19 Universitas Kristen Petra
4. HASIL DAN ANALISIS
4.1 Analisa Material
Material fly ash yang didapat perlu dianalisa untuk mengetahui karakteristik
dari material tersebut. Untuk kedua jenis fly ash yaitu fly ash Ngoro dan fly ash
Suralaya dilakukan pengujian X-Ray Fluorescence (XRF), konsistensi normal, X-
Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electronic Microscopy.
4.1.1 Pengujian X-Ray Flourescence (XRF)
Uji XRF dilakukan sesuai dengan ASTM D4326-1 untuk mengetahui
kandungan senyawa yang ada pada fly ash. Pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2
diperlihatkan hasil pengujian XRF.
Tabel 4.1 Kandungan Senyawa Fly Ash Ngoro
Parameter Test Result
(%wt)
SiO2 48.94
Al2O3 35.11
Fe2O3 5.99
TiO2 1.93
CaO 2.2
MgO 1.34
K2O 0.95
Na2O 0.4
SO3 0.15
MnO2 0.07
P2O5 0.14
LOI 2.5
SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 90.04
20 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.2 Kandungan Senyawa Fly Ash Suralaya
Parameter Test Result (%wt)
SiO2 45.74
Al2O3 25.04
Fe2O3 9.32
TiO2 0.91
CaO 7.77
MgO 4.09
K2O 1.12
Na2O 1.81
SO3 0.67
MnO2 0.14
P2O5 0.27
LOI 2.78
SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 80.10
Dari tabel tersebut terlihat bahwa kedua fly ash memiliki nilai CaO di
bawah 10 persen dan jumlah SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 yang berada di atas 70
persen yang berarti menurut standar SNI 2460:2014 fly ash Ngoro dan Suralaya
merupakan fly ash tipe F.
4.1.2 Pengujian X-Ray Diffraction
Uji XRD merupakan uji yang dilakukan untuk mengkarakterisasi struktur
kristal dan ukuran kristal dari suatu bahan padat. Semua bahan yang mengandung
kristal tertentu ketika dianalisa menggunakan XRD akan memunculkan puncak-
puncak yang spesifik. Gambar 4.1 merupakan hasil XRD dari fly ash Ngoro dan
Suralaya.
21 Universitas Kristen Petra
Position [°2Theta] (Copper (Cu))
10 20 30 40 50 60
Counts
0
200
400
600
800
XRD
(a)
(b)
Gambar 4.1 Hasil XRD (a) Fly Ash Ngoro (b) Fly Ash Suralaya
Dari hasil XRD yang didapat, terlihat bahwa fly ash Ngoro lebih reaktif
daripada fly ash Suralaya dimana hal ini ditunjukkan dengan banyaknya puncak
pada fly ash Suralaya. Puncak tersebut mengindentifikasikan bahwa banyaknya
kristal yang terdapat pada fly ash tersebut, dimana semakin banyak bentuk kristal
maka fly ash tersebut makin tidak reaktif.
4.2 Percobaan Awal
Pengujian Konsistensi Normal dilakukan untuk mengevaluasi kebutuhan
air dasar dari fly ash. Uji konsistensi normal dilakukan mengganti semen setiap
22 Universitas Kristen Petra
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
0 20 40 60 80 100
w/c
m
% Fly Ash
Fly Ash Ngoro 1
Fly Ash Ngoro 2
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
0 20 40 60 80 100
w/c
m
% Fly Ash
kenaikan 20% dari 0% hingga 100% dan mengevaluasi banyaknya air yang
dibutuhkan. Tabel 4.3 serta Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 menunjukkan
kebutuhan air yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi konsistensi normal.
