasi, kita lebih mudah mengakses informasi ataupun
gambar-gambar yang dapat mempengaruhi tingkah laku, cara
pandang, gaya berpikir yang bertentangan dengan nilai etika,
budaya, dan agama. Dengan gencarnya pengaruh pasar/iklan
menyebabkan masyarakat lebih cenderung konsumtif dan
mengutamakan gaya hidup barat. Sedangkan bagi faham
kebebasan menjadikan anak remaja mendefinisikan kebebasan
sama dengan kebebasan pada dunia barat yang sekuler,
sehingga nilai agama, norma dan budaya lokal terancam
olehnya. Kebebasan tersebut adalah kebebasan yang menjurus
pada kepuasan lahiriah (pleasure), egoisme, dan hedonisme.
(Qodri Azizy, Melawan Globalisasi). Globalisasi menjadikan
negara yang berkembang menjadi gelandangan di kampung
sendiri akibat maraknya penjarahan global (the village global).
Globalisasi melahirkan kebudayaan yang bersifat monoisme
kebudayaan atau monokulturalisme dikarenakan imperialisme
kebudayaan barat. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme). Global-
isasi menyebabkan merebaknya kebudayaan "McDonald"
makanan instan lainnya, dengan demikian melahirkan ke-
budayaan yang serba instan, budaya telenovela yang melahir-
kan pesimisme, kekerasan hedonisme. Dengan meminjam
istilah dari Edward Said gejala tersebut merupakan "cultur
imprelism" baru yang telah menggantikan imprealisme klasik.
(Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya)
75
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Dampak positif dari globalisasi adalah berkembangnya
teknologi yang mempermudah urusan manusia. Dengan
media informasi menjadikan kita dapat melihat berbagai
peristiwa diberbagai belahan dunia. Tiupan globalisasi, me-
rupakan perpaduan dengan teknologi informasi yang melahir-
kan kebudayaaan dunia maya (cyber cultur), kemajuan
teknologi informasi telah membentuk ruang cyber yang maha
luas, suatu universitas baru, yaitu universe yang dibangun
melalui komputer dan jaringan komunikasi. Ruang cyber
tersebut merupakan lalu lintas ilmu pengetahuan, gudang
rahasia, dan berbagai pertunjukan suara dan kecepatan musik
yang dipancarkan dengan kecepatan cahaya elektronik.
(H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme). Unsur positif dari global-
isasi telah melahirkan LSM dan NGO sebagai gerakan dalam
rangka melindungi masyarakat lokal terhadap gempuran
globalisasi. Gerakan LSM menggelorakan identitas lokal,
budaya lokal, perlindungan terhadap rakyat kecil, dan
pandangan yang kritis terhadap negara dengan birokrasinya.
(H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan).
C. Multikulturalisme
Pengertian multikulturalisme menurut para ahli sangat
beragam, multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan
dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai
kebijakan kebudayaan yang menekankan pada penerimaan
terhadap realitas keagamaan yang pluralis dalam kehidupan
masyarakat. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya).
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada
tahun 1950 di Kanada. Menurut Longer Oxford Directionary
istilah "multiculturalisme" merupakan deviasi kata multi-
76
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
cultural, kamus ini meyetir dari surat kabar di Kanada,
Montreal times yang telah menggambarkan masyarakat
Montreal sebagai masyarakat multicultural dan multilingual.
(Muhaemin el-Ma'hadi, Multikulturalisme dan Pendidikan
Multikulturalisme).
Multikulturalisme ternyata bukanlah pengertian yang
mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks,
yaitu "multi" yang berarti plural dan "kulturalisme" berisi
tentang kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti
yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar
pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi
pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi
dan budaya. Dalam pengertian tradisonal tentang multi-
kulturalisme memiliki dua ciri utama; Pertama, kebutuhan
terhadap pengakuan (the need of recognition). Kedua,
legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam
gelombang pertama multikulturalisme yang esensi terhadap
perjuangan adalah kelakuan budaya yang berbeda (the other).
(H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Dalam filsafat multikulturalisme tidak dapat lepas dari
dua filosof kontemporer yakni, John Rawls dari Harvard
University dan Charles Taylor dari McGill University. Rawls
adalah penganut liberalisme terutama dalam bidang etika dan
Taylor dalam filsafat budaya dan politik. Rawls mengemuka-
kan teori dalam bukunya A Theory Justice, yang berusaha
menghidupkan kembali "social contrac" dan melanjutkan
kategori imperatif Kant, serta mengemukakan pemikiran
alternative dari utilitarianisme. Masyarakat yang adil bukan-
lah hanya menjamin "the greatest good for the greatest
number" yang terkenal dengan prinsip demokrasi. Filsafat
77
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Rawls menekankan arti pada "self interest" dan aspirasi
pengenal dari seseorang. Manusia dilahirkan tanpa mengeta-
hui akan sifat-sifatnya, posisi sosialnya, dan keyakinan
moralnya, maka manusia tidak mengetahui posisi memak-
simalkan kemampuannya. Maka Rawls mengemukakan dua
prinsip; pertama, setiap manusia harus memiliki maksimum
kebebasan individual dibandingkan orang lain. Kedua, setiap
ketidaksamaan ekonomi haruslah memberikan keuntungan
kemungkinan bagi yang tidak memperoleh keberuntungan.
Menurutnya institusional yang menjamin kedua prinsip
tersebut adalah demokrasi konstitusional. Dalam bukunya,
Taylor membahas tentang The Politics of Recognition, berisi
tentang pandangan multikulturalisme mulai berkembang
dengan pesat, bukan hanya dalam ilmu politik tetapi juga
dalam bidang filsafat dan kebudayaan. Jurgen Habermas
menanggapi bahwa pelindungan yang sama dibawah hukum
saja belum cukup dalam demokrasi konstitusional. Kita harus
menyadari persamaan hak dibawah hukum harus disertai
dengan kemampuan kita sebagai penulis (authors) dari
hukum-hukum yang mengikat kita. Habermas menganjurkan
agar supaya warga negara dipersatukan oleh "mutual respect"
terhadap hak orang lain. Demokrasi konstitusioanal juga
memberikan kepada kebudayaan minoritas, memperoleh hak
yang sama untuk bersama-sama dengan kebudayaan
mayoritas. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Walaupun multikulturalisme telah digunakan oleh para
pendiri bangsa dalam rangka mendesain kebudayaan bangsa
Indonesia, tetapi bagi orang Indonesia multikulturalisme
adalah konsep yang asing. Konsep multikulturalisme tidaklah
sama dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau
78
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
konsep multikulturalisme menekankan keanekaragaman dan
kesederajatan. Multikulturalisme harus mau mengulas ber-
bagai permasalahan yang mengandung ideologi, politik,
demokrasi, penegakan hukum, keadilan, kesempatan kerja
dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral dan peningkatan
mutu produktivitas. (Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat
Indonesia yang Multikultural).
Memang dalam kerangka konsep masyarakat multi-
kultural dan multikulturalisme secara substantif tidaklah
terlalu baru di Indonesia dikarenakan jejaknya dapat ditemu-
kan di Indonesia, dengan prinsip negara ber-Bhineka Tunggal
Ika, yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah masyarakat
multikultural tetapi masih terintregrasi dalam ke-ikaan dan
persatuan. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya).
Sebagai gambaran tentang multikulturalisme digam-barkan
oleh John Haba tentang semangat kekristenan mulai menurun
dikalangan intelektual dunia barat dipengaruhi semangat
multikulturalisme, maka persilangan paradigma, tentang
boleh tidaknya gereja dikalangan misi, bukan kristen. Para
intelektual barat melemahkan visi dan misi gereja di era post-
modernisme dan mereka bersikap apatis dan bahkan memilih
sebagai pengikut agama Budha, Hindu atau ateis menjadi
warga gereja. (John Haba, Gereja dan Masyarakat Majemuk).
Multikulturalisme bukanlah sebuah wacana, melainkan
sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan
sebagai etika tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan
hidup masyarakat. Multikulturalisme sebagai ideologi tidaklah
berdiri sendiri tetapi terpisah dari ideologi-ideologi lainnya.
79
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Multikulturalisme memerlukan konsep bangunan untuk
dijadikan acuan guna memahami dan mengembangluaskan-
nya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk memahami
multikulturalisme, diperlukan landasan penge-tahuan berupa
konsep-konsep yang relevan, mendukung serta keberadaan
berfungsi multikulturalisme dalam kehidupan. Akar dari
multikulturalisme adalah kebudayaan, yang dimasudkan
disini adalah konsep kebudayaan yang tidak terjadi perten-
tangan oleh para ahli, dikarenakan multikulturalisme merupa-
kan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat
manusia dan kemanusiaannya. Oleh karena itu kebudayaan
harus dulihat dari persfektif fungsinya bagi manusia. (Parsudi
Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Dengan pengunaan istilah dan praktek dari multi-
kulturalisme Parehk membedakan lima jenis multikultural-
isme; pertama, "multikulturalisme asosianis" yang mengacu
pada masyarakat dimana kelompok berbagai kultur menjalan-
kan hidup secara otonom dan menjalankan interaksi minimal
satu sama lain. Contohnya, masyarakat pada sistem "millet",
mereka menerima keragaman tetapi mempertahan-kan
kebudayaan mereka secara terpisah dari masyarakat lainnya.
Kedua, "multikultualisme okomodatif” yakni masya-rakat
plural yang memiliki kultur dominan, yang membuat
penyesuaian, mengakomodasi kepentingan tertentu bagi
kebutuhan kultur minoritas. Masyarakat multikultural
akomodatif merumuskan dan menarapkan undang-undang,
hukum dan kekuatan sensitif secara kultural, memberikan
kesempatan kepada kaum minoritas untuk mengembangkan
kebudayaannya dan minoritas tidak menentang kultur yang
80
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dominan. Multikultural ini dapat ditemukan di Inggris,
Prancis dan beberapa negara Eropa yang lain.
Ketiga “multikultural otomatis” masyarakat yang plural
dimana kelompok kultural yang utama berusaha mewujudkan
kesetaraan dan menginginkan kehidupan otonom dalam
kerangka politik secara kolektif dan dapat diterima. Contoh
dari multikultural ini adalah masyarakat muslim yang berada
di Eropa yang menginginkan anaknya untuk memperoleh
pendidikan yang setara dan sesuai dengan kebudayaannya.
Keempat, “multikulturalisme kritikal interaktif” masya-
rakat yang plural dimana kelompok kultur tidak terlalu
concern dalam kehidupan kultur otonom, tetapi lebih
menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan
menegaskan persfektif distingtif mereka. Multikultural ini,
berlaku di Amerika Serikat dan Inggris, perjuangan kulit
hitam dalam menuntut kemerdekaan.
Kelima,“multikultural kosmopolitan”, yang berusaha
menghapuskan kultur sama sekali untuk menciptakan sebuah
masyarakat dimana individu tidak lagi terikat dan committed
kepada budaya tertentu. Ia secara bebas terlibat dengan
eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengem-
bangkan kultur masing-masing. Para pendukung multi-
kultural ini adalah para intelektual diasporik dan kelompok
liberal yang memiliki kecenderungan posmodernisme dan
memandang kebudayaan sebagai resources yang dapat mereka
pilih dan ambil secara bebas. (Azyumardi Azra, Identitas dan
Krisis Budaya).
Multikulturalisme dalam penerapan dan bagaimana cara
melaksanakannya. Konsep dan kerangka dalam multikultural-
isme di paparkan oleh B. Hari Juliawan dengan membagi
81
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
multikulturalisme dengan menggunakan empat kerangkanya.
Pertama, kerangka multikulturalisme berkenaan dengan
istilah multikulturalisme itu sendiri. Multikulturalisme me-
nunjukkan sikap normatif tentang fakta keragaman. Multi-
kulturalisme memilih keragaman kultur yang diwadahi oleh
negara, dengan kelompok etnik yang diterima oleh masya-
rakat luas dan diakui keunikan etniknya. Kelompok etnik
tidak membentul okomodasi politik, tetapi modifikasi
lembaga publik dan hak dalam masyarakat agar meng-
akomodasi keunikannya.
Kerangka multikulturalisme kedua, merupakan turunan
kerangka yang pertama yaitu akomodasi kepentingan,
dikarenakan jika kita ambil saripati dari multikulturalisme
adalah menajemen kepentingan. Kepentingan disini adalah
relevan dari konsep multikulturalisme, terbagi menjadi dua
macam kepentingan yang bersifat umum dan khusus.
Kepentingan yang bersifat umum pemenuhannya yang sama
pada setiap orang tanpa membedakan identitas kultur.
Sedangkan kepentingan khusus pemenuhan yang terkait
dengan aspek khusus kehidupan (survival) kelompok yang
bersangkutan. Misalkan kelompok masyarakat adat dapat
melaksanakan adatnya masing-masing tanpa intimidasi dari
pemerintah dan kekuatan kelompok yanga lain.
Kerangka multikulturalisme yang ketiga, merupakan
ideologi politik dengan menjadikan setiap orang atau
kelompok minor dapat menyampaikan aspirasi politiknya
tanpa terjadinya penindasan dan ancaman. Krangka keempat
berkaitan dengan puncak dan tujuan dari multikulturalisme
yang pantas diperjuangkan dikarenaka dibalik itu ada tujuan
hidup bersama, dengan pemenuhan hak-hak hidup. Hal
82
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
tersebut dikarenakan dalam multikulturalisme merupakan
penghargaan terhadap perbedaan. (B. Heri Juliawan, Krangka
Multikulturalisme).
Kebijakan multikulturalisme dalam konteks negara plural
saling melengkapi satu dengan yang lain dengan power
sharing, lebih sekedar distribusi pegakuan simbol-simbol
budaya, tetapi pada alokasi kekuasaan, dan kebijakan resmi
yang mengakomodir semua kelompok dalam rangka memper-
tahankan sekurang-kurangnya peraktek kebudayaan yang
unik dalam berpartisipasi secara stimulan dalam nilai dan
sistem kepercayaan bangsa yang lebih besar. (Zakiyuddin
Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multi Kultural)
Kerangka keempat, puncak tujuan dari multikultural-
isme hidup bersama sedekat mungkin pada kepenuhan hidup
baik. Dikarenakan pada setiap orang ingin hidup baik,
spiritual dan materialnya. (B. Heri Juliawan, Krangka Multi-
kulturalisme).
Multikulturalisme dapat berkembang menjadi hiper-
multikulturalisme. Steve Fuller mengemukakan bentuk hiper-
multikulturalisme yang perlu dihindari. Pertama, mengang-
gap kebudayaan sendiri yang lebih baik. Pengakuan tehadap
kebudayaan sendiri mengarahkan kecintaan pada diri sendiri
atau narsisme kebudayaan, jika berlebihan dapat menjadikan
kolonialisasi. Kedua, pertentangan antara budaya barat
dengan sisa Barat. Pandangan ini dikenal dengan Eropa
Sentris dalam melihat kebudayaan lain. Ketiga, pengakuan
terhadap berjenis-jenis budaya. Pluralisme budaya pengharga-
an terhadap budaya ditangapi dikarenakan eksotis, menarik
perhatian. Dan kebudayaan yang lain dilihat bukan karena
eksotisnya. Keempat, penelitian budaya suatu entitas yang
83
Realitas Sekarang; Globalisasi dan Multikulturalisme
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
homogen dikuasai oleh laki-laki dan bias gender perempuan.
Kelima, mencari "indigeneus culture". Pemujaan terhadap
indigeneus culture adalah hal yang berlebihan dan kerjasama
internasional mengandung unsur kebudayaan lain dapat
diadopsi sesuai dengan lingkungan kebudayan yang berbeda.
Keenam, penduduk asli yang berbicara tentang kebudayaan-
nya. Orang asing tidak berwewenang mempelajari kebudaya-
an setempat. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Dalam multikulturalisme global masih berpegang pada
doktrin asimilasi yang satu arah dan logika kebersamaan. Hal
ini menjadi tantangan besar terhadap studi multikulturalisme
yang selaknya menggali lebih jauh masalah identitas dan per-
bedaan. (Farah Wardani, Representing Islam). Tilaar juga,
mengemukakan tantangan multikultuiralisme, pertama, hege-
moni barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan
ilmu pengetahuan. Negara yang berkembang mengambil
langkah seperlunya untuk mengatasi sehingga sama dengan
dunia barat. Kedua, esensialisasi budaya. Multikulturalisme
berusaha untuk mencari esensi budaya tanpa jatuh dalam
pandangan xenophobia dan ennosentrisme. Multikulturalisme
melahirkan tribalisme sampai sehingga merugikan komunitas
global. Ketiga, proses globalisasi berupa monokulturalisme
karena gelombang dahsyat globalisasi menggiling dan
menghancurkan kehidupan bersama budaya tradisional.
Masyarakat akan tersapu bersih dan kehilangan akar
budayanya sehingga kehilangan akar berpijak akibat terkena
arus globalisasi. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
84
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B a g i a n
Realitas Muhammadiyah,Bercermin Pada Pendiri Muhammadiyah
A. Prawacana Muhammadiyah
Sudah lama intelektual Islam Indonesia membedakan
secara dikotomis kedalam modernis dan tradisionalis, ter-
masuk Muhammadiyah yang modernis dan NU yang
tradisionalis. Para pemerhati sosial yang berbasis kampus atau
berbasis keilmuan keagamaan, dan tipologi ini masih lazim
diterima, walaupun masih banyak kritik dari berbagai pihak.
Akibat dari dikotomi tersebut mereka berlomba-lomba
membangun citra yang enak dipandang dan didengar oleh
para peneliti yang pandai dalam menciptakan kategori.
Berawal dari perebutan citra ini, banyak organisasi dakwah
Islam di Indonesia digiring ke dunia yang tidak nyata,
terjebak kedalam dunia yang serba semu dalam citra. Tetapi
yang ironis pertarungan dan perbedaan yang selama ini
terjadi tidak ditarik kepada asumsi bahwa perbedaan
merupakan suatu yang semu belaka yang diciptakan orang
lain dalam melihat realitas "diri" mereka. (Bahrus Surur Iyuk,
Teologi Amal Saleh)
Pengkajian dan penelitian tentang Muhammadiyah tak
kunjung usai, dan Muhammadiyah ibarat sebuah bangunan
besar yang dapat dilihat dari berbagai sudut, sehingga
memunculkan banyak obyek penelitian yang penting untuk
5
85
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
diteliti. Sebagai gerakan sosial keagamaan modernis terbesar,
Muhammadiyah memiliki keunikan tersendiri. Muhammad-
iyah merupakan gerakan sosial keagamaan yang mengalami
keberhasilan dalam praksis sosialnya, telah melahirkan ribuan
amal usaha yang tersebar dipenjuru tanah air. Berdasarkan
data yang terbaru (2005) amal usaha Muhammadiyah dalam
bidang pendidikan berjumlah 5.797 buah. Masing-masing
dengan rincian Sekolah Dasar sejumlah 1132 buah, Madrasah
Ibtida'iyah 1184 buah, Sekolah Menengah Pertama 534 buah,
Madrasah Tsanawiyah 511 buah, Sekolah Menengah Atas 263
buah, Sekolah Menengah Kejuruan 172 buah, Madrasah
Aliyah 67 buah, Pondok Pesantren 55 buah, Akademi 4 buah,
Politeknik 70 buah, Sekolah Tinggi 70 buah dan Universitas
36 buah. Total amal usah yang telah dimiliki oleh
Muhammadiyah sebanyak 7.489 buah.
Angka yang terjadi dalam amal usaha Muhmmadiyah
merupakan jumlah yang cukup fantastis bagi organisasi sosial
keagamaan. Apalagi keberadaan amal usaha tersebut merupa-
kan pengejawantahan dari model pemahaman keagamaan
(keislaman) di Muhammadiyah. Konstruksi pemahaman
keagamaan tersebut cukup unik dan menarik untuk dikaji
secara intensif. Mengingat model pemahaman keagamaan
yang telah diusung oleh Muhammadiyah, lantas kemudian
terejawantahkan dalam realitas kehidupan sosial yang nyata
berupa amal usaha yang telah dinikmatai oleh umat manusia.
Muhammadiyah sebagai organisasi bervisi sosial keagamaan
memang telah banyak mewarnai perjalanan sejarah nasional.
Bahkan, konstribusi Muhammadiyah telah terasa dalam
pembangunan bangsa. Bukan hanya konstribusi dalam amal
usaha, tetapi Muhammadiyah telah menyumbangkan kader-
86
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kadernya melalui sederetan tokoh nasional. Banyak tokoh
nasional yang telah berjasa terhadap bangsa ini, baik sewaktu
memperjuangkan kemerdekaan maupun ketika mengisi
pembangunan, mereka adalah kader-kader terpilih Muham-
madiyah. (Haedar Natshir, Pengantar dalam Muhammadiyah
Gerakan Sosial Keagamaan Modernis)
Secara sosiologis Muhammadiyah merupakan gejala kota,
jika itu benar maka memiliki jarak sosial antara orang kota
dengan orang desa. Perbedaan terjadi dikarenakan adanya
jarak sosial. Jarak sosial dalam Muhammadiyah sebagai
gerakan kota ketika masuk ke desa mengalami pribumisasi
sehingga memunculkan empat varian dalam Muhammadiyah.
Islam murni, (kelompok al-ikhlas), ia tidak mengerjakan
TBC dan tidak toleran kepada yang melaksanakan TBC, Islam
murni yang tidak mengerjakan sendiri tetapi toleran terhadap
pernyakit TBC (kelompok Kyai Ahmad Dahlan). Neo-
tradisonalis, (kelompok Munu atau Muhammadiyah–NU), dan
Neo-sinkretis, (kelompok Munas, Muhammadiyah Nasionalis
dapat juga disebut Marmud atau Marhaenis-Muhammadiyah).
Kenyataan yang berada di Muhammadiyah penting artinya,
karena selama ini semua orang melihat bahwa Muhammad-
iyah terdiri dari satu kelompok saja, yaitu Islam Murni.
Dengan melakukan pribumisasi bahwa dominasi petani
di pedesaan telah menyebabkan perubahan dalam praktik
keagamaan anggota persyarikatan, dengan adanya "teologi
petani". Praktik yang telah dipandang sebagai TBC telah
diakomodasi dalam gerakan Muhammadiyah, walaupun
dengan perubahan-perubahan penting. (Kuntowijoyo, Jalan
Baru Muhammadiyah)
87
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B. Sejarah Muhammadiyah
Munculnya Muhammadiyah sebagai gerakan sosial ke-
agamaan dalam sosial budaya waktu itu merupakan
"eksperimen sejarah" yang cukup spektakuler. Menurut kaca-
mata sosiologi agama, Muhammadiyah pada awal berdirinya
merupakan suatu "gerakan sempalan" organisasi keagamaan,
tetapi memberikan konotasi yang bagus, bukan sekedar tampil
beda dan beberapa hari kemudian hilang ditelan masa.
Banyak gerakan sempalan keagamaan kontemporer yang tidak
berumur panjang cenderung agak neko-neko, tetapi Muham-
madiyah terus berusia panjang bahkan amal usahnya terus
bertambah. (M. Amin Abdullah, Dina-mika Islam Kultural)
Pada waktu itu, Muhammadiyah menghadapi tiga front
yaitu; Modernisme dari kolonialisme Belanda, Tradisonalisme
dan Jawaisme. Modernisme dijawab oleh Kiai Ahmad Dahlan
dengan mendirikan sekolah-sekolah, kepanduan, voluntary
association. Sedangkan untuk jawaban terhadap permasalahan
jawaisme dan tradisonalisme langkah yang telah diambil oleh
Kiai Ahmad Dahlan yakni; pertama, terhadap tradisionalisme,
Kiai Ahmad Dahlan mengguna-kan metode tabligh
(menyampaikan) dengan mengunjungi murid-muridnya, dari
pada menunggu kedatangan mereka. Padahal pada waktu itu,
guru mencari murid adalah persoalan “aib sosial-budaya”.
Dan Kiai Ahmad Dahlan adalah sosok yang pantas dan berhak
didatangi oleh murid-muridnya dikarenakan kecakapan dan
kemampuannya dalam bidang agama. Apa yang dilakukan
Kiai Ahmad Dahlan dengan mengajari anak-anak perempuan
di Solo, kemudian dalam surat kabar 8 September 1915 ia
mengantarkan murid-murid-nya untuk berekreasi di taman
Sri Wedari merupakan per-buatan (dakwah tabligh) yang luar
88
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
biasa. Hal ini, dikarenakan tabligh yang ia lakukan
setidaknyaa memiliki dua implikasi yaitu; pertama,
perlawanan langsung terhadap idolatry (pemujaan tokoh)
ulama dan perlawanan langsung terhadap mistifikasi agama.
Kedudukan ulama saat itu, sangat tinggi dikarenakan ia
menjadi mediator antara manusia dengan Tuhan, menjadi elit
dalam masyarakat dan guru dalam menyampaikan agama.
Kedua, dalam menghadapi Jawaisme Kiai Ahmad Dahlan
menggunakan metode positive action (dengan menge-
depankan amar ma'ruf) dan tidak secara frontal meyerangnya
(nahi munkar). Dalam Swara Muhammadiyah tahun 1915
dalam artikel yang menerangkan macam-macam shalat sunah,
ia menyebutkan bahwa keberuntungan semata-mata karena
kehendak Tuhan dan shalat sunah merupakan salah satu jalan
untuk meraihnya. Ia menerangkan bahwa keberuntungan
tidak disebabkan oleh pesugihan (jimat kaya), meminta di
kuburan keramat, dan memelihara tuyul. Ini merupakan
upaya demitologisasi yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan
dikarenakan penolakannya terhadap mitos. (Kunto-wijoyo,
Jalan Baru Muhammadiyah)
Praktik pembaharuan yang telah dilakukan oleh Kiai
Ahmad Dahlan, adalah pembenahan arah kiblat yang dalam
umat Islam seringkali keliru, keinginan yang kuat dari Kiai
Ahmad Dahlan untuk membenarkan arah kiblat pada masjid
kasultanan tetapi kemudian mendapat tantangan keras.
Untuk membuktikan kebenaran pendapatnya ia mendirikan
shuro dengan ketepatan arah kiblatnya, tetapi dalam usaha-
nya ditantang oleh KH. Muhammad Halil dan mengancam
akan dirobohkan. Melihat kondisi tersebut Kiai Ahmad
Dahlan berkeinginan hijrah dari kampungnya tetapi tidak
89
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
diperkenankan oleh keluarga dan berjanji bahwa shuro
tersebut tidak akan dirubuhkan. Dengan janji tersebut maka
Kiai Ahmad Dahlan tidak jadi meninggalkan kampungnya
(Ahmad Taufik dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modern-
isme Islam).
Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dalam
kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan kondisi sosial
budaya yang melingkupinya. Boleh jadi, munculnya gerakan
tersebut merupakan sikap protes terhadap kondisi atau
malahan sebaliknya, sikap yang mendukung atau status quo
terhadap yang terjadi. Munculnya Muhammadiyah secara
garis besar dipengaruhi oleh dua faktor yakni; internal dan
eksternal.
1. Faktor Internal
Pertama, berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri
secara menyeluruh. Gerakan ini muncul dari nilai-nilai
ajaran Islam berdasarkan interpretasi pendirinya, sikap
keberagamaan umat Islam, dan kondisi lembaga pen-
didikan umat Islam pada waktu itu. Interpretasi terhadap
nilai-nilai Islam. Pada awal berdirinya Muhammadiyah
sebagai organisasi dakwah yang mengemban misi Islam,
maka Kiai Ahmad Dahlan menginterpretasikan al Qur'an
sebagai suatu aktivitas amal, maka ia berfikir perlunya
mendirikan organisasi agar gerakannya ter-sistematis,
rapih, dan teratur. Hal ini sesuai pemahaman-nya
terhadap surat Ali Imran ayat 104, 110, surat al Maa’uun
ayat 1-5, surat Yusuf ayat 108, surat an Nahl ayat 125,
surat as Shaff, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
90
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Bukhari dan Muslim tentang kemungkaran dan perintah
mencegahnya sesuai dengan kesanggupan.
Kedua, Sikap keberagamaan umat Islam yang
sinkretis dikarenakan terpengaruh oleh kultur Hindu-
Budha sebelum masuknya Islam ke nusantara. Keyakin-
an yang sinkretis merupakan asimilasi kebudayaan dan
kemudian melahirkan Agama Jawa. Agama jawa tersebut,
tumbuh subur di daerah pedalaman yang dulunya
merupakan pusat kebudayaan Hindu-Budha. Refleksi
dari keagamaan, yang dilakukan umat dalam menjalan-
kan keagamaannya bersifat sinkretis dan melakukan
syirik, tahayul, bid'ah dan khurafat dalam masyarakat
sebelum Muhammadiyah lahir.
Ketiga, lembaga pendidikan yang ada di masyarakat
tidak mengajarkan tentang keterbukaan tetapi menjadi
taqlid buta terhadap mazhab fiqh, imam, guru, kyai dan
syekh. Sikap tersebut, berjalan pada pendidikan yang
bercorak tradisional yang dalam metode pembelajarnya
top-down, ditambah lagi kitab yang dipakai hanya satu
mazhab. Pembelajaran top-down murid bersikap pasif,
membuat pertanyaan serta membantah pendapat guru
ataupun kyai merupakan hal yang tabu. Lembaga pen-
didikan bukannya untuk transformasi pengetahuan tetapi
sebagai pelanggeng ajaran konservatisme yang memupuk
jiwa jumud dan taqlid. Pendidikan moderen yang telah
diterapkan oleh bangsa Barat ditanah air bercorak
sekulerisme. Pendidikan itu, hanya untuk golongan ter-
tentu dan umat Islam tidak dapat mengakses agar dapat
merasa-kan pendidikan moderen.
91
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang telah melatarbelakangi ber-
dirinya Muhammadiyah ada dua macam yakni; pertama,
kondisi penjajahan kolonial dan semangat pem-baharuan
di Timur Tengah yang beritanya sampai ke nusantara.
Kondisi kolonial yang memprihatinkan rakyat dalam
jurang dehumanisasi dan kebijakan politik dari pemerin-
tah kolonial untuk menyebarkan agamanya (kristenisasi).
Puncak dari kebijakan Kristenisasi tersebut mencapai
puncaknya dalam masa kepemimpinan AWF. Idenburg
sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa itu
mengatur kebijakan kolonial untuk memberikan dana
bantuan yang besar dalam menjalankan dan mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan swasta yang mayoritas
menyebarkan misi kristenisasi. Dalam keadaan tersebut,
umat Islam mengalami dua kesulitan untuk memperoleh
haknya yakni kemerdekaan dan misi Kristenisasi yang
dapat mengguncang keyakinannya.
Kedua, Ide-ide pembaharuan Timur Tengah meng-
alir ke nusantara pada akhir abad 19, menjelang abab 20.
Masuknya ide tersebut melalui orang-orang yang
menunaikan ibadah haji, serta majalah al Manar yang
beredar ke nusantara. Kiai Ahmad Dahlan merupakan
salah satu orang yang banyak bersentuhan dengan
gerakan pembaharuan di Mesir, iapun gemar membaca
majalah al Manar yang diperoleh dari para jamaah/
anggota di Jami’at al Khair. Dalam organisasi tersebut, ia
sebagai anggota pasif tetapi dapat menyerap informasi
tentang perkembangan dunia Islam, dikarenakan organ-
isasi tersebut memiliki jaringan yang kuat dengan dunia
92
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Islam di Timur Tengah bahkan dalam sejarahnya ia
pernah bertemu dengan Rasyid Ridha ketika menunaikan
ibadah haji, dan sempat bertukar fikiran sehingga cita-
cita pembaharuan meresap kedalam hati sanubari Kiai
Ahmad Dahlan.
Kitab-kitab yang dibaca oleh Kiai Ahmad Dahlan
bercorak modernis, berasal dari pemikiran Muhammad
Abduh. (Sutarmo, Muhammadiyah Gerakan Sosial Ke-
agamaan Modernis).
C. Sistem Pemikiran Kiai Ahmad Dahlan
Generasi awal dalam Muhammadiyah mencoba menafsir-
kan normativitas agama untuk dipakai sebagai dasar beragama
dan sekaligus sebagai landasan bagi reformasi sosial. Keyakin-
an atau sistem kepercayaan akan teraktualisasikan secara
eksternal kedataran realitas sosial dengan sistem pengetahuan
(pemikiran) keagamaan. Sikap sejuk dan toleran yang dimiliki
oleh generasi awal Muhammadiyah dalam pelaksanaannya
bukan saja pada aspek ritual saja tetapi bersifat praksis sosial.
Hal ini menjadikan dalam memahami Islam bukan hanya dari
aspek ritual tetapi berusaha menjadikan Islam sebagai rahmat
dan meliputi segala aspek kehidupan. (Bahrus Surur Iyunk,
Teologi Amal Soleh).
Kenyataan sejarah yang sering dilupakan oleh para peng-
ikut Muhammadiyah dan "musuh-musuhnya" ialah bahwa
Kiai Ahmad Dahlan sangat toleran dengan praktik keagama-
an di zamannya, sehingga ia dapat diterima oleh semua
golongan. Sebagai santri, sekaligus pengurus Budi Oetomo
(BO), ia juga mengajar pada Kweekschool dan mudah bergaul
dengan orang BO yang pasti dari golongan priyayi yang
93
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
cenderung abangan. Hal ini terbukti pada tahun 1914 ia
bermaksud mendirikan sekolah Muhammadiyah di Karang-
kajen Yogyakarta, teman-teman BO meminjamkan uang dan
bersedia menjadi penjamin supaya ia mendapatkan uang
pinjaman dari bank. (Darmo Konda, 12 Desember 1914).
Demikian dengan peresmian PKO Muhammadiyah di
Surabaya yang dilaksanakan oleh orang abangan yakni, dr.
Soetomo serta para dokter yang dipekerjakan oleh Belanda
dan tidak menerima bayaran. Akan tetapi, orang mengingat-
nya sebagai tokoh pemurnian Islam yang konsekuen dalam
gagasannya. Namun dalam kenyataanya Islam murni hanya
berlaku pada diri Kiai Ahmad Dahlan dan orang-orang yang
sefaham, tetapi tidak untuk orang yang lain. (Kuntowijoyo,
Jalan Baru Muhammadiyah).
Pendirian dan gerakan dakwah Muhammadiyah tidak
dapat dilepaskan dari sosok dan pemikiran tokohnya yakni,
Kiai Ahmad Dahlan yang memahami agama cenderung fait
action dengan alasan tuntutan realitas pada masa itu. Kiai
Ahmad Dahlan menginginkan agama sebagai solusi terhadap
problem sosial yang terjadi sehingga agama dapat menjadi
rahmat. Berikut ini merupakan jawaban Kiai Ahmad Dahlan
ketika ditanya oleh muridnya, “mengapa ia tidak menulis
kitab” sebab belum pernah ditemui seorang yang mengajarkan
agama seperti kyai, apa yang diterima dari Kiai begitu baik,
bisa membangkitkan, bisa menimbulkan motivasi untuk
beramal, dan itu baru kali ini. Oleh karena itu, alangkah lebih
baiknya ajaran-ajaran Kiai ini ditulis," demikian usulan itu.
Waktu itu, Kiai Ahmad Dahlan menjawab "apakah saudara
menganggap saya ini orang gila?" jawaban Kiai itu dilontar-
kan sampai tiga kali. Muridnya itu tentu tidak faham,
94
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kemudian diberi tahu. "Mengapa umat Islam, bukan saja di
Indonesia tetapi di dunia pecah satu sama lain, yang satu
mengkafirkan yang lain, tahu apa sebabnya?" ujar Kiai, jawab
murid itu "tidak tahu". Nah saya beri tau, "karena terlalu
banyak kitab-kitab”. Kalau saya menambahkan satu kitab lagi,
maka saya termasuk orang gila. Saya hanya menginginkan
umat Islam kembali kepada al Qur'an dan al Hadits", jawab
Kyai. (Bahrus Surur Iyuk, Teologi Amal Saleh)
Pemahaman keagamaan Kiai Ahmad Dahlan praktis, hal
ini dikarenakan kondisi realitas yang pada waktu itu menun-
tut demikian dan realitas tersebut berbeda jauh dengan
sekarang. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan
dalam doktrinya menyatakan bahwa prinsip-prinsip Islam
tidak terletak pada mazhab fiqh ataupun hirarki keagamaan,
tetapi terletak pada al Qur'an dan as Sunah. Para pemimpin
gerakan ini harus berpandangan bahwa keyakinan dan
kewajiban agama harus berdasar kedua sumber pokok ter-
sebut. Mereka mempercayai bahwa al Qur'an merupakan
sumber yang lengkap dan ajarannya bersifat sempurna, akan
selalu menjawab seluruh tantangan zaman. Mereka menem-
patkan peran akal sangat penting dalam mengungkap
kebenaran. Berikut ini merupakan ciri atau karakteristik
pemikiran Kiai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah pada
awal berdirinya.
1. Akal
Masalah akal mendapatkan pengertian yang baru,
penting untuk dicatat bahwa para pemimpin Muham-
madiyah sering menggunakan kata akal dari pada kata
ijtihad untuk menyebut pemahaman rasional terhadap
95
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
agama. Akal dan ijtihad merefleksikan pengertian yang
saling bergantian, digunakan untuk memahami agama.
Ijtihad membutuhkan penggunaan akal dan menemu-kan
makna interpretasi yang segar. Akal merupakan bagian
yang integral dalam ijtihad dan akal mampu mem-
bimbing kaum muslim memahami manfaat usaha-usaha
duniawi. Akal juga merupakan elemen paling penting
yang memungkinkan individu memahami perintah
Tuhan dan menangkap fenomena alam ini. Kiai Ahmad
Dahlan sering kali berucap bahwa setiap manusia harus
menggunakan akal untuk memperbaharui keyakinan,
usaha, tujuan hidup ini, serta memahami kebenarannya.
Agama merupakan kebutuhan dasar manusia, maka
penafsiran agama harus didasarkan pada akal untuk
diterapkan dalam kehidupan praktis. Ajaran agama
diorientasikan pada kemajuan serta perbaikan yang
dalam pemahamannya menggunakan akal. Akal merupa-
kan alat untuk memahami sumber kebenaran yakni al
Qur'an dan as Sunah, dikerenakan dengan akal akan
mudah menerima suatu kebenaran dari ajaran-ajarannya.
Penggunaan akal ini berdampak pada pemimpin
Muhammadiyah yang memaknakan bahwa ritual sejajar
dalam konteks sosial yang nyata. Secara prinsip akal
dapat menerima semua pengetahuan, dan pengembangan
akal yang paling penting adalah logika, yang mengkaji
sesuai dengan kehidupan nyata. Bagi Kiai Ahmad Dahlan
logika membedakan idealitas dan realitas. Ajaran Islam
akan ideal dengan logika, karena menuntut implementasi
konkret ajaran Islam dan penerjemahannya dalam
realitas sosial. Ini menekankan bahwa Islam bukan saja
96
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
bersifat teoritis tetapi bersifat praktis. Kiai Ahmad
Dahlan dalam memahami Islam terbagai menjadi tiga
bagain penting, berdasar pada prinsip ajaran Islam al
Qur'an dan as Sunah sebagai sumber primer, dan akal
menjabarkan isi sumber-sumber itu, penerjemahan
pemahaman keagamaan kedalam realitas konkret.
2. Relativisme dalam Pemahaman Keagamaan
Relativisme dalam pemahaman keagamaan yang
membangun gerakan dasar ini, umat muslim menganggap
bahwa pengetahuannya yang paling benar dan klaim
semacam itu keliru karena mereka berdasarkan pada
persepsi kelompok mereka sendiri dan penolakannya
terhadap ide-ide yang lain. Ia menegaskan bahwa penting
untuk belajar kepada orang lain, kerena mungkin
kebenaran dapat diperoleh. Bagi Kiai Ahmad Dahlan
yang benar dan baik harus dicari, tidak secara buta
diterima, karena dapat mendorong semangat aktifitas dan
kreatifitas, kemudian dapat menyebabkan sikap pasif
yang melahirkan kebodohan. Ketertutupan (ekslusifitas)
agama itu terjadi karena manusia dilahirkan dalam tradisi
mereka sendiri. Masing-masing tumbuh dalam lingkung-
an mereka sendiri, menerima semua apa yang telah
diturunkan dari pendahulu mereka sendiri. Sikap seperti
itu harus ditolak oleh kaum yang beriman, ujar Kiai
Ahmad Dahlan. Bahkan ia menyarankan untuk belajar
agama lain dan ide-ide yang berbeda. Selain itu, ia
menyatakan bahwa seseorang yang mempelajari ide-ide
yang berbeda dari yang dimilikinya maka tidak secara
otomatis ia menerimanya. Ia juga menekankan dialog
97
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dalam mencari kebenaran, bahkan apa yang dilakukan
oleh Kiai Ahmad Dahalan memiliki keterlibatan diskusi
dengan pemuka agama lain. Bahkan dalam sejarahnya
Kiai Ahmad Dahlan membiarkan teman-temannya dari
Indisch Social Democratische Partij untuk berbicara di
depan anggota Muhammadiyah dan mengkampanyekan
tentang ide-ide sosialisme dan menentang represif
kebijakan pemerintah kolonial. Keyakinan seperti ini
menjadikan kebenaran dapat diterima dari siapa pun, ia
harus didengar dan dipercaya.
3. Filsafat Toleransi
Bahwa tidak ada satu kelompok atau ideologi bisa
mengklaim satu-satunya kebenaran, pandangan Muham-
madiyah ini merupakan sikap toleransi dan tanggapan
terhadap pandangan kelompok/ulama lain yang meng-
anggap bahwa pandangan Muhammadiyah merupakan
satu-satunya kebenaran yang valid. Muhammadiyah,
mengundang kelompok/ulama lain untuk memberikan
komentar terhadap persoalan yang ada, hal ini juga
dilakukan sebagai apresiasi terhadap kelompok atau
ulama lain. Kelompok berbeda memiliki pendapat yang
berbeda dikarenakan perbedaan ruang, dan waktu, serta
kemampuan dalam memahami Islam.
Bahwa al Qur'an dan as Sunnah merupakan sumber
hukum yang tetap dan tidak berubah, adapun yang
dianggap berubah adalah pemahaman serta tafsiran
terhadap sumber tersebut. Islam juga tidak membatasi
pandangan tertentu, karena pandangan keagamaan sangat
luas yang ditentukan oleh kapasitas penafsir. Semakin
98
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
luas pengetahuan dalam memahami ajaran agama maka
semakin mudah untuk menerimanya. Prnisip relativ-
isme dalam memahami ajaran agama melahirkan sikap
menghargai ide-ide lain, karena diakui bahwa seseorang
tidak dapat mencapai kebenaran sempurna terhadap
agama dengan penge-tahuan yang terbatas. Relativitas
akan mendorong setiap orang untuk terbuka terhadap
ide-ide baru. Dalam menerima ide-ide baru akan
melahirkan kesiapan bagi pengalaman baru yang pada
gilirannya bisa mengekspresikan diri dari berbagai
bentuk dan konteks.
