PRESENTASI KASUS kulit

31
PRESENTASI KASUS VITILIGO Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kulit Kelamin RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang Disusun oleh : Ambar Indrianty 1420221102 Pembimbing : Letkol CKM dr. Susilowati, SpKK FAKULTAS KEDOKTERAN

Transcript of PRESENTASI KASUS kulit

Page 1: PRESENTASI KASUS kulit

PRESENTASI KASUSVITILIGO

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kulit Kelamin

RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang

Disusun oleh :

Ambar Indrianty

1420221102

Pembimbing :

Letkol CKM dr. Susilowati, SpKK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAKARTA

Page 2: PRESENTASI KASUS kulit

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

ILMU KULIT DAN KELAMIN

PRESENTASI KASUS

VITILIGO

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

Di Departemen Ilmu Kulit Kelamin

RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang

Disusun Oleh:

Ambar Indrianty

1420221102

Mengesahkan:

Koordinator Pendidikan Departemen Ilmu Kulit Kelamin

RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang

Pembimbing

Letkol CKM dr. Susilowati, SpKK.

Page 3: PRESENTASI KASUS kulit

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan

karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ‘Vitiligo”.

Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu kulit kelamin RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang.

Penyusunan laporan ini dapat terselesaikan tak lepas dari pihak-pihak yang

telah banyak membantu penulis dalam merampungkan laporan ini. Untuk itu, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:s

1. dr. Susilowati, Sp.KK selaku pembimbing atas bimbingan dan kesabarannya

selama selama penulis menempuh pendidikan di kepaniteraan klinik.

2. Para staf medis dan non-medis yang bertugas di SMF Ilmu kulit kelamin RST

dr. Soedjono Tingkat II Magelang atas bantuannya untuk penulis

3. Teman-teman seperjuangan di kepaniteraan klinik Ilmu kulit kelamin RST dr.

Soedjono Tingkat II Magelang.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh

karena itu, kritik dan saran yang dapat membangun laporan ini kedepannya sangat

penulis harapkan demi perbaikan materi penulisan dan menambah wawasan penulis.

Magelang, Mei 2016

Penulis

Page 4: PRESENTASI KASUS kulit

BAB I

PENDAHULUAN

Warna kulit manusia ditentukan oleh berbagai pigmen. Yang berperan pada

penentuan warna kulit adalah karoten, melanin, oksihemoglobin dan hemoglobin

bentuk reduksi. Diantara berbagai pigmen tersebut yang paling berperan adalah

pigmen melanin. Pigmen yang memberikan warna hitam pada kulit dan sekaligus

sebagai salah satu faktor pelindung kulit terhadap paparan sinar ultraviolet. Salah satu

kelainan yang melibatkan menyebabkan penurunan produksi melanin yaitu Vitiligo.

Vitiligo adalah kelainan pigmentasi yang didapat pada kulit dan membrane

mukosa, yang ditandai dengan makula hipopigmentasi dengan batas yang tegas

dengan pathogenesis yang kompleks.

Insidensi Vitiligo rata-rata hanya 1% di seluruh dunia. Penyakit ini dapat

mengenai semua ras dan kedua jenis kelamin, Pernah dilaporkan bahwa vitiligo yang

terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini dianggap

berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan oleh karena masalah kosmetik.

Penyakit juga dapat terjadi sejak lahir sampai usia lanjut dengan frekuensi tertinggi

(50% dari kasus) pada usia 10–30 tahun.

Penyebab vitiligo yang pasti belum diketahui, diduga suatu penyakit herediter

yang diturunkan secara autosomal dominan. Namun beberapa faktor pencetus

terjadinya vitiligo antara lain faktor mekanis, faktor sinar matahari atau penyinaran

ultra violet A, Faktor emosi/psikis dan faktor hormonal.

Tidak adanya melanosit pada lapisan kulit, merupakan tanda khas penyakit

ini. Gambaran ruam vitiligo dapat berupa makula hipopigmentasi yang lokal sampai

universal. Untuk menegakkan diagnosis vitiligo, diperlukan anamnesis dan

pemeriksaan klinis, pemeriksaan woodlamp dan pemeriksaan laboratorium

histopatologi.