Tabel 4.3 Hasil Tes Konsistensi Normal
% Fly Ash w/cm
FA Ngoro FA Suralaya FA Ngoro 2
0 0.30 0.30 0.30
20 0.44 0.28 0.37
40 0.53 0.27 0.46
60 0.65 0.25 0.52
80 0.72 0.23 0.68
100 0.77 0.20 0.71
Gambar 4.2 Kebutuhan Air Fly Ash Ngoro 1 dan 2
Gambar 4.3 Kebutuhan Air Fly Ash Suralaya
23 Universitas Kristen Petra
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 10 20 30
Ku
at T
ekan
(M
Pa)
% fly ash
7 hari
28 hari
Dari hasil tes konsistensi normal yang dilakukan, kedua fly ash ini
memiliki kebutuhan air yang berbeda. Pada umumnnya sifat dasar dari fly ash
adalah menambah kelecakan pada adukan beton (Sebayang, 2010). Namun hasil
yang didapat dari fly ash Ngoro justru berbanding terbalik, semakin meningkatnya
penggunaan fly ash pada pasta malah menyebabkan terjadinya peningkatan
misalnya pada fly ash Ngoro 1 w/cm dari 0.3 pada campuran tanpa fly ash
menjadi 0.77 saat semen digantikan 100% oleh fly ash. Fly ash Ngoro 2 memiliki
sifat yang serupa, namun air yang diserap lebih sedikit apabila dibandingkan
dengan yang terjadi pada Ngoro 1. Kebutuhan air yang makin banyak terjadi
karena kelecakan dari adukan berkurang dengan penambahan fly ash. Sedangkan
untuk fly ash Suralaya menambah kelecakan dari adukan terbukti dari semakin
turunnya w/cm dari 0.3 menjadi 0.2.Selain itu dilakukan pembuatan pasta dengan
w/cm 0.4 dan penggantian semen oleh fly ash Ngoro 1 dari 10% hingga 30%.
(Tabel 4.4 dan Gambar 4.4)
Tabel 4.4 Hasil Tes Kuat Tekan dan Diameter Flow Pasta
Gambar 4.4 Tes Kuat Tekan Pasta Fly Ash
Kode w/cm Diameter
Flow (cm)
Kuat Tekan (MPa)
7 hari 28 hari
S100
0.4
18 28.5 38
FA10 16 34 42.53
FA20 13 34.4 39.07
FA30 12 33.7 39.6
24 Universitas Kristen Petra
S100 adalah kontrol dimana notasi S merupakan semen dengan komposisi
100%. FA adalah fly ash dan notasi n merupakan Ngoro serta angka 10, 20, dan
30 merupakan persentasi fly ash yang digunakan. Semuanya menggunakan w/cm
yang sama yaitu 0.4. Penambahan komposisi fly ash dengan w/cm yang tidak
dirubah malah mengurangi besar diameter flow.Diameter flow terus mengecil
hingga 12cm yang berarti workability nya hampir tidak bisa dikerjakan. Apabila
penelitian dilakukan pada mortar tentunya akan membutuhan w/cm yang lebih
tinggi dari 0.4 agar dapat dikerjakan.
Selanjutnya pada hasil tes konsistensi normal pada tabel 4.3 untuk
campuran pasta fly ash Ngoro 1 dan 2dengan penggantian 0% hingga 40%
membutuhkan air dengan ratio antara 0.3 hingga 0.53. Oleh karena itu pada mix
design w/cm dikunci hanya dengan 3 variasi yaitu 0.45, 0.4, dan 0.35 namun
dibantu dengan superplasticizer untuk menambah kelecakan pada campuran.
Setelah dilakukan tes kuat tekan pada umur beton 7 hari untuk fly ash Ngoro,
diambil nilai w/cm yang memiliki hasil tes kuat tekan paling tinggi sebagai w/cm
pada fly ash Suralaya sebagai pembanding. w/cm dengan nilai kuat tekan paling
tinggi yaitu 0.35 (Tabel 4.5 dan Gambar 4.4).