4. Penafsiran Agama tidak Absolut
Kiai Ahmad Dahlan menyatakan bahwa agama
berasal dari sumber yang absolut, namun perlu diketahui,
bahwa agama dipahami lewat medium penafsiran
manusia dan dipengaruhi oleh dinamika sosial yang
kompleks. Dalam proses pemahaman ini menjadikan
agama tidak sempurna dan kehilangan kemutlakannya.
Akibatnya seseorang tidak dapat mengambil kesimpulan
mengenai keabadian faham agama karena keterbatasan
dan ketidak sempurnaan pemahaman manusia. Merupa-
kan kesalahan besar jika memutlakan penafsiran tentang
agama karena kemutlakan agama ada pada agama itu
sendiri. Tidak ada pemahaman agama yang absolut
demikian juga dengan ajaran Islam yang telah dirumus-
kan oleh ulama terdahulu, tidak bisa dipertahankan
sebagai kebenaran yang absolut, karena penafsiran
berlaku sepanjang ruang dan waktu.
99
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Muhammadiyah pernah merubah pandangannya
terhadap isu-isu keagamaan tertentu. Pemahaman yang
benar terhadap aspek sosial Islam terletak pada aspek
pencarian yang rasional dan metodis. Para pimpinan
Muhammadiyah yakin bahwa untuk memahami Islam
seseorang perlu membekali diri dengan cakupan yang
luas. Semakin luas kerangka berfikir, semakin luas pula
horizon dalam memahami Islam, demikian juga sebalik-
nya. Konsekuensi dari relativisme paham keagamaan dan
realitas pada waktu itu disebabkan umat Islam yang
majemuk terdiri dari berbagai aliran. Perbedaan ideologis
dan kultur merupakan suatu yang harus dijaga sejauh
mana tidak bertentangan dengan nilai atau norma yang
mereka anut. Kelompok yang berbeda dapat hidup secara
rukun, saling memahami dan bukan asimiliasi dalam
mencapai tujuan bersama. Para pemimpin Muhammad-
iyah menganjurkan kepada umat Islam utuk tidak
mencari-cari kesalahan kelompok lain dan meremehkan
pemikiran mereka. Sikap relativisme dalam agama
menjadikan sikap terbuka dalam menghadapi moderen-
isasi dan kebudayaan dari luar.
5. Iman dan Tanggungjawab Sosial
Kiai Ahmad Dahlan mendefinisikan iman sebagai
jiwa, emosi dan kekayaan seseorang yang mengabdi di
jalan Allah. Iman harus melahirkan emosi, ide, keinginan
prilaku, yang baik dan kebaikan-kebaikan yang men-
dorong kaum beriman untuk bertindak secara benar.
Aspek sosial dari iman adalah amal sholeh. Korelasi dari
iman dan amal soleh berpuncak pada usaha mem-
100
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
belanjakan harta kekayaan di jalan Allah. Ibadah bersing-
gungan dengan kemaslahatan masyarakat, Muhammad-
iyah harus mendasarkan usahanya pada pembaharuan
sosial atas prinsip sesama muslim harus mecintai sebagai-
mana dirinya sendiri. Ibadah harus memenuhi tujuan
tertentu dan memberikan maslahat pada orang banyak,
misalkan pada persoalan zakat yang mengandung makna
sosial dibalik implementasinya.
Kesadaran yang telah dimiliki oleh individu muslim
bergerak menjadi kesadaran kolektif dalam rangka men-
sejahterakan rakyat. Mandat Muhammadiyah yang paling
utama pada masa itu yakni, memecahkan permasalahan
sosial dengan melaksanakan perintah agama melalui
usaha kolektif. Rasionalisasi tindakan tersebut adalah
“tindakan yang baik tak terorganisir akan mudah di-
kalahkan dengan kejahatan yang terorganisir”.
Kiai Ahmad Dahlan disetiap ceramah dan pengaji-
an, terus-menerus menyuarakan agar setiap orang yang
mampu bersedia memenuhi hak-hak dan berlaku adil
terhadap orang miskin, para fakir, anak yatim, orang-
orang terlantar dan menderita. Gerakan tersebut yang
kemudian berkembang dengan menajemen pengelolaan
zakat. Berdasar hal ini pula, Muhammadiyah mendiri-
kan rumah untuk orang miskin, panti asuhan, rumah
untuk orang terlantar. (Abdul Munir Mulkhan, Kisah dan
Pesan Kiai Ahmad Dahlan)
6. Shalat, Amal dan Tanggungjawab Sosial
Penggunaan kekayaan seseorang dalam usaha
merealisasi keyakinan juga dibicarakan dengan kaitannya
101
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
ritual untam alain dalam Islam yakni shalat. Hal ini
diidentikan dengan orang yang mendustakan agama
sebagai orang yang tak dermawan terhadap fakir miskin.
Sebaliknya untuk yang beriman memperhatikan dan
memperlakukan orang yang lemah, keyakinan tersebut
tertanam dalam anggota Muhammadiyah untuk mem-
belanjakan hartanya guna mendukung program sosial.
Kiai Ahmad Dahlan mengingatkan bahwa orang yang
pelit dan melupakan kebutuhan kaum lemah maka tidak
dapat menerima manfaat dari shalat karena mendustakan
agama. Amal saleh merupakan kewajiban sebagai
mukmin dan jika seorang muslim tidak melakukan amal
saleh maka bukan mukmin yang sesungguhnya. Dalam
pembahasan tentang amal saleh, Kiai Ahmad Dahlan
mengkaitkan dengan konsep iman, amal dan ikhsan. Dari
tiga wilayah ini penting memunculkan kewajiban melak-
sanakan tindakan lahiriah untuk hubungan manusia
dengan Tuhan, sesama manusia, serta masya-rakat.
Kebenaran merupakan sesuatu yang kongkret sebagai
manifestasi dari setiap tindakan sesuai dengan kebutuhan
manusia, didasari nilai-nilai iman. Dari pemahaman itu
memunculkan nilai kasih, cinta sesama, serta saling
menghormati dan saling kerjasama dalam kebaikan. Nilai
normatif dari amal saleh harus kebenaran dalam
pengalaman empiris dan sekaligus melahirkan etika
dalam kehidupan manusia, bagi Kiai Ahmad Dahlan itu
merupakan manifestasi dari iman. Hal tersebut,
didasarkan pada iman yang sejati melahirkan amal saleh
seperti dalam surat al Asr dan al Maa’uun. (Ahmad
Jainuri, Ideologi Kaum Reformis)
102
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
D. Realitas Muhammadiyah
Pemikiran dan amal usaha Kiai Ahmad Dahlan kemudian
berkembang sebagai prototype, model atau pola umum
pengembangan ide-ide, gagasan dan amal usaha
Muhammadiyah. Untuk sementara, upaya demikian cukup
berhasil dengan berkembangnya berbagai cabang amal usaha
dengan cukup besar dan mengesankan, bahkan merupakan
amal usaha terbesar di tanah air. Namun, kegiatan yang ber-
orientasikan gerakan Muhammadiyah dengan cara di atas
mulai nampak kedodoran dan kehilangan vitalitas inovatif-
nya. Disinilah gerak langkah Muhammadiyah kurang mem-
bangkitkan mobilitas umat dan masyarakat sebagaimana telah
terjadi di masa lalu, bahkan kecendrungan mengalami titik
jenuh. Hal ini disebabkan sistem masyarakat yang dihadapi
telah berubah, sedangkan model fikir Muhammadiyah tak
kunjung berubah. Muhammadiyah harus menawarkan alter-
natif solusi terhadap berbagai persoalan yang telah dihadapi
umat Islam pada akhir abad 19 dan awal abad 20.
Meminjam istilah Ahmad Syafi'i Maa'rif, produk pe-
mikiran Islam yang telah dihasilkan oleh Muhammadiyah
selama lebih tujuh dekade tampaknya masih terbatas dan
sederhana. Pemikiran Muhammadiyah masih baru dan
berlaku bagi kelas menengah ke bawah, sedangkan untuk
kaum intelektual dan pemikir belum banyak terjangkau. Oleh
karena itu pendekatan hisoris dan sosiologis dalam Islam
merupakan suatu keniscayaan, disamping menggunakan
pendekatan lain seperti teologi, hukum, filsafat, dan sufistik.
Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan Islam, dakwah
dan tajdid, mengandaikan suatu mata rantai hubungan
103
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
historis dan dialogis antara dimensi normatif (wahyu) dengan
dimensi objektif. Mata rantai inilah yang mendorong
dinamika sejarah yang terus berkembang dan terus berubah.
Hingga kini dalam Muhammadiyah sejarah dianggap penting
walaupun dalam sejarah yang berkembang bersifat ideologis.
Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu kurang memiliki
peran yang signifikan dalam konstelasi masyarakat industrial
dan intelektual kader. Persfektif kerja-kerja praktis dalam
Muhammadiyah tak pernah mandeg dan terus berjalan
sehingga Muhammadiyah jatuh pada gerakan birokrasi dan
kapitalisasi. Tetapi jika mau ditengok dari sisi wawasan al
Qur'an tentang peran umat Islam dan kualitas intelektual,
maka posisi Muhammadiyah telah mengalami stagnasi dalam
melahirkan pemikiran-pemikiran yang segar tentang Islam,
sebagai ciri utama Muhammadiyah dalam gerakan tajdid.
Muhammadiyah telah terjebak pada rutinitas dan aktivisme
gerakan organisasi dan amal usaha; pendidikan, pelayanan
sosial. (Bahrus Surur Iyunk, Teologi Amal Soleh).
Muhammadiyah telah berkembang denngan pesat dan
maju tetapi dalam perkembangannya, Muhammadiyah meng-
alami disorientasi yang telah kehilangan makna substansinya.
Realitas sekarang, yang terjadi di Muhammadiyah meliputi
elitisme yang telah menjadikan Muhammadiyah sebagai
privilege golongan kelas menengah atas, padahal dalam awal
berdirinya Muhammadiyah dalam gerakan amal usaha untuk
kepentingan kelas sosial ke bawah. Pergeseran dari gerakan
pembaharu sosial budaya menjadi gerakan yang telah terjebak
pada persoalan fiqihah. (Abdul Munir Mulkhan dalam Kata
Pengantar Menggugat Muhammadiyah)
104
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Sebagaimana dalam sejarah yang bergerak singular
melingkar dan berkesinambungan. Makanya Muhammadiyah
sebagai organisasi mengalami pergerakan sejarah dari awal
didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan hingga kepemimpinan
sekarang Dien Syamsudin. Muhammadiyah sebagai organisasi
gerakan dakwah merupakan pilihan yang cerdas dari pendiri-
nya hingga usianya satu abad dan mengalami dinamisasi
dalam struktur maupun gerakannya. Fase sejarah yang terjadi
pada Muhammadiyah secara garis besar terbagi menjadi tiga
macam. Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan, kedua,
Muhammadiyah sebagai birokrasi dan ketiga, Muhammad-
iyah sebagai tradisi. Muhammadiyah sebagai gerakan yakni
dilakukan pada waktu Muhammadiyah awal dikarenakan
Muhammadiyah bersikap progresif terhadap permasalahan
sosial serta cara menyelesaikan permasalahannya. Periode
awal Muhammadiyah ini menyakini Islam yang kemajuan
dan memiliki tugas bahwa agama merupakan rahmat bagi
semesta alam terutama manusia. Hal tersebut, dapat kita lihat
dari sikap pro-aktif Muhammadiyah dalam menyelesaikan
permasalahan sosial seperti kemiskinan, kebodohan dan
kesehatan. Sikap pro aktif tersebut, dikarenakan pemahaman
keagamaan Muhammadiyah bahwa Islam merupakan agama
amal yang tertuang dalam kehidupan sehari-hari. Peng-
aplikasian ajaran agama tersebut menjadikan berkembangnya
amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan,
kesehatan, dan pelayanan sosial dalam rangka mengembang-
kan misi Islam sebagai rahmat.
Selanjutnya Muhammadiyah sebagai birokrasi dikarena-
kan sifat gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid,
sudah mulai luntur. Muhammadiyah lebih disibukkan dengan
105
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
memperbanyak, memperbaiki dan mengembangkan amal
usahanya, sehingga kurang memperhatikan ruh gerakan
dakwah untuk memberi konstribusi terhadap persoalan yang
berkembang di tengah masyarakatnya. Realitas membuktikan
bahwa amal usaha ketika dikelolah oleh orang-orang yang
tidak memahami ruh gerakan dakwah Muhammadiyah, maka
amal usaha disalahgunakan untuk kepentingan misi dakwah
golongan/partai politik/organisasi lain. Demikian juga dengan
kepentingan ekonomi golongan/orang-orang tertentu, maka
amal usaha Muhammadiyah dikapitalisasi sehingga sifat sosial
Muhammadiyah semakin jauh sebagaimana awal dan tujuan
amal usahanya.
Muhammadiyah sebagai tradisi ditandai dengan kege-
lisahan tentang kadernya, serta mengalami ”kecurian” dalam
pengolahan amal usaha. Muhammadiyah merasa sebagai
organisasi besar tetapi tidak melihat kader yang menjalankan
amal usahanya. Oleh karena itu, Muhammadiyah mulai
instropeksi dan melakukan pembenahan terhadap dirinya.
Sikap tersebut merupakan suatu bentuk kewajaran dilarena-
kan Muhammadiyah sadar apa yang dilakukan tidak sesuai
sebagaimana Muhammadiyah awal dan cita-cita pendirinya.
Muhammadiyah mulai mencari kader yang pantas dalam
pengelolaan amal usahanya serta melakukan pembenahan
terhadap menejerial, proteksi terhadap amal usaha Muham-
madiyah agar tidak digunakan sebagai media dakwah
organisasi lain. Sikap tersebut menjadikan Muhammadiyah
menjadi khazanah dan melakukan penafsiran ulang terhadap
pemikiran pendiri Muhammadiyah yang menginginkan Islam
yang berkemajuan. Penafsiaran faham keagamaan ini, men-
jadikan Muhammadiyah bergerak progresif dalam menjawab
106
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
realitas sosial saat ini. Faham tersebut, menjadikan masa
depan selalu ada, dan harapan lebih baik dari pada masa lalu.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam moderen yang
menyejarah selama lebih dari satu abad dan dalam perkem-
bangannya terjadi pergolakan pemikiran dalam dinamikanya
yang menarik untuk dicermati. Pergolakan pemikiran dalam
Muhammadiyah masih terjadi, dan dalam Muhammadiyah
secara pemikiran dapat dipetakan menjadi tiga macam aliran
yakni; aliran puritan, aliran liberal dan aliran dekonstruksi.
Pemikiran aliran puritan, lebih mementingkan Muham-
madiyah sebagai identitas dan diwakili oleh golongan tua dan
kaum intelektual yang belajar Islam di Timur Tengah.
Muhammadiyah sebagai identitas yakni mengembalikan
Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi. Golongan ini me-
mahami al Qur’an dan as Sunah secara tekstual sebagai tradisi
pemikiran dalam mengungkap kebenaran tanpa melakukan
kontekstualisasi melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial dan
hermeneutika yang berasal dari barat.
Selanjutnya adalah aliran liberal, dimana golongan
tersebut dalam menilai dan memberi penghargaan terhadap
Muhammadiyah dari prestasi yang diraih. Aliran ini lebih
menentingkan prestasi dari pada identitas Muhammadiyah
sebagai gerakan purifikasi. Golongan ini erat dengan kaum
muda, dalam memahami Islam menggunakan pendekatan
hermeneutik dan ingin mengembalikan Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid agar dapat memberikan penyelesaian
terhadap permasalahan keagamaan kontemporer. Kaum
muda dalam Muhammadiayah yang memiliki pemikiran
liberal terwadahi dalam Jaringan Intelektual Muda Muham-
madiyah (JIMM). Kemunculan organisasi tersebut sebagai
107
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
bentuk respon terhadap Muhammadiyah yang mulai
kehilangan gerakan tajdid-nya dan jatuh pada rutinisasi
organisasi serta ingin memberikan pemahaman bahwa nilai-
nilai Islam yang difahami Muhammadiyah dapat diterima
seluruh umat manusia. Mereka dalam latar belakang
pemikirannya memahami kebenaran dengan menggunakan
disiplin ilmu pengetahuan dari barat seperti sosiologi,
antropologi, psikologi dan hermeneutika. Pemikiran khasnya
kembali kepada al Qur’an dan al Hadits dengan pendekatan
berbagai macam disiplin ilmu agar penafsirannya dapat sesuai
dengan realitas. Golongan ini berasal dari santri yang dalam
pemahaman keagamaanya belajar di barat atau mereka yang
mendalami filsafat serta teori-teori sosial.
Aliran dekonstruksi, adalah segolongan orang yang
mengganggap bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi
yang memiliki rasa solidaritas yang tinggi sebagaimana
dilalakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Aliran ini menyikapi
Muhammadiyah yang sudah tidak sesuai lagi dengan ide
awalnya, sebagai gerakan berpihak pada kaum yang ter-
marginalkan. Muhammadiyah sekarang lebih cenderung
kapitalistik tercermin dalam amal usahanya. Kelompok ini
memahami Islam sebagai nilai (value) yang dapat menyelesai-
kan persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Pendekatan
yang dilakukan dalam mencari kebenaran dengan meng-
gunakan bantuan ilmu-ilmu barat serta lebih menonjolkan
tradisi kiri. Pengaplikasian keagamaan bagi aliran ini adalah
keadilan serta pemihakan pada yang lemah. Kelompok ini
dilihat dari latar belakang pendidikannya merupakan kaum
santri yang belajar keagamaan dari barat serta agamawan yang
mengenal teori-teori sosial marx..
108
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam
moderen yang memiliki usia cukup lama dalam pergolakan
pemikiran merupakan suatu yang wajar. Hal tersebut memang
perlu dikarenakan manusia berfikir sesuai dengan latar
belakang dan pemahamannya terhadap kebenaran. Perbedaan
tersebut merupakan suatu khazanah dalam tubuh Muham-
madiyah dan tidak perlu adaya saling menyalahkan dan
mengkafirkan karena kepentingan sesaat. Muhammadiyah
perlu menampung ketiga pemikiran tersebut dan tidak boleh
saling truth claim atau merasa paling benar dalam
memberikan pelayanan keumatan. Tetapi yang diperlukan
adalah curah pendapat dan berdialog agar Muhammadiyah
memberikan konstribusi maksimal dalam menjawab realitas
global dan terhadap masalah yang menimpa umat Islam dan
bangsa. Peran tersebut dilaksankan sehingga menjadikan
Islam sebagai rahmat untuk manusia dan alam.
E. Relevansi Pemikiran Kiai Ahmad Dahlan
Seperti halnya corak pemikiran manusia yang lain,
pemikiran keagamaan pada umumnya dan pemikiran ke-
Islaman pada khususnya sebenarnya tidaklah bersifat final.
Pemikiran keagamaan bersifat open ended, terbuka, terus-
menerus, dapat diperdebatkan, dipertanyakan, dikoreksi dan
dibangun kembali. Para ahli ke-Islam-an kontemporer
mengatakan bahwa pemikiran keagamaan tidak boleh dan
tidak perlu disakralkan. Bila disakralkan menjadi tertutup dan
berfungsi sebagai ideologi bukan lagi kajian keilmuan yang
bersifat terbuka. Apabila tertutup maka susah untuk ber-
komunikasi dan berdialog dengan pemikiran yang lain.
109
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Menurut M. Amin Abdulah setidaknya ada empat karak-
teristik dalam pembaruan Islam dalam perspektif Muham-
madiyah dalam rangka menghadapai realitas yang semakin
kompleks dan menjadi bahan pertimbangan bagi kaum muda.
Pertama, pemikiran keagamaan Muhammadiyah yang selalu
menyarankan kembali kepada al Qur'an dan al Hadits dengan
dimensi ijtihad dan tajdid sosial kegamaan, kedua dimensi ter-
sebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, ciri has
pemikiran tersebut bersifat dialektis-hermeneutik (hubungan
timbal balik dan bolak-balik), bukan hubungan dikotomis-
eksklusif antara sisi normativitas al Qur'an dan historisitas pe-
mahaman manusia atas norma-norma al Qur'an pada wilayah
kesejarahan tertentu (simbolisasi perlunya tajdid dan ijtihad).
Kedua, pengaktualisasian cita-cita perjuangan, metodo-
logi pembaharuan pemikiran Islam dengan menggunakan
sistem organisasi bukan sistem prbadi. Sistem organisasi
merupakan usaha abstraksi dan transendensi dalam cara
berfikir sosial keagamaan Muhammadiyah. Kerja organisasi
merupakan cerminan dari keselamatan pribadi yang dibawa
kepada keselamatan kelompok sosial yang lebih luas. Per-
juangan dengan sebuah organisasi memberikan pengaruh
yang cukup radikal pada waktu itu, dan kerja organisasi me-
rupakan kerja kolektif karena tidak ada penonjolan kepen-
tingan dalam kepentingan individu.
Ketiga, model pembaharuan keagamaan persfektif
Muhammadiyah merupakan simbol "anti kemapanan". Hal
tersebut, dikarenakan lewat pintu ijtihad dan tajdid, sebenar-
nya Muhammadiyah secara embrional telah memberikan
bekal untuk memasuki arena pemikiran keagamaan sekarang.
Dari semula, Muhmmadiyah bukan saja meniru literatur
110
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
klasik semata, lalu mengembalikan kepada nilai-nilai al
Qur’an dan al Hadits dan dibawa pada konteks sekarang
dengan semangat zaman yang telah berubah.
Keempat, Muhammadiyah responsif dan adaptif terhadap
perubahan zaman. Dengan cara berfikir Muham-madiyah
yang mengembalikan kepada al Qur'an dan al Hadits disertai
dengan semangat ijtihad dan tajdid. Dalam rangka meng-
hadapi realitas sekarang yang kompleks, maka yang dilakukan
oleh Muhmmadiyah sebagai gerakan tajdid memerlukan
penajaman terhadap purifikasi dan dinamisasi. Sebagaimana
pemahaman keagamaan Islam klasik tidak menggunakan
pendekatan keilmuan sekarang yang moderen dan ilmiah.
Pendekatan yang digunakan dalam memahami Islam sekarang
menggunakan pendekatan ilmu sosial dan pendekatan sejarah,
sebagaimana al Qur'an telah menggaris bawahi realitas sosial
dan kesejarahan. (M. Amin Abdullah, Dinamika Islam
Kultural)
Pemikiran keagamaan terbagi menjadi dua macam dalam
dataran low tradition dan high tradition. Low tradition
pemikiran keagamaan dalam dataran historis yang konkret,
sangat terkait dan langsung bersentuhan dengan berbagai
jenis pemikiran. Sebutlah pemikirn politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pemikiran yang lain. Sedangkan pemikiran high
tradition yakni pada dataran "konsep" dan "teori" yang bersifat
kognitif, skematis dan agak berbeda dengan corak pemikiran
yang lain, semata-mata karena kategori "sakralitas" yang
dikaitkan dengan keberadaan kitab suci. Jika memahami Islam
dalam dataran low ataupun high tradition semata-mata hasil
pemikiran manusia, yang tidak dapat lepas dari bahasa, dan
sejarah. Bahasa terkait dengan konvesi, konteks sosial,
111
Realitas Muhammadiyah, Bercermin pada Pendirinya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
adaptasi istiadat dan akar budaya setempat yang secara
berkesinambungan berjalan berabad-abad. Sedangkan sejarah
terkait dengan persoalan kapan, dimana dan siapa (kapan
terjadi, abad berapa, dimana, terjadi, dalam situasi politik, dan
sosial seperti apa, bagaimana standar ekonomi, tingkat
kemajuan ilmu dan teknologi, dan yang lain). (M. Amin
Abdullah, Dinamika Islam Kultural). Corak pemikiran ke-
agamaan merupakan model pendekatan yang cukup signifikan
untuk masa sekarang dalam mengkoneksikan Islam dalam
realitas sosial. Pemikiran Kiai Ahmad Dahlan dalam teori
sekarang bercorak hermeneutic dimana selalu mendialektikan
antara normativitas wahyu dengan realitas pada waktu itu.
Hasil pendekatan yang digunakan oleh Kiai Ahmad Dahlan
langsung dipraktekkan sehingga menjdaikan nilai-nilai Islam
sebagai rahmat dan memberikan manfaat bagi sesesama
manusia.
112
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B a g i a n
Pentingnya Kesadaran,Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
A. Prawacana Kesadaran
Kesadaran merupakan suatu yang dimiliki oleh manusia,
dan tidak ada pada ciptaan Tuhan yang lain, sifatnya unik
dimana ia dapat menempatkan diri manusia sesuai dengan
yang diyakininya. Kesadaran menghasilkan refleksi yang
dapat memberikan kekuatan atau bertahan dalam situasi dan
kondisi tertentu, karena itu setiap teori yang dihasilkan oleh
seorang merupakan refleksi tentang realitas dan manusia.
Manusia memiliki kesadaran dalam diri, sesama, masa
silam, dan kemungkinan masa depannya. Manusia memiliki
kesadaran akan dirinya sebagai entitas yang terpisah serta
memiliki kesadaran akan hidup dalam jangka pendek, yakni,
akan fakta lahir diluar kemauannya dan akan mati diluar
keinginannya. Manusia sadar akan mati mendahului orang-
orang yang disayanginya, atau sebaliknya, yang ia cintai akan
mendahuluinya, kesadaran akan kesendirian, keterpisahan,
kelemahan dalam menghadapi kekuatan alam dan masya-
rakat. Semua kenyataan itu membuat keterpisahan manusia,
eksistensi tak bersatunya sebagai penjara yang tak terperikan.
Manusia akan menjadi gila bila tak dapat melepas-kan diri
dari penjara tersebut. (Erich From, The Art of Love)
6
113
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Kesadaran menurut Sartre bersifat itensional dan tidak
dapat dipisahkan dari dunia. Kesadaran tidak sama dengan
benda-benda. Kesadaran selalu terarah pada etre en soi (ada-
begitu-saja) atau berhadapan dengannya. Situasi dimana
kesadaran berhadapan, oleh Sartre disebut etre pour soi (ada-
bagi-dirinya). Bahwa kesadaran saya akan sesuatu juga
menyatakan adanya perbedaan antara saya dan sesuatu itu.
Saya tidak sama dengan sesuatu yang saya sadari, ada jarak
antara saya dengan obyek yang saya lihat. Misalkan etre pour
soi menunjuk pada manusia atau kesadaran. Manusia adalah
etre pour soi sebab ia tidak persis menjadi satu dengan dirinya
sendiri. Tiadanya identitas manusia dengan dirinya sendiri
memungkinkan manusia untuk melampaui, untuk mengatasi
dirinya dan menghubungkan benda-benda dengan dirinya
sesuai dengan tujuannya. Ketidakidentikkan manusia dengan
dirinya sendiri tampak dalam kesadaran yang ditandai oleh
relativitas, penidakan. Negativitas menunjukan bahwa ter-
hadap etre pour soi atau kesadaran hanya dikatakann it is not
what it is. Maka kesadaran disini merupakan non identitas,
jarak, dan distansi. Kegiatan hakiki kesadaran merupakan
menindak, mengatakan tidak. Etre por soi tidak lain dari pada
menindak atau menampilkan ketiadaan. Kebebasan bagi
Sartre merupakan kesadaran menindak, dan manusia sendiri
merupakan kebebasan. Pada manusialah eksistensi itu men-
dahului esensi, sebab manusia selalu berhadapan dengan
kemungkinan untuk mengatakan tidak. Selama manusia
masih hidup ia bebas untuk mengatakan tidak, baru setelah
kematian maka ciri-ciri hidupnya dapat dibeberkan. (Alex
Lanur, Pengantar dalam "Kata-Kata")
114
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Kesadaran sebagai keadaan sadar, bukan merupakan
keadaan yang pasif melainkan suatu proses aktif yang terdiri
dari dua hal hakiki; differentiation dan integration. Meskipun
secara kronologis perkembangan kesadaran manusia ber-
langsung pada tiga tahap; sensation (sensasi/pengindraan),
perception (persepsi/pemahaman), dan conceptual (konsep/
pengertian). Secara epistemologi, dasar dari segala pengetahu-
an manusia adalah tahap persepsi. Sensasi tidak begitu saja
disimpan di dalam ingatan manusia, dan manusia tidak
mengalami sensasi murni yang terisolasi. Sejauh yang dapat
diketahui bahwa pengalaman indrawi seorang bayi
merupakan kekacauan yang tidak terdeferensiasikan. Persepsi
merupakan sekelompok sensasi yang secara otomatis ter-
simpan dan diintegrasikan oleh otak dari suatu organisme
yang hidup. Dalam bentuk persepsi inilah, manusia
memahami fakta dan memahami realitas. Persepsi bukanlah
sensasi, sesuatu yang tersajikan, tertentu (the given) dan jelas
pada dirinya sendiri (the self evidence). Pengetahuan tentang
sensasi sebagai bagian komponen dari persepsi tidak langsung
diperoleh manusia, ia merupakan penemuan ilmiah, pene-
muan konseptual.
Pengetahuan manusia adalah tentang konsep eksistensi
berkaitan dengan sesuatu yang ada, hal, atribut (sifat) ataupun
tindakan. Karena merupakan konsep maka manusia tidak
dapat memahami secara eksplisit hingga ia mencapai ting-
katan konseptual. Namun hal itu implisit dalam setiap persep
(mempersepsi sesuatu berarti mempersepsi sesuatu itu ada)
dan manusia memahaminya secara implisit pada tingkatan
perceptual, yakni memahami unsur pokok dari konsep "yang
ada", data yang kemudian diintegrasikan oleh konsep tersebut.
115
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Pengetahuan yang implisit ini menyebabkan kesadarannya
berkembang lebih lanjut, kemudian menjadi sensasi atas
sesuatu, bukan sensasi terhadap yang bukan sesuatu (nothing).
Sensasi nothing tidak mengatakan bahwa manusia yang ada,
melainkan hanyalah itu yang ada. Konsep yang ada (implisit)
mengalami tiga tahap perkembangan dalam pemikiran
manusia. Tahapan itu terdiri dari; pertama, kesadaran anak
terhadap obyek merupakan tahap sesuatu yang mewakili
konsep entitas implisit. Kedua, merupakan tahapan yang erat
kaitannya dengan kesadaran tahapan khusus dan memiliki
kekhasan yang dapat dikenali, namun dibedakan dengan hal
yang standar pada bidang perseptual yang mewakili konsep
identitas (implisit). Ketiga, pemahaman hubungan diantara
berbagai entitas ini dengan memahami persamaan dan
perbedaan entitas mereka. Hal ini memerlu-kan transformasi
konsep entitas menjadi konsep unit. Itu merupakan kunci
memasuki konseptual kesadaran manusia. Kemampuan untuk
memandang entitas sebagai unit merupa-kan metode untuk
mengerti yang khas bagi manusia, yang tidak dapat diikuti
oleh mahluk hidup yang lain. (Ayn Rand, Pengantar
Epistemologi Obyektif)
B. Proses Kesadaran
Kesadaran adalah kemampuan untuk menyadari dan
mempersepsi sesuatu yang ada. Pada tingkat kesadaran
manusia mengalami proses sensasi dan untuk mengintegrasi-
kan sensasi menjadi kehendak. Kesadaran dapat dicapai dan
dipertahanakan dengan kegiatan (action) yang terus menerus.
Secara langsung ataupun tidak, setiap fonem kesadaran
diderevasikan kesadaran manusia akan dunia luar. Ekstropeksi
116
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
merupakan suatu proses kesadaran yang diarahkan ke luar
proses untuk memahami yang ada di dunia luar. Sedangkan
introspeksi merupakan proses kesadaran yang diarahkan ke
dalam proses untuk memahami kegiatan psikologi sendiri
dengan meperhatiakan yang ada di dunia luar, seperti
kegiatan berfikir, merasa, dan mengenang. Kesadaran me-
rupakan kesadaran terhadap sesuatu, kesadaran timbul di-
karenakan interaksi terhadap dunia luar, maka kegiatan sadar
dapat dialami.
Dua sifat fundamental yang tercakup dalam setiap
keadaan, aspek atau fungsi kesadaran manusia meliputi; isi
dan kegiatan (content and action), isi kesadaran, dan kegiatan
kesadaran yang memperhatikan isi. Pada tingkat kesadaran
perseptual dari semua konsep berkaitan dengan kesadaran.
Pada tingkatan ini anak-anak hanya semata-mata mengalami
dan melakukan berbagai proses psikologis; perkembangan
konseptualnya yang utuh mengharuskan untuk belajar meng-
konseptualisasikannya (setelah ia mencapai tahap tertentu
dalam perkembangan konseptual ekstropekltifnya). Untuk
membentuk konsep keasadaran, orang harus mengisolasi
kegiatan dari isi keadaan sadar tertentu, melalui proses
abstraksi. Manusia dapat mengabstraksikan berbagai entitas
dan dapat mengabstraksikan kegiatan sadar atas isinya,
mengamati perbedaan diantara jenis kegiatan.
Misalkan pada tingkat dewasa, ketika seorang lelaki
mengamati wanita berjalan, maka kegiatan kesadarannya
merupakan persepsi, ketika dia melihat wanita itu cantik,
maka kesadarannya adalah evaluasi; ketika ia mengalami
keadaan batin yang menyenangkan, menggembirakan, meng-
agumkan maka keadaan kesadarannya adalah emosi, ketika ia
117
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
berhenti untuk menikmatinya dan mengambil kesimpulan,
dari fakta mengenai watak, usia dan kedudukan sosial maka
kegiatan kesadarannya adalah berfikir, ketika ia mengingat-
kan kejadian itu maka kegiatan kesadarannya adalah
mengenang. Ketika ia memperhitungkan penampilan wanita
tersebut akan lebih baik jika rambutnya pirang dan tidak
coklat, dan bajunya berwarna biru bukan merah maka tingkat
keadaan kegiatan kesadarannya adalah imajinatif. Begitulah
pola proses manusia belajar untuk membentuk kesadaran.
(Ayn Rand, Pengantar Epistemologi Obyektif)
Dalam kenyataan, kesadaran bukanlah hanya tiruan dari
apa yang nyata, demikian pula dengan apa yang nyata bukan
hanya konstruksi kesadaran yang berubah-ubah. Ia hanyalah
jalan setapak dan merupakan kesatuan yang dialektis, dimana
kita menemukan solidaritas antara subyektivitas dan obyek-
tivitas, sehingga kita dapat keluar dari kesalahan subyektivis
ataupun kesalahan mekanistis. Kita harus memperhitungkan
peran kesadaran ataupun peran mahluk yang sadar dalam
transformasi sosial. Bagaimana seseorang menerangkan, misal-
nya dalam istilah subyektivis, posisi manusia sebagai individu
generasi atau kelas sosial yang dikonfrontasikan dengan
situasi sejarah tertentu dimana mereka menjadikan kesadaran
atau kehendak mereka independen? Dan sebaliknya bagai-
mana menerangkan masalah yang sama dengan sudut
pandang mekanis? Kesadaran secara arbiter menciptakan
realitas generasi kelas sosial, enggan menolak situasi yang ada
dimana tempat mereka hidup, dapat mentransformasikan
dengan suatu gerakan sederhana yang relevan. Jika kesadaran
merupakan cerminan yang sederhana dari realitas maka
cerminan tersebuat bersifat abadi, dan kenyataan akan
118
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
menjadi subyek penentu dalam dirinya. (Denis Collins, Paulo
Freire)
Manusia sebagai mahluk multi dimensional memiliki
hubungan dengan berbagai sistem yang ada baik didalam
ataupun dengan sesama manusia. Hubungan manusia dengan
alam sebagai sarana untuk melakukan perubahan yang lebih
baik dan menjadikan alam memberikan manfaat pada manusia
tanpa merugikan yang lain. Alam merupakan sarana untuk
mempermudah manusia dalam menjalanakan kehidupan.
Tetapi, yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumber
daya alam tidak boleh terbatas dan secukupnya saja. Manusia
juga memiliki dimensi sebagai mahluk sosial yang berkomuni-
kasi dan bersosialisasi dengan yang lain. Interaksi manusia
dengan yang lain dan bagaimana cara merubah alam ini agar
memberikan manfaat bagi manusia, maka menimbulkan
sebuah kesadaran. Kesadaran tumbuh dalam diri manusia
dikarenakan hubungan manusia dengan alam ataupun dengan
sesamanya. Berikut ini merupakan gambaran kesadaran
manusia yang berhadapan dengan realitas. Kesadaran tersebut
dapat dipetakan menjadi empat jenis yakni; kesadaran magis,
kesadaran naïf, kesadaran kritis dan kesadaran profetis.
1. Kesadaran Magis
Dalam pandangan kesadaran magis, untuk meng-
analisis permasalahan menggunakan pendekatan yang
bersifat metafisika dan abstrak. Misalkan permasalahan
kemiskinan pada hakekatnya merupakan ketentuan dan
rencana Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu apa arti dan
hikmah dibalik ketentuan tersebut. Mahluk tidak
mengetahui tentang gambaran dari skenario besar Tuhan,
119
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dari perjalanan panjang umat manusia. Kemiskinan
merupakan ujian dan cobaan Tuhan terhadap keimanan,
dan kita tidak tahu manfaat dan keburukannya. Akar
teologi dari konsep ini bersandar pada sikap predeter-
minisme (takdir), merupakan ketentuan dan rencana
Tuhan sebelum jauh terciptanya alam. Sikap manusia
tidak memiliki free will untuk menciptakan sejarahnya
sendiri, meskipun manusia berusaha maka Tuhan yang
menentukan. (Mansour Fakih, Islam sebagai Alternative).
Kesadaran magis ini mayoritas dimiliki oleh masyarakat
tradisional yang hidup di pedesaan dan agamawan yang
lebih bercorak tasawuf.
2. Kesadaran Naif
Pandangan kesadaran naif merupakan perkem-
bangan dari kesadaran magis. Pada taraf kesadaran ini
diarahkan pada individu, tidak mengarah pada hal yang
metafisika dalam menganalisis sebuah persoalan. Ke-
sadaran naif tidak dapat melihat permasalahan secara
makro, sehingga tidak dapat mengurai sebab-akibat dan
keterkaitan antara permasalahan yang satu dengan yang
lain. Misalkan ketika dihadapkan dengan fenomena
globalisasi dan kemiskinan, maka kesalahan itu terjadi
dikarenakan dari sikap mental, budaya ataupun teologi
yang melingkupi diri dan masyarakat. Menilai kemiskin-
an tidak memiliki korelasi atau keterkaitan dengan
masalah globalisasi ataupun paham neo-liberalisme. Agar
tidak menyebabkan kemiskinan maka yang dilakukan
adalah menyiapkan sumber daya yang mampu bersaing
dengan pasar, dan penafsiran pemahaman kegamaan yang
120
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
sesuai dengan perkem-bangan zaman. Kesadaran ini
biasanya dimiliki oleh kalangan modernis yang dalam
ilmu sosial karakter pemikirannya lebih bercorak
developmentalisme. Bagi kaum ini menganggap bahwa,
terjadinya kemiskinan dan proses marginalisasi akibat
globalsiasi dan neo-liberalisme yang lebih menyalahkan
korbannya. Kesadaran inilah yang disebut dengan
kesadaran intran-sitive naif, kesadaran ini memiliki
kerawanan, terhadap bahaya yang menurut Freire,
inheren dengan gerakan politis dan manipulatif. Kesadar-
an ini hanya mencari solusi yang sederhana dan berang-
gapan bahwa mereka lebih dibandingkan dengan fakta
dan sejarah keduanya, mudah menerima mitos mani-
pulatif yang dirumuskan golongan elit untuk memper-
tahankan penindasan. Kesadaran naïf manusia menye-
suaikan dengan lingkung-an atau dunianya (Denis
Collins, Paulo Freire)
3. Kesadaran Kritis
Selanjutnya adalah bentuk kesadaran kritis, pada
taraf kesadaran ini, individu mampu melakukan analisis
terhadap suatu permasalahan yang terjadai secara holistis
dan makro, sehingga dapat menguraikan sebab-akibat
dari suatu permasalahan. Penguraian tersebut mampu
memberi pandangan tentang kelompok mana yang
diuntungkan dan dirugikan. Kesadaran kritis yang
dimiliki oleh manusia menganggap segala sesuatunya
sebagai subyek, yang tidak hanya mencari solusi
sederhana tetapi juga berisiko tidak memanusiakan
dirinya. Kemampuan dalam kesadaran kritis sebagai
121
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
subyek, dapat memahami dan menganalisis hubungan
kausal manusia dalam menemukan diri mereka berada
dalam situasi. Kesadar-an ini muncul akibat kombinasi
dari refleksi dan tindakan praktis yang autentik.
Kesadaran kritis ini mengarahkan manusia pada proses
pembebasan dari penindasan, sehingga menjadi manusia
yang merdeka, bebas dari penindasan. Kesadaran kritis
ini bersifat transformatif dikarenakan ia berusaha me-
lakukan perubahan dalam realitas dan sejarah, bukannya
sejalan dengan sejarah.
Kesadaran kritis melalui refleksi diri dikembangkan
dalam modernitas mencapai kamatangannya dan ter-
wujud dalam bentuk kehidupan moderen yang ditandai
oleh gairah akumulasi modal secara rasional dan birokrasi
rasional yang telah didukung oleh teknologi. Tetapi
kapitalisme dan birokratisme dewasa ini justru menum-
pulkan kesadaran kritis, sehingga individu dalam masya-
rakat moderen lebih bersifat konsumerisme dan adaptif
terhadap sistem. Maka refleksi tersebut mengandung
paradoks. Di masa pencerahan refleksi diri menjadikan
kesadaran bahwa tradisi dan dogma menindas kenyataan.
Refleksi diri menghasilkan dimensi praksis lingkup
kapitalisme, birokratisme dan teknokrat-isme menjadi
tradisi dan dogmatisme. Rasionalitas dan moderenisasi
yang kritis terhadap mitos-mitos, tetapi pada gilirannya
ia malah menjadi "mitos baru" sehingga mereka tidak
dapat bersikap kritis terhadap realitas yang dihadapi.