Page 5: PRESENTASI KASUS kulit
Page 6: PRESENTASI KASUS kulit

BAB II

LAPORAN KASUS

I.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. Lidia

Umur : 5 tahun

Agama : Islam

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : daleman kidul, Magelang

Tanggal datang : 4 mei 2016

No.RM : 127560

I.2. ANAMNESIS

Anamnesis (alloanamnesis) dilakukan tanggal 4 Mei 2016 di poli Kulit

dan Kelamin RST. dr. Soedjono Magelang.

Keluhan Utama : bercak putih pada punggung kaki kanan.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RST. dr. Soedjono

Magelang diantar ibunya untuk control, menurut keterangan ibu pasien, timbul

bercak berwarna putih susu di punggung kaki kanan sejak 1 tahun yang lalu..

Bercak awalnya timbul dengan ukuran yang kecil namun semakin lama semakin

melebar dengan berukuran 10 x 4 cm di punggung kaki. Pada awalnya pasien

memakai sandal kaku milik orang lain, kemudian timbul bercak putih di

punggung kaki kanan, kemudian semakin lama semakin melebar bercak

putihnya. Bercak terasa tidak gatal dan sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama seperti ini

sebelumnya.

Page 7: PRESENTASI KASUS kulit

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang pernah sakit seperti ini.

Riwayat Alergi :

Pasien tidak memiliki riwayat alegi.

Riwayat pengobatan :

Pasien sudah melakukan pengobatan selama 7 bulan.

I.3. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis :

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital :

Nadi : 72 x/menit

Respirasi : 18 x/menit

Suhu : 36,2 C⁰ TD : 120/80 mmHg

BB : 15,5 kg

TB : 110 cm

Status Generalis1. Kepala : Simetris, mesosephal, rambut hitam.

2. Mata : Konjugtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+)

N, pupil isokhor (+/+) , oedema periorbita (-/-), exopthalmus

(-/-)

3. Hidung : Discharge (-), deviasi septum (-), nafas cuping hidung (-)

4. Telinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)

5. Mulut : Bibir kering (-), pucat (-), lidah kotor (-), sianosis (-)

6. Leher : Kelenjar thyroid tidak membesar, kelenjar limfe tidak

membesar, tidak ada deviasi trakhea

7. Thorak

Page 8: PRESENTASI KASUS kulit

a. Jantung

Inspeksi : Tidak terlihat pulsasi iktus cordis

Palpasi : Teraba iktus kordis di SIC V, linea mid clavikula

sinistra, tidak kuat angkat, thrill (-)

Perkusi :

- Batas kiri atas : ICS II linea parasternal sinistra

- Batas kiri bawah : ICS V linea midclavikula sinistra

- Batas kanan atas : ICS II linea parasternal dekstra

- Batas kanan bawah : ICS IV linea parasternal dekstra

Auskultasi : S1 > S2, murni, reguler, bising (-), gallop (-)

b. Paru-paru

Inspeksi : simetris, retraksi (-/-)

Palpasi : fokal fremitus kanan = kiri

Perkusi : Paru kanan sonor = paru kiri

Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan whezzing (-/-),

Ronkhi (-/-)

8. Abdomen

Inspeksi : datar, distensi (-), darm contur (-)

Palpasi : supel, nyeri tekan (-), tak teraba massa, hepar lien tidak teraba

Perkusi : tymphani di seluruh lapang abdomen

Auskultasi : Bising usus (+) Normal

9. Ekstremitas.

Akral hangat (+), edema (-/-), reflek fisiologis (+) N, reflek patologis (-/-)

Status Dermatologis

Page 9: PRESENTASI KASUS kulit

Ad Regio : Dorsum pedis dextra

Efloresensi : tampak macula berwarna putih dengan ukuran sekitar 10 x 4 cm pada

dorsum pedis dextra, terdapat hipopigmentasi dan berbatas tegas.