4.3 Analisa Pemakaian Superplasticizer
Superplasticizer diberikan secara perlahan dan dihentikan apabila campuran
sudah workable yaitu memiliki nilai diameter flow di atas 12cm namun dengan
batas penggunaan maksimum sebanyak 2% (Tabel 4.5)
Tabel 4.5 Penggunaan Superplasticizer pada Fly Ash Ngoro dan Suralaya Jenis
FA FA Ngoro 1
FA
Suralaya FA Ngoro 2
w/cm 0.45 0.4 0.35 0.35 0.35
% FA SP
(%)
Diam
eter
(cm)
SP
(%)
Diam
eter
(cm)
SP
(%)
Diam
eter
(cm)
SP
(%)
Diam
eter
(cm)
SP
(%)
Diam
eter
(cm)
0 0 17 0 16 0.2 16 0.2 16 0.2 16
10 0 14 0 13 0.47 16 0 15 0.16 15
20 0 13 0.3 13 0.84 13 0 16 0.33 15
30 0.2 13 0.7 13 1.83 14 0 16 0.56 15
40 0.3 13 1.8 16 2 10* 0 16 1.4 18
*tidak memenuhi syarat diameter flow table te
25 Universitas Kristen Petra
Pemakaian superplasticizer dari fly ash Ngoro sebanding dengan hasil
konsistensi normal yaitu semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya
persentase fly ash yang digunakan, untuk mendapatkan campuran yang workable.
Dari analisa yang dilakukan, pada mix design menggunakan fly ash Ngoro, makin
bertambahnya penggantian semen oleh fly ash memerlukan superplasticizer yang
makin banyak. Hasil yang tidak memenuhi syarat diameter flow table test terjadi
pada campuran dengan penggantian semen sebanyak 40% yang menggunakan
superplasticizer hingga maksimal yaitu sebanyak 2% namun hanya menghasilkan
diameter sebesar 10 cm dan campuran masih bersifat tidak homogen sehingga
sangat sulit untuk dikerjakan. Saat kering bentuk mortar tersebut tidak menyatu
dan berlubang sehingga tidak memiliki kuat tekan. Untuk campuran
menggunakan fly ash Ngoro 2 tetap menggunakan superplasticizer, namun tidak
sebanyak pengunaan pada campuran fly ash Ngoro 1. Pada campuran dengan
penggantian semen sebanyak 40%, masih bisa dikerjakan dan campuran
homogen. Sedangkan untuk mortar yang menggunakan fly ash Suralaya, tanpa
menggunakan superplasticizer sudah memiliki nilai diameter flow di atas 15cm
yang berarti sudah workable. Superplasticizer pada mortar kontrol atau mortar
dengan semen 100 % hanya digunakan pada w/cm 0.35 yaitu sebanyak 0.2%.
Setelah penambahan fly ash campuran mortar sudah homogen dan tidak perlu
penambahan superplasticizer. Gambar 4.5 hingga Gambar 4.8 menunjukkan
kondisi kubus mortar setelah mengeras dan dikeluarkan dari cetakan.
Gambar 4.5 Mortar Fly Ash Ngoro w/cm 0.45
S100
FAn40
FAn10 FAn40 FAn20 FAn30
26 Universitas Kristen Petra
Gambar 4.6 Mortar Fly Ash Ngoro w/cm 0.40
Gambar 4.7 Mortar Fly Ash Ngoro w/cm 0.35
Gambar 4.8 Mortar Fly Ash Suralaya w/cm 0.35
Gambar 4.9 Mortar Fly Ash Ngoro 2 w/cm 0.35
Menurut Paramitha, Meok, & Hardjito (2017) semakin banyak fly ash yang
digunakan maka semakin sedikit superplasticizer yang dibutuhkan oleh mortar
yang menggunakan fly ash. Karena bentuk partikel yang bulat, fly ash dapat
menjadi pelumas pergerakan adonan pasta (ball-bearing effect). Hal ini berlaku
untuk fly ash Suralaya yang terbukti dengan penambahan fly ash memembuat
S100 FAn10 FAn40 FAn20 FAn30
S100 FAs10 FAs40 FAs20 FAs30
S100 FAn10 FAn40 FAn20 FAn30
S100 N10 N40 N20 N30
27 Universitas Kristen Petra
adukan makin encer dan tidak lagi membutuhkan superplasticizer. Sedangkan
untuk fly ash Ngoro terjadi sebaliknya. Untuk mengetahui penyebab dari
penyerapan air yang terjadi pada fly ash Ngoro dilakukan foto Scanning Electron
Microscopy untuk mengetahui bentuk partikel dari kedua fly ash tersebut.