(Ibrahim Ali Fauzi, Jurgen Habermas)
Kesadaran kritis yang dimiliki oleh individu dalam
melihat permasalahan kemiskinan dan globalisasi mem-
122
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
berikan pemahaman yang berbeda dengan sebelumnya
yakni magis, dan naif. Menurut kesadaran kritis, yang
menyebabkan kemiskinan adalah ketidakadilan sistem,
struktur ekonomi, politik dan kultur. Ini merupakan
proses panjang dalam penciptaan struktur ekonomi yang
eksploitatif, politik dan adanya sistem dominan serta
hegemoni. Globalisasi merupakan perpanjangan dari
kapitalisme yang menjadi penyebab kemiskinan, memar-
ginalkan dan mengalienasi masyarakat. Globalisasi me-
rupakan ancaman bagi kaum miskin dan globalisasi lebih
memihak pada lembaga internasional untuk mengeruk
modal berskala internasional, mengahancurkan ling-
kungan hidup, dan segenap sosial budaya. Globalisasi juga
merupakan suatu agenda untuk memiskinkan masyarakat
secara struktural. (Mansour Fakih, Islam sebagai
Alternative)
Dengan kesadaran kritis, menjadikan manusia
mampu membaca realitas makro dan mengkonteks-
tualisasikan pada sikap serta langkah yang akan diambil
guna menyelesaikan permasalahan. Kesadaran ini akan
membawa manusia pada penyelesaian agar tidak meng-
alami ketertindasan, membuat struktur yang lebih adil
dan berfikir bagaimana cara melakukan transformasi.
4. Kesadaran Profetik
Kesadaran profetik merupakan kesadaran yang di-
miliki oleh agama dalam rangka melakukan transformasi
sosial pada satu tujuan tertentu berdasarkan etika ter-
tentu pula. Sebagaimana kesadaran dalam Islam merupa-
kan suatu bentuk kesadaran yang dimiliki manusia dari
123
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Tuhan untuk menentukan dan merubah sejarah, bukan
manusia yang ditentukan oleh sejarah. Islam memandang
kesadarannya merupakan kesadaran immaterial, yang
menentukan material, dengan maksud bahwa iman se-
bagai basis kesadaran menentukan struktur. Kesadaran
dalam Islam bersifat independen, tidak dipengaruhi oleh
struktur, basis sosial, dan kondisi material. Yang
menentukan kesadaran bukanlah individu, seperti dalam
kesadaran kritis, dimana menjadikan individu bersikap
aktif dalam menentukan jalannya sejarah. Kesadaran
kritis yang ditentukan oleh individu ini dapat terjatuh
dalam paham eksistensialisme dan individualisme.
Sedangkan kesadaran profetis, meyakini bahwa yang me-
nentukan bentuk kesadaran adalah Tuhan, dan ketentuan
kesadaran ini untuk menebarkan asma atau nama Tuhan
di dunia sehingga rahmat diperoleh manusia, bentuk
kesadaran ini merupakan ruh Ilahiah untuk melakukan
transformasi sosial.
Kesadaran profetis merupakan suatu cita yang
diinginkan oleh setiap insan dalam berproses menuju
kesempurnaan. Kesadaran ini menerapkan epistemologi
Islam sebagai sumber pengetahuan. Epistemologi Islam
yang dilaksanakan merupakan pengaplikasian yang
dikemukanan oleh Muhammad Abed al Jabiri1 yakni
1. Muhammad Abed al Jabiri seorang intelektual kelahiran Maroko di kota Feji pada tahun 1936,ia memperoleh gelar doctor pada Universitas Muhammad al Khamis, Ribat, Maroko padatahun 1970 dengan disertasi berjudul Fikr Ibn Khaldun, al Ashabiyah wal Daulah yangditerbitkan pada tahun 1971. Ia mengajar mata pelajaran filsafat dan pemikiran Islam padaFakultas Sastra di kampus ia studi. Karyanya yang berkaitan dengan karakter pemikiran Arabyang terkenal dengan trilogy kritik nalar arab (Takwin al Aql al Arabi, Naqd al Aql al Arabi,Bunyah Aql al Arabi), ketiga karya tersebut mengupas tentang pengungkapan tiga corak
124
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
bayani2, burhani3, dan irfani4. Pengaplikasi epistemologi
tersebut dilaksanakan secara seimbang dan selaras. Hal
epistemology dalam Islam. Lihat Muhammad Abed al Jabiri, Formasi Nalar Arab. Lihat jugaMuhammad Abed al Jabiri, Post Tradisionalism Islam.
2. Bayani (teks) merupakan pengetahuan arab yang paling awal yakni sebuah teks tertuangdalam bahasa. Tradisi bayan pada peradaban arab dengan dilahirkannya ilmu bahasa danilmu agama, bahasa berhubungan dengan nahwu dan teks keberagamaan berkaitan denganfiqh dan teologi. Kaidah nalar bayan berhubungan dengan tradisi qiyas denganmenghubungkan kata dengan berbagai makna dan satu makna dengan berbagai kata.(Muhammad Abed al Jabiri, Formasi Nalar Arab). Penggunaan bayani merupakan kajianyang biasa dilakukan oleh Mutaqalimun dan Ahli Fiqh dan digunakan untuk memahami,menganalisis teks guna mendapatkan makna yang terkandung, menentukan istimbat hukumdari al Qur’an dan as-Sunnah. Pendekatan ini memerlukan alat bantu yakni asbabul nuzuldan adat istiadat masyarakat. Dalam pendekatan bayani dikenal dengan empat macamyakni; bayan al I’tibr adalah penjelasan mengenai segala sesuatu, bayan al I’tiqd adalahpenjelasan segala sesuatu mengenai makna yang haq, musyatabih dan bathil, bayan ibrahadalah pengambilan hikmah dari sebuah cerita, bayan al kitab adalah penukilan pendapatdari kitab. Fungsi akal untuk memberikan justifikasi terhadap teks dan melakukan tafsiranterhadap teks tersebut. Lihat Manhaj Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalamwww.muhammadiyah.or.id
3. Burhani (demonstratif), merupakan pola fikir tentang realitas (alam, sosial dan humanitas).Pola fikir ini disebut dengan pola fikir induktif, yang menegaskan bahwa ilmu pengetahuanbersumber dari realitas empiris historis yang diabstraksikan. Lihat M. Amin Abdullah, “AlTa’wil al Ilmi; Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci” dalam Al Jami’ah. Dalamtradisi burhani merupakan aktivitas ilmiah dalam bingkai Aristotelesian, dikarenakanmempunyai pandangan umum terhadap alam, manusia dan Allah sebagai sumber metafisika.Tradisi buhani memberikan dampak yang luar biasa terhadap perkembangan ilmiah. LihatMuhammad Abed al Jabiri, Formasi Nalar Arab. Burhani merupakan pengetahuan yangdiperoleh indra, percobaan dan hukum-hukum logika dengan instrumen (induksi, duduksi,abduksi, simbolik, dan proses). Pendekatan ini berpendapat bahwa teks dan realitas salingmempengaruhi, dikarenakan teks tidak dapat bediri sendiri tanpa adanya konteks yangmengelilinginya. Sumber kajian bayani adalah realitas dan teks maka memerlukan alat untukmenganalisisnya yakni rasionalitas dan empirisme. Pengoperasionalan bayani yangberhubungan dengan realitas sosial keagamaan dengan menggunakan ilmu sosiologi,sejarah, tarikh dan psikologi. Alam berkaitan dengan sunnah tullah dan perubahannya. LihatManhaj Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam www.muhammadiyah.or.id
4. Irfani (gnostik), sistem irfani muncul bukan merupakan respon terhadap gigihnya para fuqohaterhadap kelesuan orientasi rasional dikalangan teolog. Sistem ini telah mengukuhkandimana saat yang sama dalam fiqh mulai melakukan pembakuan ra’yu dalam legislator ,teologi. Perkembangan irfani juga merupakan suatau bentuk rasionalitas dari KebudayaanArab. Lihat Muhammad Abed al Jabiri, Formasi Nalar Arab. Irfani merupakan corak pemikirantasawuf, intuitif, al’ afifi dan berdasarkan experiences. Epistemologi ini telah ada sebelumIslam dan telah dipraktekan karena memiliki nilai-nilai yang universal dan dapat ditemukandalam agama lain walaupun tidak sama persis. Lihat M. Amin Abdullah, “Al Ta’wil al Ilmi; KeArah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci” dalam Al Jami’ah. Pendekatan ini
125
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
tersebut juga pernah dilaksanakan oleh rasul Muhammad
Saw ketika menyampaikan pesan menurut kondisi
sahabatnya. Pengungkapan kebenaran yang dilakukan
oleh rasul berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh
sahabatnya, misalkan ketika nabi mena-sehati sahabatnya
akan berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan
kondisi psikologisnya.
Muhammadiyah menerapkan ketiga pendekatan
tersebut secara sirkular dan dialog kreatif dengan meng-
gunakan beberapa prinsip;
Istimarariyyah adalah upaya untuk melanjutkan
berbagai produk pemikiran historis, sehingga produk
yang dilahirkan bukan bersifat a histories.
Tanawwu’iyyah adalah upaya pemberian ruang dan
toleransi atas berbagai macam hasil kajian, karena hasil
kajian dipandang relatif dan pluralitas sangat memung-
kinkan.
Shumuliyyah adalah prinsip menghadirkan Islam
dengan wajah yang utuh bukan parsial, oleh karena itu,
manhaj ini dikembangkan dengan aspek ta’aquli dan
ta’abbudi, batini dan zahiri, normatifitas dan historisitas
masa kini.
Amaliyyah dan mahalliyyah adalah pengembangan
pemikiran dan manhaj yang mempertimbangkan aspek
global universal dan lokal particular
digunakan untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafadz dan ibrah, sedangkaninstrumen yang digunakan merupakan pengalaman batin yang tidak bertumpu pada inderadan akal, tetapi berdasarkan mujahadah, khasaf. Pengetahuan irfani menjadikan agamadengan sebuah subtasi, esensi spiritual dan kesadarannya dalam beragama. Lihat ManhajMajelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam www.muhammadiyah.or.id
126
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Ibtikariyyah adalah rumusan pemikiran secara
kreatif dan konstruktif dalam permasalahan aktual,
dengan cara menerima nilai-nilai di luar Islam dengan
penyesuaian dan penyerapan nilai serta penyaringan-nya.
Illahiah adalah upaya menangkap atau mengumpul-
kan nilai-nilai Illahiah dalam dataran historis. (Syamsul
Hidayat dan Zakiyuddin Baidhawy, Membangun Citra
Baru Pemikiran Islam Muhammad-iyah dalam Pedoman
Individuasi Kader)
Begitu pula yang dilakukan oleh manusia dengan
kesadaran profetis ketika menyampaikan pesan sesuai
dengan bahasa kaumnya. Penyampaian sesuai dengan
bahasanya, menjadikan penerima memahami, melak-
sanakan dengan sadar, dan bertanggung jawab.
Pada taraf kesadaran ini manusia mampu meng-
analisa permasalahan secara makro dan dapat meng-
ambil kesimpulan secara mikro demikian pula sebailk-
nya. Ia dapat melakukan pemetaan terhadap suatu
permasalahan dan penganalisaan kelompok-kelonpok
yang berkepentingan, kelompok yang dirugikan dan
kelompok yang diuntungkan dalam permasalahan ter-
sebut. Dengan melakukan pemetaan dan penganalisaan
tersebut, juga ada etika yang mengarahkannya sehingga
transformasi yang dilakukan berdasarkan etika tertentu
sehingga perubahannya bukan saja membebaskan dari
ketidakadilan tetapi juga ada nilai yang mengarahkannya.
Bentuk arahan dari transformasi yang diinginkan adalah
terciptanya masyarakat yang ber-keadilan tanpa penin-
dasan didasarkan pada Tuhan.
127
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
C. Etika Profetis
Istilah moral dan etik memiliki hubungan yang erat
dengan arti asalnya, moral berasal dari kata Latin moralis dan
istilah ethic berasal dari kataYunani ethos. Kedunya berarti
kebaikan atau cara hidup. Istilah tersebut terkadang dipakai
sebagai sinomin, sekarang orang cenderung memakai
"morality" untuk mennujukan tingkah laku itu sendiri.
Sedangkan etik menunjuk tentang penyelidikan tentang
tingkah laku, moral act dan ethical code. Dan istilah yang
sering dipakai atas etika dan moral seperti benar dan baik.
(Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat).
Etika pada umumnya diidentikan dengan moral
(moralitas), terkait dengan tindakan buruk dan baik pada
manusia. Etika dan moral memiliki perbedaan pengertian,
moral membicara-kan tentang pengertian baik dan buruk,
dari setiap perbuatan manusia itu sendiri, sedangkan etika
merupakan ilmu yang mempelajari baik dan buruk itu sendiri.
Etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk,
sedangkan moral merupakan prakteknya. (Haidar Bagir, Etika
"Barat" Etika Islam). Etika merupakan filsafat ajaran moral,
etika tidak mau mengejar apa yang wajib dilakukan orang
tetapi bagaimana pertanyaan itu dapat dijawab secara rasional,
secara bertang-gungjawab. Seorang ahli moral akan bersikap
sebagai guru dan pendeta, yang akan didatangi orang dalam
masalah hidup. Tetapi bagi ahli etika memiliki keahlian
teoritis yang dapat dipelajari, tanpa memperdulikan
kebutuhan moral yang mau belajar etika, etika merupakan
menyampaikan kecakapan teoritis. (Franz Magnis Seseno,
Berfilsafat dari Konteks).
128
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Etika merupakan sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran, etika
merupakan pemikiran yang sistematis tentang moralitas, dan
etika merupakan penyedia orientasi dalam menjalankan
kehidupan. (Franz Magnis Suseno, Etika Dasar). Etika berasal
dari bahasa Yunani ethicos, ethos (adat, kebisaan praktek).
Istilah ini digunakan oleh Aristoteles, mencangkup ide
"karakter" dan "disposisi" (kecondongan). (Loren Bagus,
Kamus Filsafat).
Etika merupakan suatu cabang dari filsafat yang mencari
hakekat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan
perbuatan dan tindakan seseorang, yang dilakukan dengan
penuh kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya.
Etika juga disebut sebagai filsafat moral yang berusaha
mendapatkan kesimpulan tentang norma tindakan dan
pencarian kedalam watak moralitas atau tindakan-tindakan
moral. Etika menganalisis konsep-konsep seperti keharusan,
kemestian tugas, aturan-aturan moral, benar atau salah wajib
tanggung jawab. Persoalan etika berkaitan dengan eksistensi
manusia, dalam segala aspeknya baik individu atapun
masyarakat, baik hubungan dengan Tuhan, dengan sesama
manusia dan dirinya, maupun alam sekitar, baik kaitannya
dengan eksistensi manusia di bidang sosial, ekonomi, politik,
budaya, maupun agama. Etika membicara-kan tentang baik
dan jahat bagi suatu tindakan, apakah sifat atau nilai-nilai itu
relatif atau absolut, berlaku lokal atau universal, adakah
sanksi atas pelanggaran nilai-nilai etika dan apakah sumber
nilai-nilai etika, dan bagaimana aplikasi dalam masyarakat.
(Musa Asy'ari, Filsafat Islam).
Etika dalam pengertiannya merupakan sebuah konsep
tentang moral yang menjadi tindakan praktis manusia dalam
129
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
menjalankan kehidupan. Etika dalam Islam harus mencakup
dari semua unsur sebagai berikut; (1) Islam berfihak pada teori
etika yang bersifat fitri, (2) moralitas dalam Islam ditempat-
kan pada keadilan yakni menempatkan sesuatu pada propo-
sisinya, (3) tindakan etis yang puncaknya mendatangkan
kebahagiaan bagi pelakuya, (4) tindakan etis bersikap rasional.
(Haidar Bagir, Etika "Barat" Etika Islam).
Selanjutnya kata prophet yang berarti nabi, merupakan
utusan Tuhan dalam menyampaikan risalah untuk mengajak
manusia sesuai dengan fitrahnya. Jadi secara terminologi
etika profetik merupakan suatu teori moral tentang nabi, atau
etika yang didasarkan pada nabi. Nabi dalam memperoleh
pengetahuan merupakan proses kreasi nabi dalam melakukan
hubungan langsung dengan Pencipta dan hasil refleksi
terhadap realitas sosial yang dihadapi pada waktu itu. Refleksi
yang dilakukan oleh nabi memperoleh pemecahan masalah
dari problem sosial yang dihadapinya. Etika profetis didasar-
kan pada wuhyu Tuhan, bukan semata-mata menggunakan
rasional sehingga terjatuh dalam etika rasional semata, yang
kemudian memunculkan etika hedonisme,5 utilitarian,6 dan
5. Etika yang mengarah pada keperluan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya kesenanganpada manusia. Hedonisme berasal dari kata Yunani "Hedona" yang berarati kelezatan. Aliranini dinisbatkan pada Epicurus yang menyiarkan aliran kelezatan. Lihat Harold B. Titus,Persoalan-Persolan Filsafat. Lihat juga, Haidar Bagir, Etika "Barat", Etika Islam.
6. Etika yang mengarahkan pada kesenangan atau kebahagian dihasilkan suatu etika baikadalah kebahagian bagi sebanyak orang, bukan kesenangan atau kebahagiaan individual,yang justru menimpa kesengsaraan orang lebih banyak. Etika ini merupakan tindak lanjutdari hedonisme yang dipelopori oleh Jerey Bentham dan John Mill pada abad XIX. Ciripemikiran aliran utilitarianisme dasar moralitas merupakan manfaat dan kebahagian yangterbesar. Hal ini dikarenakan alam sebagai guru memberikan dua macam kebahagian dankesakitan, dan manusia sebagai mahluk yang mencari kelezatan dan menghindari kesakitan.Untuk lebih jelasnya baca, Harold B. Titus, Persoalan-Persolan Filsafat. Lihat juga, HaidarBagir, Etika "Barat", Etika Islam.
130
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
deontologist.7 Etika profetis juga bukan saja didasarkan pada
wahyu tanpa menggunakan analisis dalam memandang
kebenaran dan kebaikan, sehingga tak terjatuh pada etis
dogmatis.8
Etis profetis yang dimiliki oleh ikatan merupakan
pemberian kesadaran dari Tuhan untuk melakukan trans-
formasi sosial guna menciptakan masyarakat yang telah
diidealkan. Etika profetis dalam pengertian ini merupakan
suatu bentuk kesadaran yang didasarkan pada nilai-nilai
Ilahiah, dalam rangka menjalankan proses kehidupan. Etika
profetis yang diinterpretasi oleh ikatan merupakan derifasi
dari Qs. Ali Imran ayat 110, "Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia menyeru kepada yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah".
Ikatan menginterpretasikan ayat tersebut menjadi etika
profetis yang menjadi gerak dan langkah ikatan sebagai suatu
7. Deontologist berasal dari kata dheon yang berarti kewajiban. Bahwa yang menjadi sumberperbuatan etis merupakan kewajiban. Teori etis ini dikemukakan oleh Imanuel Kant. Etikabersifat fitri dan sumbernya tidak rasional dan teoritis, dan ia bukanlah urusan nalar murni.Jika manusia menggunakan akal dalam mengurusi etika maka baginya tidaklah sampai padaetika yang sesungguhnya. Dikarenakan terdapat perselisihan mengenai baik dan buruk,etika yang bersifat rasional bukalah etika dikarenakan terjebak dalam pertimbangan untungdan rugi. Perbuatan etis menguntungkan bagi pelakunya tetapi merugikan orang lain. Kantmengatakan bahwa etika merupakan urusan nalar praktis, artinya nilai-nilai moral tertanamdalam setiap manusia sebagai kewajiban, dikarenakan manusia pada dasarnya memilikikecenderungan diri dari perbuatannya, dan perbuatan etis berada dibalik nalar. Lihat M. AminAbdullah, Antara al Ghazali dan Kant. Lihat Juga, Harold B. Titus, Persoalan-PersolanFilsafat
8. Etis domatis merupakan suatu etika yang didasarkan pada dogma, dan penolakannyaterhadap rasio yang nyaris total. Etika ini dikembangkan oleh al Ghazali, dimana lebihmenekankan kehendak Allah, dari pada karsa manusia. Nilai ethis menjadi eksklusifbersumber dari Tuhan, kehendak dan kemampuan untuk bertindak etis sendiri. Ia menolakrasio sebagai pengarah dalam tindakan etis manusia, ia mengakui wahyu melalui intervensiyang ketat dalam syaikh atau pembimbing moral sebagai pengarah utama dalam pencapaikeutamaan mistik. Dalam hal ini al Ghazali lebih memilih syaikh bukannya rasio dalammencapai etika, sebagai pendamping wahyu dalam membimbing tindakan manusia. Lihat M.Amin Abdullah, Antara al Ghazali dan Kant.
131
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
usaha aktif dalam merubah dan menentukan sejarah sehingga
yang tumbuh merupakan sejarah kemanusiaan bukan ketidak-
adilan ataupun sejarah yang bersifat material (materialsm
histories).
Ada tiga item yang harus dipenuhi dalam konsep etika
profetis; (1) Konsep umat yang terbaik, (2) Pentingnya
kesadaran dan kesadaran sejarah (3) Konsep profetis yakni;
ta'muruna bil ma'ruf, tanhauna 'anil munkar dan tu'minuna
billah. Ketiga interpretasi ini merupakan suatu bentuk etika
yang dimiliki oleh ikatan dalam rangka menjalankan proses
kehidupan, baik sesama manusia, Tuhan sebagai pencipta,
alam, dan manusia sebagai pengganti Tuhan di dunia,
dikarenakan dengan etika merupakan eksistensi manusia
dapat dipenuhi. Etika dalam konsep merupakan suatu yang
fundamental dikarenakan menjadi suatu dasar dalam
bergerak, serta menjadi paradigma dan orientasi kehiduapan
yang akan dilalui oleh manusia. Begitu juga, dengan etis
profetis yang dimiliki oleh ikatan merupakan dasar dari yang
dilakukan oleh kader ikatan atapun gerakan kolektif ikatan.
Etika profetis yang dimiliki oleh ikatan merupakan bentuk
kesadaran yang diberikan Tuhan dalam rangka aktivisme
sejarah, mengarahkan transformasi guna tercipta khairul
ummah, dan mengarahkan semakin dekatnya manusia dengan
Tuhan (sumber keabadian).
1. Konsep Ummat yang Terbaik
Umat yang terbaik bukanlah semata-mata pemberian
atau hadiah dari Tuhan, tetapi harus diraih dengan kerja
keras dalam rangka mewujudkannya. Konsep umat yang
terbaik dari Islam berbeda dengan konsep yang telah
132
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dimiliki oleh umat Yudaisme, sebuah mandat kosong
yang menyebabkan rasialisme. Tetapi konsep umat yang
terbaik bagi Islam merupakan tantangan dalam akivisme
sejarah dan mencip-takan suatu tatanan masyarakat yang
diidealkan. Konsep umat terbaik merupakan proses
(becoming) setiap individu ataupun kader ikatan dalam
rangka menciptakan masyarakat yang telah diidealkan
bersama. Ikatan secara kolektif dan individu berusaha
melakukan aktivisme sejarah dalam transformasi untuk
mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan ber-
kedamaian dalam rangka beribadah kepada Tuhan.
Pemahaman ideal ini merupakan jawaban terhadap per-
masalahan yang telah terjadi dan bagaimana ikatan
menyelesaikannya. Masyarakat yang diinginkan merupa-
kan konsep masyarakat yang didasarkan pada ilmu,
terciptanya struktur yang adil, memihak kepada
golongan lemah, dan menuju pada keabadian yakni
Tuhan.9
Kader yang berjuang secara individual dan kolektif
ikatan berdasarkan etika profetik ini diharapakan dapat
masuk kedalam berbagai ranah dan tetap mengedepan-
kan etika dan tujuan yang sama dalam mengupayakan
suatu cita-cita yang mulia. Khairul ummah merupakan
sebuah konsep ikatan yang memiliki landasan gerak ber-
dasarkan kesadaran profetis guna mewujudkan tatanan
ideal dan menjadikan manusia semakin dekat dengan
Penciptanya. Pendekatan manusia dengan Penciptanya
ini menjadikan sikap aktivisme dalam rangka kerja
9. Untuk lebih jelasnya baca tentang Transformasi Profetik Guna Mewujudkan Khoirul Ummah.
133
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
praksis kemanusiaan, dimana terdapat sistem yang
didasari kesadaran antara hubungan manusia dengan
manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Pencipta
dan manusia sebagai pengganti Pencipta dalam rangka
memakmurkan bumi sebagai sarana ibadah kepada-Nya.
Sistem tersebut bergerak dengan adil dan membela orang
yang lemah dan termarginalkan.
2. Kesadaran Sejarah dalam Ikatan
Kesadaran merupakan konsep gerak yang dimiliki
oleh manusia, berkelanjutan dan kontinyuitas, ia
mengetahui eksistensinya dan bersikap dalam rangka
merespon realitas sosialnya. Kesadaran merupakan yang
membedakan manusia dengan mahluk yang lain,
dikarenakan gerak yang dilakukan tanpa paksaan tetapi
berdasarkan kemauan dan keiinginannya. Menurut
Marxisme bahwa kesadaran ditentukan oleh supra
struktur, jadi dalam pandangan ini menyatakan supra
struktur menentukan super struktur. Manusia bergerak
dan melakukan apa saja dikarenakan struktur yang
berada di luar dirinya, dan berdasarkan rasa tertekan dari
luar bukan dari dasar pikiran manusia. Bentuk kesadaran
yang dimiliki oleh Marxisme ini menjadikan material-
isme sebagai penentu jalannya sejarah. Marx juga meng-
akui dalam tesisnya bahwa sejarah bergerak dikarenakan
kebutuhan (materi) yang ada dalam diri manusia,
sehingga lebih dikenal dengan materialisme dialektika
atau materialisme histories.
Hal ini lain bila dibandingkan dengan konsep
kesadaran yang dimiliki oleh Islam. Bahwa kesadaran
134
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dalam konsep Islam merupakan ketentuan dari Tuhan,
artinya super struktur (kesadaran) menentukan struktur,
bentuk kesadaran inilah yang dimiliki oleh ikatan dan
bersifat independen bukan didasarkan pada individu
maupun struktur yang ada. Jika kesadaran ditentukan
oleh individu maka yang terjadi adalah proses individual-
isme, eksistensilalisme, liberalisme, dan kapitalisme.
Kesadaran yang diinginkan oleh Islam merupakan pem-
berian dari Tuhan yakni iman yang dapat membuat atau
menentukan struktur sosial, budaya dan kondisi material
yang terjadi dalam masyarakat. Bentuk kesadaran yang
timbul merupakan kesadaran Ilahiah yang menjadi
konsep kesadaran bagi ikatan, yang menghilangkan
kesadaran yang didasarkan pada individu dan juga bentuk
kesadaran yang bercorak sekulerisme. Kesadaran ini
bercorak intergralistik, dikarenakan manusia sebagai
penerima bentuk kesadaran dari Tuhan dan dalam segala
aktivitasnya akan diserahkan kembali kepada Tuhan.
Kesadaran Ilahiah merupakan konsep ikatan dalam
menghadapi realitas sosial, dengan kesadaran ini, maka
cara pandang ikatan berangkat dari teks ke konteks,
bukanya dari konteks ke teks.
Kesadaran sejarah merupakan tindak lanjut dari
konsep kesadaran Ilahiah, yang dalam praksisnya
melakukan aktivisme sejarah. Kesadaran sejarah ini,
dapat juga dilihat dari ajaran agama bahwa Islam merupa-
kan agama amal. Oleh karena itu, dalam ajarannya Islam
melarang konsep wadat (tidak kawin), uzlah (mengasing-
kan diri), dan kerahiban dikarenakan tidak sesuai dengan
fitrah yang telah dimiliki oleh manusia, untuk menentu-
135
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kan jalannya sejarah dan membuat sejarah yang lebih
humanis. Bentuk kesadaran sejarah pun dalam Islam
dapat dilihat dalam doa-doa yang menginginkan
kebahagian dalam dua dimensi, dunia dan ukhrawi.
3. Konsep Profetis
Konsep profetis merupakan terjemahan dan pelak-
sanaan dari unsur ; (1) ta'muruna bil ma'ruf, (2) tanhauna
'anil munkar, (3) tu'minuna billah. Ketiga unsur ini
diterjemahkan dengan kreatif oleh Kuntowijoyo yang
kemudian menghasilkan konsep Humanisasi, Liberasi
dan Transendensi.
Humanisasi, adalah proses pemanusiaan manusia.
Humanisasi dalam Islam merupakan suatu kritik dari
humanisme barat yang menyebabkan perkembangan
teknologi. Tetapi, dalam pelaksanaannya telah mencipta-
kan dehumanisasi akibat dari kemajuan dan teknologi
tersebut. Humanisme barat merupakan bentuk human-
isme antroposentrisme yang memerdekakan manusia dari
bentuk ketertindasan dan keterkungkungan, tetapi tidak
mampu menghindarkan manusia dari dehumanisasi. Hal
ini dapat dilihat dari kerangka berpikir yang materialistis
dan bentuk berpikir pragmatis, yang menjebak manusia
moderen dalam satu dimensi. Maka yang harus dilakukan
adalah mengembalikan manusia pada posisi yang mulia,
sebagaimana telah disampaikan dalam surat at-tin.
Humanisasi yang sesuai dan dapat memecahkan per-
soalan adalah konsep humanisme teo-antroposentris,
yang menginginkan manusia kembali pada fitrahnya.
Humanisme ini merupakan bentuk humanisme yang
136
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
didasarkan pada ajaran agama dan mengembalikan posisi
manusia yang sebenar-benarnya, sebagai mahluk Tuhan
dan sebagai mahluk yang lain.10
Liberasi, proses pembebasan dalam segala hal. Pem-
bebasan yang dimaksudkan adalah pembebasan dari
segala hal yang mengungkung manusia dalam segala
bentuknya. Semangat pembebasan juga ada dalam pe-
maknaan syahadat yang mengandung dua macam pem-
bebasan; pertama, bersifat vertikal merupakan pembebas-
an dari berbagai macam pemahaman ketuhanan menuju
pada ketuhanan yang esa. Ketuhanan yang esa merupa-
kan pemahaman tuhan yang independen. Kedua, bentuk
pembebasan dalam persfektif horizontal. Pembebasan ini
dapat dilihat dari latar belakang munculnya Islam,
merupakan pengkritisan dari segala bentuk penindasan
yang terjadi pada waktu itu. Hal ini dilihat dari sejarah,
bahwa pemahaman jahiliyah pada masa itu tak meng-
hargai perempuan, dengan datangnya Islam maka posisi
perempuan mendapatkan kehormatan, dan berbagai jenis
pembebasan lainnya. Islam datang untuk merubah
struktur dan sistem yang menindas menjadi sistem yang
berpihak kepada kemanusiaan, semangat pemerataan dan
keadilan. Semangat liberasi untuk konteks sekarang
membebaskan semua bentuk sistem yang ada. Demikian
dengan sistem ekonomi, terciptanya ekonomi yang
memihak pada rakyat miskin bukan pada pemodal dan
golongan tertentu. Selanjutnya pembebasan dalam sistem
politik dengan terciptanya demokrasi yang melindungi
10. Untuk lebih lengkapnya tentang ini maka baca tentang Siapakah Manusuia dan bagian ProfilKader Ikatan.
137
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kepentingan rakyat dan tatatanan kenegaraan yang adil.
Bentuk liberasi yang dilakukan bukan hanya pada sistem
dan struktur yang tidak adil, tetapi pada sistem teknologi
yang angkuh, menjebak manusia dalam reduksinistik.
Transendensi, merupakan ruh dalam melakukan
humanisasi dan liberasi. Dengan transendensi menjadi-
kan proses humanisasi dan liberasi memiliki tujuan dan
arahan yang jelas yakni membawa pada terwujudnya
khairul ummah dalam rangka mendekatkan manusia
pada Tuhan. Transendensi dapat menyelamatkan dan
mengembalikan kebudayaan agar mengarah pada bentuk
dan sesuai dengan ajaran Islam sehingga terhindar dari
perilaku hedonisme, materialisme, dan budaya dekadensi.
Mengingat dimensi transenden maka manusia akan
kembali kepada fitrah kemanusiaannya yang merupakan
sarana penghubung ruang dan waktu manusia untuk
bersentuhan langsung dengan Tuhan.
Etis profetis Ikatan merupakan kesadaran profetis
dalam rangka melakukan aktivisme sejarah guna me-
nebarkan rahmat Tuhan, dan menjadikan manusia dapat
merasakan langsung kebesaran Tuhan. Etis ini merupa-
kan yang menjiwai setiap langkah dan gerak kader dalam
menjalankan proses kehidupan sesuai dengan keahlian
masing-masing, serta menjadi kesadaran kolektif ikatan.
Kesadaran kolektif tersebut menjadikan ciri has ikatan
yang berbeda dengan pergerakan yang lain. Perbedaan
tersebut dikarenkan etika yang melekat dalam diri kader
dan organisasi tersebut tertuang dalam prilaku kader
serta kebijakan yang dikeluarkan oleh organisasi.
138
Dari Kesadaran Kritis Menuju Kesadaran Profetis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Kebijakan itu semunya mengarah pada satu tujuan yakni
terciptanya khairul ummah.
138
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B a g i a n
Indikator dan MetodelogiIntelektual ProfetikPenjelasan Manifesto Gerakan Intelektual Profetik Ikatan
Dalam etika profetik gerakan transformasi memiliki tiga
pilar yaitu; humanisasi, liberasi dan transendensi, dapat
diterjemahkan dalam indikator yang meliputi; cendekiawan
atau intelektual profetis, metodologi transfomasi profetis,
indikator transformasi profetis, dan aksi transformasif
profetis.
A. Indikator Cendekiawan/Intelektual Profetis
Keinginan untuk menjadi seorang cendekiawan merupa-
kan keputusan yang sulit. Bukan prestasi akademik dan
kecerdasan saja layaknya seorang sarjana atau profesor yang
dibutuhkan, tetapi cendekiawan tentunya meminta lebih dari
itu. Seperti halnya nabi Muhammad Saw, kecendekiawannya
membawa konflik lahir dan batin mana kala ia dihadapkan
dengan pertanyaan dan persoalan kaumnya. Seyogyanya
seorang cendekiawan kerap merasakan konflik dan gelisah,
gusar, serta resah tatkala ada permasalahan yang ia rasakan
ataupun menimpa masyarakat disekitarnya. Cendekiawan
merupakan salah satu unsur yang dapat menunjang trans-
formasi sosial, bila mana ia sadar diri berada ditengah-tengah
masa yang telah tertidur bahkan mengalami amnesia. Mereka
7
139
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
memiliki kepedulian untuk membangkitkan kesadaran
masyarakatnya dan menjadi motor penggerak bagi perubahan
sosial menuju ke arah yang lebih baik. Bagi Kuntowijoyo
cendekiawan merupakan pilihan yang berani, memiliki sifat
independen, tak berpangkat dan tak bertahta. Bahkan sifat
kecendekiawan yang digambarkan oleh Kuntowijoyo dapat
dimaknai melalui salah satu puisi dari judul bukunya Daun
Makrifat, Makrifat Daun, ia menuliskan; sebagai hadiah,
malaikat menanyakan, apakah aku ingin berjalan diatas mega,
dan aku menolak, karena kakiku masih di bumi, sampai
kejahatan terakhir dimusnahkan, sampai dhu'afa dan
mustadh'afin, diangkat Tuhan dari penderitaan.
Seorang cendekiawan memiliki sikap yang memihak pada
nilai tertentu, fundamental dalam melakukan transformasi
sosial guna menciptakan masyarakat yang dicita-citakan.
Sikap memihak yang dilakukan oleh cendekiawan adalah
pemihakan pada kemanusiaan. Sejatinya cendekiawan tidak
merasakan kenikmatan dengan ilmunya sehingga memilih
untuk berada di menara gading, tetapi menginter-pretasikan
dunia untuk memberi nuansa perubahan ke arah yang lebih
baik.
1. Individu Kader
Kategori individu menunjukkan bahwa masing-
masing individu dalam ikatan memiliki kemampuan
cendekiawan sebagai manifestasi dari kesadaran profetik
untuk transformasi profetik. Karakter cendekiawan pro-
fetik meliputi beberapa klasifikasi.
140
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
a. Sadar dengan dirinya sendiri
Seorang cendekiawan menyadari potensi yang ada
dalam dirinya sebagai anugrah Tuhan dan melaksanakan-
nya untuk kepentingan kemanusiaan. Potensi yang
berasal dalam diri tersebut dikembangankan menjadi
sebuah eksistensi, menjadi mahluk yang sadar diri sebagai
seorang khalifah dan hamba yang dilandasi rasa cinta
dalam rangka menebarkan sifat-sifat Tuhan di muka
bumi. Karakter cendekiawan profetik menirukan teladan
nabi Muhammad Saw sebagai uswah dalam segala
tindakan yang tidak saja secara individu. Pencapaian
pengetahuan oleh cendekiawan profetis tercermin dari
pengamalan al Qur’an dan as-Sunnah, yang merupakan
prasyarat mutlak agar tercipta akhlak mulia sebagai cita-
cita setiap insan berkesadaran. Akhlak mulia sebagai cita-
cita merupakan ciri khas dari seorang cendekiawan
profetis, terlihat nyata dan dirasakan oleh individu lain.
Akhlak yang tertera pada cendekiawan harus diaplikasi-
kan oleh seorang kader ikatan, bentuknya berupa tingkah
laku yang bersifat religius dalam keberagamaan, dan
bersifat transformatif dalam tindakannya. Sifat cendekia-
wan profetis juga telah digambarkan melalui perkataan
Kiyai Ahmad Dahlan yang memberi nasehat agar “tidak
mentuhankan nafsu”. Pentuhanan nafsu ini, menjadikan
manusia melakukan pembenaran (justification) terhadap
perbuatan yang dilarang, dan menuruti hawa nafsu
sebagai petunjuk atas segala sesuatunya. Sebagai kader
ikatan yang mewarisi sifat cendekiawan harus mampu
mengendalikan diri untuk mencapai insan berkesadar-
an/mulia.
141
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
b. Sadar terhadap realitas sosial
Seorang kader ikatan menyadari bahwa realitas
bersifat terbuka (open), dan bisa dirubah bukan tertutup
(given). Realitas lahir dari kesadaran dan kreasi manusia,
dapat dirubah maupun direkayasa oleh manusia. Dalam
buku Peter L. Berger, Tafsir Sosial atas Kenyataan;
Risalah tentang Sosiologi Pegetahuan, mengatakan
bahwa realitas merupakan dialektika internalisasi, ekster-
nalisasi dan objektivasi yang terus menerus tak ber-
kesudahan. Perubahan atau rekayasa terhadap realitas
sepenuhnya dilakukan oleh manusia lewat potensi yang
dimilikinya.
c. Peka terhadap realitas sosial
Kader ikatan memiliki kepekaan terhadap realitas
sosial dan dapat membaca serta menguraikan struktur
serta kelompok yang berkepentingan dalam realitas.
Individu kader memiliki kemampuan untuk melihat
kontradiksi dalam segala hal, baik; agama, sosial,
ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan dapat meng-
kaitkan relasi masing-masing kelompok sosial. Seorang
kader dapat membaca dan menganalisa hal yang terjadi
dalam lingkungannya.
d. Peduli terhadap realitas sosial
Karakter peduli yang dimiliki kader ikatan merupa-
kan tindak lanjut dari sadar diri, yakni sadar atas realitas
dan memiliki kepekaan dan rasa tanggungjawab. Ke-
pedulian merupakan hasrat, ketetapan hati, dan komit-
142
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
men serta konsisten bahwa realitas harus diubah demi
menciptakan kondisi yang lebih baik. Sikap peduli
merupakan ruh, sikap empati dan tanggungjawab
terhadap realitas sosial.
e. Aksi nyata sebagai respon terhadap realitas sosial
Aksi nyata dalam melakukan transfomasi terangkai
dalam kesadaran intelektual dan tradisi profetik yang
merupakan simpul penting dan tidak boleh lepas. Pada
karakter aksi tersebut kader memiliki keberpihakan yang
jelas, siapa yang akan dibela dalam relasi kelompok
berkepentingan. Keberpihakan merupakan pilihan yang
sulit karena ikatan harus melakukan kajian, agar tidak
salah arah dalam merespon realitas sosialnya.
f. Evaluasi
Sebagaimana perkataan bijak Socrates,"hidup yang
tak direfleksikan tak pantas untuk dijalani". Layaknya
seorang cendekiawan profetis, kader ikatan harus
melakukan evaluasi diri untuk mengetahui respon
terhadap realitas. Evaluasi yang dilakukan ini terbagi
menjadi dua macam yakni evaluasi diri secara personal
dan diri sebagai bagian dari realitas sosial. Evaluasi
terhadap diri secara personal merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk memberikan manfaat atau sebaliknya.
Pengungkapan evaluasi secara personal merupakan dialog
antara hati dan tindakan yang dilakukan sesuai dengan
esensi ajaran agama. Sedangkan evaluasi diri sebagai
bagian dari realitas sosial, merupakan sumbangsih
kehadiran manusia yang berguna bagi sesama dan alam.
143
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Evaluasi ini dilakukan dengan cara terbuka, dan mau
menerima kritikan.
2. Ikatan dalam Bentuk Kolektif
Sebagai sebuah organisasi yang menisbatkan diri
sebagai gerakan intelektual profetik, maka ikatan harus
menerapkan kesadaran profetik disegala level kepemim-
pinan. Kebijakan yang diambil oleh ikatan berdasarkan
nilai-nilai yang berasaskan intelektual profetik.
Kesadaran intelektual profetik bergerak dalam semua lini
kehidupan dan menjadi pilihan sadar ikatan dalam
melakukan transformasi sosial. Kesadaran intelektual
profetik menjadi paradigma gerakan, terejawantahkan
dalam kesadaran kolektif ikatan, yang memiliki
klasifikasinya sebagai berikut;
a. Sadar dengan diri ikatan
Sadar dengan diri ikatan merupakan unsur yang
penting sebelum melakukan transformasi sosial. Kesadar-
an dalam diri ikatan merupakan suatu kesadaran kolektif
dari masing-masing kader. Kesadaran kolektif ikatan,
merupakan kesadaran yang dibangun berdasarkan cita
dan semangat mencari ilmu sebagai ruh personal maupun
kolektif ikatan dalam menciptakan kondisi yang lebih
baik. Kesadaran tersebut menjadi selaras dengan
ashabiyah1, menjadi semangat organisasi yang tertanam
pada personal kader. Begitu pula dengan perasaan cinta
1. Ashabiyah merupakan perasaan kebersamaan, ikatan umum yang terutama didasarkan padahubungan darah dan tradisi kekeluargaan yang membangkitkan perasaan solideritas. LihatIbn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun.
144
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
ilmu, merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam
menentukan maju mundurnya peradaban. (Ibn Khaldun,
al-Muqadimah Ibn Khaldun, 2000).