I.4. RESUME

Pasien perempuan,5 tahun dating di antar ibunya dengan keluhan timbul

bercak putih pada punggung kaki kanan pasien, keluhan di rasakan sejak 1 tahun

yang lalu. Bercak awalnya berukuran kecil dan semakin lama semakin melebar dan

berbatas tegas.Keluhan tersebut tidak di sertai dengan gatal dan nyeri. Pasien sudah

mendapatkan pengobatan selama 7 bulan. Pasien tidak memiliki riwayat alergi dan

pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama. Dari hasil pemeriksaan fisik

dalam batas normal. hasil pemeriksaan status dermatologis efloresensi kulit : tampak

macula berwarna putih dengan ukuran sekitar 10 x 4 cm pada dorsum pedis dextra,

terdapat hipopigmentasi dan berbatas tegas.

Page 10: PRESENTASI KASUS kulit

I.5. DIAGNOSIS BANDING

Pitiriasis vesikolor

Pitiriasis alba

Tinea pedis

Hipopigmentasi post inflmasi

I.6. DIAGNOSIS SEMENTARA

Vitiligo

I.7. RENCANA TERAPI

Medikamentosa

Nerilon cream tube No I

Curcuma syr No I

I.8. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad sanam : Dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam

Page 11: PRESENTASI KASUS kulit

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit, seringkali bersifat progresif dan

familial yang ditandai oleh makula hipopigmentasi pada kulit yang asimtomatik.

Selain kelainan pigmentasi, tidak dijumpai kelainan lain pada kulit tersebut. Makula

putih yang didapat dapat meluas dan mengenai seluruh bagian tubuh yang

mengandung sel melanosit, misalnya rambut dan mata.

B. Epidemiologi

Di seluruh dunia insidensnya rata-rata 1%. Penyakit ini dapat mengenai semua

ras dan kedua jenis kelamin dengan perbedaan yang tidak bermakna. Penyakit ini

lebih sering diderita oleh orang kulit berwarna dan biasanya dengan derajat yang

lebih berat. Penyakit dapat terjadi sejak lahir sampai usia lanjut dengan frekuensi

tertinggi pada usia 10-30 tahun. Menurut statistik di Amerika Serikat 50% dan

penderita vitiligo mulai timbul pada usia sebelum 20 tahun dan 25% pada usia di

bawah 8 tahun.

C. Etiologi

Penyebab vitiligo yang pasti belum diketahui, diduga suatu penyakit herediter

yang diturunkan secara autosomal dominan. Dari penyelidikannya, Lerner (1959)

melaporkan 38% penderita vitiligo mempunyai keluarga yang menderita vitiligo,

sedangkan Eli -Mofty (1968) menyebut angka 35%. Beberapa faktor pencetus

terjadinya vitiligo antara lain :

1. Faktor mekanis

Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya

setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi.

2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A

Page 12: PRESENTASI KASUS kulit

Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari atau

UV A dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang terpajan.

3. Faktor emosi/psikis

Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah

mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat.

4. Faktor hormonal

Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan

kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan.

D. Patogenesis

Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga

patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat beberapa

hipotesis klasik patofisiologi vitiligo yang dianut, yang masing-masing mempunyai

kekuatan dan kelemahan yaitu :

1. Hipotesis autositoksik

Hipotesis ini berdasarkan biokimiawi melanin dan prekursornya.

Dikemukakan bahwa terdapat produk antara dari biosintesis melanin yaitu

monofenol atau polifenol. Sintesis produk antara yang berlebihan tersebut akan

bersifat toksik terhadap melanosit. Lerner (1959) mengemukakan bahwa

melanosit normal mempunyai proteksi terhadap proses tersebut, sedangkan

pada penderita vitiligo mekanisme proteksi ini labil, sehingga bila ada

gangguan, produk antara tersebut akan merusak melanosit dan akibatnya terjadi

vitiligo.