Gambar 4.5
(a) (b)
Gambar 4.10 Scanning Electronic Microscopy (a) Fly Ash Ngoro (b) Fly
Ash Suralaya
Bentuk partikel dari fly ash Suralaya adalah bulat sehingga bisa menjadi
pelumas pergerakan pasta, namun sebaliknya bentuk yang ada pada fly ash Ngoro
tidak bulat sehingga hal ini lah yang membuat fly ash Ngoro malah menyerap air
untuk mengisi pori-pori dari partikelnya.
4.4 Analisa Umur Mortar dan w/cm terhadap Kuat Tekan
Pengujian kuat tekan dilakukan saat mortar berumur 7, 28, dan 56 hari.
Sampel mortar dikeluarkan dari bak curing sehari sebelum tes dilakukan. Jumlah
sampel yang di test untuk perharinya yaitu sebanyak 3 spesimen yang kemudian
diambil rata-rata kuat tekannya. Berikut merupakan hasil dari kuat tekan yang
dihasilkan.
28 Universitas Kristen Petra
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 10 20 30 40
Ku
at T
ekan
(M
Pa)
% Fly Ash
7 hari 28 hari 56 hari
Gambar 4.11 Hasil Tes Kuat Tekan Mortar Fly Ash Ngoro 1 w/cm 0.45
Gambar 4.12 Hasil Tes Kuat Tekan Mortar Fly Ash Ngoro 1 w/cm 0.40
Gambar 4.13 Hasil Tes Kuat Tekan Mortar Fly Ash Ngoro 1 w/cm 0.35
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 10 20 30 40
Ku
at T
ekan
(M
Pa)
% Fly Ash
7 hari 28 hari 56 hari
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 10 20 30 40
Ku
at T
ekan
(M
Pa)
% Fly Ash
7 hari 28 hari 56 hari
SPECIMENT FAILED
29 Universitas Kristen Petra
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 10 20 30 40
Ku
at T
ekan
(M
Pa)
% Fly Ash
7 hari 28 hari 56 hari
Gambar 4.14 Hasil Tes Kuat Tekan Mortar Fly Ash Suralaya w/cm 0.35
Gambar 4.15 Hasil Tes Kuat Tekan Mortar Fly Ash Ngoro 2 w/cm 0.35
Peningkatan kuat tekan bergantung dari volume semen yang digantikan,
umur dari mortar, dan tipe dari fly ash. Kuat tekan yang tinggi pada usia awal
umur beton biasanya terjadi pada fly ash tipe C. Sedangkan kuat tekan tinggi yang
didapat dengan setelah jangka panjang biasanya terjadi pada penggunaan fly ash
tipe F karena sifat pozzolanic yang bekerja agak lambat. Kuat tekan jangka
panjang biasanya memiliki hasil yang optimal saat umur 56 hari. (Madhavi et al.,
2014)
Dari Gambar 4.11 hingga Gambar 4.14 terlihat bahwa makin bertambahnya
umur dari mortar menimbulkan naiknya kuat tekan dari mortar tersebut. Rata-rata
dari hasil yang didapat, kuat tekan mortar fly ash Ngoro terus mengalami
peningkatan hingga 56 hari. Apabila dibandingingkan dengan kuat tekan yang
didapat pada saat 7 hari, didapati hasil yang berbeda dari sifat fly ash tipe F yaitu
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 10 20 30 40
Ku
at T
ekan
(M
Pa)
% Fly Ash
7 hari 28 hari 56 hari
30 Universitas Kristen Petra
pada mortar fly ash Ngoro memiliki peningkatan sejak 7 hari apabila
dibandingkan dengan mortar kontrol semen 100%, padahal biasanya peningkatan
baru terjadi mulai 28 hari.