Kesadaran dalam ikatan merupakan penilaian ikatan
dalam berbagai sisi dan potensi atau kekuatan ikatan
dalam melakukan transformasi sosial. Potensi dalam
ikatan tersebut merupakan esensi ikatan yang harus
dieksistensikan ke dalam dan ke luar ikatan, agar dapat
memberikan makna bagi kader dan masyarakat pada
umumnya. Pengeksistensianya ikatan dalam ranah publik
menjadikan ikatan memiliki makna dan bernilai bagi
pergerakan yang lain. Eksistensi ikatan ini didasari oleh
tiga pilar profetik yang menjadi paradigma ikatan dalam
transformasi sosial.
b. Sadar terhadap realitas sosial
Karakter sadar terhadap realitas sosial dalam ikatan
hampir sama dengan karakter dalam individu kader yang
kemudian diarahkan kepada kesadaran kolektif, menjadi-
kan organisasi memiliki peranan penting dalam realitas
sosial. Sehingga kesadaran tersebut menjadikan ikatan
harus bertanggung jawab terhadap realitas sosialnya.
c. Peka terhadap realitas sosial
Peka dalam ikatan/organisasi hampir sama dengan
kepekaan pada individu kader yang memiliki kemam-
puan untuk melihat kontradiksi dalam segala hal, baik;
agama, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan
dapat mengkaitkan relasi masing-masing kelompok sosial
dan tarik-menarik antara kelompok yang memiliki
145
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kepentingan. Ikatan dapat menempatkan diri sebagai
bagian dari kelompok sosial yang berkepentingan, dan
merupakan konfigurasi dari realitas sosial. Kepentingan
ikatan yang memiliki basis dan latar belakang mahasiswa,
dan sebagai salah satu ortom Muhammadiyah menjadi
modal perjuangan, memiliki arah dan tujuan yang jelas
yakni sebagai penerus dan penyempurna amal usaha
Muhammadiyah.
d. Peduli dan responsif terhadap realitas sosial
Karakter peduli harus disertai dengan responsif
terhadap realitas sosial sebagai langkah awal dari
perluasan ikatan. Perluasan ini juga merupakan suatu
bagaian dari kelompok sosial dalam masyarakat.
Responsif tersebut diperlukan karena ikatan merupakan
komunitas dalam masyarakat, responsif ikatan merupa-
kan kemampuan ikatan untuk menanggapi dan meng-
artikulasi kepentingan kelompok yang diwakilinya.
e. Aksi/tindakan nyata
Ikatan tidak sekedar terlibat dalam melakukan
perubahan (transformasi), tetapi menjadi pelaku utama
perubahan tersebut. Aksi ikatan merupakan tindakan
nyata, dilakukan agar terbentuk masyarakat yang dicita-
citakan, sebagaimana dalam perkataan bijak Karl Marx,
"tugas filosof bukan untuk menginterpratasi dunia tetapi
untuk merubah dunia". Demikian dengan ikatan bukan
sekedar melakukan penafsiran terhadap realitas tetapi
yang terpenting adalah bagaimana cara melakukan
perubahan.
146
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
f. Kesadaran perlunya kolektivitas
Kesadaran dan aksi tidak hanya dilakukan oleh
individu tetapi menjadi kesadaran kolektif dalam ikatan
yang melibatkan setiap level pimpinan dan semua
komponen dalam suatu komunitas. Kesadaran kolektif
menjadikan ikatan bukan satu-satunya organ yang
melakukan perubahan, tetapi ikatan dapat bekerjasama
dengan pergerakan atau komunitas yang lain guna
mencapai cita-cita yang ideal.
g. Pelopor dan Visioner
Ikatan sebagai pelopor dan visioner, karena memiliki
mimpi dan cita-cita tentang masa depan, yang meng-
haruskan ikatan melakukan pembacaan dan analisa
terhadap realitas sosial. Hal tersebut diharapkan memberi
pilihan gerakan, aksi dan terhadap program utama ikatan
guna mencapai tujuan.
B. Metodologi (Proses) Transfomasi Profetis
Metodologi merupakan bagian yang penting, karena
metodologi menjadikan ikatan berfikir dan bertindak dalam
mewujudkan cita-cita, harapan, tujuan dan memantau per-
kembangannya. Dengan pemantauan tersebut ikatan dapat
melakukan evaluasi terhadap program yang telah dilaksana-
kan. Menurut kerangka metodologi profetis yang beradasar-
kan tiga pilar tersebut paling tidak terdapat tiga ciri utama;
refleksi dengan belajar dari pengalaman, dialogis dan peng-
kontektualisasian doktrin agama, serta arahannya.
147
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
1. Refleksi, belajar dari pengalaman
Refleksi merupakan unsur yang penting dari suatu
realitas karena refleksi menjadi pembelajaran terhadap
pengalaman. Pembelajaran dari pengalaman menjadikan
pengetahuan tidaklah menjadi dewa dan memiliki
otoritas yang tinggi, tetapi keabsahan dari pengetahuan
dilihat dari pembuktiannya dalam realitas yang menjadi
pengalaman langsung, bukannya dalam dataran teoiritis
ataupun retorika belaka.
2. Dialogis
Pemahaman dialogis merupakan unsur penting
dalam perubahan guna mewujudkan cita-cita ikatan.
Keberadaan ikatan dalam proses transformasi sebagai
fasilitator, bukan hubungan antara guru dan murid.
Pembelajaran dan pemahaman terhadap realitas dilaku-
kan bersama oleh pemberlaku pemberdayaan dan dalam
iklim dialogis komunikatif, tidak ada dominasi, sehingga
mewujudkan masyarakat yang terbuka yakni masyarakat
yang menerima perubahan yang berkelanjutan.
3. Kontekstualisasi Doktrin Agama
Kontekstualisasi merupakan obyektifikasi terhadap
kalam Ilahi agar tidak bersifat subyektif dan mudah
diterima oleh kelompok/penganut agama dan kepercaya-
an lain sehingga menjadikan agama sabagai ruh dan
rahmat bagi semesta. Kontekstualisasi sebagai proses
pembebasan terhadap problem kemanusiaan dan agama.
148
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Metodologi profetis dilakukan melalui proses daur belajar
dari pengalaman yang terstruktur didasari dengan nilai-nilai
Ilahiah. Pembelajaran ini tersistematiskan sebagai berikut;
pembacaan realitas, melakukan (refleksi) menjadi realitas,
merangkai ulang (rekonstruksi), analisis, kesimpulan, me-
nerapkan, evaluasi. Gambaran dalam metodologi profetis
sebagai berikut;
Pembacaan terhadap realitas. Pembacaan merupakan
proses awal dalam metodologi kritis, hal tersebut dikarenakan
ikatan harus memahami subyek yang akan dijadikan lahan
trans-formasi sosial. Pembacaan dilakukan untuk mengenali
kekuatan subyek, bentuk transformasi dan pemilihan gerakan
transformasi.
Melakukan (refleksi) menjadi realitas. Setelah pembacaan
terhadap realitas maka ikatan merefleksikan pengalaman atau
perristiwa-peristiwa nyata dari subyek, seperti halnya me-
lakukan penggalian terhadap pengalaman subyek.
Merangkai ulang. Merangkai ulang merupakan peng-
ungkapan kembali rincian (fakta, unsur-unsur, urutan kejadi-
an (prosesnya) dari realitas/pengalaman/peristiwa). Setelah
pengungkapan terhadap realitas maka memberikan tanggapan
ataupun kesan terhadap peristiwa tersebut. Tanggapan dan
pengungkapan fakta dalam realitas merupakan langkah awal
dengan data ril sebelum melakukan analisa.
Analisis. Tahapan selanjutnya adalah proses analisis,
merupakan uraian fakta dan data yang diperoleh dari rangkai-
an ulang peristiwa. Analisis merupakan uraian dan peng-
kajian terhadap sebab dan kemajemukan suatu permasalahan
dalam realitas. Analisis yang dilakukan meliputi tatanan,
aturan, sistem, yang menjadi akar persoalan.
149
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Menyimpulkan. Menyimpulkan atau merumuskan
makna/hakekat dari realitas sebagai suatu pembelajaran dan
pemahaman pengertian baru yang lebih utuh. Kesimpulan
tersebut berupa prinsip-prinsip berbentuk kesimpulan umum
(generalisasi) hasil dari pengkajian.
Menerapkan. Selanjutnya penerapan, merupakan putusan
melakukan tindakan baru dalam merubah realitas sosial.
Tahapan tersebut memilki rencana, tujuan, target sehingga
proses dan hasilnya dapat dilihat. Proses penerapan tersebut
pada gilirannya akan menjadi pengalaman yang harus
dipelajari dan merupakan bagian awal dari metodologi ini.
Evaluasi. Merupakan bagian yang penting dikarena-kan
semua program dalam melakukan transformasi sosial dapat
diselaraskan oleh subyek dan fasilitatornya. Evaluasi yang
dilakukan sesuai dengan sistematika metodologinya, karena
dalam metodologi tersebut evaluasi dilakukan secara ber-
kelanjutan (bersifat lingkaran singuler).
C. Indikator Transformasi Profetis
Indikator profetis merupakan proses perubahan yang ber-
karakter kenabian, dilakukan secara menyeluruh (sistemik)
dengan melibatkan seluruh komponen (partisipatoris) dan
perubahan tidak hanya dalam bentuk materi melainkan
kesadaran dan kerangka berfikir terhadap realitas. Perubahan
tersebut dilakukan bukan hanya dalam dataran individu kader
(ikatan sebagai fasilitator transformasi) tetapi dilakukan oleh
seluruh elemen dari realitas sosial tersebut. Berikut ini
merupakan indikator profetis dalam melakukan transformasi
sosial ;
150
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
1. Perubahan Sistematis
Perubahan sistematis merupakan tujuan dari trans-
formasi yang dilakukan oleh ikatan dengan menyentuh
seluruh komponen dari realitas sosial. Bentuk trans-
formasi sosial yang dilakukan bukan bersifat parsial tetapi
memiliki genelogi yang jelas dan arah serta tujuan yang
jelas pula. Perubahan sistematis seperti revolusi yang
terjadi pada masa nabi yakni perubahan secara radikal
dan menyeluruh.
2. Partisipatoris
Transformasi yang dilakukan oleh ikatan besifat
partisipatoris, fungsi ikatan hanya sebagai fasilitator
dalam perubahan, menjadikan subyek bergerak berdasar-
kan kesadaran mereka terhadap diri dalam memahami
realitas, dan masyarakat menentukan arah transformasi
menuju yang lebih baik. Partisipatoris perubahan
melibatkan seluruh elemen masyarakat, bukan hanya
pada kelompok yang dominan atau rezim penguasa
dimana kelompok minoritas hanya boleh mengikuti saja.
Perubahan tidak dilakukan oleh organ luar selayaknya
dewa maha tahu terhadap realitas. Bentuk transformasi
merupakan milik seluruh elemen yang bersangkutan,
mereka yang menentukan cara dalam melaksanakannya.
3. Perubahan Spiritual dan Material
Perubahan dalam bentuk spiritual dan material
dalam transformasi sosial meliputi dua dimensi yaitu;
transformasi kesadaran yang berifat spiritual dengan
melakukan rekontruksi terhadap pemahaman agama
151
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
yang tak bersifat liberatif, dan agama sebagai sarana
pemecahan terhadap persoalan kemoderenan seperti
gender, problem humanisasi, kerusakan alam dan yang
lain. Berangkat dari perubahan dalam bentuk kesadaran
ini, menjadikan semangat serta arahan transformasi
dalam bentuk spritual dan material. Sebagaimana yang
telah dikatan oleh Kuntowijoyo, kesadaran super struktur
menentukan kesadaran struktur. Kesadaran tersebut
merupakan kesadaran yang berada dalam ajaran agama
Islam.
4. Alur Metodelogi Profetis
Proses transformasi profetis mendasarkan diri pada
metodologi profetis. Transformasi profetis tidak dapat
dilepaskan dari kesadaran intelektual profetis dan
metodologi profetis. Transformasi profetis yang dilaku-
kan oleh ikatan merupakan jalan untuk mencapai tujuan
dan cita-cita ikatan guna mewujudkan khairul umat.
D. Aksi Transformasi Profetis
Transformasi profetis yang dimaksudkan oleh ikatan
berdasarkan nilai-nilai Ilahiah berbeda dengan bentuk trans-
formasi yang dilakukan oleh organ atau gerakan lain.
Transformasi profetis merupakan tindak lanjut dari sikap
intelektual profetik dengan melakukan perubahan sosial yang
berkarakter profetis. Transformasi profetis tidak dapat
dilepaskan dengan cendekiawan profetis, layaknya seorang
intelektual profetis dalam tindakan atau prilakunya mengarah
pada aksi transformasi profetis. Bahasa yang digunakan oleh
cendekiawan profetik dalam melakukan transformasi sosial
152
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
adalah menggunakan bahasa kaumnya, dan menghubungkan
antara agama dengan kencenderungannya. Sebaliknya trans-
formasi profetis tidak dapat dilakukan tanpa melalui pe-
mahaman seorang cendekiwan profetis. Prilaku profetis
mereflesikan bentuk pra aksi dan transformasi profetis meng-
gambarkan aksi ril.
Berikut ini metodologi yang dilalui dalam trasformasi
profetis;
1. Prioritas Isu/Program/Kasus
Sebelum melaksanakan aksi profetis, ikatan perlu
memilih isu atau program yang akan dilakukan dalam
rangka transformasi profetis. Pemilihan isu tersebut,
merupakan hal yang penting, dapat dirasakan oleh semua
kader di semua level pimpinan dan memberikan manfaat
bagi masyarakat luas.
2. Pemililihan Pemihakan
Setelah melakukan kajian dan menentukan pilihan
isu yang dijadikan persoalan sosial maka selanjutnya
menentukan pilihan pemihakan. Analisis kritis yang
dilakukan oleh intelektual profetis adalah dengan mem-
buat skema para pelaku (stakeholder) yang memiliki
posisi relasi terhadap suatu kasus. Pada tahapan ini ikatan
menentukan pemilihan pemihakan terhadap kasus atau
problem yang terjadi, dan pemihakan terhadap siapa
pelaku dalam transformasi profetis. Pemilihan pemihak-
an dilakukan secara sadar dan penuh tanggungjawab,
menyandarkan keberpihakan terhadap kaum yang ter-
marginalkan, dirugikan ataupun tertindas.
153
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
3. Membentuk Kelompok Inti
Sarana untuk melakukan perubahan sosial menurut
Jalaluddin Rahmat adalah dengan membentuk creative
minority, merupakan sekumpulan orang yang tersadar-
kan dengan realitas dan tahu rbagaimana cara melakukan
perubahan realitas sehingga tercipta keadilan. Begitupula
dengan ikatan, harus ada segolongan atau kelompok yang
peduli terhadap ikatan yang memberikan sumbangsihnya
dengan bercurah gagasan dan ide. Creative minority
merupakan kelompok yang memiliki peranan, penggagas,
penggerak, pemerakarsa, atau pengendali utama, se-
kaligus pemegang kebijakan, tema atau isu strategi dan
sasaran dari suatu aksi transformasi profetis. Kelompok
minoritas tersebut tidak bergerak hanya dalam dataran
ide/konsep/gagasan tetapi ia sebagai pemegang dan
pengendali konsep dalam tindakan nyata.
4. Merancang Sasaran dan Strategi
Merancang sasaran dan strategi dalam melakukan
transformasi sangat penting. Hal tersebut dikarenakan
sasaran dan strategi dapat terlihat kemudian dilakukan
analisis, dan yang terpenting dari semua itu adalah
keterpantaunnya. Merancang dan menentukan strategi
sudah termasuk dalam dataran teoritis sekaligus praktis.
Rancangan tersebut, dapat mengikuti tolak ukur SMART,
yang meliputi; Specific (khusus), dalam menentukan
rumusan dan sasaran kelompok bersifat spesifik,
kongkret, jelas, dan fokus. Sifat ini memberikan kejelasan
tentang siapa dan kenapa harus memilih kelompok untuk
dijadikan subjek transformasi. Measurable (terukur),
154
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dalam proses transformasi dapat dilakukan evaluasi dan
memperbaikinya. Jadi hasil dan proses dalam trans-
formasi cukup terukur (memiliki indikator yang jelas bisa
dipantau dan diketahui). Achievable (dapat diraih), apa
yang dilakukan merupakan suatu utopia, tetapi trans-
formasi yang dilakukan oleh ikatan merupakan sesuatu
yang dapat diraih, diwujudkan dan bukan hanya sekedar
angan-angan, karena memiliki tujuan serta indikator
yang jelas. Realistis (sesuai kenyataan), ikatan atau
kelompok yang dijadikan subjek transformasi mampu
melakukan, melaksanakan, dan dapat mencapainya
(memiliki sumber daya, kemampuan dan akses). Time-
bond (batas waktu), apa yang dilakukan oleh ikatan
dalam transformasi memiliki batas waktu yang jelas
(kapan dan berapa lama).
5. Menggalang Sekutu dan Pendukung
Pelaksanaan transfomasi dilakukan melalui hasil
penganalisaan, maka harus dibagi antara kelompok yang
mendukung dan yang tidak. Oleh karena itu, ikatan
mencari kelompok yang dijadikan sekutu dan pen-
dukung. Aksi transformasi profetis terdiri dari kelompok-
kelompok yang mendukung antar lain; kelompok basis
(lingkaran inti), kelompok yang memiliki tugas utama
sebagai konseptor, pemegang kebijakan, dan pionir dalam
aksi. Kelompok pendukung, kelompok ini memiliki tugas
sebagai penyedia dukungan dalam bentuk dana, logistik,
informasi, data, dan akses. Kelompok sekutu (sebagai
garis depan), atau pelaksana aksi yang bertugas langsung
dilapangan.
155
Indikator dan Metodelogi Intelektual Profetik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
6. Membentuk Pendapat Umum
Salah satu bentuk transformasi yang harus dilakukan
oleh ikatan adalah mempengaruhi pendapat atau opini
publik dengan memberitahukan kepada halayak ramai
melalui kampanye dan propaganda tentang isu atau aksi
yang dilakukan. Harapannya adalah mendapatkan
simpati dan dukungan dari masyarakat, kampanye dan
propaganda dapat menggunakan media massa, pelatihan,
demonstrasi dan sebagainya.
7. Pemantauan dan Evaluasi Program Aksi
Pemantauan aksi memerlukan instrumen yang
meliputi empat unsur berupa; Sasaran hasil, suatu
keadaan tertentu yang ingin dicapai setelah pelaksanaan
kegiatan. Indikator, merupakan petujuk tertentu yang
akan meyakinkan apakah sasaran atau hasil sudah
tercapai atau belum. Pengujian, cara yang digunakan
untuk memperoleh bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa indikator tersebut mencapai tujuan atau tidak.
Asumsi, suatu keadaan atau hal tertentu yang menjadi
prasyarat terlaksananya kegiatan yang telah direncana-
kan sehingga indikator benar-benar terwujud dan sasaran
dapat dicapai. Sedangkan evaluasi terhadap aksi dilaku-
kan pada kegiatan yang terprogram atau terencana
sehingga dapat melakukan perbaikan dan kajian lebih
lanjut.
156
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B a g i a n
Etos ProfetisUpaya Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
A. Prawacana Etos
Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari berbagai
manusia yang beragam dan memiliki kultur yang majemuk.
Keragaman manusia dipengaruhi oleh letak geografis, sifat
dan fitrah yang diciptakan oleh Tuhan. Manusia sebagai
animal rational memiliki kemampuan untuk berkreasi dan
inovasi dalam mengelolah lingkungan agar dapat bermanfaat
bagi dirinya. Interaksi manusia dengan lingkungan dapat
melahirkan kebiasaan yang berbeda dengan lingkungan yang
lain, bahkan melahirkan simbol dari masyarakat tertentu.
Simbol yang dimiliki oleh masyarakat tersebut bersifat eks-
klusif dan merupakan representasi guna mengikat, memberi-
kan makna dan menggambarkan keadaan tertentu dalam
masyarakat. Misalkan simbol kain putih merupakan gambaran
duka cita atau biasanya ada yang meninggal.
Manusia dikarunia akal, yang digunakan untuk
mengelolah alam serta menggali manfaatnya. Hal tersebut
merupakan bagian dari interaksi manusia dengan alam,
dilakukan dengan cara bekerja sebagai bentuk aktualisasi diri,
juga sebagai wahana terciptanya kebudayaan manusia yang
memiliki kerangka berpikir dalam bertahan hidup dan
menciptakan alat untuk mengelolah alam serta memanfaatkan
8
157
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
sumber dayanya sehingga pemenuhan kebutuhan hidup
manusia tercapai.
Kita dapat belajar dari sikap mulia Kiai Ahmad Dahlan
yang merespon realitas sosial dengan menerjemahkannya ke
dalam bentuk organisasi, Sikap Kiai Ahmad Dahlan yang
menghargai ilmu dan menganjurkan pada umat agar
menguasai ilmu umum yang bersifat duniawi bukan hanya
ilmu keagamaan ini merupakan semangat dari Muhammad-
iyah yang berusaha melakukan moderenisasi. Sikap pem-
baharuan juga ia lakukan dalam penggabungan antara dua
model pendidikan, antara tradisioal corak agamis dengan
pendidikan sekuler modernis, yang kemudian menghasilkan
sistem pendidikan agamis moderen seperti yang terlihat pada
lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah.
B. Etos dan Kebudayaan
Etos, memiliki hubungan erat dengan sikap moral,
walaupun tidak seluruhnya identik. Kesamaan terletak dalam
sikap yang keduanya didasari sifat mutlak. Perbedaannya
terletak pada tekanan, sikap moral menegaskan orientasi pada
norma-norma sebagai standar yang harus diikuti. Sedangkan
etos menegaskan bahwa sikap itu sesuatu yang nyata-nyata
mempengaruhi, menentukan individu atau kelompok orang
yang mendekati atau melakukan sesuatu. Etos meng-
ungkapkan semangat dan sikap batin pada seseorang atau
sekelompok orang yang didalamnya termuat tekanan dan nilai
moral tertentu. Etos merupkan sesuatu yang dimiliki atau
tidak dimiliki dan yang tidak dapat dipaksa. Etos merupakan
deskriptif tentang sikap mental yang ada. (Franz Magnis
Suseno, Berfilsafat dari Konteks)
158
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Etos menjadi pandangan khas, semangat dan jiwa yang
mencirikan identitas serta eksistensi suatu bangsa yang
membedakan dengan bangsa lain. Etos merupakan salah satu
kajian yang sering dipakai oleh antropolog dalam meng-
gambarkan kebudayaan yang khas dan membedakan antara
negara atau kelompok tertentu. Misalkan semangat kapital-
isme merupakan etos dalam Protestan, hal ini dapat dianalisis
dari ajaran Protestan Mahzab Calvinis tentang konsep
keselamatan, asketis dan gemar menabung, menurut Max
Weber hal ini merupakan penggalian terhadap agama
Protestan yang tidak dapat diketemukaan pada Katolik.
Semangat yang ada mengenai konsep keselamatan bahwa
orang yang berada kedalam kerajaan Tuhan (surga) merupa-
kan orang yang kaya membantu orang lain untuk mandiri dan
tidak mengalami ketergantungan. Selanjutnya, dalam mem-
peroleh keselamatan tersebut diharapkan umat bersikap
asketis atau zuhud (menahan diri). Menahan diri dalam
konteks ini, ia hidup secara wajar tidak berlebihan atau
bermewah-mewah dan hartanya digunakan untuk menjadi-
kan investasi membangun usaha sehingga dengan modal besar
kelak akan mendukung sistem yang dapat berdiri sendiri.
Sistem tersebut berasal dari nilai ajaran agama yang sekarang
menjadi sangkar besi rasionalisme dimana kapitalisme tidak
dapat dikontrol.
Kebudayaan, menurut ilmu antropologi merupakan
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia, dalam rangka membangun kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik manusia dengan cara mempelajarinya.
Kebudayaan merupakan hasil tindakan manusia karena hanya
sedikit tindakan yang tidak diterapkan dalam belajar seperti
159
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
tindakan refleks, dan beberapa tindakan proses fisiologi. Kata
kebudayaan berasal dari kata sangsekerta budhayah yaitu
bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Kata
budaya merupakan kata majemuk dari budi-daya, yang berarti
daya dari budi. Oleh sebab itu ada yang membedakan antara
kebudayaan dan budaya. Budaya merupakan daya dari budi
yang berupa cipta, rasa, karsa dan kebudayaan merupakan
hasil dari cipta, rasa dan karsa. (Koentjaraningrat, Pengantar
Ilmu Antropologi)
Pada umumnya pemahaman tentang kebudayaan digam-
barkan dalam bentuk kesenian. Menurut Ernest Cassirer
dalam An Essay of Man, mengatakan bahwa kebudayaan
adalah agama, seni, filsafat, ilmu sejarah, mitos dan bahasa.
Bahkan cara beragama, gaya hidup, mode, upacara, dan
festival merupakan kebudayaan yang berasal dari ide dan
simbol, manusia sebagai animal simbolicum, dimana manusia
memiliki kecendrungan menciptakan simbol. Sistem simbol
erat kaitannya dengan ideological constraint untuk menggam-
barkan mahluk hidup. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid).
Kebudayaan menurut Karl Marx adalah contemplation
diri di dunia yang kita ciptakan sebagai produk kerja manusia
dan alat utama yang menghubungkan diri dengan manusia
yang lain, diri dengan alam. Kebudayaan merupakan sebagai
produk kerja yang belum selesai, merupakan perpanjangan
tubuh manusia dalam tubuh alam melalui kebudayaan yang
unik. Aktivitas tersebut tidak akan mereduksi seakan-akan
terbenam dalam realitas yang selesai dan tidak berubah. (John
C. Raines, Marx tentang Agama) Aktivitas manusia dalam
alam teraktualisasikan dalam kerja yang menjadikan suatu
kebudayaan tidak akan pernah selesai karena realitas yang
160
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
selalu berubah. Aktivitas atau kerja yang dilakukan oleh
manusia dalam mengelolah alam memerlukan alat yang dalam
perjalanan waktu mengalami kemajuan, baik dari alat yang
sederhana hingga kompleks. Aktualisasi dalam kerja tersebut
menghasilkan suatu kebudayaan yang membawa pember-
dayaan alam guna memenuhi kebutuhan dan kemudahan bagi
manusia. Kebudayaan menurut E.B Taylor merupakan hal
yang kompleks, mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lain
atau kebiasaan yang didapatkan oleh manusia dalam kehidup-
an bermasyarakat. Kebudayaan merupakan seluruh aspek
yang dapat dipelajari oleh manusia, memiliki unsur dari cipta
rasa dan karsa yang telah dimiliki oleh manusia dalam
masyarakat. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar)
Kebudayaan memiliki tiga gejala menurut ahli ilmu
antropologi, yakni idea, activities, dan artifac. Wujud dari
kebudayaan yang ideal, merupakan suatu yang kompleks dari
ide-ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan. Wujud tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut; Pertama, wujud ini
merupakan yang ideal dari kebudayaan, bersifat abstrak tidak
dapat diraba dan didokumentasikan dalam bentuk foto. Lokasi
kebudayaan tersebut terletak di kepala, atau perakataan lain,
dalam alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan
yang bersangkutan itu hidup. Ide dan gagasan manusia hidup
bersama dan memberi jiwa kepada masyarakat. Gagasan tidak
dapat dilepaskan dari sistem dan para sosiolog dan antropolog
menyebutnya dengan sistem budaya. Kedua, merupakan
social system, mengenai tindakan berpola dari manusia, yang
terdiri dari aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
berhubungan serta bergaul dengan yang lain, sesuai pola-pola
161
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
tertentu yang berdasarkan adaptasi dan kelakuan. Sistem
sosial dalam manusia bersifat kongkret, tersaji disekeliling dan
kehidupan kita, bisa diobservasi dan didokumentasikan.
Ketiga, wujud dalam bentuk fisik, hasil fisik dari aktivitas,
perbuatan dan karyamanusia dalam masyarakat, sifatnya
merupakan paling kongkret berupa benda-benda atau hal-hal
yang dapat diraba, dilihat dan di dokumentasikan dalam
bentuk foto. Keempat, wujud kebudayan merupakan realitas
yang ada dalam kehidupan masyarakat tertentu, tak
terpisahkan satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal dan
adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan
karya manusia, baik pikiran, ide-ide, maupun tindakan dan
karya manusia yang menghasilkan benda-benda dalam
kebudayaan fisik. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk
lingkungan hidup tertentu yang semakin lama menjauhkan
manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi
pola perbuatan, dan cara berpikirnya. (Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi).
C. Bercermin pada Sejarah Muhammadiyah dan Ikatan
Hidup yang tak direfleksikan merupakan kehidupan yang
tak pantas dijalani, itulah perkataan bijak Socrates. Begitupula
dengan perkataan dari nabi Muhammad SAW, jika hari ini
lebih baik dari pada hari kemarin maka tergolong orang yang
beruntung, hari ini sama dengan hari kemarin tergolong
orang yang merugi, dan jika hari ini lebih buruk dari kemarin
maka tergolong orang-orang celaka. Hal tersebut memberikan
makna pentingnya melakukan sebuah refleksi yang dapat
dilakukan sendiri atau kolektif guna meningkatkan kualitas
diri. Refleksi digunakan dalam menilai dan mengkoreksi apa
162
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
yang telah dilakukan agar tidak menghambat tujuan dalam
rangka penyelesaian masalah.
Begitupula dengan ikatan, sebelum menggulirkan sebuah
pemikiran atau gagasan, ikatan melakukan refleksi tentang
internal organisasi dan Muhammadiyah sebagai organisasi
induk yang mewadahi guna mencapai subtansi dan latar
belakang tujuan organisasi itu. Ikatan dalam tujuan serta
langkah geraknya merupakan salah satu usaha dalam
mencapai tujuan ideal dari Muhammadiyah. Begitupula
sebaliknya, Muhammadiyah sebagai organisasi induk mem-
berikan kesempatan kepada ikatan untuk menentukan pilihan
guna mencapai tujuannya.
Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah Islam, sosial
kemasyarakatan dan sosial moderen yang konsen melakukan
pembinaan dalam bidang pendidikan dan pemberdayaan
kemasyarakatan dalam sejarahnya tidak dapat dilepaskan dari
tokoh yang telah mengembangkan persyarikatan, hal tersebut
dapat dilihat dari latarbelakang sejarah berdirinya yang
dipengaruhi oleh dua faktor, eksternal dan internal. Faktor
eksternal, ide dan gagasan tentang Muhammadiyah lahir dari
situasi politik penjajahan kolonial Belanda dan pengaruh ide-
ide pembaharuan yang berasal dari Timur Tengah. Sedangkan
faktor internalnya berkaitan dengan kondisi keberagaman
ajaran dan pengamalan agama Islam itu sendiri.
Melihat realitas dan pemaknaan terhadap doktrin agama
yang melahirkan pemikiran dan tindakan praktis dalam
rangka mengatasi permasalahan umat pada waktu itu, Kiai
Ahmad Dahlan menjadikan penafsiran yang tidak kaku
terhadap Islam, agar dapat diterima dalam realitas masyarakat
yang diliputi berbagai persoalan sosial. Hal ini dapat dilihat
163
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
ketika mendirikan PKU, sekolah dan panti asuhan sebagai
proyek kemanusiaan tanpa balas jasa yang bertujuan untuk
mengurangi beban masyarakat miskin. Semangat yang
dimiliki oleh Muhammadiyah sebagai respon terhadap realitas
sosial adalah Ikhlas dan Amaliyah. Oleh karena itu Muham-
madiyah memilih melakukan gerakan sosial moderen yang
lebih cenderung rasional dari pada larut dalam kepentingan
partai politik dan gerakan purifikasi an sich.
Gerakan Muhammadiyah telah melahirkan kebudayaan
yang berbeda, mempengaruhi kultur, paradigma dan etos
kebudayaan. Sebagaimana dalam kerangka etos merupakan
pandangan dasar yang berbeda dari suatu komunitas atau
masyarakat yang mencerminkan dirinya sendiri. Sedangkan
menurut Haedar Nashir bahwa Muhammadiyah dengan
gerakannya memiliki dua etos yaitu;
Etos Keilmuan (kemajuan). Merupakan gerakan
Muhammadiyah dalam mengatasi kemunduran dan kelesuan
umat dalam bidang ilmu dan teknologi yang bertujuan untuk
mengembangkan sumber daya manusia. Semangat keilmuan
ini dapat dilihat dari penerapan dan penggabungan dua
lembaga pendidikan yang saling bertentangan, antara pen-
didikan tradisionalis dan pendidikan moderen yang bersifat
sekuler. Penggabungan antara ilmu agama dan ilmu umum
menjadikan corak yang khas pada lembaga pendidikan
rintisan Muhammadiyah. Pendidikan yang dilakukan me-
rupakan kritik terhadap keadaan pendidikan pada waktu itu,
pendidikan yang berjalan tanpa sapa dan berdiri sendiri antara
agama dengan ilmu pengetahuan. Upaya yang dilakukan oleh
Kiai Ahmad Dahlan merupakan salah satu upaya kreatif guna
memberikan solusi kepada umat untuk menguasai ilmu alam
164
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dan humaniora agar dapat menerapkan ajaran Islam sebagai
rahmat dan diterima oleh semua manusia. Kerangka keilmuan
dalam Muhammadiyah juga dimiliki oleh Kiai Ahmad Dahlan
yang telah menganjurkan agar mencari ilmu-ilmu dunia
bukan ilmu tentang ukhrawi saja. Ia juga meletakkan etos
guru dan murid merupakan warga aktivis Muhammadiyah
yang selalu bersedia belajar kepada siapapun agar dapat mem-
peroleh ilmu, kebenaran dan kebaikan (murid) dan selalu
menyebarkan ilmu, kebenaran dan kebaikan itu saat ber-
komunikasi dengan orang lain siapa pun orang itu (guru).
(Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural).
Etos Pembaharu (tajdid). Muhammadiyah sebagai
gerakan pembaharu merupakan sikap setelah mengetahui dan
bagaimana cara merespon realitas. Tajdid yang dilakukan oleh
Muhammadiyah merupakan hasil dialektika antara teks,
konteks dan kontekstualisasi dari pemahaman keagamaan.
Pemahaman keagamaan yang telah dikonstruksi oleh
Muhammadiyah bersifat praktis dan menjadikan agama dapat
memberikan rasa atau kegunaan pada masyarakat yang pada
waktu itu mengalami ketertindasan. Semangat agama yang
dibawa oleh Muhammadiyah merupakan semangat keagama-
an yang bersifat praksis emansipatoris, liberatif, dan berpihak
terhadap yang termarginalkan baik dalam aksesnya ataupun
komunikasi.
1. Tajdid dalam Masalah Keagamaan
Tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah
semangat untuk melakukan rasionalisasi, demistifikasi,
dan demitologi umat yang terjadi pada waktu itu.
Misalkan yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan pada
165
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
waktu itu sangat kontroversi, dimana seorang guru agama
mendatangi murid-muridnya agar menampakkan sikap
terbuka terhadap kebenaran.
2. Tajdid dalam Masalah Sosial Kemasyarakatan
Yang telah banyak dirasakan oleh umat manusia.
Menurut Kiai Ahmad Dahlan, untuk menyelesaikan
persoalan umat tidak cukup dengan kesadaran individu
saja tetapi membangun dan menjadikan kesadaran
tersebut mencapai tahap kesadaran kolektif, seperti pada
pengelolaan dan pengorganisasian dana zakat, infak dan
shadaqah dikelolah secara moderen dan sepenuhnya
tidak digunakan sebagai barang konsumtif. Demikian
juga pada pengelolaan lembaga amal usaha yang me-
merlukan pola manajemen profesional untuk menunjang
kemandirian persyarikatan dan pemberdayaan umat.
Kesadaran kolektif yang dimiliki oleh Muham-
madiyah telah membangun solidaritas organis yakni
solidaritas yang terjadi melalui diferensiasi pemikiran
atau gebrakan sosial yang dipandang tidak wajar. Umat
yang terjalin dalam Muhammadiyah tidak tergantung
pada harisma ulama dan hal ini terjadi pada struktur
masyarakat moderen. Sedangkan pada waktu itu, konteks
yang terjadi merupakan kesadaran mekanis yang
menandakan kesadaran dari masyarakat tradisional.
(Bahrus Surur Iyunk, Teologi Amal Saleh).
Kedua etos yang telah dimiliki oleh Muhammadiyah
tidak dapat dipisahkan, karena sebagai gerakan yang
berkemajuan dan pembaharu Muhammadiyah bersikap
terbuka dan melakukan emansipatoris terhadap masya-
166
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
rakat melalui amal. Etos dalam Muhammadiyah telah
menjadi kebudayaan yang menciptakan tatanan masya-
rakat ilmu bersifat terbuka, toleran dan inklusif. Pilihan
yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam gerakannya
sebagai organisasi sosial keagamaan bukan organisasi
politik merupakan pilihan yang "genius". Terlebih lagi,
pilihan tersebut tidak didasarkan kajian cermat terhadap
literatur Islam klasik dan juga tidak memperoleh inspirasi
dari konsep-konsep "teologis" atau kalam klasik yang
telah baku atau mapan. Tetapi Muhammadiyah merupa-
kan suatu organisasi yang memiliki program aksi guna
menciptakan apa yang telah diidealkan. (M. Amin
Abdullah, Dinamika Islam Kultural).
Etos ilmu dan tajdid Muhammadiyah merupakan
tugas mulia dan tanggungjawab besar bagi ikatan sebagai
organisasi kader, penerus dan pelanjut cita-cita Muham-
madiyah. Ikatan memiliki tujuan yang jelas, harus berani
menentukan dan konsisten terhadap pilihan guna
mewujudkan masyarakat yang diidealkan. Pilihan gerak-
an ikatan memiliki ciri khas dan sikap sebagai intelektual
profetik dalam paradigma transformasi profetik yang
merupakan langkah tak asal pilih, tetapi merupakan
perenungan panjang untuk mewujudkan khairul ummah
yakni sebuah masyarakat ilmu, adil, berpikir rasional dan
ilmiah yang perwujudannya menjadikan ikatan sebagai
komunitas ilmu.
3. Sejarah Ikatan
Kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di kota
Surakarta pada tanggal 14 Maret 1964 atas prakarsa
167
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Djasman al Kindi, Sudibyo Markus, dan Rausyad Soleh,
karena sikap aktivis muda Muhammadiyah yang tidak
puas dengan keadaan dan polarisasi ideologi yang
memasukkan paham komunisme dalam berbagai dimensi
kehidupan. Secara garis besar latar belakang berdirinya
ikatan dipengaruhi oleh dua faktor, internal dan ekster-
nal. Faktor internal, berhubungan dengan Muhammad-
iyah sebagai organisasi induk menginginkan adanya pem-
binaan atau perkaderan langsung setingkat mahasiswa
untuk mewadahi kader-kader Muhammadiyah yang
tersebar diberbagai organ pergerakan seperti HMI. Tidak
terwadahinya kader-kader Muhammadiyah akan me-
mudahkan faham komunisme mempengaruhi gerakan
kemahasiswaan sehingga para kader Muhammadiyah
aktif dalam organisasi yang bercorak sosialisme.
Sedangkan faktor eksternal (ideologi) yang melatar-
belakangi berdirinya ikatan berkaitan dengan kondisi
sosio-historis atau realitas polarisasi ideologi yang ber-
agam, bahkan adannya upaya pemerintah dan pihak-
pihak tertentu membentuk Nasakom sebagai wadah
pengembangan ideologi. Meminjam kalimat Kuntowijoyo
bahwa kesadaran yang menjadi kerangka berpikir ikatan
adalah kesadaran ideologi bukan kesadaran ilmu sehingga
pemahaman Islam pada waktu itu, tidak untuk melaku-
kan objektifikasi terhadap Islam tetapi Islam sebagai
ideologi.
4. Pengungkapan Diri Ikatan
Pengungkapan diri berarti mengungkap potensi yang
dimiliki untuk menjadikan gerak ikatan mampu melihat
168
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
realitas (interpretasi simbol ikatan). Simbol representasi
dari kepentigan serta identitas dari suatu yang disimbol-
kan sebagai bentuk diri dan respon terhadap yang ia
hadapi. Ikatan memiliki tiga simbol yang populer,
dimana simbol tersebut perlu difahami untuk memberi
makna dalam ikatan. Simbol yang dimaksud adalah
tujuan ikatan, semboyan ikatan, dan trilogi ikatan.1
Penggungkapan diri ikatan, adalah pengungkapan
kesadaran ikatan yang berdiri dan bertolak belakang
dengan sejarah ikatan. Tujuan ikatan didasarkan pada
kesadaran ilmu bukan kesadaran ideologis, untuk mem-
bentuk akademisi Islam yang berakhlak mulia. Akademisi
Islam merupakan suatu kesadaran jangka panjang, bukan
tujuan yang bersifat pragmatis. Kata Islam bukan dalam
dataran ideologi tetapi merupakan upaya objektifikasi
agar nilai-nilai keislaman dapat diterima semua umat
manusia tanpa mengenal asal ia dilahirkan. Islam dalam
kata akademisi merupakan pengkajian agama sebagai
ilmu untuk menjadikan al Qur'an sebagai paradigma
(pengteorian al Qur'an).
5. Realitas Ikatan
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan
organisasi kader dan pergerakan. Ikatan sebagai organ-
isasi kader karena ia dilahirkan dan tidak dapat dilepas-
kan dari Muhammadiyah. Sedangkan ikatan sebagai
organisasi pergerakan dapat dilihat dari latar belakang
dan sejarah gerakan mahasiswa yang memiliki kepekaan
1. Untuk lebih jelasnya lihat Interpretasi terhadap Symbol Ikatan pada bagian pertama
169
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dan responsibilitas terhadap fenomena keilmuan serta
perpolitikan.
Ikatan dalam melakukan pengembangan serta pem-
berdayaan potensi kadernya tidak memiliki kerangka
berpikir yang jelas, dapat membedakan ikatan dengan
pergerakan yang lain atau ikatan dengan ortom-ortom
Muhammadiyah. Perbedaan tersebut hanyalah dari segi
lahiriah dan orang yang mendudukinya, sedangkan
dalam karakteristik, kerangka berpikir dan etis ikatan
masih terbawa arus besar pergerakan yang bersifat
konsumtif, dan mengikuti arus dominan tanpa melaku-
kan kritik. Kebijakan yang diambil oleh pimpinan ikatan
hanya dapat dirasakan oleh golongan tertentu dan
kelompok yang dekat dengan kekuasaan elit ikatan.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang berlatar
belakang aktivis muda Muhammadiyah memiliki kecen-
derungan yang sama dengan arus muda Muhammadiyah
yang terkena kebudayaan instant, berpikir pragmatis,
serta arus globalisasi menjadikan apa yang dipilih oleh
ikatan pun akan bersifat sama. Tetapi yang paling
menyedihkan bagi ikatan adalah "menggadaikan" nama
ikatan guna mendukung kelompok tertentu dan mem-
berikan keuntungan sementara, sehingga aspirasi kader
pada tingkatan ril (bawah) pun terabaikan. Kerangka
pikir kaum muda bersifat pragmatis, tergesa-gesa, dan
melakukan perubahan secara radikal, melaksanakan
kebijakan dan hanyut dalam sistem.