Hal ini secara klinis dapat terlihat lesi banyak dijumpai pada daerah kulit

yang mengandung pigmen lebih banyak (berwarna lebih gelap). Juga hal ini

dapat terjadi pada pekerja-pekerja industri karet, plastik dan bahan perekat

karena banyak berkontak dengan bahan fenol dan katekol.

2. Hipotesis neurohumoral

Hipotesis ini mengatakan bahwa mediator neurokimiawi seperti

asetilkolin, epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan oleh ujung-ujung saraf

Page 13: PRESENTASI KASUS kulit

perifer merupakan bahan neurotoksik yang dapat merusak melanosit ataupun

menghambat produksi melanin. Bila zat-zat tersebut diproduksi berlebihan,

maka sel melanosit di dekatnya akan rusak.

Secara klinis dapat terlihat pada vitiligo segmental satu atau dua

dermatom, dan seringkali timbul pada daerah dengan gangguan saraf seperti

pada daerah paraplegia, penderita polineuritis berat.

3. Hipotesis imunologik

Vitiligo merupakan suatu penyakit autoimun; pada penderita dapat

ditemukan autoantibodi terhadap antigen sistem melanogenik, yaitu

autoantibodi anti melanosit yang bersifat toksik terhadap melanosit. Dari hasil-

hasil penelitian terakhir, tampaknya hipotesis imunologik yang banyak dianut

oleh banyak ahli. Hal ini disokong dengan kenyataan bahwa insidens vitiligo

meningkat pada penderita penyakit autoimun, yaitu antara lain : penyakit

kelenjar tiroid, alopesia areata, anemia pernisiosa, anemia hemolitik autoimun,

skleroderma, artritis rheumatoid.

E. Klasifikasi

Berdasarkan lokalisasi dan distribusinya, dibagi menjadi :

a. Tipe lokalisata, yang terdiri atas:

- Bentuk fokal : terdapat satu atau lebih makula pada satu daerah

dan tidak segmental.

- Bentuk segmental : terdapat satu atau lebih makula dalam satu

atau lebih daerah dermatom dan selalu unilateral.

- Bentuk mukosal : lesi hanya terdapat pada selaput lendir (genital

dan mulut).

b. Tipe generalisata, yang terdiri atas:

- Bentuk akrofasial : lesi terdapat pada bagian distal ekstre-mitas

dan muka.

- Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus.

Page 14: PRESENTASI KASUS kulit

- Bentuk universalis : lesi yang luas meliputi seluruh atau hampir

seluruh tubuh.

Dapat pula terjadi bentuk-bentuk campuran atau bentuk-bentuk peralihan,

misalnya dari bentuk lokalisata menjadi bentuk generalisata.

F. Manifestasi Klinis

Makula hipopigmentasi yang khas pada vitiligo berupa bercak putih seperti

susu, berdiameter beberapa milimeter sampai sentimeter, berbentuk bulat, lonjong,

ataupun tak beraturan, dan berbatas tegas. Selain hipopigmentasi tidak dijumpai

kelainan lain pada kulit. Kadang-kadang rambut pada kulit yang terkena ikut menjadi

putih. Pada lesi awal kehilangan pigmen tersebut hanya sebagian, tetapi makin lama

seluruh pigmen melanin hilang.

Lesi vitiligo umumnya mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat

pada daerah terpajan (muka, dada, bagian atas, punggung tangan), daerah

intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah sekitar orifisium (sekitan mulut, hidung,

mata dan anus), pada bagian ekstensor permukaan tulang yang menonjol (jari-jari,

lutut, siku), daerah tibia anterior, daerah sekitar puting susu dan umbilicus. Daerah

mukosa yang sering terkena terutama genital, bibir dan gusi. Di samping itu dapat

pula ditemukan bentuk-bentuk lain dari lesi vitiligo, antara lain :

a. Trichome vitiligo : vitiligo yang terdiri atas lesi berwarna coklat, coklat muda

dan putih.

b. Vitiligo inflamatoar: lesi dengan tepi yang meninggi eritematosa dan gatal.

c. Lesi linear.