Sedangkan pada mortar fly ash Suralaya saat berusia 7 hari, mortar tersebut
memiliki kekuatan yang sedikit lebih tingi ataupun lebih rendah apabila
dibandingkan dengan mortar kontrol, namun saat umur 28 hari dan 56 hari
mengalami peningkatan yang drastis.
Dari hasil yang didapat, makin kecil nilai w/cm yang digunakan
menyebabkan nilai kuat tekan yang makin tinggi. Hal ini terlihat dari hasil kuat
tekan mortar dengan w/cm 0.35 yang rata-rata memiliki nilai kuat tekan paling
tinggi pada grafik apabila dibandingkan w/cm 0.4 dan 0.45. Hal ini berkaitan
dengan kepadatan dari campuran mortar, dimana semakin kecil w/cm yang
digunakan membuat mortar makin padat dan memiliki kuat tekan yang tinggi.
Tabel 4.6 Strength Activity Index
Jenis FA umur
(hari)
% FA
10 20 30 40
Strength Activity Index (%)
NGORO 1
w/cm 0.45
7 126.36 126.07 121.20 111.17
28 116.11 96.64 99.55 104.03
56 110.06 111.83 106.51 81.85
NGORO 1
w/cm 0.40
7 100.51 127.85 134.43 126.58
28 105.05 114.55 110.71 123.84
56 82.80 92.20 103.01 99.47
NGORO
w/cm 0.35
7 135.62 143.84 167.40 SPECIMENT
FAILED
28 127.48 115.64 147.15
56 124.11 115.28 117.49
SURALAYA
w/cm 0.35
7 106.30 96.44 88.77 93.42
28 100.00 108.25 92.81 116.70
56 63.33 83.53 90.83 100.51
NGORO 2
w/cm 0.35
7 103.01 115.34 114.79 118.63
28 NOT TESTED YET
56
31 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.6 menunjukkan nilai strength activity index dari penggunaan fly ash
Ngoro dan Suralaya. Strength Activity Index menunjukkan perbandingan antara
kekuatan mortar yang mengandung fly ash dan mortar kontrol yang terbuat dari
semen 100%. Dari tabel tersebut dapat terbaca bahwa penggunaan fly ash Ngoro
memiliki pengaruh terhadap kuat tekan mortar, dimana nilai index di atas 100%
yang berarti kuat tekan mortar meningkat dari mortar kontrol meskipun sifatnya
yang menyerap air. Sedangkan untuk fly ash Suralaya memiliki rata-rata nilai
index dibawah 100% yang berarti kuat tekan tidak meningkat.
Dari hasil kuat tertinggi yang ada pada mortar fly ash Ngoro 1 dan fly ash
Suralaya diambil sampel nya untuk kemudian dilakukan foto SEM untuk
mengetahui perbedaan dari campuran setelah berbentuk mortar.
(a) (b)
Gambar 4.16 Hasil Foto SEM (a) FAn30 w/cm 0.35 dan (b) FAs40 w/cm
0.35
Dari hasil yang ada pada foto SEM tersebut terlihat bahwa mortar fly ash Ngoro
memiliki campuran yang lebih menyatu karena air masuk kedalam pori-pori fly
ash sehingga terikat dengan merata, sedangkan pada mortar fly ash Suralaya
masih ada bentuk partikel yang bulat dan tidak tercampur.
Top Related