Begitu pula yang terjadi dalam ikatan, keinginan
besar untuk melakukan perubahan dengan cepat tetapi
analisis dan kerangka berpikir (paradigma) belum ter-
170
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
gagas. Paradigma pergerakan yang belum tergagas ini
menjadikan kader ikatan terseret kedalam sistem, meng-
ikuti arus tanpa mencirikan kondisi ikatan sebagai ke-
kuatan yang mampu mempengaruhi sistem dan kebijakan
sehingga dengan pengembangan paradigma gerakan
memunculkan etis ikatan yang memiliki nilai tambah
dibanding gerakan lain.
Kondisi realitas sekarang2, merupakan fenomena
globalisasi yang tak dapat dinafikan sehingga semua
komponen bangsa terkena dampaknya. Ikatan sebagai
organisasi pergerakan sudah mengalami disorientasi
dalam mewujudkan kondisi yang diidealkan. Permasalah-
an yang paling besar adalah menghadapi kebudayaan
kapitalisme yang telah masuk kedalam relung tulang
sumsum membuat manusia berpikir instan dan prag-
matis. Ikatan sebagai organisasi pergerakan perlu
merumuskan atau menata ulang paradigma gerakannya
agar dapat menjawab persoalan yang dihadapi sebagai
wujud eksistensi ikatan. Penataan paradigma gerakan
ikatan merupakan refleksi yang panjang serta memper-
hatikan kondisi dan kemampuan kader untuk menghasil-
kan gerakan yang sama atau terjadinya penyeragaman
gerakan ikatan.
6. Kontekstualisasi Ikatan
Merupakan upaya ikatan dalam menentukan pilihan
gerakannya agar dapat memberikan konstribusi bagi
masyarakat yang membutuhkan. Sebelum melakukan
2. Untuk lebih jelasnya lihat Realitas Sekarang; Globalsiasi dan Multikulturalism
171
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kontekstualisasi ikatan, sebaiknya memahami keberadaan
potensi dan tujuan ikatan yang termanifestasikan pada;
paradigma ikatan, sejarah ikatan, sejarah Muhammad-
iyah, dan penggalian diri ikatan. Kontekstualisasi kerja
yang dilakukan oleh ikatan guna mencapai cita-cita ideal
(khairul ummah) dengan ciri masyarakat, meliputi;
masyarakat yang berkeadilan, berkebudayaan ilmu, dan
garden city yakni perpaduan budaya industri dan
kebudayaan petani, yang keduanya saling mengisi dan
menghasilkan simbiosis yang mutual, menghasilkan
corak berpikir masyarakat yang ilmiah, membebaskan
para petani dari ketertungkungan mitos dan musim.
D. Menggagas Kebudayaan Ilmu pada Ikatan
Kebudayaan dalam pengertian seluruh sistem masyarakat
dimana yang utama adalah menjadikan individu dapat meng-
ambil pelajaran dari masyarakat, maka kader sebagai bagian
masyarakat dapat mengambil nilai-nilai dari ikatan. Ke-
budayaan sebagai sistem gagasan, ide, aktivitas dan artifak
dalam ikatan menuju pada proses pengilmuan Islam yang
mencirikan kebudayaan ilmu untuk mewujudkan masyarakat
yang berkemajuan.
1. Kebudayaan Ilmu dalam Pemikiran
Jika dintinjau dari segi gagasan atau pemikiran maka
kebudayaan ilmu yang dilakukan oleh ikatan merupakan
pengilmuan Islam melalui obyektifikasi yang menjadikan
al Qur'an sebagai paradigma dalam melihat dan meng-
analisis permasalahan sosial. Ikatan melakukan intergrasi
dan interkoneksitas dalam rangka merespon dan meng-
172
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
analisis permasalahan ilmu barat yang cenderung sekuler.
Semangat pengilmuan Islam dalam ikatan digulirkan dari
tingkatan pusat sebagai konseptornya dan pimpinan
daerah/cabang sebagai pengawas kegiatan. Bentuk
kesadaran dalam persfektif ikatan sama disemua ting-
katan/level kepemimpinan, menjadikan gerakan organ-
isasi sesuai dengan keahlian dan skill masing-masing
sehingga membentuk keberagaman/diaspora gerakan.
2. Kebudayaan sebagai Sistem Aktivitas
Aktivitas yang dilakukan oleh ikatan dalam men-
capai kebudayaan ilmu, merupakan sikap yang rasional,
tidak berpikiran mistik dan mitos. Ikatan dalam aktivitas
transformasi profetik dapat memberikan kesadaran dan
kerangka berpikir agar masyarakat menjadi ilmiah dan
rasional, hal tersebut dilakukan secara kolektif maupun
individu kader sesuai dengan keahliannya. Aktivitas
ikatan dalam melakukan transformasi profetik secara
kolektif dilakukan secara serempak dan berkelanjutan
dari pimpinan pusat sampai tingkatan komiasariat. Pelak-
sanaan tersebut sesuai dengan tugas dan kewajibannya
masing-masing. Aktivitas kolektif dalam tugasnya dapat
terbagi menjadi dua macam; langsung melakukan trans-
formasi sosial, membuat jaringan yang terkait dengan
lembaga atau organ yang sesuai tujuan dan cita-cita
ikatan. Bentuk pendampingan sudah selayaknya dilaku-
kan oleh ikatan dalam mengatasi problem yang terjadi
dalam masyarakat. Pengentasan masalah secara tidak
langsung, dengan melakukan transformasi kesadaran
sehingga masyarakat dapat berpikir dengan baik, ilmiah
173
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dan rasional. Pelaksanaan aktivitas yang kedua dilakukan
oleh individu kader yang memiliki etos intelektual
profetik dalam melakukan transformasi sesuai dengan
kemampuannya. Kader ikatan merupakan manusia yang
berkesadaran intektual profetik sehingga dalam gerak
dan langkah untuk ibadah dalam rangka mewujudkan
apa yang telah dicita-citakan. Aktivitas kader ini sesuai
degan keahlian masing-masng tanpa ada paksaan untuk
memilih hal yang kurang sesuai dengan keinginan serta
kemampuannya. Ikatan hanya memberikan jaringan dan
tempat agar kader dapat melakukan aktivitas dan
pengembangan dirinya.
3. Kebudayaan dalam Artifak
Artifak atau peninggalan ikatan dalam kebudayaan
yang akan menciptakan masyarakat ilmu hanya dapat
ditelusuri dalam bentuk kegiatan karena masih dalam
konsep penggagasan. Upaya ikatan melakukan perubahan
dengan cara mobilitas vertikal, yakni menjadikan kader
ikatan yang berkarakter untuk duduk dalam tingkatan
pembuat dan pengambil kebijakan untuk mendukung
progresifitas tujuan. Upaya selanjutnya dengan melaku-
kan deferensiasi sosial, mengembangkan aktivitas sesuai
dengan keterampilan yang dimiliki dan mengupayakan
masyarakat untuk sadar kemudian berpikir rasional dan
ilmiah.
Kebudayaan ilmu dalam ikatan perlu ditransformasi-
kan dalam bentuk kesadaran serta merintis master plan
garden city sebagai program praksis kemanusiaan yang
mempadukan budaya industri dengan pertanian sebagai
174
Etos Profetis, Mewujudkan Kebudayaan Ilmu dalam Ikatan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
perwujudan khairul ummah. Gerakan ini merealisasikan
berbagai aksi dan pembaharuan amal usaha berbasis
keagamaan yang memiliki kesadaran intektual profetis.
Hal tersebut merupakan tema utama sosialisme dan
tradisi lokal ditempatkan sebagai praksis nahi mungkar
yang dimaknai sebagai liberasi. Gagasan tentang progres-
ifitas kapitalisme diberi sentuhan akhlak mahmudah
sebagai praksis amar makruf dengan persfektif penun-
dukan kapitalisme yang kemudian diberi makna sebagai
humanisasi. Kedua tindakan tersebut dilakukan serentak
dalam trasendensi sebagai praksis kesadaran Ilahiah,
dengan harapaan berhasil melampaui kemoderenan yang
merupkan relasi profetik yang kritis pada tradisi sekaligus
peduli pada kepentingan kemanusiaan. (Abdul Munir
Mulkhan, Kesalehan Multikultural)
175
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B a g i a n
Teori-teori SosialIlmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
A. Prawacana Ilmu Sosial
Ilmu sosial dinamakan demikian, karena ilmu tersebut
mengambil masyarakat atau kehidupan bersama sebagai
obyek yang dipelajari. Ilmu-ilmu sosial belum memiliki
kaidah dan dalil yang tetap, oleh karena itu ilmu sosial belum
lama berkembang, sedangkan sifat obyeknya yaitu masyarakat
terus berubah, hingga hubungan antara unsur-unsur dalam
kehidupan belum dapat diselidiki dan dianalisis secara tuntas.
Lain halnya dengan ilmu pengetahuan alam yang telah lama
berkembang, sehingga telah memiliki kaidah dan dalil yang
teratur dan diterima oleh masyarakat, dikarenakan obyeknya
bukan manusia. Ilmu sosial yang usianya relatif muda, masih
berada pada tahap analisis dinamika artinya analisis pada
dataran masyarakat manusia yang bergerak. (Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar).
Ditengah kehidupan masyarakat, banyak sumber penge-
tahuan yang bersifat taken for granted, sumber tanpa perlu
diolah lagi tetapi diyakini akan membantu memahami realitas
kehidupan ini. Masyarakat dapat langsung begitu saja
memakai pengetahuan taken for granted tersebut sebagai
sebuah pegangan yang diyakini benar atau berguna untuk
memahami dunia dimana ia hidup. Jenis pengetahuan tanpa
9
176
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
diolah lagi tentu saja banyak dan tersebar, mulai dari sistem
keyakinan, tradisi agama, pandangan hidup ideologi,
paradigma dan juga teori, termasuk didalamnya teori sosial.
Dalam masyarakat intelektual, terutama dalam tradisi positiv-
isme, lazim untuk mengambil sumber pengetahuan taken for
granted tersebut dari ranah paradigma dan teori. Kendati
demikian, teori sebenarnya bukan hanya untuk kalangan
intelektual atau kalangan expert, mesti tidak sedikit yang
berpandangan bahwa hanya kalangan intelektual atau akade-
misi saja yang membaca realitas sosial tidak dengan telanjang,
melainkan dengan kacamata teori tertentu. Telah menjadi
tradisi dikalangan intelektual dalam membaca realitas sosial
menggunakan kacamata atau teori tertentu. (Zainuddin
Maliki, Narasi Agung)
Dalam beberapa hal, teori ilmiah berbeda dengan asumsi-
asumsi yang telah ada dalam kehidupan sehari-hari dan secara
tidak sadar telah dimiliki orang. Pengetahuan yang dimiliki
oleh seseorang dalam kehidupannya dapat menjadi suatu teori
yang merupakan bagaian dari kegiatan ilmiah. Dalam
memasuki era pelahiran ini, merupakan kajian dari teori yang
eksplisit, sehingga menjadi obyektif, kritis, dan lebih abstrak
dari pada yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam proses pembentukan teori tidak pernah muncul dari
awal, tidak mungkin bagi ahli teori sosial untuk menghilang-
kan pengaruh-pengaruh pengalaman sosial pribadinya, atau
pengaruh dari pengalaman, dan cara pandang dunia sosial.
Proses pembentukan teori berlandaskan pada images funda-
mental tertentu mengenai kenyataan sosial. Gambaran
tersebut dapat melingkupi asumsi filosofis, dasar mengenai
sifat manusia dan masyarakat, atau sekurang-kurangnya
177
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
pandangan yang mengatakan bahwa keteraturan tertentu
akan dapat diramalkan dalam dunia sosial. Teori ilmiah lebih
menggunakan metodologi dan bersifat empiris. (Doyle Paul
Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Moderen)
Pengklasifikasian dalam ilmu sosial terdiri dari tiga
persfektif besar yang berkembang selama ini, yakni persfektif
struktural fungsional, struktural konflik, dan konstruksion-
isme. Ketiga aliran tersebut masing-masing mengkritik
dengan mematahkan proposisi, konsep maupun teori yang
ditawarkan satu sama lain. Namun kritik tersebut tidak dapat
menggoyahkan hegemoni masing-masing, hingga saat ini
masih memiliki pengikut yang setia. Ketiga teori sosial ter-
sebut, merupakan upaya dalam memahami realitas kehidupan
dengan harapan orang dapat menghimpun dan memaknai
informasi secara sistematik bukan saja untuk menyumbang
pengembangan teori, tetapi lebih penting lagi untuk me-
mecahkan persoalan untuk tujuan keberhasilan dalam meng-
arungi pergumulan kehidupan. (Zainuddin Maliki, Narasi
Agung)
Micheal Root dalam Philosophy of Social Science, mem-
bedakan jenis ilmu sosial, yakni ilmu sosial yang bercorak
liberal dan ilmu sosial bercorak perfeksionis. Ilmu sosial
liberal dikarenakan ia tidak berusaha mempromosikan suatu
cita-cita sosial, dan nilai kebajikan tertentu. Akar dari gagasan
liberal ialah liberalisme dalam politik. Peneliti dalam ilmu ini
bersifat neutralisme, tetapi tidak pernah terjadi dalam ilmu
sosial. Lain halnya dengan ilmu sosial yang bercorak
perfeksionis berusaha mencari wahana dari cita-cita mengenai
kebajikan, dalam hal ini bersifat partisipan. Ilmu sosial ini
bersifat tidak bebas nilai, menghargai obyek-obyek yang
178
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
diteliti dan bahkan menjadikannya sebagai subyek. Sedangkan
data yang baik dalam pandangan cita-cita liberal merupakan
yang bebas dari muatan nilai, moral dan kebajikan obyek
penelitiannya, tetapi hal ini tidak akan pernah terjadi walau-
pun dalam penelitiannya bekerja keras. Contoh dari ilmu
sosial perfeksionis, adalah marxisme dan feminisme.
Marxisme yang mencita-citakan masyarakat tanpa kelas,
sedangkan feminisme masyarakat tanpa eksploitasi seksual.
Keduanya memiliki persamaan anti eksploitasi dan dominasi.
Selanjutnya Root mengusulkan agar dalam cita-cita ilmu
sosial liberal diganti dengan ilmu sosial perfeksionis yang
komunitarian, yakni ilmu sosial yang memperhatikan nilai-
nilai pada sebuah obyek penelitian, dan komunitas. Ilmu
sosial komunitarian adalah ilmu sosial jenis partisipatory
reseach, bukan ilmu sosial empiris analitis dan bukan juga
ilmu sosial terapan. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid)
B. Paradigma Ilmu Sosial
Paradigma dapat didefinisikan dalam berbagai teori sesuai
dengan sudut pandang setiap orang. Ada yang menyatakan
paradigma merupakan citra yang fundamental dari pokok
permasalahan suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang
seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan yang seharus-
nya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya
diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Para-
digma diibaratkan sebuah jendela, tempat mengamati dunia
luar, dan bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya
(world view). (Agus Salim, Teori dan Paradigma Peneliti-an
Sosial). George Ritzer mendefisikan tentang paradigma
gambaran fundamental mengenai subyek ilmu pengetahuan.
179
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Ia memberikan batasan apa yang harus dikaji, pertanyaan
yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab, dan aturan-
aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang
diperoleh. Paradigma merupakan unit consensus yang amat
luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai untuk melakukan
pemilihan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat)
yang satu dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Dengan
paradigma menjadikan suatu pengetahuan akan mendapatkan
informasi teori yang dapat mengkoordinasikan pengetahuan
dan memberikannya makna. (Zainuddin Maliki, Narasi
Agung)
Sebagai suatu konsep paradigma yang pertama kali
dikenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure
of Scientific Revolution, kemudian dipopulerkan oleh Robert
Friedrichs melalui bukuya Socilology of Sociology 1970.
Tujuan utama dalam buku Kuhn; ia menentang asumsi yang
berlaku secara umum dikalangan ilmuan mengenai perkem-
bangan ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuan pada umumnya
berdiri bahwa perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan
terjadi secara komulatif. Kuhn menilai pandangan demikian
merupakan mitos yang harus dihilangkan. Sedangkan tesisnya
mengatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukan
terjadi secara komulatif tetapi secara revolusi. Perubahan
yang utama dan penting dalam ilmu pengetahuan terjadi
akibat revolusi, bukan karena perkembangan secara komu-
latif. (George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berpara-
digma Ganda).
Paradigama sosial mengacu pada orientasi perseptual dan
kognitif yang dipakai oleh masyarakat komunikatif untuk
memahami dan menjelaskan aspek tertentu dalam kehidupan
180
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
sosial. Paradigma sosial terbatas pada pandangan dua hal;
pertama, paradigma sosial yang hanya dimiliki oleh kalangan
terbatas dan tidak mesti diterima oleh anggota masyarakat.
Masyarakat yang menerima paradigma ini adalah masyarakat
ilmiah, terciptanya komunikasi guna menciptakan paradigma
sosial. Kedua, paradigma sosial yang berlaku dalam aspek
tertentu dari kehidupan dan bukan aspek yang menyeluruh.
Paradigma sosial lebih terbatas dalam ruang lingkup
penerimaan dari pada pandangan dunia yang berlaku sebagai
elemen dasar dari paradigma sosial dan merupakan pandangan
dunia baik dalam komponen dasar, keyakinan atau sistem
keyakinan dan nilai-nilai yang terkait. Sebagaimana dalam
pandangan Stephen Cotgrove, bahwa paradigma memberikan
kerangka makna, sehingga pengalaman memberikan makna
dan dapat dipahami. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
C. Ilmu Sosial Positivistik
Positivistik merupakan paradigma yang paling awal
muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan paham
aliran ini pada ontology realisme yang menyatakan bahwa
realitas ada (exist) dalam kenyataan berjalan sesuai dengan
hukum alam (natural lows). Upaya penelitian untuk
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana
sesungguhnya realitas itu berjalan. Positivis muncul pada abad
19 yang dipelopori oleh Auguste Comte. Dalam pencapai
kebenaran maka harus menanyakan langsung pada obyek
yang diteliti, dan obyek dapat memberikan jawaban langsung
pada peneliti yang bersangkutan. Metodologi yang digunakan
eksperimen empiris atau metodelogi yang lain agar temuan
yang diperoleh benar-benar obyektif dan menggambarkan
181
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
yang sebenar-benarnya. (Agus Salim, Teori dan Paradigma
Penelitian Sosial).
Kaum positivistik mempercayai masyarakat merupakan
bagian dari alam dan bahwa metode penelitian empiris dapat
dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Comte
mempercayai penemuan dalam hukum-hukum alam akan
membukakan batas-batas yang pasti, melekat dalam kenyata-
an sosial, dan ia menilai masyarakat bagaikan suatu kesatuan
organik yang kenyataanya lebih dari jumlah bagian yang
saling tergantung, tetapi tidak mengerti kenyataan ini. Oleh
karena itu, metode penelitian empiris harus digunakan dalam
kenyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian
seperti halnya gejala fisik. Perkembangan ilmu tentang
masyarakat bersifat ilmiah sebagai puncak dari proses
kemajuan intelektual yang logis sebagaimana ilmu-ilmu telah
melewatinya. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan
Moderen)
Ilmu sosial positivistik digali dari beberapa pemikiran
dari tokoh-tokohnya yakni Saint Simon (Prancis), Auguste
Comte (Prancis), Herbert Spencer (Inggris), Emile Durkheim
(Prancis), Vilfredo Pareto (Italia). Saint Simon menggunakan
metodologi ilmu alam dalam membaca realitas sosial masya-
rakat, ia mengatakan bahwa dalam mempelajari masya-rakat
harus menyeluruh dikarenakan gejala sosial saling ber-
hubungan satu dengan yang lain dan sejarah perkembangan
masyarakat sebenarnya menunjukan suatu kesamaan. Ilmu
pengetahuan bersifat positif yang dicapai melalui metode
pengamatan, eksperimentasi dan generalisasi sebagaimana
digunakan dalam ilmu alam. Semua sejarah perkembagan
sosial selalui disertai kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang
182
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
menggambarkan perkembangan masyarakat disertai dengan
perkembangan cara berpikir manusia. Cara berpikir manusia
mulanya bersifat teologis, spekulatif tetapi kemudian berkem-
bang mendekati kenyataan bersifat konkret, oleh karena itu
bersikap positif dan ilmiah.
Auguste Comte membagi sosiologi menjadi dua macam;
sosial dinamik dan sosial statis. Sosiologik merupakan sosial
dinamik yang digambarkan dengan teori yang menggambar-
kan kemajuan dan perkembangan masyarakat manusia. Comte
menggambarkan bahwa sejarah umat manusia pada dasarnya
ditentukan oleh pertumbuhan dari pemikiran manusia dan
ilmu sosial haruslah merupakan hukum tentang perkembang-
an intelegensi manusia. Perkembangan pemikiran manusia
menurut Comte terbagi menjadi tiga macam kerangka teologi,
dalam tingkat pemikirannya menganggap bahwa setiap gejala
terjadi dan bergerak berada dibawa pengaruh supra natural,
metafisik dengan kerangka berpikir abstrak yang menganggap
bahwa alam semesta dan segala isi diatur adanya gerak
perubahan oleh hukum-hukum alam, dan ilmiah dengan
kerangka berpikir positivistik yang beranggapan bahwa gejala
alam dan isinya dapat dipahami dan diterangkan oleh
kenyataan-kenyataan obyektif/positif. (Hotman M. Siahaan,
Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Herbert Spencer. Menurut spencer bahwa obyek dari
ilmu sosial hubungan timbal balik dari unsur-unsur masya-
rakat seperti pengaruh norma-norma atas kehidupan
keluarga, hubungan antara lembaga politik dan lembaga
keagamaan. Unsur dalam masyarakat memiliki hubungan
yang tetap dan harmonis menjadi suatu integrasi. (Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar). Spencer memiliki
183
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kepercayaan bahwa manusia bersifat merdeka, dan setiap
individu dengan bebas menggunakan adatnya, serta kebebas-
an itu harus tetap dijaga agar tidak dapat mengganggu
kebebasan yang lain. Ia juga menjelsakan tentang pentingnya
lembaga sosial dalam membentuk karakter individu, dan
hubungan manusia dengan masyarakat merupakan proses dua
jalur. Dimana individu mempengaruhi masyarakat dan masya-
rakat mempengaruhi individu. Spencer dalam memandang
masyarakat mengunakan teori evolusi dari evolusi universal
berubah menjadi evolusi homogen tidak menentu menjadi
evolusi heterogen dan menentu. Masyarakat menurut per-
kembangannya dimuali dari hal yang sederhana, menuju
kompleksitas hingga menjadi terspesialisasi. Ia dalam meman-
dang masyarakat menggunakan analogi organisme sebagai-
mana dalam ilmu biologi. Secara sederhana menurut Spencer
bahwa masyarakat dibentuk oleh individu. (Hotman M.
Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Terdapat perbedaan pemikiran antara Comte dan
Spencer, tetapi kemudian ia saling melengkapi dalam tradisi
ilmu sosial yang bercorak positivistik, Comte dalam meman-
dang masyarakat dengan cara menjelaskan perkembangan
persepsi manusia, menekankan perlunya aktualisasi ide, dan
Spencer menekankankan perlunya aktualisasi benda. Comte
berusaha menginterpretasikan genetik dari fenomena yang
membentuk alam dan Spencer menafsirkan genetik dari
feomena yang membentuk alam. Comte lebih bersifat subyek-
tif sedangkan Spencer bersifat obyektif. Spencer tidak hanya
tertarik pada perkembangan ide, tetapi mengembangkan ide
pada perubahan korelatif dalam organisasi sosial, tertib sosial
struktur, maupun progres. Teori yang dimiliki oleh Spencer
184
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
berupa analisa obyektif seperti untuk pertumbuhan, evolusi
linier, multilinier, tipe-tipe sosial, dan good society.
Kemudian pemikirannya diterjemahkan menjadi diferensisasi
sebagai interelasi dan integrasi berbagai aspek penting dalam
sistem masyarakat. Ilmuwan sosial yang diajurkan oleh
Spencer berusaha untuk keluar dari bias dan sentimen
tertentu. Ia ingin menggambarkan bahwa betapa upaya
mempertahankan ide dan kepentingan material cenderung
mewarnai dan mendistorsikan persepsi seseorang dalam
memahami realitas sosial. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Emile Durkheim. Titik tekan kajiannya berlawanan
dengan kajian dari Spencer, bahwa individu dibentuk oleh
masyarakat. Asumsi yang paling fundamental dalam pan-
dangan Durkheim adalah bahwa gejala sosial yang ril dan
mempengaruhi kesadaran individu serta prilakunya, berbeda
dari karakteristik psikologi, biologi atau karakteristik individu
yang lain. Gejala sosial atau fakta sosial yang ril dapat
dipelajari dengan metode-metode empirik, memungkinkan
ilmu yang membahas tentang masyarakat dapat dikembang-
kan. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan
Moderen). Jiwa suatu kelompok sangat mempengaruhi
individu, ia mengatakan bahwa kesadaran kolektif berbeda
dengan kesadaran individu. Kata Durkheim aturan yang
berada diluar kontrak memungkinkan diadakannya kontrak-
kontrak sosial yang mengikat kontrak dan menentukan sah
tidaknya suatu kontrak. Aturan yang diluar kontrak inilah
yang dikatakan sebagai kesadaran kolektif. Durkheim mem-
berikan sifat yang ada pada kesadaran kolektif yakni exterior
dan constraint, exterior berada diluar individu yang masuk
kedalam individu dalam mewujudkan aturan moral, agama
185
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dan yang lain. Sedangkan untuk constraint merupakan
kesadaran yang bersifat memaksa. Kesadaran kolektif merupa-
kan konsensus masyarakat yang mengatur hubungan sosial
diantara masyarakat yang bersangkutan. (Hotman M. Siahaan,
Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Kajian dalam ilmu sosial menurut Durkheim adalah
melakukan pembacaan terhadap realitas sosial dengan cara
makro dengan menggunakan pendekatan fakta sosial. Fakta
sosial suatu kenyataan yang memiliki karakteristik khusus
yakni mengandung tata cara bertindak, berpikir dan merasa-
kan sesuatu yang berada diluar individu, ditanamkan dengan
kekuatan koersif. Fakta sosial merupakan cara bertindak, yang
memiliki ciri-ciri gejala empirik, yang terukur secara ekster-
nal, menyebar dan menekan. Kekuatan koersif merupakan
kekuatan untuk menekan individu. Fakta sosial dapat dikaji
melalui data diluar pikiran manusia, studi yang terukur dan
empirik merupakan koreksi terhadap Comte dan Spencer.
Fakta sosial merupakan kumpulan fakta individu, tetapi
kemudian diungkapkan dalam suatu angka sosial. Angka
merupakan representasi individu yang berkumpul sehingga
menjadi plural. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Vilfredo Pareto. Menurut Pareto dalam ilmu sosial bahwa
ia mengamati fakta-fakta atau kenyataan secara obyektif
melalui penalaran logika. Observasi atau eksperimentasi ter-
hadap fakta yang tidak membutuhkan pra anggapan yang
diwarnai suatu prasangka. Dalam logico experimental ada dua
elemen dasar yakni yang dinamakan logical reasoning dan
observation of the fact. Teori sosial yang ada selama ini
bersifat dogmatis, metafisis, non logis, absolut dan bersifat
moral saja. Tindakan bagi Pareto didasarkan pada sesuatu
186
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
yang logis. Masyarakat baginya merupakan fenomena keter-
gantungan, karena faktor yang telah dibentuk oleh masya-
rakat saling bergantung dan saling mempengaruhi. Ilmu sosial
baginya merupakan hal yang mempelajari uniformitas dalam
masyarakat. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah
dan Teori Sosiologi). Pareto mempercayai bahwa konsep
equilibrium sangat berguna dalam memahami kehidupan
sosial yang kompleks. Ia mencoba menjelaskan pertautan
variabel yang masing-masing diyakini menyumbangkan
keseimbangan dalam masyarakat. (Zainuddin Maliki, Narasi
Agung).
Dalam ilmu sosial positivistik bersifat bebas nilai,
obyektif dan dalam perubahan yang terjadi dalam masyarkat
memandangnya pada evolusi sosial. Perubahan yang terjadi
dengan evolusi tersebut yang menekankan pada equilibrium
ini, sehingga dalam ilmu sosial positivistik lebih bersifat status
quo dan tidak peka perubahan. Pandangan yang digunakan
dalam ilmu ini menggunakan pendekatan makro melihat
realitas sosial dengan menggunakan sistem dan bagaimana
individu terbentuk oleh sistem sehingga bersifat deter-
ministik. Asumsi dasar dalam ilmu sosial positivistik meman-
dang masyarakat bagaikan sebuah sistem organisme dimana
satu dengan yang lain saling berkaitan dan terdiri dari
berbagai macam struktur dan menjalankan fungsinya masing-
masing. Jika diturunkan dalam metodologi penelitian maka
tujuan dari penelitian untuk menjelaskan dan memaparkan
tentang gejala sosial, penelitian harus obyektif, terukur, bebas
nilai, dan peneliti bersifat netral. Penelitian ini dapat diguna-
kan untuk generalisasi terhadap persoalan yang lain. Metode
187
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
penelitian merupakan penelitian kuantitatif, dengan
menggunakan pencarian data melalui angket dan kuosioner.
D. Ilmu Sosial Kontruktivisme
Paradigma konstruktivis dalam ilmu sosial sebagai kritik
terhadap ilmu sosial positivistik. Menurut paradigma ini,
bahwa realitas sosial secara ontologis memiliki bentuk
bermacam-macam yang merupakan konstruksi mental, ber-
dasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal, spesifik dan ter-
gantung pada orang yang melakukan. Realitas sosial yang
biasa dilakukan oleh kaum positivistik setelah diamati tidak
dapat digeneralisir pada semua orang. Epistemologi antara
pengamatan dan obyek dalam aliran ini bersifat satu kesatuan,
subyektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi antara
keduanya. Aliran ini menggunakan metodologi hermeneutis
dan dialektis dalam proses mencapai kebenaran. Metode yang
pertama kali dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau
konstruksi pendapat orang-perorang, kemudian membanding-
kan dan menyilangkan pendapat dari orang sehingga tercapai
suatu konsensus tetang kebenaran yang telah disepakati
bersama. (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial).
Konstruktivis dapat ditelusuri dari pemikiran Weber
yang menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara
fundamental berbeda dengan prilaku alam. Manusia bertindak
sebagai agen dalam mengkonstuksi realitas sosial. Cara
konstruksi yang dilakukan dengan cara memahami atau
memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Oleh
Karena itu tugas ilmu sosial dalam hal ini mengamati cara
agen melakukan penafsiran, dan memberi makna terhadap
realitas. Makna berupa partisipan agen dalam melakukan
188
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
konstruk melalui proses partisipasi dalam kehidupan dimana
ia hidup. Dalam tradisi konstruktivis, mereka ingin keluar
motif dengan alasan tindakan individual guna memasuki
ranah struktural. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Max Weber. Weber mengajukan bahwa dalam ilmu
sosial yang dipakai menggunakan pendekatan verstehende. Ia
melihat ilmu sosial berusaha untuk memahami tindakan-
tindakan sosial dan menguraikannya dengan menerangkan
sebab-sebab tindakan tersebut. Yang menjadi kajian pokok
dalam ilmu ini menurutnya bukanlah bentuk subtansial
kehidupan masyarakat maupun nilai obyektif dari tindakan,
melainkan semata-mata arti yang nyata dari tindakan per-
orangan yang timbul dari alasan-alasan subyektif. Verste-
hende merupakan motode pendekatan yang berusaha untuk
mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa
sosial historis. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah
dan Teori Sosiologi). Weber melihat bahwa individulah yang
memberikan pengaruh pada masyarakat tetapi dengan be-
berapa catatan, bahwa tindakan sosial individu berhubungan
dengan rasionalitas. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Tindakan sosial yang dimaksudkan oleh Weber berupa
tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga
dapat berupa tindakan yang bersifat "membatin", atau bersifat
subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari
situasi tertentu. Dari pandangan dasar yang dimiliki oleh
Weber maka ia menganjurkan penelitiannya dalam bidang
ilmu ini meliputi; tindakan manusia yang mengandung
makna, tindakan nyata bersifat subyektif dan membatin,
tindakan pengaruh positif dari situasi dan tindakan itu
diarahkan kepada beberapa orang atau individu. Mempelajari
189
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
tindakan sosial dan ia menganjurkan lewat penafsiran dan
pemahaman (interpretative understanding). Peneliti meng-
interpretasikan tindakan si aktor dalam artian mendasar
dengan maksud memahami motif tindakan si aktor. Cara
memahami motif tindakan aktor, Weber memberikan dua
cara, pertama melalui kesungguhan, mencoba mengenangkan
dan menyelami pengalaman aktor. Peneliti menempatkan diri
pada aktor dan berusaha memahai sesuatu yang dipahami oleh
aktor. Metode pemahaman yang ditawarkan oleh Weber
bersifat pemberian penjelasan kausal terhadap tindakan sosial
manusia. (George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Ber-
paradigma Ganda).
Perbedaan antara Weber dan Durkheim tentang
kenyataan sosial. Bagi Durkheim ilmu sosial mempelajari
fakta sosial yang bersifat eksternal, memaksa individu.
Kenyataan sosial bagi Durkheim sebagai situasi mengatasi
individu berada dalam suatu tingkatan yang bebas. Sedangkan
bagi Weber kenyataan sosial merupakan sesuatu yang didasar-
kan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial.
Durkheim memiliki pandangan berhubungan dengan realisme
sosial, melihat masyarakat sebagai tautan yang riil, terlepas
dari individu yang kemudian masuk didalamnya menurut
prinsip-prinsip yang khas, dan tidak mencerminkan individu-
individu yang sadar. Teori ini membandingkan masyarakat
sebagai bentuk organis biologis dalam artian menilai masya-
rakat merupakan suatu kenyataan yang lebih dari sekedar
jumlah bagiannya. Sedangkan Weber berposisi nominalis,
dengan artian bahwa individu yang ril secara obyektif, dan
masyarakat merupakan suatu nama yang menunjuk pada
sekumpulan individu. Analisis Weber dalam memandang
190
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
individu merupakan sesuatu yang ekstrim, dan ia mengakui
bahwa pengaruh dinamika sejarah begitu besar terhadap
individu. Pandangan Weber bersifat subyekif dan tujuannya
untuk masuk kedalam arti subyektif yang berhubungan
dengan kategori interaksi manusia. (Doyle Paul Jonshon,
Teori Sosiologi Klasik dan Moderen).
Pemikiran Weber dari tindakan sosial dan metode
verstehende berkembang dibawa oleh beberapa ilmuan
menjadi tradisi konstruktivisme. Tradisi ini dikembangkan
oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, mereka berangkat
dari manusia mengkonstruksi realitas sosial dari persfektif
subyektif dapat berubah menjadi obyektif. Proses konstruksi
mulai membiasakan tindakan yang memungkinkan aktor-
aktor mengetahui tindakan itu berulang-ulang dan memberi-
kan keteraturan. Hubungan individu dengan institusi bersifat
dialektik yang berisi tiga momentum yakni; masyarakat
merupakan produk manusia, masyarakat merupakan realitas
obyektif, dan manusia sebagai produk masyarakat. Bahwa
makna-makna umum dimiliki bersama dan diterima sebagai
dasar dari organisasi sosial. Konstruksi sosial berusaha menye-
imbangkan struktur masyarakat dengan individu. (Zainuddin
Maliki, Narasi Agung).
Aliran konstruktivis merupakan respon terhadap positiv-
istik dan memiliki sifat yang sama dengan positivistik, sedang-
kan yang membedakan obyek kajiannya sebagai langkah awal
dalam memandang realitas sosial. Positivistik berangkat dari
sistem dan struktur sosial, sedangakan konstruktivis berangkat
dari subyek yang bermakna dan memberikan makna dalam
realitas sosial. Jika mau diturunkan dalam metodologi
penelitian menjadi tujuan ilmu sosial ini memahami realitas
191
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
sosial, ilmu bersifat netral dan bebas nilai. Asumsi dasar yang
digunakan bahwa manusia sebagai mahluk yang berkesadar-
an. Penelitian yang dipakai merupakan kualitatif, metode
pencarian data dengan wawancara dan observasi. Dalam
memandang masyarakat merupakan realitas yang beragam
dan memiliki keunikan tersendiri, sehingga dari hasil
penelitian yang didapatkan tidak untuk menggeneralkan pada
obyek yang lain.
E. Ilmu Sosial Kritis
Ilmu sosial kritis tidak dapat dilepaskan dari pemikiran
filosof kontemporer di Jerman yang mencoba mengembang-
kan teori Marxian guna memecahkan persaolan yang dihadapi
sekarang. Teori sosial ini merupakan upaya pengkritisan
terhadap the father dari filsafat Jerman dan mengkritisi
pemikiran Marx yang telah menjadi ideologi bukannya ilmu.
Marx yang telah menjadi ideologi dapat dilihat pada negara
komunis sehingga ajaran Marx membatu dan tidak besifat
transformatif. Secara garis besar Mazhab Frankfurt dalam
kelahirannya mengkritisi pemikiran ilmu dan realitas. Ritzer
mencoba memetakan sasaran kritik para pemikir dari mazhab
Frankfurt yang terdiri dari; kritik terhadap dominasi ekonomi
dan sosiologi yang pada intinya mengatakan bahwa sosiologi
bukanlah sekedar ilmu atau metode tetapi harus dapat
mentransformasikan struktur sosial dan membantu manusia
keluar dari tekanan struktur, kritik filsafat positivistik yang
memandang manusia sebagai obyek (alam) dan tidak tanggap
terhadap perubahan, kritik terhadap masyarakat moderen
yang telah dikuasai oleh revolusi budaya, kritik budaya
(birokrasi) yang menyebabkan masyarakat dibatasi oleh
192
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
mekanisme adminitrasi, dan melahirkan budaya semu yang
melahirkan represifitas struktur yang melumpuhkan manusia.
Munculnya pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan
upaya untuk melawan krisis pada waktu saat itu, ia kecewa
terhadap pengaruh filsafat positivistik yang melahirkan
persfektif obyektivistik dan pengaruhnya masuk kedalam
seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Bagi mereka, dengan
pemikiran yang telah diiajukan oleh positivistik telah
melahirkan wawasan dan cara pemikiran jangka pendek.
Kenyakinan positivisme telah menimbulkan krisis, oleh
karena itu ia menawarkan pemikiran alternative "teori kritis".
Akar pemikiran Mazhab ini dapat ditelusuri dari Marx, Hegel
yang telah memberikan banyak ilustrasi dan memberikan
pencerahan. Analisis yang digunakan frankfurt menggunakan
dua proporsi yang utama. Pertama, pemikiran seseorang
merupakan produk masyarakat dimana ia hidup. Pemikiran
manusia terbentuk secara sosial, maka tidak mungkin orang
mencapai pengetahuan dan kesimpulan obyektif, bebas dari
pengaruh perkembangan zaman dan pola-pola konseptual
yang ada dimana manusia hidup. Kedua, ilmuan dan intelek-
tual tidak dapat obyektif, mencoba bersikap bebas nilai dalam
membangaun persfektif pemikirannya. Seorang intelektual
harus kritis memahami prilaku masyarakat dan menjadikan
orang menyadari apa yang harus mereka kerjakan sesuai
perubahan yang terjadi. Pemikiran kritis menyadari bahwa
pemikiran buklanlah sesuatu yang memiliki keunikan
obyektif, mereka percaya bahwa di dunia pengetahuan
terdapat kebenaran dan pengetahuan yang ril. Pendekatan
inilah yang mencoba membedakan mainstream pengetahuan
positivis yang memisahkan peran dan nilai dalam analisisnya.
193
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Positivisme yang mereka pakai lebih mengacu pada kajian
empirik terhadap hipotesis dan pengetahuan obyektif.
(Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Kata kunci kritik merupakan upaya untuk memahami
teori kritis, kritik dalam teori ini mengupayakan agar
kebudayaan dan masyarakat moderen bersifat emansipatoris,
seperti seni, ekonomi, ilmu pengetahuan, politik dan ke-
budayaan yang telah diselubungi oleh ideologi, dan meng-
untungkan pihak-pihak tertentu sekaligus mengasingkan
manusia dalam kehidupan masyarakat. Kata kritik berakar
dalam tradisi filsafat itu sendiri dan sudah dipakai sejak zaman
pencerahan. Kritik merupakan refleksi diri atas rintangan-
rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi yang meng-
hambat proses pembentukan diri dan rasio dalam sejarah.
Kritik juga merupakan refleksi atas proses menjadi sadar atau
refleksi tentang asal-usul tentang kesadaran. Pada generasi
pertama mereka melontarkan kritik terhadap sainstisme atau
positivisme yang telah menghasilkan masyarakat yang
irasional dan ideologis. Teori kritis mengupayakan adanya
keterkaitan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan
dan kehidupan, teori dan praksis. Teori kritis menurut
Horkheimer memiliki empat karakter; pertama, teori ini
bersifat historis dalam artian diperkembangkan berdasarkan
situasi masyarakat yang konret dan berpijak diatasnya. Teori
ini merupakan kritik immanen terdapat yang nyata dan tidak
manusiawi. Kedua, teori kritis disusun berdasarkan kesadaran
dan keterlibatan historis para pemikirnya, dengan maksud
mereka menyadari bahwa teori ini dapat terjatuh pada
dataran ideologi. Misalkan dalam teori tradisional meng-
gantungkan keshahihannya dengan verifikasi empiris, sedang-
194
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kan teori kritis ini menggantungkannya pada evaluasi, kritik
dan refleksi terhadap dirinya sendiri. Ketiga, teori kritis
memiliki kecurigaan terhadap masyarakat, dikarenkan ada
upaya untuk mengurai kedok ideologi yang dipakai untuk
menutupi ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat.
Dan yang keempat, teori ini mengupayakan sisi praksis,
dengan maksud melakukan transformasi sosial.