G. Diagnosis

a. Evaluasi Klinis

Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis dan gambaran klinis.

Ditanyakan pada penderita :

- Awitan penyakit.

- Riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini.

Page 15: PRESENTASI KASUS kulit

- Riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes mellitus, dan

anemia pernisiosa.

- Kemungkinan faktor pencetus, misalnya stress, emosi, terbakar surya dan

pajanan kimiawi.

- Riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak.

b.Pemeriksaan histopatologi

Dengan pewarnaan HE tampaknya normal kecuali tidak ditemukannya

melanosit, kadang-kadang ditemukan limfosit pada tepi macula. Reaksi dopa

untuk melanosit negative pada daerah apigmentasi, tetapi meningkat pada tepi

yang hiperpigmentasi. sedangkan pada tepi lesi sering dijumpai melanosit yang

besar dengan prosesus dendritikus yang panjang; beberapa penulis menjumpai

infiltrat limfositik di dermis. Pada lesi awal atau tepi lesi masih dapat dijumpai

beberapa melanosit dan granul melanin, pada pemeriksaan mikroskop electron

terlihat hilangnya melanosit dan digantikan sel-sel Langerhans.

c. Pemeriksaan biokimiawi

Pemeriksaan histokimiawi pada kulit yang diinkubasi dengan dopa

menunjukkan tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma dan kulit normal.

d.Pemeriksaan sinar wood

Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi vitiligo tampak putih

berkilau dan ohal ini berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya.

H. Diagnosis Banding

- Piebaldisme

- Nevus depigmentosus

- Pitiriasis alba

- Pitiriasis versikolor

- Hipopigmentasi paska inflamasi

I. Penatalaksanaan

Page 16: PRESENTASI KASUS kulit

Karena penyebab dan patogenesisnya masih banyak yang belum diketahui,

sampai sekarang pengobatan vitiligo masih bersifat nonspesifik. Pernah pula

dilaporkan regresi spontan, tetapi persentasinya sangat kecil. Beberapa cana dan

usaha yang dilakukan untuk mengatasinya, yaitu :

1. Psoralen dan UVA

Fotokemoterapi dengan psoralen dan radiasi ultraviolet natural atau artifisial

masih dianggap sebagai pengobatan dengan hasil yang cukup baik. Psoralen yang

sering dipakai adalah 8-metoksipsoralen atau trimetil psoralen; hasilnya sangat

bervariasi. Hal ini disebabkan oleh variasi absorpsi obat yang besar pada tiap

individu.

Psoralen dapat dipakai secara topikal atau sistemik. Bila lesi meliputi daerah

yang luas (lebih dari 20-25% luas permukaan kulit tubuh), psoralen sistemik dapat

dipakai ; metode ini dianggap memberi harapan untuk timbulnya repigmentasi.

Bila 8-metoksipsoralen yang dipakai, dosisnya 0,3 mg per kilogram berat badan.

Obat dimakan 2 jam sebelum dijemur sinar matahari. Pajanan sinar matahani dapat

dimulai dengan lama 5 menit dan dapat diperpanjang 5 menit tiap kali pengobatan.

Sebaiknya jangan dijemur lebih dari 30 menit per tempat. Umumnya repigmentasi

dimulai setelah 30 sampai 50 kali pengobatan. Repigmentasi dimulai sebagai

bintik-bintik sekitar folikel rambut dan meluas secara perlahan dan berkonfluensi.

Pada pemakaian psoralen secara topikal, penderita harus diperingatkan untuk

mencuci obat setelah pemakaian dan selanjutnya melindungi kulit dan pajanan

sinar matahari. Mekanisme kerja obat ini masih belum diketahui dengan pasti.

Menurut Ortonne (1979) psoralen dan sinar ultraviolet A akan merangsang mitosis

melanosit pada folikel rambut dan melanosit tersebut akan bermigrasi ke daerah

lesi. Sedangkan Nordlund (1982) mengatakan bahwa psoralen tidak secara

langsung merangsang pertumbuhan sel-sel melanosit, tetapi merusak beberapa

bahan penghambat atau sel di epidermis yang bertanggung jawab terhadap

pemusnahan sel-sel melanosit.