Teori kritis dalam mengkritik masyarakat moderen
dilakukan dengan dua cara; pertama, menelusuri akar-akar
berpikir positivistik masyarakat moderen dengan melakukan
proses rasionalisasi dalam masyarakat barat. Kedua, menun-
jukkan cara berpikir positivistik yang telah mewujudkan
dirinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlaku
sebagai ideologi yang diterima sukarela oleh masyarakat
moderen. Mereka ingin mengkritik masyarakat moderen
sebagai struktur yang telah menindas, melainkan cara berpikir
positivistiklah yang menjadi ideologi dan mitos. Rasionalitas
pada zaman ini berfungsi sebagai ideologi dan dominasi, dan
menjadikan cara berpikir saintis telah membeku menjadi
ideologi atau mitos. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan
mengabdi kepada manusia melainkan manusia yang mengabdi
kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut mahzab ini
manusia sekarang tidak ditindas oleh manusia yang lain tetapi
ditindas oleh sistem teknologi yang mencengkram segenap
alamiah dan sosial manusia. Apa yang mereka sebut iu
merupakan rasional teknologis, merupakan karakter dari
zaman rasional sekarang ini. Pada generasi pertama mereka
tidak dapat menemukan jalan keluar dari masyarakat yang
mereka kritik. Pada teori kritis pertama konsep praksis
merupakan kerja dalam pandangan Marxian. Praksis eman-
195
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
sipatoris yang mereka lakukan dapat menimbulkan perbudak-
an baru karena emansipasi penguasaan baru. Oleh karena itu
Habermas sebagai generasi kedua menawarkan praksis disam-
ping praksis kerja. Hal tersebut dikarenakan komunikasi
masih ada kebebasan sehingga ada tempat bagi rasio kritis.
Dengan ide komuikasi, Habermas mengtasi positivisme
dengan menunjukan keterkaitan antara teori dan praktik.
Praksis kerja dan komunikasi merupakan dua tindakan dasar
manusia yang menentukan manusia sebagai spesies bergerak
dan hidup di dalam dunia.
Pengetahuan dan praksis manusia dapat mengarahkan
pengetahuan sebagai; pertama, spesies manusia yang memiliki
kepentingan untuk mengontrol lingkungan eksternalnya
melalui pranata-pranata kerja dan kepentingan mewujudkan
dirinya dalam pengetahuan informatif yang secara metodis
disistematiskan dalam ilmu empiris analitis. Kedua, manusia
memiliki kepentingan praksis untuk menjalin pemahaman
timbal balik melalui perantaraan bahasa dan kepentingan
mewujudkan dirinya dalam pengetahuan interpretatif dan
sistematis metode dalam ilmu sosial historis-hermeneutis.
Manusia memiki kepentingan partisipatoris untuk membebas-
kan diri dari hambatan ideologis melalui perantaraan
kekuasaan dan kepentingan, mewujudkan dirinya dalam
pengetahuan analitis yang disistematiskan pada ilmu sosial
kritis. (Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi).
196
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Matrik Ilmu Sosial Kritis
Parameter Dimensi kerjaDimensi
komunikasiDimensi
kekuasaanKepentingan Teknis Praktis EmansipatorisPengetahuan Informasi Interpretasi Analitis
Tindakan Tindakan-rasional-bertujuan
Tindakankomunikatif
Tindakanrevolusioner-emansipatoris
Ungkapanlingustik
Proposisi-proposisi deduktif
nomologis(monologal)
Bahasa sehari-hari,language game,
ungkapan-ungkap-an dialogal
Pembicaraanemansipatoris
Metodologi Empiris-analitis Historis-hermeneutis
Refleksi-diri
Sistematikametodis
Ilmu empiris-analitis (ilmupengetahuan
alam)
Ilmu histories-hermeneutis (ilmu-ilmu pengetahuan
sosial budaya)
Ilmu-ilmu kritis
Ilmu sosial kritis jika mau diderivasikan dalam metode-
logi penelitian, merupakan suatu ilmu yang emansipatoris
untuk melakukan transformasi sosial. Ilmu ini tidak bebas
nilai, berpihak kepada kemanusiaan dan melakukan pem-
berdayaan sehingga tercipta masyarakat yang berkeadilan.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif ataupun
kuantitatif, dan yang terpenting bukan memaparkan realitas
sosial yang terjadi tetapi melakukan perubahan guna tercipta
masyarakat yang berkeadilan. Data diperoleh dengan wawan-
cara, observasi, angket, atau kuisioner guna melakukan pem-
bacaan awal. Peneliti bersikap partisipatif dengan yang
diteliti, tidak ada jarak dan langsung memberikan penyadaran
dan refleksi diri sesuai apa yang telah dicita-citakannya.
197
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
F. Ilmu Sosial Profetik
Ilmu Sosial Profetik (ISP) merupakan tugas berat yang
harus diemban agar dapat menjadikan nilai-nilai Islam
diterima. Secara kelahirannya ISP merupakan suatu hasil dari
pemikiran tokoh yang prihatin melihat realitas sekarang dan
mencoba untuk melakukan transformasi guna menciptakan
yang lebih baik. ISP sebagai produk dari pemikiran perlu
mendapatkan pengkritisan sebagai sarana pembenahan baik
segi teori ataupun metodologinya sehingga ISP dapat sejajar
dalam paradigma ilmu sosial yang lain. ISP selama ini,
merupakan suatu gerilya intelektual dan masih dimiliki oleh
kalangan akademisi tetapi hanya sekedar wacana dan diskusi.
Pemahaman kalangan akademisi tentang ISP belum dapat
disejajarkan dengan paradigma ilmu sosial yang lain. Pema-
haman tersebut menjadikan akademisi kurang begitu serius,
menjadikan ilmu ini setara dan sejajar dengan paradigma ilmu
sosial yang lain bercorak liberal ataupun yang perfeksionis.
Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang lebih tentang ISP
guna merekonstruksinya, agar ISP dapat digunakan untuk
melihat dan menyelesaikan problem sosial yang selama ini
terjadi.
Sebagaimana dalam sosiologi pengetahuan, ISP sebagai
produk dari pemikiran agar tidak membeku, menjadi ideologi
dan menjadi mitos baru, maka perlu melakukan refleksi diri
dan evaluatif. ISP yang dilontarkan oleh Kuntowijoyo yang
dalam kelahirannya tidak dapat dilepaskan dari realitas pada
saat itu, secara sederhana dapat dipetakan menjadi dua
macam; pertama, interaksi Kuntowijoyo dengan berbagai
macam ilmu sosial sehingga memunculkan respon terhadap
ilmu sosial yang ada, dan sebagai tokoh yang memiliki
198
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
karakter transformatif. Kuntowijoyo merupakan sosok
intelektual yang senang membaca, hal ini dapat dilihat dari
karya-karyanya yang berkaitan dengan teori perubahan sosial,
ia sempat juga menggunakan teori sosial dari tokoh Marx,
Weber, dan Durkheim. Selanjutnya dalam melihat periodesasi
perkembangan umat Islam, Kuntowijoyo menggunakan
analisis dari Comte. Setelah melakukan kajian terhadap ilmu
sosial, ia mencoba memberikan respon ataupun tanggapan
terhadap yang ia kaji. ISP merupakan ilmu sosial alternatif
terhadap ilmu sosial yang selama ini berkembang cenderung
bercorak liberal dan logika positivistik. Sebagaimana dalam
era post-moderenis ilmu sosial saling berevolusi dalam
dataran paradigmatik. Begitupula, dengan ISP merupakan
kritisi terhadap tiga ilmu sosial yang selama ini berkembang
seperti ilmu sosial yang bercorak positivistik, konstruksion-
isme yang bercorak liberal dan ilmu sosial yang bercorak
kritis yang memiliki sifat perfeksionis.
Ilmu sosial positivistik, dalam memandang masyarakat
bagaikan sebuah sistem atau struktur. Letak pengkritisian
terhadap ilmu ini memandang manusia tidak memiliki
kebebasan, individu bersifat deterministik, ilmu ini tidak
mengupayakan transformasi sosial, tetapi lebih cenderung
mempertahankan status quo. Ilmu sosial positivistik di-
pelopori oleh Comte dan di kembangkan oleh Durkheim.
Sedangkan untuk ilmu sosial konstruktivis dipelopori oleh
Weber, ilmu sosial konstruktivis sama dengan ilmu sosial
positivistik ia bersifat liberal. Sedangkan yang membedakan
dari ilmu ini, menjelaskan dan memaparkan realitas sosial itu
beragam dan memiliki keunikan tertentu sehingga tidak dapat
digeneralkan. Dalam ilmu sosial konstruktivis memandang
199
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
manusia sebagai subyek yang bebas dan memiliki kesadaran
dan membentuk sistem. Sedangkan pengkritisian terhadap
ilmu kritis yang bersifat perfeksionis, Kuntowijoyo memapar-
kan dengan meminjam analisisnya Micheal Root. Bahwa ilmu
sosial yang bersifat perfeksinis seperti aliran Marxian,
Freudian, dan Feminisme jatuh dalam dataran ilmu yang
deterministik. Ilmu tersebut jatuh dalam dataran deter-
ministik dikarenakan seperti Marxian mengandung determin-
isme ekonomi, Freudian dalam determinisme biologis sedang-
kan feminisme mengalami determinisme seksual. (Kunto-
wijoyo, Muslim Tanpa Masjid). Melihat ilmu sosial yang
berkembang di era sekarang maka ia menawarkan ISP sebagai
ilmu yang sarat nilai, berpihak dan mengupayakan trans-
formasi sosial, seperti ilmu sosial kritis yang telah digagas oleh
Mazhab Frankfurt yang telah dikembangkan oleh Jurgen
Habermas.
Interakasi Kuntowijoyo dengan tokoh-tokoh yang mem-
pengaruhinya seperti Moeslim Abdurrahman, Muhammad
Iqbal dan Roger Garaudy. Moeslim Abdurrahman dengan
pemikiran teologi transformatif, dalam hal ini Kuntowijoyo
lebih memilih ilmu sosial dari pada teologi. Hal tersebut
disebabkan akan membingungkan dan kurang cocok diter-
jemahkan, bila menggunakan teologi maka dapat memuncul-
kan teologi yang lain seperti teologi pembebasan, teologi
lingkungan dan lainnya. Sedangkan pemahaman umat tentang
permasalah teologi merupakan yang tetap tidak berubah, oleh
karena itu ia lebih memakai ilmu sosial. Demikian pula,
teologi transformatif yang digagas oleh Moeslim Abdur-
rahman yang diterjemahkan dalam ilmu sosial transformatif.
Pergantian dari teologi dalam ilmu sosial dikerenakan agar
200
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
agama diberi tafsiran baru dalam rangka memahami realitas
sosial, metode yang efektif dimaksudkan dalam rangka
mengelaborasi ajaran agama kedalam teori sosial. Lingkup dari
sasaran ilmu sosial tersebut lebih dari rekayasa untuk
transformasi sosial, bukan dalam dataran permanen seperti
teologi, tetapi aspek yang temporal, empiris dan historis.
Maka Kuntowijoyo lebih cenderung menggunakan ilmu sosial
ketimbang teologi. Kebutuhan yang dilakukan dalam trans-
formasi sosial bukan saja perangkat yang bersifat obyektif,
tetapi melalui teori sosial dapat melakukan transformasi
bersifat obyektif dan juga merupakan lahan garap yang
bersifat empiris.
Kuntowijoyo mengambil kata profetik yang memberi
gambaran tetang konsep kesadaran profetis, dilontarkan oleh
Iqbal dalam bukunya Membangun Kembali Pemikiran Agama
Islam. Muhammad Iqbal menggambarkan tentang mi'rajnya
Nabi Saw, yang bertemu dengan Tuhan, seandainya nabi
seorang mistikus atau sufi, ia pasti tidak akan kembali karena
sudah tentram dan tenang bersama-Nya. Tetapi ini lain, Nabi
kembali ke bumi untuk melakukan perubahan dalam rangka
merubah sejarah, melakukan transformasi profetik. Selanjut-
nya kata profetik juga terinspirasi dari seorang Filosof Prancis
Roger Garaudy dalam bukunya Janji-Janji Islam, disana
dipaparkan bahwa peradaban Barat tidak memuaskan di-
karenakan terombang-ambing dalam kedua kutub besar yakni
idealisme dan materialisme. Kelahiran filasafat barat (kritis)
mempertanyakan bagaimana pengetahuan itu dimung-
kinkan, lalu ia mengusulkan agar membalik pertanyaan agar
bagaimana wahyu dimungkinkan. Dalam rangka untuk
menghindari kehancuran peradaban maka pilihan satu-
205
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kritisian humanisme barat (humanisme antroposentris), yang
menyebabkan majunya peradaban barat tetapi mengalami
dehumanisasi. Humanisme yang ditawarkan oleh ISP didasar-
kan pada agama yaitu teo-antroposentris, gagasan tersebut
dapat diterjemahkan dalam teori sosial menjadi ilmu sosial
yang menggunakan pendekatan struktural fungsional, men-
coba menggabungkan teori fungsional dengan menggunakan
pendekatan grounded research dalam penelitiannya. Analisis
yang digunakan oleh Kuntowijoyo dalam karyanya meman-
dang persoalan masyarakat dengan pendekatan makro atau
struktur dan dalam humanisasi lebih cenderung mengguna-
kan teori sosial fungsional dan pendekatan interpretatif dalam
memandang manusia.
Liberasi, dalam ISP selaras dengan berbagai teori sosial
yang bercorak partisipatif dan membawa etik tertentu, seperti
prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantung-
an dan teologi pembebasan) yakni semua membawa pada
liberation. Mereka mempercayai bahwa perkembangan dapat
dicapai dengan kebebasan. Liberasi yang ditawarkan oleh ISP
dalam dataran ilmu bukan dalam dataran ideologis. Liberasi
yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo dalam ISP paling tidak
memiliki empat ranah seperti bidang ekonomi, sosial, budaya,
dan politik dalam ranah sistem ilmu pengetahuan. Liberasi
sistem ilmu pengetahuan dapat membebaskan manusia dari
sistem pengahuan materialis, dominasi struktur misalkan
kelas dan seks. Hal ini, Islam memandang kesetaraan antara
lak-laki dan perempuan. Liberasi dari sistem sosial budaya
merupakan transformasi sosial umat Islam yang berkembang
dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Oleh
karena itu, dalam transformasi tersebut diperlukan ilmu sosial
206
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
yang bersifat communitarian. Liberasi dalam ekonomi, bagai-
mana menciptakan suatu sistem ekonomi yang bercorak
keadilan, hal ini dikarenakan adanya kesenjangan ekonomi.
Penggagasan tentang keadilan ekonomi merupakan nilai-nilai
yang ada dalam ajaran Islam, sebagaimana telah diungkapkan
dalam al Qur'an dalam surat al Hasyr ayat 7 "supaya harta
tidak hanya beredar diantara orang-orang yang kaya diantara
kamu", selanjutnya dalam surat al Zukhruf ayat 32 "apakah
mereka yang berhak membagi-bagi rahmat Tuhanmu?".
Liberalisme dalam politik membebaskan dari sistem per-
politikan yang tidak adil dan terjadinya penindasan seperti
sistem otoriterianisme, diktator dan neo-feodalisme. Liberasi
dalam ISP ini dapat diterjemahkan dalam ilmu sosial selaras
dengan pendekatan Marxisme. Hal ini dapat dilihat dari
analisis yang telah digunakan oleh Kuntowijoyo dalam
memandang persolan kemiskinan, ia lebih cenderung me-
makai Marxian, tetapi bukan dalam dataran penghapusan
kelas tetapi bagaimana tercipta struktur yang berkeadilan.
Transendensi, dalam ISP menjiwai dari kedua unsur
(humanisasi dan liberasi). Ia menjadi prinsip dalam semua
agama dan filsafat perennial. Transendensi merupakan kunci
beriman kepada Allah, yang menjadi ruh humanisasi dan
liberasi dalam melihat dan mengaplikasikannya. Menurut
Erich Fromm jika tidak menerima otoritas Tuhan secara
otomatis akan berdampak pada; (1) relativisme penuh, dimana
nilai dan norma sepenuhnya merupakan urusan pribadi. (2)
nilai tergantung pada masyarakat sehingga yang dominan
akan menguasai. (3) nilai tergantung pada kondisi biologis.
Oleh karena itu, menurut Kuntowijoyo agar umat Islam
meletakkan Allah sebagai pemengang otoritas, Tuhan yang
207
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
maha obyektif. Transendensi yang dimaksudkan oleh Kunto-
wijoyo dalam ISP merupakan penggunaan wahyu sebagai
salah satu unsur dalam ilmu sosial. Paradigma wahyu diguna-
kan dalam ilmu sosial melalui obyektifikasi terhadap ayat-ayat
al Qur'an agar kebenaran yang dikandungnya dapat diterima
oleh seluruh manusia. Obyektifikasi merupakan upaya rasio-
nalitas nilai yang diwujudkan dalam perbuatan rasional,
sehingga orang luar dapat menikmati tanpa harus menyetujui
nilai asalnya. Melalui obyektifikasi menjadikan Islam yang
bekerja secara aktif, sehingga menjadikan Islam sebagai
rahmat bagi alam semesta dalam artian Islam diturunkan
sebagai rahmat kepada siapa pun tanpa memperhatikan warna
kulit, budaya, dan lainnya. Obyektifisikasi merupakan kon-
kritisasi dalam keyakinan internal, perbuatan ini dapat
obyektif jika dapat dirasakan oleh non muslim sebagai suatu a
natural atau wajar, tidak sebagai perbuatan keagamaan.
Kuntowijoyo mencontohkan tentang obyektifisakasi ayat al
Qur'an agar nilai-nilai Islam dapat diterima oleh semua umat
manusia. Misalkan ancaman Tuhan kepada orang Islam
sebagai orang yang mendustkan agama bila tidak memperhati-
kan kehidupan orang-orang miskin dapat diobyektifkan
dengan program IDT. Kesetiakawanan nasional adalah obyek-
tifikasi dari ajaran tentang ukhuwah. (Kutowjoyo, Identitas
Politik Umat Islam).
ISP yang dilontarkan oleh Kuntowijoyo diterjemahkan
dari sifat ilmunya maka ISP bersifat partisipatoris untuk
melakukan perubahan dan sekaligus arah dari perubahan itu
sendiri. Ilmu ini sarat dengan nilai-nilai, tidak status quo, dan
berpihak kepada kemanusiaan guna menciptakan khairul
ummat. ISP merrupakan ilmu dalam aliran yang perfeksionis
208
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dan bersifat communitarian. Dalam metodologi penelitian ISP
yang diharapkan adalah penelitian lapangan dan langsung
melakukan emansipasi guna menciptakan keadilan. Cara
pencarian data yang dilakukan IS dengan metode wawancara
dan observasi partisipatoris. ISP merupakan turunan dari surat
al Imran 110 menghasilkan tiga paradigama guna mewujud-
kan masyarakat yang dicita-citakan. Tetapi masing-masing
paradigma dalam ISP yang dalam memandang masyarakat
bersifat integral dan menyeluruh, jika diturunkan dalam
metodologi penelitian maka dapat berdiri sendiri tanpa
adanya saling sapa. Kuntowijoyo hanya mencoba dalam
analisis dengan menggunakan ketiga paradigama tersebut,
tetapi terkadang dalam melihat fenomena sosial cenderung
dengan pendekatan Marxian kadang juga fungsional. Selanjut-
nya dalam ilmu sosial yang bersifat partisipatoris ada rang-
kaian dalam menjalankan keseimbangan antara teori dan
praktek seperti dalam ilmu sosial kritis, dalam konsep
praksisnya kerja dan komunikasi. Jika mau ditarik kedalam
ISP Kuntowijoyo belum sempat merumuskannya. Tetapi jika
ditelusuri dari berbagai karyanya ia mencoba mengintergrasi-
kan ilmu sosial barat dengan nilai-nilai Islam. Hal ini seperti
dalam uraian Heru Nugroho dalam menanggapi ISP yang
dilontarkan oleh Kuntowijoyo, ia mengkategorikan Hegelisme
Religius, dan yang membedakan konsep ISP dengan ilmu
sosial Kritis adalah transendensi. Kuntowijoyo juga melihat
Islam merupakan agama amal, bukan sekedar teori tetapi
harus diterapkan dalam masyarakat.
Praksis ISP dengan mendialogkan agama dengan realiatas
menjadikan agama berperan dan mengupayakan transformasi
dengan dasar nilai-nilai agama, menjadikan bentuk trans-
209
Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
formasi serta arahannya jelas. Hal ini dapat dilihat bentuk
transfoemasi yang dilakukan oleh nabi Muhammad Saw dan
nabi Musa As, dalam menghilangkan penindasan umatnya.
Bentuk transformasi yang dilakukannya menciptakan masya-
rakat yang berkeadilan dan didasarkan dengan nilai-nilai
Ilahiah sebagai sarana dan jalan dalam rangka beribadah
kepada Tuhan.
210
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B a g i a n
Filsafat PergerakanMewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
A. Prawacana Pergerakan
Kebenaran merupakan suatu yang diperlukan oleh
manusia dalam menjustifikasi terhadap apa yang dilakukan
dan bagaimana cara melakukannya. Kebenaran yang dingin-
kan oleh manusia merupakan suatu respon terhadap realitas
sekitar dan itu diterima oleh masyarakat, sesuai dengan norma
yang ada, maka itu dapat dikatakan sebagai suatu kebenaran.
Kebenaran merupakan suatu yang penting dikarenakan
manusia selalu mengejarnya agar mendapatkan makna dalam
kehidupan. Manusia dalam memahami kebenaran terletak
pada kerangka berpikir yang ia gunakan dalam menghadapi
sesuatu. Kebenaran yang diakui oleh manusia akan ia
pertahankan sampai kapanpun. Sifat dari kebenaran dalam
manusia terkadang menjadi ideologi. Pengetahuan yang
bersifat ideologi bersifat tertutup, sulit menerima pengetahu-
an yang lain karena dianggap salah atau tidak sesuai.
Pengungkapan kebenaran merupakan suatu persoalan yang
sudah ada di alam, dan manusia merupakan bahan kajian
(filsafat)nya. Substansi dari filsafat berbicara tentang hikmah
atau kebijaksanaan, penggalian terhadap persoalan kehidupan
sampai dengan akar-akarnya. Penggalian dengan cara radikal,
mengakar dan sistematis dikarenakan kita dapat memahami
10
211
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
hakekat lebih dalam sehingga melahirkan sikap bijaksana
dalam kehidupan.
Dalam filsafat terdapat cara mengetahui kebenaran,
memperoleh, serta mempertahankannya. Pembicaraan ten-
tang kebenaran dan sumber-sumbernya tertuang dalam
epistemologi, dan secara sederhana pengungkapan kebenaran
terbagi menjadi tiga macam. Pertama, kebenaran yang
didasarkan pada idealisme, kedua, kebenaran yang didasarkan
pada empirisme dan ketiga, kebenaran yang didasarkan pada
kritisme. Secara ontologi kebenaran sesuai dengan aliran
filsafatnya, jika dalam materialisme maka ontologinya materi
dan pengungkapan kebenarannya dengan cara empirisme
sedangkan untuk idealisme pengungkapan kebenarannya
dengan cara rasionalisme. Pengungkapan kebenaran dalam
filsafat barat merupakan respon terhadap realitas dan
bagaimana manusia menyikapinya. Cara menilai kebenaran
yang didasarkan pada empirisme dengan dimaterialkan dan
melalui indera manusia. Sedangkan dalam tradisi idealisme
memandang kebanaran berdasarkan rasionalisme, sesuai
dengan akal. Penggabungan pengungkapan kebenaran dengan
cara kritisme dimana akal menata dan merangkai kebenaran
empiris yang terindera. Fungsi akal dalam kritisme menyusun,
menguraikan dan mensistematiskan pengetahuan yang
empiris agar dapat diketahui sebagai suatu kebenaran yang
utuh. Misalkan dalam memandang meja dalam tradisi empiris,
sesuai dengan apa yang dilihat. Sedangkan menurut idealisme
meja sudah tertanan didalam rasio atau alam idea sedangkan
yang terlihat adalah semu dikarenakan ada bermacam-macam
meja dan memiliki bentuk yang beragam. Lain lagi dalam
pendekatan kritisme secara empris tersusun dari kayu, berkaki
212
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
empat, memiliki bentuk yang beragama dan tugas rasio men-
sistematiskan sehingga dapat memberikan pernyataan bahwa
meja yang terlihat tetapi memiliki bentuk yang beragam.
Pengungkapan kebenaran yang beragam menghasilkan
tafsiran kebenaran yang beragam pula, dengan pandangan
yang beragam dikarena pengetahuan yang luas maka secara
otomaticaly dapat meminimalisir subuah konflik dan meng-
hindarkan truth claim, serta saling menyalahkan antara
kelompok. Penghargaan terhadap kebenaran dan cara
pandangnya ini menjadikan suatu kelompok atau kaum
bersikap inklusif dan peka terhadap kemajuan dan per-
kembangan zaman. Hal ini dapat dilihat dari sikap Muham-
madiyah awal yang terbuka dan toleran sampai sekarang
masih eksis dan bahkan berkembang dengan luas. Sikap awal
Muhammadiyah adalah inklusif serta pilihan gerakan yang
menjadikannya organiasasi ini tidak leyap termakan zaman.
Pilihan gerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah diakui
oleh cendekiawan di Indonesia seperti Kuntowijoyo dan
Muhammad Amin Abdullah, sebagai pilihan yang cerdas dan
jenius dari Kiai Ahmad Dahlan.
Demikian keberadaan ikatan sebagai ortom Muhammad-
iyah yang kelahirannya bersentuhan dengan keniscayaan
sejarah tetapi kemudian eksistensinya mengalami ketiadaan
makna dalam sejarah. Pengkajian ontologi dalam ikatan
bermakna dapat memberikan sumbangsih pada pembangunan
peradaban serta kemandirian bangsa. Sejarah keberadaan
ikatan karena bentuk kreasi, dimana Muhammadiyah perlu
melakukan kaderisasi di lingkungan kampus pada umumnya
dan PTM pada khususnya. Kaderisasi yang dilakukan oleh
Muhammadiyah sudah ada di tingkat kepemudaan yang
213
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
tergabung dengan Pemuda Muhammadiyah (PM) atau
pemudi yang tergabung pada Nasyatul ‘Aisiyah (NA), serta
kalangan pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar
Muhammadiyah (IPM), sedangkan dikalangan mahasiswa
belum ada, sekaligus menjadi rumah kader Muhammadiyah di
tingkat kemahasiswaan, terlebih mahasiswa Muhammadiyah
dan mahasiswa Islam pada umumnya.
Kelahiran Ikatan merupakan suatu kebutuhan kaderisasi
Muhammadiyah guna meneruskan cita-cita serta perjuangan-
nya guna mewujudkan masyarakat yang diidealkan. Oleh
karena itu, kelahiran Ikatan juga berbenturan dengan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang merupakan satu-
satunya pergerakan Islam berbasis kemahasiswaan pada waktu
itu. Begitupula sikap HMI, merasa sebagai rumah yang sah
dan paling sesuai dalam melakukan kaderisasi organisasi Islam
dalam ranah kemahasiswaan. Melihat persoalan tersebut,
terkadang kader ikatan melihat kelahirnya sebagai respon
terhadap HMI, dikarenakan kader Muhammadiyah yang
berada di HMI tidak sesifat dengan perjuangan Muham-
madiyah khusus dalam ranah kemahasiswaan. Sedangkan
sebenarnya keberadaan ikatan merupakan bentuk kreasi aktif
Muhammadiyah dalam merespon realitas sosial.
B. Nilai Dasar Ikatan
Ikatan dalam gerakannya terilhami dengan sebuah Nilai
Dasar Ikatan, sebagai ruh mewujudkan khairul ummah, yaitu
1. IMM adalah gerakan mahasiswa yang bergerak pada tiga
bidang; keagamaan, kemahasiswaan dan kemasyarakatan;
214
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
2. Segala bentuk gerakan IMM tetap berlandaskan pada
agama Islam yang hanif dan berkarakter rahmat bagi
sekalian alam;
3. Segala bentuk ketidak adilan, kesewenang-wenangan dan
kemunkaran adalah lawan besar gerakan IMM, per-
lawanan terhadapnya adalah kewajiban setiap kader
IMM;
4. Sebagai gerakan mahasiswa yang berdasarkan Islam dan
berangkat dari individu-individu mukmin, maka kesadar-
an melakukan syariat Islam adalah suatu kewajiban
sekaligus mempunyai tanggungjawab untuk mendakwah-
kan kebenaran di tengah masyarakat;
5. Kader IMM merupakan inti masyarakat utama, yang
selalu menyebarkan cita-cita kemerdekaan, kemulian dan
kemaslahatan masyarakat sesuai dengan semangat pem-
bebasan dan pencerahan yang dilakukan Nabiyullah
Muhammad Saw.
Secara garis besarnya nilai di atas dapat dijadikan dasar
perjuangan ikatan sebagai organisasi pergerakan dan organ-
isasi kader.
1. Ikatan sebagai Organisasi Pergerakan
Organisasi pergerakan merupakan suara yang idealis
dari kaum terpelajar/akademisi dalam mengkritisi ke-
bijakan penguasa yang tak sesuai dengan kepentingan
rakyat kecil. Organisasi ini merupakan kolektifitas orang
yang memiliki kesadaran yang sama dalam menyikapi
realitasnya. Kesadaran ini timbul dikarenakan lingkung-
an serta budaya ilmu tumbuh dan berkembang, menjadi-
kan pemikiran melahirkan sifat terbuka dan ilmiah.
215
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Ruang yang sering ditawarkan oleh organisasi pergerakan
adalah seruan moral dan aspirasi rakyat kecil (ter-
marginalkan). Organisasi pergerakan akan mudah dan
selalu bersentuhan dengan kepentingan khususnya
kenegaraan. Hal tersebut, dapat dilihat dalam lintasan
sejarah pergerakan Mahasiswa 66 dan pergerakan Maha-
siswa 98 yang menjatuhkan rezim kekuasaan bersifat
otoriterianisme.
Organisasi pergerakan selalu menyerukan moral
sebagai medium untuk melakukan pressure pada kelem-
bagaan negara. Organisasi pergerakan yang basis massa-
nya adalah mahasiswa, sebagai kaum terdidik yang me-
miliki kesadaran untuk menyuarakan kepentingan rakyat
agar tercipta keadilan. Melihat potensi ikatan memiliki
kader yang juga berperan sebagai kader Muhammadiyah
diharapkan memberikan konstribusi yang jelas dalam
proses kepemimpinan nasional yang akan datang.
Kemampuan yang berbeda dengan pergerakan lain
adalah cara dan ciri khas yang dimiliki oleh kader ikatan
dalam mengamati permasalahan dan bagaimana cara me-
mecahkannya. Ikatan sebagai organisasi pergerakan
bukan hanya sekedar pengontrol kebijakan pemerintah
tetapi dapat melakukan pendampingan dan pember-
dayaan masyarakat, karena hal tersebut sudah merupakan
kewajiban. Sebagai pembela rakyat, ikatan menyuarakan
kepentingan rakyat melalui tiga tingkatan yakni; elit ke-
kuasaan, kelas menengah dan masyarakat itu sendiri. Elit
kekuasaan merupakan aspek yang utama dalam menentu-
kan kebijakan sehingga peran ikatan harus signifikan
dalam menyuarakan suara rakyat, misalkan ikatan
216
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
sebagai pressure kebijakan, melakukan lobi, negosiasi,
mediasi dan/atau sharing patner antara pemerintah dan
masyarakat.
Dalam tingkatan kelas menengah, ikatan memposisi-
kan diri sebagai sharing partner, atau mitra strategis yang
pro terhadap kebijakan publik yang benar-benar ber-
pihak kepada kaum marginal. Keberadaan ikatan dan
kader-kadernya mampu memberikan solusi terhadap
sejumlah permasalahan bangsa dan masyarakatnya.
Selanjutnya peran ikatan di tingkat masyarakat itu
sendiri adalah dengan melakukan pembelaaan terhadap
rakyat, pemberdayaan dan pendampingan sehingga
rakyat tersadarkan, bangkit melakukan perlawanan se-
hingga tercipta keadilan sebagai ciri utama dari
masyarakat yang dicita-citakan.
2. Ikatan sebagai Organisasi Kader
Ikatan secara ontologinya merupakan organisasi
kader, keberadaannya merupakan kreasi dari para foun-
ding fathers dalam menyikapi realitas pada waktu itu.
Ikatan yang memiliki tujuan yang khas tertuang dalam
AD/ART yakni “terciptanya akademisi Islam yang ber-
akhlak mulia…” merupakan perpanjangan tangan untuk
“…mencapai tujuan Muhammadiyah”. Memahami tujuan
ini, Muhammadiyah menginginkan pada ikatan agar
menciptakan wahana intelek-tual berdasar pada akhlak
mulia, hal tersebut merupakan konsekuensi intelektual
yang ditanamkan pada gerakan ikatan, menjadikan
akhlaknya sebagai aksiologi dari intelektual yang ber-
dasarkan pada nilai-nilai Islam dan Muhammadiyah.
217
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Ikatan merupakan organisasi kader yang diamanahi
sebagai penerus tradisi Kiai Ahmad Dahlan, sehingga
peran penting dalam perkaderan ikatan yakni untuk
Muhammadiyah, bangsa dan agama. Gerakan ikatan
sebagai kader Muhammadiyah, bangsa dan agama
merupakan bentuk obyektifikasi diri ikatan dalam mem-
berikan sumbangsih ter-hadap persoalan dan realitas.
Sehingga apapun yang dilakukan oleh Ikatan sesuai
dengan semangat dan cita-cita Muham-madiyah yang
termanifestasi dalam diri ikatan, yakni berpikir dan
bertindak pada praksis sosial untuk kemanusiaan.
Dari hal inilah keberadaan ikatan merupakan suatu
keniscayaan, maka dalam eksistensinya, ikatan merupa-
kan suatu kumpulan kolektif yang sadar dengan sejarah-
nya. Kesadaran sejarah ikatan bukan ditentukan oleh
sejarah, tetapi sebaliknya ikatan yang akan menentukan
sejarah. Untuk itu gerakan yang dilakukan oleh ikatan
harus gerakan dengan berkesadaran yakni sebagai
oraganisasi pergerakan dan sebagai organisasi kader yang
berada dalam naungan Muhammadiyah.
C. Realitas Sekarang1
Globalisasi dan realitas yang plural (multikultural)
merupakan gambaran hidup yang kita hadapi. Globalisasi
tidak dapat dinafikan, harus dilalui dan dihadapi oleh setiap
negara yang ada di belahan dunia, karena berdampak pada
sendi-sendi kehidupan. Di bidang ekonomi, perkembangan
perekonomian negara ditunjang oleh sistem perdagangan
1. Untuk lebih lengkapnya bacam Realitas Sekarang.
218
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
bebas dan melalui kebijakan utang luar negeri, dalam rangka
memajukan partisipasi negara dalam pembangunan. Hal ini
dilakukan oleh negara maju lewat bantuan utang kepada
negara-negara berkembang yang terkena imbas krisis moneter
melalui lembaga keuangan internasional seperti IMF dan
Bank Dunia. Dengan bantuan utang jangka panjang, tidak
disadari telah menjerat negara-negara berkembang sehingga
menciptakan ketergantungan terhadap kebijakan-kebijkan
ekonomi luar negeri.
Misalnya saja yang terjadi di Indonesia, jumlah APBN
yang digunakan untuk pembangunan lebih kecil dari pada
untuk membayar utang kepada lembaga keuangan inter-
nasional. Syarat bagi negara maju untuk dapat menyalurkan
bantuan adalah dengan menginvestasikan modal hingga 60-
70%, sehingga jumlah penghasilan yang didapatkan oleh
pemerintah selalu menurun. Dari sistem ekonomi politik
internasional, bangsa Indonesia mengalami keterpurukan atau
dalam naungan cengkraman hutang luar negeri. Oleh karena
itu, kebijakan yang diambil oleh pemerintah merupakan
kebijakan yang kurang populis dan memberikan keuntungan
pada golongan tertentu (kaum modal).
Demikian pula dengan keberadaan sitem perpolitikan
Indonesia sangat dipengaruhi oleh kepentingan globalisasi,
yang paling menyakitkan adalah perkembangan perpolitikan
di Indonesia diwarnai oleh corak demokrasi liberal yang
menggunakan logika pasar dan ekonomi yang tidak berpihak
kepada kepentingan kemanusiaan. Dalam demokrasi liberal
hanya memenangkan kepentingan kaum modal yang
memiliki kerangka kerja dan berpikir selalu menuntut balas
jasa. Sedangkan, dalam sistem sosial dan kebudayaan, global-
219
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
isasi melahirkan budaya instan dan popular culture, ekspos
dan dominasi peran media telah mampu mempengaruhi dan
membentuk opini masyarakat. Kesemuanya telah merubah
cara pandang dan kerangka berpikir masyarakat yang prag-
matis, memikirkan kepentingan diri sendiri agar cepat
mencapai tujuan tanpa upaya yang maksimal (segala cara
dilakukan mencapai tujuan), dan tanpa disadari hal tersebut
perlahan-lahan mengakibatkan kesenjangan dan kemiskinan
yang terstruktur.
Dalam aspek agama, globaliasasi mulai memasung dan
menggantikan peran agama melalui tawaran media dan
kebudayaan pop yang dikemas seapik mungkin untuk mem-
pengaruhi karakter generasi muda. Fungsi agama hanya dalam
dataran pelarian dari permasalahan hidup bukan berperan
menjawab tantangan agama untuk melakukan perubahan
sosial. Agama memiliki fungsi dalam mengatur kehidupan
yang ukhrawi bukannya pengaplikasian dari kehidupan
ukhrawi untuk proses transformasi sosial.
Menurut Mansour Fakih dalam hal ini ummat terbagi
menjadi empat golongan ; golongan tradisionalis, revivalis,
liberalis dan golongan kritis.2 Keempat golongan tersebut,
dalam melakukan perjuangannya dengan mandiri tanpa saling
sapa dan berdiri sendiri. Masing-masing mengklaim bahwa
diri yang paling benar tanpa melakukan komunikasi yang
lebih efektif dan berkelanjutan. Sedangkan sebagian besar
kaum beragama (Islam) yang hanya bersikap mengikuti
perkembangan media sehingga melahirkan golongan Islam
popular. Islam popular merupakan segenap aktivitas keagama-
2. Untuk lebih jelasnya baca Mansour Fakih, Manifesto Intelektual Organik.
220
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
an yang dibesarkan oleh media guna memberikan manfaat
yang besar bagi kepentingan kapital. Fenomena ini dapat
dilihat dari sajian media melalui film-film bercorak keagama-
an yang lebih cenderung menampilkan pola pikir masyarakat
irasional. Demikian pula dengan menjamurnya dai-dai pop
dan ustadz serta bimbingan keagamaan yang populer dikemas
dalam bingkai kapitalisme. Kebudayaan pop pada agama telah
menjadikan agama digunakan untuk kepentingan tertentu
dan dijadikan alat legitimasi dalam penyelesaian masalah,
tetapi jika dianalisis dengan cermat maka hal tersebut tidak
memiliki keterkaitan yang signifikan terhadap permasalahan
yang dihadapi. Hal ini dapat dilihat dari fenomena kebijakan
kenaikan harga BBM oleh pemerintah dan pemuka agama
(aliran pop) menganjurkan kepada umatnya agar sabar.
Ajakan sabar dalam hal tersebut dapat diinterpretasikan
sebagai bentuk pasrah dengan keputusan pemerintah, bukan-
nya melakukan mobilisasi sosial karena selama ini umat sudah
lama tertindas oleh struktur yang kurang adil. Setidak-nya
dengan spirit agama umat dibawa untuk berpikir solutif dalam
rangka menghadapi permaslahan hidup, sehingga agama
menjadi ruh dalam setiap langkah mewujudkan masyarakat
yang berkeadilan.
Pengaruh globalisasi pada aspek lingkungan, telah
merusak ekosistem dan eksploitasi besar-besaran telah mem-
berikan keuntungan kepada kaum modal/kapital. Fakta
membuktikan pertambangan yang masuk kedalam wilayah
Indonesia baik dari pihak asing ataupun pengusaha dalam
negeri, kurang memperhatikan keseimbangan ekosistem,
parahnya kerusakan alam mengakibatkan masyarakat cemas
atas ancaman bencana alam yang bisa datang kapan saja.
221
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Akibat lain dari globalisasi adalah kerusakan ekologi di-
karenakan sikap yang rakus dari manusia dalam rangka
memenuhi kebutuhanya yang selalu merasa kurang dan terus
meminta. Sikap manusia terhadap alam harus dirubah
bukannya diletakkan sebagai objek tetapi alam tersebut harus
ditempatkan sebagai subjek yang sama dalam rangka
mencapai kepada yang transendental.3
Multikultural tidak dapat dielakan dikarenakan memang
sudah menjadi suratan bagi pencipta. Hal ini dapat dilihat
dalam doktrin agama bahwa Tuhan menciptaka manusia ber-
suku-suku, berbangsa-bangsa, berbeda untuk saling mengenal,
tetapi derajat yang paling tinggi disisi Tuhan hanya bagi orang
yang bertakwa. Bertakwa disini perlu diinterpretasikan lebih
lanjut, merupakan tantangan Tuhan dari realitas yang plural
untuk mendukung terciptanya rahmat bukan sebagai sumber
konflik. Takwa tidak didefenisikan dalam artian yang sempit
atau hanya dalam lingkup ibadah, tetapi setiap manusia yang
sadar sebagai hamba dan khalifah, melakukan kebaikan dan
berlomba di dalam menyebarkan karunia Tuhan, merupakan
salah satu unsur takwa.
Multikultural yang berkembang sekarang bukan hanya
dalam dataran untuk berlomba dalam kebajikan tetapi sebagai
semangat untuk menghargai suatu kebudayaan dan kerangka
pikir masyarakat tertentu, yang lain menghormati dan mem-
berikan peluang yang sama pada golongan minoritas untuk
berkembang sesuai dengan apa yang telah diyakininya. Sikap
masyarakat multikultural dicerminkan melalui komunikasi
3. Keterangan lebih lanjut baca bagain Siapakah Manusia.
222
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
intensif agar tidak terjadi prasangka yang menimbulkan
perpecahan.
D. Sosiologi Gerakan
Sejarah yang bergulir telah mencatat peran mahasiswa
sebagai wakil masyarakat yang berpengetahuan, selalu meng-
upayakan perubahan guna terciptanya masyarakat yang
berkeadilan. Mahasiswa merupakan sekumpulan orang yang
memiliki kesadaran karena tercerahkan oleh pengetahuan,
berupaya melakukan perubahan terhadap realitas sosial.