Honigsmann (1987) mengatakan bahwa repigmentasi timbul karena

stimulasi peningkatan jumlah melanosit fungsional, hipertrofi melanosit, aktivitas

Page 17: PRESENTASI KASUS kulit

tirosinase dan mempercepat migrasi melanosit dan adneksa kulit. Pengobatan

tersebut digunakan secara terus menerus selama memberi hasil yang cukup baik,

yaitu timbulnya repigmentasi yang dimulai dan folikel rambut yang makin lama

makin melebar dan berkonfluensi. Pada pengobatan dengan PUVA, penderita

harus sanggup menjalani 100 sampai 300 kali pengobatan. Pengobatan sebaiknya

dihentikan bila selama 3 bulan tidak terjadi repigmentasi.

2. Kortikosteroid

Pemakaian kortikosteroid topikal pada vitiligo berdasarkan pada hipotesis

autoimun. Kumani (1984) menggunakan klobetasol propionat 0,05% dengan hasil

yang cukup baik. Pernah pula dilaporkan penggunaan triamsionolon asetonid 0,1%

intralesi atau betametason 17 valerat 0,1% secara topical. Pada kasus yang dini

pemberian kortikosteroid intralesi efektif pada 50% penderita dan penggunaan

kortikosteroid topikal dapat mencegah perkembangan lebih lanjut. Biasanya

diperlukan terapi yang lama dan adanya efek samping akibat pemakaian steroid

yang lama menyebabkan pemakaiannya terbatas.

3. Fluorourasil

Untuk menimbulkan pigmentasi pada lesi, dapat dipakai fluorourasil secana

topikal. Pemakaian fluorourasil tersebut dilakukan secara tertutup di atas kulit

yang telah diepidermabrasi. Pada kulit yang erosif tersebut dioleskan krim

fluorourasil 5% dan ditutup dengan bahan polietilen untuk jangka waktu 24 jam.

Cara pengobatan ini dihentikan setelah aplikasi sebanyak 7-10 kali. Salah satu

hipotesis mengatakan bahwa fluorourasil juga mengakibatkan kolonisasi melanosit

di epidermis yang kemudian bermigrasi ke daerah lesi sewaktu proses epitelisasi.

4. Zat warna

Karena vitiligo mengganggu penampilan seseorang maka dapat dipakai zat

wanna topikal sebagai kamuflase. Beberapa kosmetik kamuflase dapat dipakai dan

yang banyak terdapat di Indonesia antara lain Dermablend Cover cream, Derma

Color Cover Cream, Covermark Cover Cream dan lain-lain.

5. Lain-lain

a. Tehnik bedah:

Page 18: PRESENTASI KASUS kulit

tandur kulit/epidermis. invitro cultured epidermal auto graft bearing

melanocytes.

b. Akupunktur

Diperkirakan akupunktur memberikan efek stimulasi terhadap melanosit,

perbaikan mikrosirkulasi, peningkatan respons imunitas dan efek regulasi

fungsi organ.

c. Monobenzil hidrokuinon

Adalah bahan pemutih yang memberikan efek samping vitiligo. Obat ini

dapat menyebabkan kerusakan melanosit dan biasanya dipakai pada vitiligo

yang sangat luas, sehingga sisa kulit yang normal diputihkan seluruhnya.

Biasanya dipakai dalam bentuk krim dengan konsentrasi 2-4%.

Cara pengobatan di atas memang memerlukan waktu yang lama,

pengobatan biasanya memerlukan waktu 18 bulan sampai 2 tahun. Selain

itu setiap penderita vitiligo perlu menggunakan tabir cahaya, karena dosis

eritematosa minimal (MED) kulit penderita vitiligo lebih rendah dari orang

normal. Biasanya dipakai tabir cahaya dengan sun protective factor (SPF)

15.

Efek psikososial vitiligo juga tidak boleh dilupakan. Tiap penderita

memerlukan dukungan psikologis, lebih-lebih bila terdapat hambatan sosial atau

psikis.

J. Prognosis

Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi prognosisnya

masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran dan kepatuhan penderita

terhadap pengobatan yang diberikan. Daerah ujung jari, bibir, siku , dan lutut

umumnya memberi hasil pengobatan yang buruk.

Page 19: PRESENTASI KASUS kulit

BAB IVKESIMPULAN

Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa muda

dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan ini dapat

terjadi pada semua usia. Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan perbandingan laki-laki

sama dengan perempuan.

Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Walaupun

penyebab pasti viligo sepenuhnya belum diketahui. Namun, beberapa faktor diduga

dapat menjadi penyebab timbulnya vitiligo pada seseorang, misalnya, faktor

emosi/stress, faktor mekanis seperti trauma, faktor sinar matahari atau penyinaran

sinar UVA, dan faktor hormonal.

Gejala klinis pada pasien adanya makula hipopigmentasi, lentikular hingga

geografis, konfluens, dan sirkumskrip dan beberapa makula hipopigmentasi dengan

repigmentasi folikular pada bawah hidung, bibir atas, kedua tangan, kedua siku, dan

kedua kaki. Hal ini sesuai dengan teori, gambaran ruam vitiligo dapat berupa

makula hipopigmentasi yang lokal sampai universal dengan daerah tangan,

pergelangan tangan, lutut, leher, dan daerah sekitar lubang sebagai daerah predileksi

dari vitiligo.

Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan terapi topikal tabir surya SPF 30,

klobetasol propionat 0,05% salep, dan betametason valerat 0,1% . Terapi vitiligo

sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir surya dan kosmetik

covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan mudah serta dapat digunakan

oleh pasien sendiri dibanding dengan terapi lainnya. Karena penyebab dan

patogenesisnya belum diketahui secara pasti, maka dapat dilakukan beberapa cara dan

usaha yaitu: psoralen, kortikosteroid, fluorourasil, zat warna, dan lain-lain misalnya

dengan tindakan pembedahan.

Prognosis vitiligo masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran dan

kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.

Page 20: PRESENTASI KASUS kulit

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardiman L. Kelainan pigmen. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.

Ilmu Penyakit kulit dan kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia: 2007:296

2. Hidayat J. Vitiligo, Tinjauan kepustakaan. Dalam: Cermin dunia kedokteran

No 117. 1997.

3. Wolff K, Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of

Clinical Dermatology. 6th Ed. Mcgraw Hill Medical: Newyork. 335-341.

4. Halder RM dan Taliaferro SJ. Vitiligo. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz

SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting: Fitzpatrick’s

dermatology in general medicine, 7th ed, New York: Mc Graw Hill. 2008:

616-622.

5. Halilovic EK, Prohic A, Begovic B, dan Kurtovic MO. Association between

vitiligo and thyroid autoimmunity. Dalam Journal of Thyroid Research: 2011

6. English, John SC.2007. General Dermatology.An Atlas of

Diagnosis and Management. Department of Dermatology Queen's

Medical Centre Nottingham. University Hospitals NHS Trust Nottingham,

UK. USA

7. Taieb, Alain; Mauro, Picardo. 2009. Vitiligo. The New England Journal of

Medicine. Available from:

http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp0804388.

8. Moretti ,Silvia. 2003. Vitiligo. University of Florence: Italy. Available from:

https://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-vitiligo.pdf.

9. Isabel, Herane. Vitiligo and Lukoderma in Children. Departement of

Dermatology, university of chile, Santiago, chile. Avalaible from:

www.captura.uchile.cl/jspui/bitstream/2250/2383/1/Herane_MI.pdf.

10. Dumasari Lubis, Ramona. 2008. Vitiligo. Repository USU, Departemen Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara.

Page 21: PRESENTASI KASUS kulit

11. Partoggi, Donna. 2008. Pityriasis Versikolor dan Diagnosis Bandingnya.

Repository USU, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.