Perubahan tersebut dilakukan karena adanya sesuatu yang
tidak sesuai dengan nilai ideal. Kita dapat melihat sejarah
runtuhnya rezim penguasa di negara ini, ditumbangkan oleh
gerakan mahasiswa. Tetapi di zaman sekarang gerakan
mahaiswa kurang memiliki peran yang signifikan dalam
melakukan perubahan ataupun menekan kebijakan pe-
merintah yang tidak populis (memihak kepada rakyat).
Pergerakan mahasiswa hanyalah bersifat serpihan dan
pecahan, tidak dapat menjadi gerakan yang utuh dalam meng-
hadapi permasalahan. Gerakan mahasiswa harus menelan pil
pahit ketika menyuarakan pembelaan rakyat kecil terhadap
kebijakan pemerintah yang tidak populis karena mahasiswa
hanya mengambil manfaat yang kecil, tidak lain sekedar
menunjukkan eksistensi gerakan, yang hanya ingin terliput
media, sehingga pergerakan mahasiswa mengalami pergeseran
nilai dan berubah menjadi kebudayaan pop.
Pergerakan mahasiswa sebagai agen perubahan sosial
telah mengalami disorientasi gerakan, maka memerlukan
rumusan terbaru dalam bentuk gerakan agar dapat menjawab
persoalan yang terjadi. Tetapi sebelum melakukan gerakan
223
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
yang baru terlebih dahulu melihat bagaimana gerakan maha-
siswa pada masa lalu, agar dapat mengetahui kelemahan dan
semangat yang mengilhami mereka dalam melakukan per-
ubahan. Gerakan mahasiswa yang dilakukan dari zaman orde
lama sampai awal terjadnya reformasi merupakan bentuk
gerakan moral dan pengerahan massa dalam upaya merubah
kebijakan, bahkan menumbangkan kekuasaan. Gerakan ini
efektif pada saat itu karena kondisi masyarakat kampus
sebagai kaum intelektual (masyarakat yang tercerahkan)
memahami betul peta perpolitikan bangsa sehingga keter-
libatannya memberi pengaruh yang besar. Kemudian masya-
rakat tidak memiliki akses dalam menggali data serta sistem
demokrasi yang berjalan pada waktu itu, tidak lain hanya
sebuah tuntutan pragmatis. Masyarakat pada waktu itu belum
memiliki kebaranian serta perlawanan terhadap kebijakan
yang tidak memihak. Apa yang terpikirkan oleh rakyat adalah
bagaimana kebutuhan bahan pokok dapat terpenuhi dengan
baik. Sifat masyarakat yang tidak memperdulikan kondisi
bangsa dikarekan pemerintah yang tidak membuka akses
untuk melakukan pendidikan politik pada masyarakat.
Gerakan mahasiswa pada era 66 dan era 98 memiliki
modus yang hampir sama, hal ini dikarenakan; pertama,
gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral dengan pengerahan
massa sehingga dapat merubah suatu kebijakan. Kedua, dalam
rangka mengawal kehendak rakyat para mahasiswa ada yang
aktif dalam partai politik tertentu dan aktif sebagai anggota
legislatif. Mereka masuk dalam sistem untuk merubah sistem
dan kebijakan yang berpihak. Namun dalam sejarahnya hal
tersebut belum dapat memberi perubahan yang signifikan.
224
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Bentuk gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa akhir ini
mengalami deverensiasi dan beralih pada suatu kelompok
kepentingan atau yang sesuai dengan golongannya, sehingga
tujuan gerakannya hanya untuk memberikan manfaat bagi
kelompoknya. Gerakan yang dilakukan tidak independen, dan
tidak untuk kepentingan kemanusian. Misalkan gerakan
mahasiswa yang memiliki afilisasi dengan partai politik,
sehingga gerakannya bercorak politis, demikian pula
dinamika organisasinya berjalan dengan pendekatan logika-
logika politis. Gerakan politis ini memilih jalur kekuasaan
yang revolusioner dan gerakannya bersifat sporadic dan hanya
sekedar mencari momentum. Sifat gerakan ini, menggunakan
logika ekonomi siapa yang menjual, dan saya mendapatkan
keuntungan apa (saya memperoleh apa), dan kalau tidak
mendapatkan keuntungan dalam bentuk "material" maka
tidak dapat ditawarkan kerjasama. Logika ekonomi dalam
gerak dan langkah organisasinya memperhitungkan untung
atau rugi dalam setiap gerakannya sehingga anggotanya
memiliki pola pikir yang pragmatis dan instan.
Dewasa ini, gerakan mahasiswa cenderung kehilangan
identitas karena ketidakmampuannya melakukan perubahan
gerakan seiring perkembangan zaman, setidaknya ada 3 (tiga)
tantangan bagi gerakan mahasiswa yaitu; pertama, peran
gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral cenderung ter-
gantikan oleh peran LSM atau NGO’s yang identik dengan
pengkajian isu-isu strategis yang melibatkan langsung masya-
rakat sebagai subyek gerakan. Gerakannya pun bersifat
profesional dan spesifik sesuai dengan kebutuhan yang
dihadapi. Hal ini nampak dari bentuk gerakan yang dilakukan
oleh kaum profesioanal seperti gerakan lingkungan, buruh,
225
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
gender, masyarakat adat dan banyak lagi bentuk pergerakan
yang dilontarkan untuk mengurangi permasalahan yang ada
selama ini.
Seiring dengan perkembangan realitas perlahan-lahan
memberikan perubahan baik dari masyarakat maupun negara,
oleh karena itu bentuk gerakan yang ditawarkan pun harus
kontekstual dan berubah sesuai kebutuhan masyarakat.
Dengan terbukanya akses informasi, masyarakat mengambil
peran dalam berbagai kebijakan pemerintah, demikian dengan
keberadaan LSM dan NGO’s sebagai lembaga/organisasi yang
membangun komitmen pendampingan dan pemberdayaan
masyarakat, telah memberikan wajah dan pengertian yang
kritis tentang masyarakat sehingga dapat melakukan pemeta-
an dalam rangka mengembangkan kreasi kedalam bentuk
gerakan yang bersikap lokalistik dan spesifik. Bentuk gerakan
ini konsen terhadap permasalahan yang dikaji dengan
menyesuaikan keahlian atau skill yang telah dimiliki. Gerakan
ini seperti gerakan masyarakat Sutet dan masyarakat
pedalaman dalam menyikapi permasalahan tanah adat yang
digunakan untuk lahan pembangunan. Tetapi yang menjadi
kelemahan pada gerakan tersebut tidak dapat menekan atau
merubah kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
Kedua, gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa bersifat
differgen dan particular, hal ini dikarenakan gerakan yang
dilakukan berdasarkan aspirasi kelompok tertentu yang mem-
berikan konstribusi kepada kelompoknya. Ketiga, masalah
yang berkembang di era globalisasi, teknologi, dan informasi.
Era ini telah memberikan dampak yang sangat besar men-
jadikan masyarakat dan mahasiswa berpikir pragmatis dan
instan. Sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dengan
226
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
gerakan sosial, ikatan harus memberikan tawaran ide dan
gagasan yang berkaitan dengan masalah tersubut, untuk
kemudian dijadikan gerakan bersifat massif.
E. Diaspora Gerakan Ikatan
Sejarah yang berkembang selama ini dipengaruhi oleh
filsafat materialisme dialektika dikarenakan unsur dominan
dalam peradaban adalah nafsu kekuasaan mengakibatkan
penjajahan terhada manusia. God, Gospel and Glory merupa-
kan semboyan imperialisme peradaban barat. Oleh karena itu
tugas ikatan menjadikan perkembangan sejarah lebih humanis
dan religius, ini dapat dilihat dari bentuk transformasi sosial
yang dilakukan oleh para nabi sebagai utusan Tuhan.
Diaspora merupakan suatu bentuk aksiologis ikatan
setelah melalui proses mengetahui ontologi ikatan, serta
sumber pengetahuan ikatan (epistemologi). Diaspora dalam
sejarah kemanusiaannya dilakukan oleh orang-orang Yahudi.
Tetapi dalam doktrin keagamaan kita konsep tentang diaspora
sebenarnya sudah ada yakni firman Tuhan;
Apabila sholat telah dilaksanakan, maka bertebarlah kamu dimuka bumi carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. (QS. Al Jum’ah; 10).
Ayat ini merupakan seruan, bahwa setelah selesai
melaksanakan ibadah shalat, agar bertebarlah mencari karunia
Allah. Konsep ”bertebaran” memiliki kedekatan yang sama
dengan diaspora, kemudian kata sebelumnya menunjukkan
makna tentang nilai-nilai agama yang tertanam dalam shalat.
Shalat dari ayat ini sebagai sarana untuk menginternalisasi
227
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
agama kedalam bentuk nilai sebagai syarat sebelum melaku-
kan diaspora. Kemudian dari kata ”yang beruntung” menun-
jukkan manusia secara pribadi yang memiliki hubungan
antara sesama, hubungan sosial, dan alam.
Diaspora gerakan ini merupakan salah satu bentuk
gerakan yang terinspirasikan dari ketertindasan kaum Yahudi
terhadap sistem yang selama ini tidak meguntungkannya.
Kaum Yahudi dalam sejarahnya tertindas oleh struktur, hal
ini dapat dilihat dari zaman nabi Musa As, dimana umat
Yahudi tertindas oleh raja Mesir yakni Fir'aun dan pada
perang dunia kedua mereka dibantai secara massal oleh Hitler
dengan Nazinya. Kemudian umat Yahudi melakukan gerakan
diaspora sebagai pembuktian bahwa mereka merupakan umat
terbaik. Keberhasilan gerakan ini tidak dapat dipetik sekitar
satu tahun kemudian, tetapi satu atau dua generasi yang akan
datang. Keberhasilan gerakan yang dimiliki oleh umat Yahudi
dapat dilihat dari tokoh-tokoh dan para filosof yang sebagian
besar umat Yahudi. Bahkan zaman sekarang umat Yahudi
menguasai sebagian besar peradaban dunia. Keberhasilan
mereka jika digali secara sederhana, maka nampak etik pada
diri mereka yang membedakan dengan umat yang lain.
Mereka meyakini bahwa umat Yahudi sebagai umat terbaik
dan ini dinternalisasikan kepada umatnya untuk membukti-
kan sebagai umat pilihan Tuhan. Pada tahapan selanjutnya
Yahudi tertindas oleh sistem dan struktur sehingga ia harus
berjuang keras dengan menggunakan logika pilihan harus
hidup. Etik yang dimiliki oleh Yahudi dan kerja kerasnya
patut dijadikan pelajaran untuk refleksi kepada umat yang
lain. Menurut Paulo Freire, yang menjadikan kelemahan dari
kaum ini adalah mereka memiliki alam bawah sadar sebagai
228
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kaum yang tertindas, maka ketika ia berkuasa akan menjadi
seorang penindas baru. Secara tak langsung diaspora gerakan
kaum Yahudi disebabkan ketertindasan sistem dan struktur,
maka ia berjuang untuk hidup dan meraih kehidupan.
Bentuk diaspora gerakan sebenarnya sudah dilaksanakan
oleh Kiai Ahmad Dahlan dengan pesan yang singkat tetapi
memberikan arti dan makna; "Jadilah kamu seorang insinyur,
dokter, mantri tetapi kembalilah untuk Muhammadiyah".
Anjuran yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan merupakan
pilihan yang tepat dan konstekstual jika diterapkan pada
ikatan ataupun Muhammadiyah. Sederhananya, Muhammad-
iyah ingin bahwa umatnya memiliki pengetahuan yang
beragam tetapi tidak lalai dan lupa atas pengabdiannya
terhadap Muhammadiyah. Kembalinya para kader-kader ke
Muhammadiyah diharapakan mampu memberi pengetahuan
yang baru untuk mengembangkan dan mewujudkan Muham-
madiyah yang peka terhadap realitas sosial. Tetapi sebelum
melakukan diaspora gerakan Kiai Ahmad Dahlan memberikan
etik yang membedakan seorang kader, dan memiliki kepekaan
terhadap Muhammadiyah.
Dua ilustrasi tentang diaspora gerakan yang dilakukan
oleh umat Yahudi dan Muhammadiyah dapat dikonteks-
tualisasikan dalam tubuh ikatan dengan mengambil nilai-nilai
positif dalam mengembangkan organisasi ataupun individu
kader. Ikatan memiliki jumlah kader dan latar belakang yang
beragam, hal ini dilihat dari struktur yang berada dalam
ikatan, jadi yang mesti dilakukan oleh ikatan hanyalah
pergulatan etik yang membedakan kader ikatan dengan yang
lain. Jika ikatan akan menyeragamkan potensial yang dimiliki
berarti tidak bijak dan kurang arif dalam memandang sisi
229
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kader. Penyeragaman bentuk pada ikatan cenderung menjadi-
kan ikatan tidak dapat merespon perkembangan zaman
sehingga pergerakan ikatan hanya mengikuti arus utama
tanpa adanya gerakan yang baru dan kreatif. Tetapi sekali lagi
yang perlu dilakukan oleh ikatan adalah menciptakan gerakan
bersifat internal sebagai organisasi kader dan bersifat ekster-
nal sebagai organisasi pergerakan. Perjuangan gerakan bersifat
internal merupakan bentuk pengkaderan untuk mengisi
kepemimpinan yang akan datang. Ikatan dalam gerakan ini
membangun jaringan agar dapat mendistribusikan kader yang
terbaik, menempati berbagai amal usaha Muhammadiyah
dengan modal etik yang telah dimiliki. Yang tidak boleh
terlupakan sebelum melakukan gerakan diaspora adalah,
mematangkan etik ikatan berupa terbentuknya kesadaran
individu atau kolektif ikatan sebagai intelektual profetik.
Pelaksanakan etik profetik ini merupakan pilihan sadar
sebagai syarat untuk menjadi umat yang terbaik, bukan
semata-mata pemberian dari Tuhan tetapi perlu adanya kerja
keras dan melakukan aktivisme dalam sejarah, sehingga kader
ikatan tidak mudah terjebak dengan logika pragmatisme,
mampu menyiasati gerakan dengan profesional dan kreatif.
Bentuk diaspora kedalam. Diaspora ikatan kedalam
merupakan suatu kewajiban bagi ikatan dan tidak dapat
ditinggalkan dikarenakan ikatan merupakan organisasi kader
dan bertugas untuk menjadi penerus dan penyempurna
Muhammadiyah. Apa yang dilakukan oleh ikatan merupakan
penguatan jaringan dan memberikan dorongan bagi Muham-
madiyah yang tidak menjalankan amanatnya secara konse-
kuen. Ikatan memberi konstribusi pada Muhammadiyah
dalam hal disiplin keilmuan yang dimiliki masing-masing
230
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kadernya, dalam bahasa yang digunakan oleh Muhammad-
iyah, ikatan mendelegasikan kader terbaiknya guna mewarnai
Muhammadiyah dan memberikan corak yang berbeda dengan
ortom lain. Ikatan mengantarkan kader terbaik untuk
memberikan pencerahan, perluasan jaringan guna mengem-
bangkan bakat dan minat kader sesuai dengan disiplin
keilmuannya sehingga dalam mengabdi dalam Muhammad-
iyah para kader bersikap profesional, tidak hanya mengandal-
kan posisi kekaderannya.
Bentuk diaspora keluar. Diaspora keluar merupakan
bentuk keniscayaan guna menciptakan masyarakat yang
diidealkan oleh ikatan. Diaspora keluar dilakukan secara
kolektif atau individu kader sesuai dengan disiplin keilmuan
dan spesialisasi masing-masing kader guna melakukan
perubahan sosial. Kader dalam ikatan bersikap mandiri dan
memiliki tujuan yang sama dalam menciptakan masyarakat
yang telah diidealkan. Secara individual, ikatan berkumpul
dengan golongan profesional menciptakan gerakan sosial yang
spesifik menuju isu tertentu, bukan politis tetapi menyikapi
realitas ril. Individu kader dalam gerakannya bersifat mandiri
ataupun berkumpul dengan golongan yang professional,
mengupayakan gerakan transformasi kesadaran dengan
melakukan gerakan kebudayaan guna menciptakan masya-
rakat yang berkeadilan.
Ikatan terdiri dari berbagai individu yang berkesadaran,
dengan sendirinya ia memiliki tingkat kesadaran kolektif
yang sama, bukan dalam dataran penyeragaman tetapi sudah
dalam bentuk etik, didasari oleh kesadaran ilmu bukannya
ideologis. Gerakan ikatan terdiri atas empat macam; pertama,
diaspora gerakan masuk kedalam berbagai macam sistem.
231
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Ikatan sebagai gerakan intelektual profetik dengan basis
keilmuannya diharapkan dapat memasuki sistem yang ada dan
bahkan menjadi pembuat kebijakan yang memihak kepada
rakyat. Syarat yang utama bagi kader adalah melakukan
transformasi kesadaran sehingga sistem tersebut beretik
profetik dalam rangka mewujudkan keadilan. Jika kader
ikatan tidak dapat membuat kebijakan tersebut paling tidak ia
mampu mengontrol, membuat legal drafting, atau memberi
warna sebagai konstribusi terhadap bentuk kebijakan yang
berkeadilan. Demikian dengan kader-kader ikatan yang eksis
diberbagai partai politik, tetap memiliki etik ikatan guna
menciptakan kebijakan partai untuk kepentingan kemanusia-
an bukan didasari kepentingan pragmatis. Jika kader ikatan
tidak dapat mempengaruhi maka sebaiknya keluar dari sistem
dan membentuk sistem baru.
Kedua, ikatan dalam praksis melakukan pemberdayaan
dan transformasi sosial kepada masyarakat atau kelompok
yang termarginalkan. Pembentukan sistem yang adil dan
berpihak terhadap kemanusiaan merupakan suatu keniscaya-
an. Pembentukan ini merupakan pemberdayaan langsung bagi
ikatan pada kelompok yang termarginalkan oleh kebijakan
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Penerjunan ikatan
dalam melakukan transformasi dengan mengembangkan desa
binaan dan pemberdayaan kaum yang termarginal. Pendam-
pingan yang dilakukan ikatan bersifat kontiyu, terus menerus
sehingga masyarakat memiliki keasadaran dan bersikap kritis.
Hal ini merupakan adopsi dari gerakan LSM dalam pember-
dayaan masyarakat, hanya saja ikatan memiliki etik profetik
dan tujuan yang berbeda. Pemberdayaan bentuk transformasi
dalam masyarakat bersikap langsung dengan menganggap
232
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
bahwa masyarakat sebagai subyek perubahan dan memberi-
kan penyadaran dalam bentuk gerakan sosial atau gerakan
kebudayaan. Gerakan yang kedua ini didasarkan pada ilmu
sehingga dapat ditransformasikan sebagai masyarakat yang
berilmu, bersikap kritis, ilmiah, rasional, terbuka, tidak
terkungkung mitos, tradisi dan tak berpikir material.
Ketiga, pengalihan isu yang bersifat lokal dan kedaerahan
menjadi isu nasional. Dalam peta gerakan sosial dewasa ini,
masyarakat mulai tercerahkan dan mulai peka terhadap
ketidak adilan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga
memunculkan gerakan sosial yang menyebar luas hingga ke
pelosok desa. Isu-isu lokal telah memberi pengaruh terhadap
stabilitas nasional, yang oleh ikatan harus memaksimalkan
fungsi kepekaannya dalam melakukan pengkajian terhadap
permasalahan yang terjadi sekaligus memberi jalan penye-
lesaian. pengembangan isu merupakan langkah gerakan ikatan
untuk memberikan rasa solidaritas terhadap suatu kelompok
dalam melakukan pembaharuan. Pengalihan ini diharapkan
dapat merubah suatu kebijakan yang telah dikeluarkan agar
dapat ditinjau ulang atau bahkan dihentikan.
Keempat, melakukan koordinasi dengan berbagai per-
gerakan sosial yang berada dalam masyarakat guna menuntut
keadilan bersama dalam satu isu dan tujuan yang sama. Ikatan
melakukan kerjasama perluasan jaringan untuk memberikan
dukungan secara moral dan material terhadap bentuk
pembedayaan terhadap masyarakat sehingga menciptakan
kemandirian dan tidak tergantung kepada negara. Bahkan
sewaktu-waktu ikatan mengadakan aksi bersama dengan
seluruh elemen dari lembaga sosial yag konsen terhadap
pemberdayaan agar tercipta suatu keadilan dalam masyarakat.
233
Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Gerakan sosial yang terfragmentasikan ini, oleh ikatan
disatukan dalam rangka menghadapi satu persolan yang sama
yakni masalah kemiskinan dan kemanusiaan. Sedangkan
untuk permasalahan yang lebih spesifik seperti; gender,
masyarakat adat dan keagamaan, maka sikap dan peran ikatan
adalah turut mengembil peran dan alih gerakan dengan cara
melakukan transfomasi sesuai dengan tujuan dan yang dicita-
citakan.
Gerakan diaspora ikatan baik alam bentuk keluar
ataupun kedalam merupakan perwujudan masyarakat yang
telah diidealkan. Masyarakat yang telah diidealkan menjadi
masyarakat yang berkeadilan, menjunjung tinggi hak asasi
manusia, dan tata hukum yang berlaku. Dengan kebijakan
yang adil, menjadikan nilai-nilai Islam tertanam erat hingga
menuju pada khairul ummah sebagai cita-cita kolektif dan
individu kader ikatan.
234
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
B a g i a n
Transformasi Profetik,Mewujudkan Khairul Ummat
A. Prawacana Perubahan
Tidak ada suatu masyarakat yang tidak berubah. Sosiologi
sangat memperhatikan perubahan sosial, oleh karena itu
banyak teori yang dilahirkan untuk menganalisis tentang
perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan proses yang
berkesinambungan, penelaahan mengenai proses tersebut
mempunyai persfektif sejarah atau evolusioner. Pada dasarnya
teori tentang perubahan sosial dapat digolongkan dalam dua
macam teori linier dan teori siklus. (H.A.R. Tilaar, Perubahan
Sosial dan Pendidikan). Perubahan sosial yang terjadi secara
terus menerus tetapi perlahan-lahan tanpa direncanakan
maka dapat dikatakan sebagai uplened social change atau
disebut sebagai perubahan sosial yang tak terencana. Perubah-
an sosial yang demikian, disebabkan oleh perubahan dalam
bidang teknologi atau globalisasi. Ada juga perubahan sosial
yang direncanakan atau didesain dan ditetapkan dalam tujuan
serta srateginya. Ini merupakan perubahan sosial planned
social change (perubahan sosial yang terencana). Perubahan
sosial yang terencana dapat dikatakan sebagai rekayasa sosial.
Dalam rekayasa sosial akan diajarkan kiat dan strategi dalam
mengubah masyarakat.
11
235
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Sebab-sebab perubahan dalam teori sosial beragam, ada
yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ideas;
berupa pandangan hidup, pandangan ideal, dan nilai-nilai.
Teori ini sebagai penyebab utama dalam perubahan sebagai-
mana yang dikemukakan oleh Max Weber. Weber banyak
menekankan betapa berpengaruhnya idea terhadap masya-
rakat. Tesis utama weberianisme adalah pengakuan terhadap
peranan besar terhadap ideologi sebagai variabel independen
dalam perkembangan masyarakat. Hal ini seperti dilakukan
oleh nabi, perubahan sosial berdasarkan idea al Qur'an.
Perubahan dapat dilakukan oleh orang-orang kreatif, mereka
berkumpul kemudian membentuk suatu gerakan sosial untuk
memberdayakan masyarakat. (Jalaluddin Rahmat, Rekayasa
Sosial)
Pemberlakuan strategi dalam perubahan sosial dapat
dipetakan dengan dua cara ; pertama, dengan masuk kedalam
sistem, maka perubahan yang terjadi bersifat revolusioner
yang memiliki dampak menyeluruh. Perubahan terjadi dari
tingkatan atas sampai tingkatan bawah, perubahan dilakukan
dengan menggunakan kebijakan dan bersifat instruktif.
Perubahan ini dapat tercapai lewat jalur partai politik dan
birokrasi karena terkait dengan kebijakan suatu negara atau
pemerintahan.
Kedua, dengan melakukan penyadaran lewat pendidikan,
baik dilakukan oleh LSM ataupun lembaga yang bersifat
transformatif. Perubahan dilakukan melalui penyadaran ter-
hadap masyarakat dengan cara terjun secara langsung dan
melakukan pendampingan bersifat partisipatoris dan trans-
formatif. Masyarakat diajak untuk melakukan refleksi tentang
realitas kehidupannya, dan diajak untuk bersikap kritis
236
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
terhadap kehidupan yang dialami bersama. Perubahan ini
bersifat lambat dan dilakukan oleh orang yang peduli
terhadap kehidupan sosial, biasanya lembaga itu menangani
permasalahan (bidang) tertentu atau spesifik. Hasil dari
perubahan sulit untuk dirasakan dikarenakan ia menyentuh
kerangka berpikir agar dapat mandiri dan tidak memiliki
ketergantungan.
Transformasi dalam istilah antropologi ataupun sosiologi
memiliki makna tentang perubahan yang mendalam sampai
pada perubahan nilai dan kultur. Bersamaan dengan proses
terjadinya transformasi, terjadi pula proses adaptasi, adopsi
atau seleksi terhadap kebudayaan lain. Menurut Neong
Muhadjir pengertian tersebut merupakan hasil pengamatan
atas sejarah dan bagian dari perkembangan ideologi. Misalkan
ideologi kapitalis menitik beratkan pada penumpukan kapital
(modal atau harta) yang bersifat individual. Sementara
kapitalisme menitik beratkan pada konflik antara borjuis-
proletariat sebagai strategi dalam melakukan perjuangan.
Semua filsafat sosial dan ideologi memiliki pertanyaan pokok
yang menjadi kepentingan manusia. Pertanyaan tersebut
yakni bagaimana cara mengubah masyarakat dari kondisi
sekarang ke tatanan yang lebih ideal. Selanjutnya orang atau
institusi yang mengelaborasi pertanyaan tersebut dapat
menghasilkan teori-teori sosial, memiliki fungsi menjelaskan
kondisi masyarakat secara empiris, pada masa kini dan
sekaligus memberikan wawasan tentang perubahan dan
transformasinya.
Transformasi terutama pada perubahan prilaku, dapat
lahir dari sebuah proses perubahan kesadaran dari individu
yang terdapat dalam masyarakat, yakni kesadaran mengubah
237
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
pemahaman, cara pandang, interpretasi dan aksinya. Untuk
pemahaman lebih lanjut, maka akan dibahas perubahan sosial
pada tokoh awal yang mempeloporinya, diantaranya; Emile
Durkeim, Max Weber, dan Karl Marx.
B. Transformasi Sosial Emile Durkheim
Menurut Durkheim dalam memandang masyarakat
bagaikan sebuah tatanan moral, yakni seperangkat tuntunan
normatif lebih ideal dari pada kenyataan material, yang
terdapat dalam kesadaran individu walaupun secara tertentu
berada di luar individu. (Tom Cembel, Tujuh Teori Sosial).
Tuntunan normatif tersebut berbentuk sentimen-sentimen
kolektif atau nilai-nilai sosial yang pada hakikatnya menjadi
dasar bagi kohesi dan integrasi sosial. Durkeim melakukan
transendensi hubungan material yang terjadi secara ril dalam
kehidupan masyarakat. Sentimen kolektif dalam masyarakat
membentuk solidaritas dalam menjalankan kehidupannya.
Durkheim menguraikan dari solidaritas tersebut dalam
masyarakat tradisonal dengan sebutan solidaritas mekanik,
mengalami perkembangan menjadi bentuk solidaritas organik
dalam masyarakat moderen yang telah mengalami pembagian
kerja. Bahwa proses transformasi sosial menurut Emile
Durkheim terjadi karena inspirasi semangat moral, nilai-nilai
atau keyakinan yang sama dalam masyarakat. Kesadaran
kolektif (collective consciousness) yang terbentuk dari
konsensus akan menciptakan gambaran kolektif yang mem-
pengaruhi pola kehidupan masyarakat secara keseluruhan,
baik yang tercermin dalam bentuk hukum ataupun
peraturan. (Suwito, Tansformasi Sosial)
238
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Menurutnya, proses transformasi soial terjadi karena
berubahnya kesadaran kolektif dari solidaritas mekanik
kesolidaritas organik, dimana muncul perbedaan dan deferen-
siasi. Proses transformasi sosial dalam masyarakat tradisional
secara langsung ataupun tidak langsung mengakibatkan
disintegratif solidaritas mekanis. Ini artinya semakin moderen
suatu masyarakat maka akan hilang solidaritas mekanisnya,
dan sifat oraganisasi semakin nampak. Suatu masyarakat
moderen makin jelas diferensiasinya, sehingga rasionalitas
diperlukan guna terciptanya suatu konsensus. Dalam rangka
menjaga solidaritas tersebut menurut Durkheim, diperlukan
hukum repressive (menekan) atas tindakan kejahatan dan
restitutive hukuman yang bersifat akomodatif, keduanya
ditunjukkan untuk memperbaharui solidaritas.
Proses perubahan dalam perkembangan solidaritas me-
nurut Durkheim akan menimbulkan anomi-anomi dan krisis
makna, maka dalam masyarakat akan terjadi kontradiksi
sistem sosial, yakni dengan munculnya deferensiasi fungsional
karena terciptanya lembaga-lembaga ekonomi. Hal ini mem-
berikan arti bahwa perubahan dalam sruktur budaya atau
perubahan dalam nilai sosial, akan mempengaruhi perubahan
pada struktur sosial karena struktur sosial merupakan matrik
dari lembaga-lembaga sosial, termasuk lembaga-lemabaga
kepemimpinan dalam masyarakat. Perubahan struktur budaya
pada akhirnya akan mempengaruhi struktur teknik. Teori
transformasi sosial yang dikembangkan oleh Durkheim
dipengaruhi oleh konsep kemajuan manusia Auguste Comte
yang menyatakan bahwa sebuah masyarakat melewati tiga
tahap yakni; teologis atau khayal, metafisis atau abstrak,
239
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
ilmiah atau positifis. Namun ia hanya terpengaruh oleh corak
positivistik pada Comte.
C. Transformasi Sosial Max Weber
Transformasi sosial Max Weber dimulai dari pandngan
tentang dunia ide, pencapaian tipe idea. Pencapaian idea ini
dapat digerakan oleh dominasi dan otoritas suatu masyarakat.
Otoritas dalam masyarakat dalam pandangan Weber terbagi
menjadi tiga macam; pertama, tradisional (kepercayaan yang
mapan terhadap kesunyian tradisi), kedua, kharismatik (daya
tarik pribadi seorang pemimpin), dan ketiga, legal rasional
(komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundang-
kan secara resmi). Ketiganya mengontrol seluruh kekuatan
masyarakat, bahkan memunculkan birokrasi dan menjadi
sumber penting munculnya cita-cita dan nilai. Hukum baru
dimunculkan secara sadar oleh pemegang otoritas, kesadaran
kaum elit pemengang otoritas dapat mengendalikan masya-
rakat dan sejarah. Peran mereka mendorong masyarakat
untuk melakukan transformasi. Teori sosial ini secara implisit
juga dapat terlihat penjelasannya tentang transisi menuju
kaptalisme. Weber menganggap ajaran dari Protestan Calvinis
memberikan doktrin tawaran penyelamatan umat. Manusia
akan mendapatkan keselamatan dari Tuhan apabila ia
memenuhi keinginan Tuhan. Maksud dari keinginan Tuhan
antara lain usaha mandiri dan kerja keras. Kesuksesan dalam
dunia bisnis yang dicapai melalui usaha mandiri merupakan
"jalan bebas hambatan" menuju surga. Pendapat itu dipercaya
oleh Weber sebagai tipe ideal kaum calvinis, yang menjadi
asal usul bangkitnya kapitalisme.
240
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Weber menegaskan kapitalisme berkembang bukan
hanya karena agama protestan, tetapi tanpa nilai religius
kapitalisme tidak akan berkembang. Maka hal yang perlu
diperhatikan dalam perkembangan kapitalisme adalah adanya
peraturan secara teknis mengikat dan menjamin keberhasilan
kapitalisme. Dengan menggunakan hukum rasional seorang
kapitalis akan dapat tegak secara hukum . begitu juga seorang
kapitalis tidak dapat berbuat apa-apa jika pengadilan mem-
buat keputusan hukum sesuai dengan cara-cara teknis yang
meliputi cara perhitungan rasional dengan pembuatan neraca,
kalkulasi dan sebagainya. (L. Laeyendecker, Tata Perubahan
dan Ketimpangan). Proses transformasi sosial menurut Weber
dikarenakan ada beberapa faktor yang menggerakkan,
pertama, pencapaian "tipe ideal", yang dimaksudkan dapat
terispirasi dari ajaran agama ataupun moral. Tipe ideal adalah
contoh dari kegiatan modal sosial yang dipakai dalam
memahami dan menafsirkan tingkah laku manusia atau dapat
dikatakan entitas mental dan gagasan tentang tindakan
(sebagai contoh Weber menggunakan tipe ideal kapitalis).
Kedua, organisasi otoritas, kepentingan sesuai dengan
tipe idealnya maupun kepentingan materinya, peranan
organisasi-organisasi otoritas dipandang menentukan. Fungsi
dan peran organisasi otoritas akan memberikan jaminan dan
legitimasi (tipe ideal) yang diinginkan. Hukum–hukum
rasional yang mereka ciptakan, kemudian dijadikan sandaran
dalam kreatifitas. Dengan pernyataan itu, Weber menganggap
bahwa faktor organisasi otoritas menjadi awal dari trans-
formasi, walaupun tipe ideal itu terdapat dalam masyarakat,
namun tipe ideal tersebut tidak diperjuangkan dengan
bantuan organisasi otoritas (terutama otoritas rasional), maka
241
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
upaya penyampaian itu tidak akan berhasil sepenuhnya.
Otoritas kaum elit di dalam masyarakat menciptakan legit-
imasi untuk mempertahankannya melalui sistem simbol
sebagai justifikasi kultur atas posisinya yang dominan secara
ekonomis atapun politis. Dominasi kaum elit pada struktur
teknik, menjadi agen perubahan budaya yang akhirnya akan
mempengaruhi struktur sosial. (Kuntowijoyo, Paradigma
Islam).
D. Transformasi Sosial Karl Marx
Transformasi sosial yang dikemukakan oleh Marx secara
filosofis dipengaruhi oleh filsafat materialisme (M. Amin Rais,
Cakrawala Islam). Filsafat materialisme memiliki anggapan
dasar bahwa kenyataan berada diluar persepsi manusia,
demikian juga kenyataan obyektif sebagai penentu terakhir
dari ide. Materialisme mengarahkan anggapan bahwa kenya-
taan sesungguhnya merupakan benda atau materi, dan
kenyataan ini diacukan untuk menjawab sejumlah soal yang
berhubungan dengan sifat dan wujud dari keberadaan. (Andi
Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx). Marx tidak
mengakui hakekat atau kenyataan selain materi yang dapat
diraba, diobservasi dan dapat diukur, alam yang bukan materi
merupakan khayalan atau ilusi belaka. Kepercayaan Marx
tentang dialektika materialisme di ilhami oleh pemikiran
filosof Yunani Heraclitus, yang menyatakan bahwa dunia ini
tidak ada yang tetap atau tidak ada yang abadi (selalu
berubah). Pemikiran dilalektika juga terpengaruhi oleh GWF.
Hegel yakni dialektika idealis. Dialektika yang dimaksudkan
oleh Hegel bahwa sesuatu itu hanya benar apabila dilihat
dengan seluruh hubungannya, yang berupa negasi. Negasi
242
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
bermaksud menghancurkan atau meniadakan, tetapi pe-
nyangkalan segi yang salah (yang membuat pernyataan itu
salah), tetapi kebenarannya tetap dipertahankan. Hingga
akhirya Hegel memahami proses dialektika melalui tiga fase,
meliputi; tesis, antitesis (sebagai lawan dari tesis), dan yang
mendamaikan diantara keduanya adalah sintesis.
Hal ini berbeda dengan Hegel, Marx mencoba membalik-
kan formulasi Hegel, yakni dialektika idealis menjadi
dialektika materialis. Marx merasa metode dialektikanya
menjadi lawan langsung dari Hegel, proses berpikir menurut
Hegel berawal dari penciptaan dunia nyata, dan dunia
merupakan manifestasi dari "idea". Sedangkan baginya terlihat
dalam cita (the ideal) tidak lain adalah dunia nyata (material
world) yang telah direfleksikan oleh pemikiran manusia dan
dipindahkan menjadi buah pemikiran. (Deliar Noer,
Pemikiran Politik di Negeri Barat) Transformasi sosial yang
dipahami oleh Marx secara filosofis memiliki turunan dari
materialisme yang akhirnya memiliki teori-teori determin-
isme historis dan materialisme historis. Marx mengatakan
hubungan manusia didalam komunitas masyarakat kembali
pada benda atau zat yang telah membentuknya. Marx juga
mengungkapkan bahwa perkembangan sesuatu (termasuk
perubahan jasmaniah atau benda) melahirkan ide, pemikiran
dan gagasan. Dalam perjalanan sejarahnya manusia dipeng-
aruhi oleh produksi yang menjadi penggerak sejarah perubah-
an sosial masyarakat. Proses perubahan masyarakat bergerak
dari komunisme primitif keperbudakan, feodal, kapitalisme
(borjuis), sosialisme dan kemudian komunisme. Komunisme
menjadi muara dalam perjalanan sosial suatu masyarakat.
Dalam menuju perkembangan tersebut, manusia tidak berarti
243
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
tertidur (diam) menanti perkembangan yang diinginkan.
Usaha yang dilakukan dengan cara perjuangan kelas akan
menggerakkan perubahan atau transformasi. Setiap kelas
memperjuangkan kelasnya masing-masing, oleh karena itu,
menurut Marx peranan manusia bukanlah untuk memahami
sejarah tetapi untuk menciptakan sejarah atau untuk mem-
buat sejarahnya sendiri. Marx menganalisis dalam perkem-
bangan industrialisasi menyebabkan kelas baru yakni kelas
proletar, dan kelas ini dalam masyarakat industri menjadi
miskin. Oleh karena itu menurutnya, struktur kapitalisme
menyebabkan pemiskinan masal dan memeras buruh tanpa
memperhatikan kesejahteraannya.
Perjuangan kelas dalam rangka melakukan pembebasan
dari kelas borjuis, maka kelas proletar harus bersatu meng-
gulingkan kelas penindas. Perjuangan ini akhirnya merubah
sistem sosial kemasyarakatan. Pandangan Marx tentang
perubahan sosial bahwa faktor yang menyebabkan perubahan
sosial yakni kesatuan cara pandang, nilai dan perasaan kaum
tertindas, yang membentuk dan mempengaruhi cara pandang
nilai serta ras (bahkan pembuatan aturan baru) dalam masya-
rakat yang berpangkal pada unsur material yang membentuk
struktur sosial (kelas, eksploitasi dan alienasi) sedangkan
struktur sosial akan merubahnya menjadi stuktrur teknik
(kekuasaan kelas melalui negara). Struktur kelas kekuasaan
teknik mempengaruhi budaya (nilai, cara pandang, estetika
dan dominasi kaum intelektual).
E. Transformasi Profetik
Transformasi profetik merupakan derivasi dari etika
profetik, dengan ilmu sosial profetik yang menjadikan alat
244
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
untuk melakukan perubahan sosial, sehingga bentuk trans-
formasinya pun dinamakan dengan transformasi profetik.
Transfomrasi ini dilhami bagaimana cara nabi melakukan
transfomasi yang bukan sekedar membebaskan dari keter-
tindasan tetapi sekaligus mengarahakannya. Arahan yang
dilakukan oleh nabi dengan membentuk sistem yang lebih
berkeadilan, dan didasari oleh iman.
Hubungan KausalStruktur Budaya, Sosial dan Teknik dalam
Paradigma Transformasi Sosial (Durkeim, Weber, dan Marx)
TokohStrukturBudaya
Struktur SosialStrukturTeknik
DurkheimSentimen kolektifnilai-nilai sosial
Diferensiasi sosialdan insentif
kepemimpinan
WeberLegitimasisimbolik
Stratifikasi,akumulasi dan
kemakmuran, sertakehormatan
Dominasi;otoritas kaum
elit
MarxDominasi
intelektual,estetika dan nilai
Kelas, eksplotatifdan alienasi
Kekuasaankelas melalui
negara
Menurut Kuntowijoyo, transformasi profetik lebih dekat
dengan paradigma perubahan yang dilakukan oleh Durkheim,
dari pada paradigma transformasi yang dikemukan oleh Marx
dan Weber. Bahwa struktur sosial merupakan sentimen-
sentimen kolektif atau nilai, termasuk agama dan nilai idea-
logis. Struktur sosial kelompok sosial lebih terorganisir dalam
suatu lembaga yang tidak terlalu formal misalkan; suku, ras,
dan jama'ah. Sedangkan struktur teknik merupakan realitas
yang menjadi saran mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Iman menjadi pelekat atau dasar sentimen kolektif dalam
245
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
struktur internal umat. Melalui kesadaran manusia dapat
membentuk konsep tentang struktur yang didasarkan pada
sistem nilai, sehingga orientasi kesadaran dapat dipahami
secara empirik.
Demikian dengan keberadaan ikatan, untuk memahami
ajaran Islam yang bersifat normatif diperlukan transformasi
profetik sehingga merubah kesadaran menjadi obyektif dan
ilmiah. Kesadaran yang dibawa dalam transfomasi profetik
ada dua macam; pertama, menjadikan ajaran atau nilai-nilai
agama menjadi objektif. Dalam rangka mencapai hal tersebut,
maka yang diperlukan merupakan pergeresaran paradigama
(shifting paradigm) dari ajaran Islam yang menekankan
kesalehan individu menjadi obyektif yang menekankan
kesalehan sosial. Hal ini dicontohkan oleh Amin Abdullah
dalam tasawuf, corak keagamaan yang dibawa menekankan
spiritualitas dan kesalehan individu, harus berubah menjadi
bentuk moralitas Islam yang ditujukan kepada kehidupan/
lingkungan. Selanjutnya dalam rangka menjadikan nilai Islam
dapat diterima oleh golongan lain, Kuntowijoyo menawarkan
konsep obyektifikasi terhadap al Qur'an. Obyektifikasi ini
menjadikan nilai-nilai Islam diterima oleh umat manusia
tanpa melihat dari mana asal-usulnya. Melalui obyektifikasi
menjadikan ajaran Islam bersifat obyektif (diterima oleh
siapapun) dan bukan subyektif, hanya dalam pemahaman
beragama saja (Islam).
Obyektifikasi merupakan usaha aktif untuk menjadikan
ajaran Islam dapat memberikan rahmat pada semua. tanpa
memandang, ras, warna kulit, dan agama. Misalkan umat
Islam harus berbuat adil terhadap siapapun, tanpa pandang
bulu. Obyektifikasi berasal dari internalisasi nilai, tidak dari
246
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
subyektifikasi kondisi yang obyektif. Obyektifiksai merupa-
kan penerjemahan nilai-nilai internal kedalam kategori-
kategori obyektif. Nilai-nilai agama tereksternalisasi sehingga
mengalami obyektifikasi, dan menjadi gejala obyektif,
kemudian tersubyektifikasi dan terus berdialektika.
Eksternalisasi merupakan konkretisasi keyakinan yang
dihayati secara internal. Misalkan zakat, untuk membersihkan
harta yang dimiliki, dengan menunaikannya maka telah
membentuk eksternalisasi dan menjadi ibadah. Obyektifikasi
menempuh prosedur yang sama dengan eksternalisasi, tetapi
dalam obyektifikasi perbuatan tersebut harus sewajarnya dan
natural, tidak dilakukan semata-mata karena prilaku ke-
agamaan.
Obyektifikasi Islam bersifat sangat terbuka dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan mungkin inilah
yang dimaksudkan oleh Ahmad Syafi'i Maarif dan M. Quraish
Shihab, dengan menggunakan istilah "membumikan al
Qur'an", yang artinya kira-kira sama dengan eksternalisasi.
Obyektifikasi memerlukan umat yang dapat berpikir logis
berdasarkan fakta konkret dan empiris. Sebaliknya untuk
orang non Islam juga dapat melakukan hal yang sama melaku-
kan obyektifikasi ajarannya sehingga dapat diterima dan
dilaksanakan dari luar golongannya, dikarenkan sudah ber-
sifat natural dan sewajarnya. Misalnya, ilmu akupuntur
merupakan obyektifiksai dari ajaran Budha, sehingga ia dapat
diterima oleh semua kalangan, dihargai dan diamalkan untuk
kepentingan kemanusiaan.
Kedua, transformasi Profetik dalam bentuk merubah
kesadaran dari mitos, ideologi, kedalam bentuk kesadaran
ilmu. Periode mitos ditandai dengan cara berpikir pralogis
247
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
(mistik) berbentuk magi, pergerakan politik (pemberontakan)
dengan lokalisasi pedesaan, bersikap lokal sebagai latar
belakang ekonomi agraris, masyarakat petani solidaritas
mekanis, dan kepemimpinan tokoh kharismatik. Mitos me-
rupakan suatu konsep kenyataan yang mengandaikan bahwa
dunia pengalaman kita sehari-hari terus menerus disusupi
oleh keuatan yang keramat. (Peter L. Berger dan Thomas
Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan).
Menurut Kuntowijoyo setidaknya ada dua ciri berpikir
secara mitos, pertama menghindar dengan menggunakan
simbol seperti upacara ruwatan dan sesaji. Kedua, meng-
hindari yang konkret menuju yang abstrak. (Kuntowijoyo,
Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas). Sebelum
negara ini merdeka, rakyat memitoskan ratu adil atau menanti
kedatangan Imam Mahdi (konsep Islam) yang akan berbuat
keadilan dan menyelamatkan umat dari penderitaan dan
penindasan dari pemimpin yang tiran sehingga tercipta
kedamaian. Mitos kemudian berkembang pada pemikiran
seseorang atau pada seseorang yang dianggap sebagai penye-
lamat seperti mitos Soeharato sebagai bapak pembangunan.
Pada periode ideologi setidaknya terdapat pertentangan
antara kapitalis, komunis, dan bahkan Islam (agama) yang
dianggap sebagai ideologi. Ketika agama menjadi ideologi
akan melakukan formalisasi dengan batasan-batasan kepen-
tingan politik, sifat agama yang terbuka dan luas, dibungkus
dengan kemasan ideologi dengan momen yang diangung-
angungkan tanpa peduli atas tujuan agama itu sendiri. (A.
Mustofa Bisri, Belajar Tanpa Akhir dalam Epilog, Ilusi Negara
Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Indonesia).
Agama yang tadinya bersifat terbuka akan menjadi tertutup
248
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dan mengakibatkan truth claim terhadap kebenaran. Selanjut-
nya dalam perode ideologi, kerangka berpikir organisasi
bercorak rasional (rasional nilai) tetapi non logis berbentuk
pengetahuan apriori tentang nilai-nilai abstrak, lokasi kota,
perkumpulan bersifat nasional, ekonomi komersial dan
industri kecil, solidariatas organis, kepemimpinan intelektual.
Berikut ini tabel pembedaan masa mitos ke ideologi;
Waktu Fakta Norma Sifat Cakupan Tujuan
MitosTidakpeduli
Konsensussosial
Irasional Lokal Utopia
Idealogi subjektifKepentingan kelompok
Rasional NasionalRekonstruk
si sosial
Ideologi, dalam melakukan perubahan sosial bersifat
rasional tetapi dalam gerakannya berdasarkan kesadaran yang
pasif. Gerakan yang dilakukan dalam kerangka pikir ideologi
berdasarkan emosi bukan rasionalitas, yang berkesadaran
hanyalah kaum elit, dan masyarakat sebagai alat untuk ber-
gerak melakukan perubahan tanpa dilibatkan secara sadar,
bentuk kesadaran masyarakat hanyalah kesadaran semu.
Kesadaran semu, dikarenakan masyarakat tidak mengerti
secara jelas tujuan dalam melakukan perubahan. Gerakan
ideologi ini menjadikan ia bersikap eksklusif dan tertutup
dengan pengetahuan yang lain. Bentuk berpikir dalam
melihat realitas sosial yang empiris dikembalikan pada
persoalan meta fisika dan tak logis, sehingga apriori dan
abstrak dalam menyelesaikan masalah.
Dalam kesadaran ideologi yang terpenting adalah
memanfaatkan atau mobilisasi massa, berbeda halnya dengan
kesadaran ilmu, mementingkan kesadaran masyarakat yang
249
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dapat berpikir secara logis, berdasarkan fakta konkret dan
empiris. Ajaran Islam tidak lagi dipahami dalam kerangka
ideologi, tetapi mengembangkan Islam sebagai ilmu. Ilmu
memiliki pendekatan yang bersifat kultural, berarti setiap
gagasan harus digulirkan terlebih dahulu, terserah orang
mengambil atau tidak, tidak ada dominasi atau hegemoni.
Kultural juga menggunakan kekuatan budaya, sehingga
rekonstruksi yang telah dilakukan oleh ilmu secara parsial
atau ilmu menghendaki perubahan secara terperinci. Ilmu
akan memasuki masyarakat moderen dan industrialisasi,
dikarenakan proses idustrialisasi merupakan pengembangan
dari ilmu. Sebagaimana dalam industrialisasi meniscayakan
dua hal yakni rasionalisasi dan sistemisasi. Pola pikir rasional
seperti ditunjukkan dalam perilaku ekonomi akan dominan
dalam masyarakat industri, menggantikan cara berpikir
berdasarkan nilai, persamaan dan tradisi. Sistemisasi dikarena-
kan segala sesuatu tidak lagi diatur oleh orang melainkan oleh
sistem, sistemisasi dilakukan agar segala yang berlaku secara
adil dan jujur. Segala kepentingan dan kebijakan diatur dan
dilakukan dalam kerangka sistem yang baik, politik, maupun
ekonomi. (Kuntowijoyo, Indentitas Politik Umat Islam)
Dalam kesadaran ilmu, yang dilakukanadalah menjadikan
Islam sebagai suatu agama yang obyektif (untuk siapa saja
tanpa memandang predikatnya, memandang sesuatu dari
sudut pandang yang sebenarnya, tanpa dipengaruhi keyakinan
pribadi), dapat diterima orang luar tanpa menyetujui nilai
asal. Menurut Kuntowijoyo dalam kesadaran ilmu dapat
dilihat dari berbagai hal salah satu diantaranya adalah ilmu
ekonomi Islam dan aplikasinya, politik praktis dan pemikiran
keagamaan. Ilmu ekonomi Islam yang menerapkan sistem
250
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
perekonomian syari'ah, menggarap institusi moderen yakni
perbankan Islam (bank syari'ah) dan Baitul Maal wa Tamwil
(BMT). Selain itu, masih dalam bidang ekonomi, dengan
munculnya sekolah tinggi ekonomi syari'ah, yang menawar-
kan program keuangan dan perbankan syari'ah, akuntansi
syari'ah dan menajemen syari'ah. Selanjutnya dalam bidang
politik munculnya partai yang berangkat dan berakar dari
moral agama, kemanusiaan dan kemajemukan. Partai tersebut
memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi dan kemaju-
an, serta keadilan sosial untuk cita-cita masyarakat. Moralitas
dan kemajemukan bagi Kuntowijoyo ini, menjadi sebuah
gejala objektif. Moralitas agama berasal dari ajaran tentang
ta'aruf (saling mengenal) dan rahmatan li al alamin (rahmat
untuk semua orang). Kemajemukan juga berarti Islam meng-
akui adanya pluralisme dan sekaligus menjadi praktik politik.
Sedangkan dalam pemikiran keagamaan menjadikan
spiritualitas bercorak kesalehan individu, berubah mejadi
moralitas dalam segala hal sehingga menjadi kesalehan sosial
bagi agama, sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh semua
orang. Berikut ini merupakan bentuk bagan pemetaan
kerangka berpikir mitos, ideologi dan ilmu menurut Kunto-
wijoyo;
Dasar: Nilai Islam Mitos Ideologi IlmuCara berpikir Pralogi Nonlogis Logis
Bentuk Magi Abstrak/apriori Konkret/empiris
Transformasi profetik dalam hal ini menjadi agama
sebagai semangat moral dalam berbagai bidang sesuai dengan
keahlian masing-masing kader ikatan dan menjadikan nilai-
251
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
nilai agama tidak bersifat subyektif tetapi agar kader
menjadikan agama sebagai gejala obyektif. Melalui trans-
fomasi ini, masyarakat juga diarahkan pada suatu cita-cita
atau tujuan dimana manusia semakin mendekatkan diri ke-
pada Yang Maha Abadi, dan transformasi tersebut diarahkan
pada yang transendensi dengan melalui humanisasi, dan
liberasi. (Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu)
Transformasi profetik yang dilakukan oleh ikatan
merupakan bentuk kesadaran kolektif untuk mencapai cita-
cita. Transformasi juga dapat dilakukan secara individual pada
kader ikatan guna mencapai tujuan yang sama. Bentuk trans-
formasi individual dari kader ikatan merupakan upaya untuk
menanamkan kesadaran profetis pada masyarakat. Ketika
kader ikatan bergabung dengan aliran yang profesional, maka
kader tersebut mentransformasikan kesadaran ini, agar
menjadi etik oraganisasi. Selanjutnya melakukan koordinasi
intensif untuk menggalang kerjasama. Usaha yang dilakukan
ikatan melalui kesadaran kolektif, membuat kebijakan organi-
satoris yang memanusiakan manusia, bersifat liberatif dan
transenden. Ikatan dengan kesadaran kolektifnya mem-
bentuk kerja praksis kemanusiaan dalam rangka mencapai
masyarakat yang ideal. Kerja ikatan ini bersifat jangka panjang
dan holistik, menjadikan agama dengan nilai-nila idealogis-
normatif menjadi obyektif yang dapat diterima oleh seluruh
manusia tanpa tahu asal-usulnya.
F. Khairul Ummat
Menurut para filosof, manusia jika ditinjau berdasar
tabiatnya, bersifat politis, dimana memerlukan suatu organ-
isasi sosial kemasyarakatan yang dinamakan dengan pola kota
252
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
(al madinah). Dari itu, dapat melahirkan peradaban yang
didasarkan pada manusia dalam mempertahankan hidup,
terpola dengan cara memperoleh makanan atau kejayaan.
Tidak hanya itu, manusia memerlukan kebutuhan aktualisasi
diri; pekerjaan, dunia yang profesional, dan berkerjasama
dengan yang lain. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah). Kerjasama
yang membuat organisasi kemasyarakatan berjalan dengan
baik dan makin kompleks, menjadikan prayarat mutlak men-
ciptakan peradaban atau suatu kota. Hal tersebut pernah ter-
jadi pada organisasi kemasyarakatan yang tertata dengan adil,
telah mewujudkan masyarakat yang ideal, pada masa nabi
dikenal dengan kota “madinah”, merupakan pengejewan-
tahan khairul umat .
Khairul umah merupakan cita-cita ideal yang ingin di-
capai oleh ikatan setelah mewujudkan transformasinya.
Khairul ummah bukanlah utopia yang tak terlaksana seperti
kaum Marxisme yang mencitakan masyarakat tanpa kelas.
Tetapi bagi ikatan, khairul umah merupakan proses dan kerja
keras dalam melakukan perubahan yang perwujudannya
dapat dilaksanakan dengan menyiapkan sumber daya
sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh generasi yang akan
datang. Hal ini menjadikan ikatan berpikir kedepan dan
merupakan tugas individu kader maupun kolektif ikatan
mewujudkan cita tersebut. Khairul ummah merupakan aktiv-
isme sejarah bercorak kemanusiaan.
Khairul ummah merupakan masyarakat ilmu (ilmiah,
rasional berpikir logis, empiris dan konkret), dan berkeadilan
yang merupakan suatu masyarakat yang adil, sistem memihak
kepada kaum miskin, tanpa penindasan, dan disemangati
nilai-nilai transendensi atau senantiasa dalam naungan Tuhan.
253
Transformasi Profetik, Mewujudkan Khairul Ummat
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Transformasi profetik yang memiliki tiga pilar; humanisasi,
liberasi dan transendensi menjadikan langkah dan gerakan
ikatan dalam mewujudkan masyarakat yang ideal. Kunto-
wijoyo menyebutkan masyarakat idealnya dengan mengguna-
kan istilah garden city, merupakan proses dari masyarakat
industri lanjut. Industri lanjut ini merupakan pengkritisasian
masyarakat industri moderen.
Kuntowijoyo menggambarkan garden city sebagai per-
paduan masyarakat dari dua kebudayaan yakni kebudayaan
agraris dengan industri. Masyarakat industrial menghasilkan
kota satelit, kota diluar kota, villa-rumah diluar kesibukan,
village-desa dengan konsep kota, metropolitan kota besar,
megapolitan kota super besar. Sedangkan garden city merupa-
kan kota super besar, didalamnya terdapat taman, pertanian
dan hutan, dengan maksud secara ekologis kota tetap layak
huni dan demikian juga, secara sosial, moral, dan spiritual.
Dengan kata lain, bumi ini hanya layak dihuni oleh manusia
yang beragama. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid).
Garden city yang dimaksudkan sebagai rincian dari
khairul ummah, sebagai titik pangkal realisasi program kema-
nusiaan atas kelanjutan pembaharuan sosial-budaya yang ber-
basis pada kesadaran keagamaan. Dalam garden city pembela-
an kaum tertindas sebagai tema utama dari sosialisme dan
tradisi lokal yang ditempatkan dalam praksis nahi munkar,
diberi makna liberasi. Ide progres kapitalisme diberi santunan
akhlak mahmudah sebagai praksis amar ma’ruf, dan bagi
penundukan kapitalisme diberi makna humanisasi. Kedua
tindakan itu serentak dalam transendensi sebagai praksis
kesadaran iman. (Abdul Munir Mulkhan, Kepemim-pinan
Profetik dalam Satu Abad Muhammadiyah).
254
Nalar Profetik-Transformatif; Dari Episteme ke Praksis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Epilog
Nalar Profetik Transformatif :dari Episteme ke Praksis
Oleh : Zakiyuddin Baidhawy
Gagasan Muhammad Abdul Halim Sani tentang mani-
festo gerakan intelektual profetik perlu memperoleh sambut-
an yang hangat dari dua sisi. Pertama, sebagai intellectual
exercise penulisnya, gagasan ini merupakan wacana yang
mesti digulirkan secara terus-menerus seperti snowball
dengan harapan dapat memancing gayung sambut pemikiran
sebaya dalam rangka memperluas perspektif dan memper-
tajam analisisnya. Kedua, kerangka pikir profetik perlu
menggugah spirit religiusitas yang momot-sensitif humanitas
dalam pergulatan kehidupan dunia yang nyata dan senantiasa
berubah.
Menurut saya, ide tentang profetisme harus terus digulir-
kan hingga benar-benar mewujudkan nalar profetik, yang
mencakup kerangka epistemik yang sistematik dan panduan
praksis untuk berhadapan dengan isu-isu kontemporer yang
berkembang. Saya menyebutnya sebagai nalar profetik-trans-
formatif (al-`aql al-nubuwwah wa al-taghyir).
Nalar profetik-transformatif bersandar pada paradigma
kenabian. Karena itu Nabi Muhammad adalah modelnya.
Penamaan paradigma ini sudah diperkenalkan oleh M. Iqbal,
intelektual dan cendekiawan Muslim Pakistan. Ia membeda-
255
Nalar Profetik-Transformatif; Dari Episteme ke Praksis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
kan antara kesadaran profetik (prophetic consciousness) dan
kesadaran mistik (mystical consciousnes). Berpangkal pada
pengalaman mi’raj, Nabi tidak menenggelamkan dirinya
sebagai mistikus yang hanyut dalam asyik masyuk perjumpa-
an dengan Tuhannya dan tidak kembali ke bumi. sebaliknya,
dengan kesadaran penuh beliau kembali ke bumi untuk
melakukan perubahan sosial guna mengubah jalannya sejarah
(Iqbal, 1981: 124). Tampaknya Kuntowijoyo (1991: 288-289)
menyetujui paradigma ini. Menurutnya, Nabi Muhammad
telah memulai suatu transformasi berdasarkan cita-cita
profetik. Ia juga menyebut ilmu sosial Islam sebagai ilmu
sosial profetik dengan metodologi ilmuisasi Islam, bukan
Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana ditawarkan oleh al-
Faruqi, yang diikuti oleh M. Amien Rais.
Penulis memahami bahwa pada hakikatnya nabi dan
rasul merupakan teorisi sekaligus praktisi tauhid sosial.
Mereka mengajarkan tentang (dan memberi teladan) ketidak-
takutan untuk mengkritik masyarakat di zamannya; sekaligus
memberikan visi tentang masyarakat masa depan yang adil,
rasional, dan sejahtera; dan mereka terlibat menjadi agent of
social change par excellent.
Secara garis besar dapat disebutkan tiga ajaran sosial
profetik sebagai berikut: Pertama, mereka menentang pe-
nindasan, ketidakadilan dan eksploitasi orang miskin, musta-
dh’afin, minoritas, dan kelas pekerja dalam berbagai bentuk
dan motif. Kedua, secara normatif mereka mengartikulasikan
teori masyarakat yang benar sebagai alternatif dan jawaban
realistik untuk zamannya. Ketiga, mereka terlibat dalam
kehidupan masyarakat dan berpartisipasi dalam aksi sosial
256
Nalar Profetik-Transformatif; Dari Episteme ke Praksis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
yang bertujuan mengubah masyarakat. Menurut kacamata
posmodernisme, mode of thinking semacam ini disebut se-
bagai dekonstruksi kreatif.
Tiga ajaran sosial di muka disebut sebagai paradigma
profetik yang merupakan kesatuan dari: teori kritik sosial
(naqd al-ijtima`iy), yakni kritik yang konsisten, sistematik,
komprehensif dan koheren terhadap masalah-masalah yang
terjadi dalam masyarakat dalam lapisan kehidupan sosial,
budaya, ekonomi dan politik; teori normatif sosial meng-
artikulasikan dan menawarkan suatu model masyarakat di
mana penyakit-penyakit sosial dapat dieliminasi; dan trans-
formasi praksis sebagai strategi aksi sosial yang bertujuan
untuk mengubah, mereformasi, dan atau mentransformasi
masyarakat secara rasional, adil dan benar.
Nalar profetik-transformatif mendorong religiusitas yang
memihak kemanusiaan (humanitas). Karena itu ia tidak
netral, selalu terkait dengan nilai-nilai. Maka penting untuk
dipahami bahwa gerak spiral nalar ini mesti dimulai dengan
teori kritik yang kritis bukan tradisional atas tatanan
masyarakat yang sedang berjalan. Meminjam penjelasan
Horkheimer (1968), teori kritis memiliki perbedaan karakter
dari teori tradisional.1 Teori kritis menggunakan metode
1. Dalam pemahaman tradisional teori adalah perumusan prinsip-prinsip umum dan akhir yang
melukiskan dan menginterpretasikan realitas. Maka teori tidak lain adalah keseluruhanproposisi tentang sesuatu. Ada keterpaduan di antara proposisi-proposisi itu yang terdiri daribeberapa proposisi dasar dan turunan. Horkheimer mengkaitkan lahirnya teori tradisional inidengan Descartes yang berusaha mencapai proposisi-proposisi umum dengan cara kerjadeduktif berdasarkan metode ilmu pasti. Metode ilmu pasti ini hendak digunakan dalam ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Teori tradisional memisahkan fakta dari nilai dan hanyamenganalisis fakta dengan hukum-hukum dan metode-metodenya. Teori tradisional netralterhadap fakta di luar dirinya. Oleh karena itu teori tradisional itu bersifat ideologis:
257
Nalar Profetik-Transformatif; Dari Episteme ke Praksis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dialektika terbuka yang mempunyai kekuatan kritis karena
pemikiran dialektis mencari kontradiksi-kontradiksi di dalam
masyarakat konkret. Teori Kritis hendak memberi kesadaran
bagi pembebasan manusia. Fungsinya emansipatoris.
Sesuai dengan karakter teori kritis, maka kritik sosial
dalam nalar profetik-transformatif bercirikan; pertama,
kesadaran kritis terhadap masyarakat aktual. Dengan kaca-
mata ini, ia perlu melakukan pembongkaran atas topeng-
topeng sosial yang digunakan untuk menutup-nutupi mani-
pulasi, ketimpangan dan kontradiksi-kontradiksi dalam
masyarakat. Kedua, berpikir secara historis dan berpijak pada
proses masyarakat yang historis. Nalar profetik-transformatif
berakar pada situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu.
Ketiga, bersifat kritis terhadap dirinya sendiri. Maksudnya,
nalar profetik-transformatif menyadari risiko bahwa setiap
kritik sosial yang dikemukakannya sangat mungkin jatuh ke
dalam salah satu bentuk kecenderungan ideologis, karenanya
ia perlu mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi,
kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri. Terakhir, teori
dengan maksud praksis. Artinya nalar profetik-transformatif
merupakan serangkaian teori-kritik sosial dan normatif sosial
yang tidak memisahkan dirinya dari praksis. Karena itu ia
Pertama, sikap netral melestarikan keadaan yang ada. Kenetralan berarti tidakmempertanyakan realitas, tetapi hanya menerima dan membenarkannya. Maka toeritradisional berlaku sebagai ideologi yang melestarikan kenyataan itu. Kedua, sifat teoritradisional itu a-historis: dengan memutlakkan ilmu pengetahuan universal, teori tradisionalmelupakan masyarakat dalam proses historisnya. Dengan cara ini teori merupakan penipuanideologis karena menutupi kenyataan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah salah satu aktivitasdalam masyarakat. Ketiga, teori tradisional memisahkan teori dengan praksis. Tidakdipikirkan implikasi sosial dari teori. Maka teori tradisional tidak bertujuan mengubahkeadaan, malah melestarikan status quo masyarakat.
258
Nalar Profetik-Transformatif; Dari Episteme ke Praksis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dibangun justru untuk mendorong transformasi masyarakat
dan transformasi masyarakat itu dilakukan hingga ke tahap
praksis. Jadi, nalar profetik-transformatif merupakan komit-
men praksis pemikir-pemikir kritis di dalam sejarahnya.
Nalar profetik-transformatif dan tiga ajaran sosial di
muka memandu arah perubahan sosial dalam sistem masya-
rakat. Masyarakat sebagai sebuah sistem terdiri dari lima sub
sistem yang menopangnya; sub sistem politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan personalitas. Yang termasuk kedalam sistem
politik ialah negara, pemerintahan, partai politik, dewan
perwakilan, peradilan, birokrasi, pemilihan umum, dsb.
Sistem ekonomi mencakup pembagian kerja, dunia kerja
bisnis enterprise, sistem perbankan, finansial publik, organ-
isasi perusahaan, distribusi kekayaan dan pendapatan
nasional, dst. Sosial melingkupi keluarga, hubungan dan
jaringan kekeluargaan, persahabatan dan sebagainya. Sistem
budaya meliputi institusi keagamaan, institusi pendidikan,
organisasi ilmiah, organisasi seni, dll. Dan sistem personalitas
mencakup tipe personal yang dilahirkan oleh masyarakatnya,
pola-pola akulturasi, sosialisasi dan motivasi yang diinginkan
oleh masyarakat terhadap individu anggotanya untuk meng-
internalisasi dan menerimanya dengan tujuan agar setiap diri
setia untuk merealisasikan nilai-nilai dan tujuan masyarakat-
nya.
Lalu, bagaimana nalar profetik-transformatif mesti
meretas dalam gerakan intelektual mahasiswa Muslim, seperti
IMM? Sudah saatnya cita-cita sosial gerakan intelektual
mahasiswa Muslim tidak lagi berorientasi melahirkan para
“orientalis”, dalam arti mereka sangat intens dalam intellec-
tual exercise, namun hasil-hasil kajiannya tidak memberikan
259
Nalar Profetik-Transformatif; Dari Episteme ke Praksis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
dampak atas perubahan sosial. Para intelektual semacam ini
menguasai kajian-kajian ilmiah, dan dengan bekal pengetahu-
an ilmiahnya mereka memiliki kapital budaya (symbolic
capital). Melalui kapasitas intelektualnya pula kapital budaya
ini dapat dikembangkan menjadi kapital uang atau kapital
politik.
Dalam konteks negara-negara di dunia ketiga yang
penduduknya masih banyak berjuang meraih harkat dan
marabat yang lebih baik, mengentaskan diri dari kemiskinan,
ketertindasan dan keterbelakangan, semata-mata intellectual
exercise yang lepas dari keterikatan pada nilai (value-laden)
dan “keberpihakan” politik menjadi absurd. Keberhasilannya
sangat janggal bila hanya diukur dari sofistikasi ilmiah dan
terbatas pada nilai-nilai obyektivitas daripada asumsi-asumsi
untuk aksi emansipatoris.
Jadi, dapat dikatakan bahwa perubahan orientasi dan visi
dari gerakan intelektual mahasiswa Muslim sebagai ladang
perjuangan kultural (cultural struggle) ke perjuangan sosial
(social struggle) yang transformatif, memang menghendaki
perubahan-perubahan krusial dalam beberapa hal. Pertama,
aktivis gerakan ini perlu mengubah orientasi moderenitas-
nya di mana mereka pada umumnya merasa bangga sebagai
kelas elite baru yang tugasnya sebagai ”pemberi stempel” dan
legislasi nilai-nilai universal dan berperan utama sebagai
penafsir teks-teks kebudayaan. Akselerasi perubahan yang
demikian pesat menghendaki pergeseran peran intelektual
yang mengekor paham modernisme dan menjalankan fungsi
sebagai pemberi legitimasi atas proyek-proyek rekayasa
modernitas, misalnya good governance, civil society, dan
260
Nalar Profetik-Transformatif; Dari Episteme ke Praksis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
gender. Kini saatnya kaum intelekual muda ini menyuarakan
pluralitas dan hak-hak untuk berbeda. Pergeseran peran dan
fungsi inilah yang melahirkan jenis subaltern intellectual,
subsltern activists, suatu visi yang menekankan keberanian
untuk melakukan peran sebagai artikulator, yakni intelektual
muda kritis yang menentang ketidakadilan, hegemoni dan
tatanan status quo. Intelektual kritis ini selalu peka dan
mampu bicara dan menulis tentang kedzaliman dalam ruang-
ruang publik (public sphere), menyuarakan ketertindasan
dan sekaligus sebagai saksi atasnya, serta kritik terhadap
dosa-dosa sosial demi advokasi kemanusiaan.
Dengan demikian, disini perlu ada keberanian untuk
bertanya, apakah aktivis gerakan intelektual mahasiswa
Muslim sudah siap sebagai institusi civil society yang otonom
dalam ruang publik itu? Jika pertanyaan pertama sudah
terjawab dan percaya diri sebagai otonom, pertanyaan
berikutnya adalah: untuk siapa mereka berbicara? Jawaban
atas pertanyaan kedua ini penting utuk melihat lebih lanjut
apakah sebuah gerakan intelektual mahasiswa Muslim sudah
tegak sebagai bagian dari civil society yang menyuarakan
kepentingan-kepentingan negara, kapital, pasar, dan politik
penguasa dan hegemonis, dan karenanya lebih merupakan
wakil dari kelas borjuasi baru; atau representasi suara
keberpihakan kelas menengah otonom atas mereka yang
marjinal dan tertindas dalam pusaran pembangunan dan
globalisasi. Pertanyaan-pertanyaan ini sesungguhnya ingin
menegaskan bahwa visi gerakan intelektual mahasiswa
Muslim itu lebih membutuhkan peran jamaah profetik-trans-
formatif dalam bingkai pedagogi kemanusiaan daripada organ-
isasi ke-mahasiswaan-nya itu sendiri.
261
Nalar Profetik-Transformatif; Dari Episteme ke Praksis
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Nah, akhirnya saya berharap bahwa percikan-percikan
filosofis-paradigmatis dari Muhammad Abdul Halim Sani
dalam buku ini menjadi titik berangkat bagi upaya-upaya
intelektual berikutnya yang berkesinambungan, sekaligus
percobaan-percobaan menuju praksisnya dalam kehidupan
nyata, sehingga spirit al-Ma`un akan terus hidup dan
menyemangati manusia Muslim Indonesia yang mulai susut
juang dan susut ikhlasnya. Semoga.
262 Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Jenis Ilmu
Positivistik Konstruktif Kritis Profetik
Univikasi(kesamaan antarailmu alam dengan
ilmu sosial)
Pemisahan(perbedaan dandapat disatukan)
Pemisahan(tidak ada
pemisahan dantidak disatukan)
Pemisahan(metodelogi bedadan berdiri sendiri
tak disatukan)
Vestehen(memahami danempati terhadaprealitas sosial)
Emansipatif(menjelaskan,dan
melakukanperubahan)
Transformatif(memahami,
merubah, danmengarahkan pada
cita-cita profetik)
Materialisme(yang ada
merupakan materi)
Idealisme(keberadaan
dalam pikiran)
Idealisme-Materialisme(keberadaan
pikiran dan materi)
TransendentalIdealisme
(melampaui pikirandan materi)
Empirisme(sumber
pengetahuan)
Rasionalisme(interpretasi
terhadap realitas
Empiris danRasionalis (sumber
pengetahuanempiris dan filosofis
rasional)
Empiris, Rasionalis,dan Transendental(realitas empiris,
filosofis rasional danfenomena wahyu)
Erklaren(menjelaskanrealitas sosial
yang ada)
Subyektif Obyektif-SubyektifTransendensi,
subyektif & obyektifObyektif
TunggalKeunikan dankekhususan
Plural saratperbedaan
Plural & sarat per-bedaan (majemuk)
Netraldan bebas nilai
Netraldan bebas nilai
Berpihakdan sarat nilai
Berpihakdan sarat nilai
Nomothetic (me-rumuskan hukum
universal dan tetap
Ideographic(realitas yang unik)
Ideographic(melihat keunikan
pada realitas
Ideographic(keunikan pada
realitas)
Hipotesis-teoriData-uji teori
Kasus-terlibatPahami-deskripsi
Kasus-analisamasalah
Rencana-aksi
Obyektifikasi-kasus-teori-analisa masa-lah-rencana-aksi
Deskripsi keunikan Anti generalisasiGeneralisasiDeskripsi keunikandan tak generalis
Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif-Kuantitatif
Kuisioner-angketWawancara-
observasiObservasi
partisipatorisWawancara-
observasi-kuisioner
Ontologi
Episteme-logi
Metodelogi
Tujuan
Pendektan
Carapandang
Sifat
Produk
Proses ilmu
Aplikasiteori
Metodelogipenelitian
Pencariandata
BAGAN ILMU SOSIAL
263Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
BAGAN KESADARAN PADA MANUSIA
Kesadaran, merupakan tindakan oleh manusia dengan mem-
pertimbangkan kemampuan yang dimiliki tanpa paksaan dan
dilakukan secara berkelanjutan dalam menghadapi realitas.
KategoriAnalisispermasalahan
Subyek sasar-an perubahan
Penyebabpermasalahan
Strategi dalamperubahan
MagicalConsciousness
Tidak adahubunganantara faktoryang terjadi
Manusia danmasyarakat takberperan tetapimetafisika
Metafisika dansupranatural
Evolusi tetapilambat (hampirstagnan)
NaiveConsciousness
Analisiskebudayaan
Manusiamemiliki peranyang besar
Manusia ataumasyarakat itusendiri
Motivasi,inovasi,kreatifitas, needfor assessment
CriticalConsciousness
Analisis struktur
Manusia danmasyarakatberperan besartetapi didukungoleh faktor yglain
Sistem danstruktur
Sistem danstruktur
ProfeticalConsciousness
Analisis struk-tur, kultur & pe-mahaman ter-hadap doktrinkeagamaan
Manusia danmasyarakatjuga faktorterhadapkeyakinan
Sistem,struktur, dankerangkaberpikir
Sistem, strukturyang adildidasari nilai-nilai Illahiah
264 Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
MANIFESTO GERAKAN INTELEKTUAL PROFETIKDALAM REKONSTRUKSI PERADABAN
Interpretasi terhadap trilogi yang menjadi tri kompetensi dasar Ikatan
Rekonstruksi semboyan Ikatan
Anggun dalam Moral, Unggul dalamIntelektual
Unggul dalam Intelektual, Anggun dalamMoral dan Radikal dalam Gerakan
Terbentuknya akademisi Islam yangberakhlak mulia
KEMAHASISWAANKEAGAMAAN
KEMASYARAKATAN
IntelektualReligiusitas/TransendensiHumanitas dan Liberatif
Terjemahan Ikatan untuk kader yangmenjadi ikon gerakan dalam
transformasi sosial
Intelektual ProfetikKebutuhan Internal Ikatan & Kader yang
lahir dari dalam melalui; dialektika diri,ikatan, agama dan realitas makro
KARAKTER KADER IKATANFilsafat Manusia
(Al Basyar, Al Insan, An Nas,Abdullah, Khalifah)
Etika ProfetikBecoming Personal Kader
Ta’muruna bil ma’ruf (Humanisasi)Tan hauna ‘anil munkar (Liberasi)Tu’minuna bil Allah (Transendensi)
Kesadaran Sejarah(Aktivisme utk menentukan
dan merubah sejarah)
Kesadaran ProfetikConsciousness :
(Magical, Naïval, Critical, Profetical)
Etos Profetik(Politik, Ilmu, Ekonomi, Keadilan)
Ruang Gerak
PsikologiBasic Skill Kader dan Kolektif Ikatan
Filsafat GerakanSosiologi Gerakan
Ilmu Sosial Profetik
Transformasi Profetik(Keagamaan, Kemahasiswaan,
dan Kemasyarakatan)
Khairul Ummat(Garden City, Masyarakat Ilmu,
Masyarakat Berkeadilan)Becoming Ikatan
dan Individu Kader
265Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Daftar Bacaan
Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, 2000, Jakarta:
Pusat Studi Agama Peradaban
------,dalam Kata Pengantar Menggugat Muhammadiyah, 1998,
Yogyakarta: Fajar Pustaka
------,Kepemimpinan Profetik dalam Satu Abad Muhammad-iyah,
2000, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
------,Kisah dan Pesan Kiai Ahmad Dahlan, 2007
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social, 1999,
Yogyakarta:Tiara Wacana
Ahmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis, 1999, Surabaya: Lembaga
Studi Agama dan Masyarakat
Ahmad Mustofa Bisri, Belajar Tanpa Akhir dalam Epilog, Ilusi
Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Indo-
nesia, 2006, Jakarta: Ma’arif Institute
Ahmad Taufik dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme
Islam
Al Qur’an dan terjemahannya, Departemen Agama
Alex Lanur, Pengantar dalam Kata-Kata, 2002, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001, Jakarta: Al Huda
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, 1999,
Yogyakarta: LKiS
Anthony Giddens, Runaway World, 2000, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Ayn Rand, Pengantar Epistemologi Objektif, 2000, Yogyakarta:
Bentang Budaya
Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya
B. Heri Juliawan, Krangka Multikulturalisme, dalam Majalah Basis
266 Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
------,Keretaku Tak Berhenti Lama, dalam Majalah Basis
Bahrus Surur Iyuk, Teologi Amal Saleh, 2002, Surabaya: Lembaga
Kajian Agama dan Masyarakat
Charles Le Gai Eaton, Manusia, dalam Sayyed Hussein Nasr,
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, 2006, Bandung:
Mizan Utama
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, 1996, Bandung:
Mizan Utama
Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikiran-nya,
2002, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001, Jakarta:
Kelompok Bambu
Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 1994,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Erich From, The Art of Love, 2000, Jakarta: Fres Book
Farah Wardani, Representing Islam
Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi, 1994, Yogyakarta:
Kanisius
------, Ilmu Sosial dalam Diskursus Modern dan Pasca Modern,
2000, Yogyakarta: Kanisius
Franz Magnis Seseno, Berfilsafat dari Konteks, 1994, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
------, Etika Dasar, 1994, Yogyakarta: Kanisius
------, Pemikiran Karl Marx, 1999, Yogyakarta: LKiS
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,
1994, Jakarta: Raja Grafindo Persada
H.A. Sholeh Dimyati, Tinjauan Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
tantang Manusia, 1995, Jakarta: Media Tama
H.A.R. Tilaar, Kuasa dan Pendidikan, 2002, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
------,Multikulturalisme, 2007, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
------,Perubahan Sosial dan Pendidikan, 2001, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
267Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Haedar Natshir, Pengantar dalam Muhammadiyah Gerakan Social
Keagamaan Modernis, 2001, Yogyakarta: Suara Muhammad-
iyah
Haidar Bagir, Etika Barat Etika Islam, dalam Antara al Ghazali dan
Kant, 2002, Bandung Mizan Utama
Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, 1994, Bandung:
Bulan Bintang
Herry Priyono, Marginalisasi ala Neoliberal dalam Majalah Tradem
Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi,
1992, Jakarta: Erlangga
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 2000, Jakarta: Pustaka Firdaus
Ibrahim Ali Fauzi, Jurgen Habermas, 2002, Bandung: Teraju
Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Social, 1998, Bandung: Rosda Karya
------, Madrasah Ruhani; Berguru pada Ilahi di Bulan Suci, 2000,
Bandung: Mizan Utama
John C. Raines, Marx tentang Agama, 2000, Bandung: Teraju
John Haba, Gereja dan Masyarakat Majemuk, dalam Jurnal
Kalimatus Sawa
Julia Benda, Penghianatan Kaum Cendekiawan, 1999, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005, Bandung: Teraju
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi, 1990
Kuntowijoyo, Indentitas Politik Umat Islam, 1998, Bandung: Mizan
Utama
------, Islam Sebagai Ilmu, 2001, Bandung: Teraju
------, Jalan Baru Muhammadiyah dalam Islam Murni, 2000,
Yogyakarta: Bentang Budaya
------, Muslim Tanpa Masjid, 1999, Bandung: Mizan Utama
------, Paradigma Islam: dari Interpretasi untuk Aksi, 1998,
Bandung: Mizan Utama
------, Sejarah Dinamika Umat Islam Indonesia,1996, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
268 Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
------, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Reaalitas, 2000,
Bandung: Mizan Utama
L. Laeyendecker, Tata Perubahan dan Ketimpangan, 1992, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Lembaga Kitab Indonesia, Alkitab dengan Kidung Jemaat
Loren Bagus, Kamus Filsafat, 1998, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
M. Amin Abdullah, “Al Ta’wil al Ilmi; Ke Arah Perubahan Para-
digma Penafsiran Kitab Suci” dalam Al Jami’ah, IAIN Sunan
Kalijaga
------, Antara al Ghazali dan Kant, 2002, Bandung: Mizan Uatama
------, Dinamika Islam Kultural, 1998, Bandung: Mizan Utama
M. Amin Rais, Cakrawala Islam, 1994, Bandung: Mizan Utama
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al Qur’an; Tafsir Sosial Berdasar-
kan Konsep-Konsep Kunci, 1998, Jakarta: Paramadina
Manhaj Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam www.
muhammadiyah.or.id
Mansour Fakih, Islam sebagai Alternative, dalam Islam Kiri, 2001,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
------, Manifesto Intelektual Organik, 2002, Yogyakarta: Insist Press
------,Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, 2000,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muhaemin el-Ma'hadi, Multikulturalisme dan Pendidikan Multi-
kulturalisme, dalam Jurnal Kalimatus Sawa
Muhammad Abed al Jabiri, Formasi Nalar Arab, 2001, Yogyakarta:
Ircisod
------, Post Tradisionalism Islam, 2002, Yogyakarta: LKis
Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Eksistensi Manusia, 2008, dalam
Majalah Suara Muhammadiyah
Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pemikiran Islam,
1978, Bandung: Bulan Bintang
Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999, Yogyakarta: Lembaga Studi
Agama Filsafat
269Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Mustofa Abdul Chamid, Orde Baru Neoliberalsme dan Globalisasi
Kaum Miskin, dalam Majalah Tradem
Pasudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,
dalam Jurnal Antropologi UI
Peter L. Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan,
1992, Jakarta: LP3S
Peter Marcus, Memahami Bahasa Globalisasi, 2000, Jakarta
Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, 2000, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Roger Garaudy, Janji-Janji Islam, 1985, Bandung: Bulan Bintang
Salam Redaksi, Kalimatun Sawa, Multi Kulturalisme Desa Global
Saleh A. Nahdi, Adam Manusia Pertama
Sara Sviri, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, 1998, Jakarta: Pustaka
Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004,
Yogyakarta: Resist
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1994, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Sutarmo,Muhammadiyah Gerakan Sosial Keagamaan Modernis,
2001, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Suwito,Tansformasi Sosial, 2003, Purwokerto: STAIN Purwokerto
Press
Syamsul Hidayat dan Zakiyuddin Baidhawy, Membangun Citra
Baru Pemikiran Islam Muhammadiyah dalam Pedoman
Individuasi Kader
Thomas L. Freidman, Memahami Globalisasi, 2003, Jakarta: Obor
Tom Cembel, Tujuh Teori Sosial, 1997, Jakarta: Obor
Zainuddin Maliki, Narasi Agung, 2002, Surabaya: Lembaga Kajian
Agama Masyarakat
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multi
Kultural, dalam Jurnal Afkar