0ef93 Ata Aditya

11
EDIBLE FILM PACKAGING OF RED C ABBAGE EXTRACT (B rass ica Ol eracea V ar. Capitata L F R ubra)  AS BIOINDICATOR FOR DETECT SHELF LIFE OF SAUSAGE  Ata Aditya Warda na 1 ,Tri Dewanti Widyaningsi h 2 . 1) Alumni Jurusa n Teknolo gi Hasil Pe rtanian, Uni versitas Braw ijaya, Malang 2) Staf Pengajar Ju rusan Teknolo gi Hasil Pertanian, Universi tas Brawijaya , Malang ABSTRACT Nowadays sausages is one of high contributor of food poisoning cases in Indonesia. Because that product is classified in the perishable food (spoiled rapidly) due to water content and high protein, and highly suitable environmental conditions for the spoilage microbes growth. Making edible film combined with red cabbage extract is expected to be a solution for food  poisoning c ases. The purpose of this research is to obtain a combination of concentration tapioca starch, carrageenan and red cabbage to produce edible films pH bioindicator that have the best physical and chemical properties and to determine edible film bioindicator pH sensitivity on the best treatment for sausage products as detection shelf life. The research method used a randomized block design functionally arranged with 2 factors all combined with concentration of tapioca starch of 4% (w/v) and 0,5% glycerol (v/v). The first factor is the concentration of carrageenan which consists of 3 levels (3%, 5%, 7%) and the second factor is the concentration of red cabbage extract that consists of 3 levels (10%, 15%, 20%) with 3 replications, so it will acquired 9 treatment combinations. The results showed that treatment of tapioca starch that combined with carrageenan and red cabbage extract influen ce on the physi cal and chemic al characteristics of ed ible film pH bioindic ator. The concentratio n of carrageenan was added had a significant effect (α = 0.05) to  the  physical and chemica l parameters of edible films such as anthocyan in total, thickness, elongation , tensile strength, water vapor transmission rate, but had no significant effect (α = 0.05) to the color (L *, a *, and b *) of edible film. The concentration of raed cabbage extract has a significant effect (α = 0.05) to the parameters of anthocyanin total, thickness, tensile strength, water vapor transmission rate, and color (L *, a *, and b *), but had no significant effect on elongation of edible film. Interaction of those two factors has significant effect (α = 0.05) to the tensile strength. The best edible fil m treatment able to detect a chang e in the pH of the sausage s were stored at 0 hours, 24 hours, 48 hours, and 72 hours shown through edible film color change from red-purple to red-green. Key words: sausages , edible film, anthocyanin, pH  PENDAHULUAN Keracunan makanan adalah berita yang selalu populer di telinga masyarakat. Laporan media elektronik Liputan6 tanggal 24  Agustus 2008 menyatakan bahwa puluhan anak dan ibu-ibu keracunan seusai menyantap sosis yang dibagikan oleh tetangganya di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat karena pada kemasan tidak ada masa berlakunya dan tampak kusam. Harian Joglo Semar tanggal 6 Juli 2011 juga melaporkan sedikitnya 13 anak Desa Gilirejo Lama, Miri, Sragen harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami keracunan setelah mengkonsumsi sosis. Sosis merupakan produk yang saat ini sangat digemari masyarakat Indonesia khususnya anak-anak karena rasanya yang gurih, kenyal, dan praktis. Data dari Indonesia Finance Today (2011) melaporkan bahwa penjualan sosis tahun 2011 diprediksi tumbuh 10% - 15% atau Rp 1,65 triliun - Rp 1,72 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun di lain sisi sosis juga menjadi penyumbang besar kasus keracunan pangan di Indonesia. Hal ini dikarenakan sosis merupakan bahan pangan yang tergolong dalam  perishable food (cepat mengalami kebusukan) akibat kandungan air dan proteinnya yang tinggi, serta kondisi lingkungan yang sangat sesuai untuk pertumbuhan mikroba pembusuk. Untuk itu perlu dikembangkan suatu teknologi pengemas edible film bioindikator pH yang dapat mendeteksi kerusakan sosis sehingga proteksi pemerintah akan lebih mudah dalam

Transcript of 0ef93 Ata Aditya

  • EDIBLE FILM PACKAGING OF RED CABBAGE EXTRACT (Brassica Oleracea Var. Capitata L F Rubra) AS BIOINDICATOR FOR DETECT SHELF LIFE OF

    SAUSAGE

    Ata Aditya Wardana1,Tri Dewanti Widyaningsih2. 1) Alumni Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang

    2) Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang

    ABSTRACT

    Nowadays sausages is one of high contributor of food poisoning cases in Indonesia.

    Because that product is classified in the perishable food (spoiled rapidly) due to water content and high protein, and highly suitable environmental conditions for the spoilage microbes growth. Making edible film combined with red cabbage extract is expected to be a solution for food poisoning cases.

    The purpose of this research is to obtain a combination of concentration tapioca starch, carrageenan and red cabbage to produce edible films pH bioindicator that have the best physical and chemical properties and to determine edible film bioindicator pH sensitivity on the best treatment for sausage products as detection shelf life. The research method used a randomized block design functionally arranged with 2 factors all combined with concentration of tapioca starch of 4% (w/v) and 0,5% glycerol (v/v). The first factor is the concentration of carrageenan which consists of 3 levels (3%, 5%, 7%) and the second factor is the concentration of red cabbage extract that consists of 3 levels (10%, 15%, 20%) with 3 replications, so it will acquired 9 treatment combinations.

    The results showed that treatment of tapioca starch that combined with carrageenan and red cabbage extract influence on the physical and chemical characteristics of edible film pH bioindicator. The concentration of carrageenan was added had a significant effect ( = 0.05) to the physical and chemical parameters of edible films such as anthocyanin total, thickness, elongation, tensile strength, water vapor transmission rate, but had no significant effect ( = 0.05) to the color (L *, a *, and b *) of edible film. The concentration of raed cabbage extract has a significant effect ( = 0.05) to the parameters of anthocyanin total, thickness, tensile strength, water vapor transmission rate, and color (L *, a *, and b *), but had no significant effect on elongation of edible film. Interaction of those two factors has significant effect ( = 0.05) to the tensile strength. The best edible film treatment able to detect a change in the pH of the sausages were stored at 0 hours, 24 hours, 48 hours, and 72 hours shown through edible film color change from red-purple to red-green.

    Key words: sausages , edible film, anthocyanin, pH PENDAHULUAN

    Keracunan makanan adalah berita yang selalu populer di telinga masyarakat. Laporan media elektronik Liputan6 tanggal 24 Agustus 2008 menyatakan bahwa puluhan anak dan ibu-ibu keracunan seusai menyantap sosis yang dibagikan oleh tetangganya di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat karena pada kemasan tidak ada masa berlakunya dan tampak kusam. Harian Joglo Semar tanggal 6 Juli 2011 juga melaporkan sedikitnya 13 anak Desa Gilirejo Lama, Miri, Sragen harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami keracunan setelah mengkonsumsi sosis.

    Sosis merupakan produk yang saat ini sangat digemari masyarakat Indonesia khususnya anak-anak karena rasanya yang

    gurih, kenyal, dan praktis. Data dari Indonesia Finance Today (2011) melaporkan bahwa penjualan sosis tahun 2011 diprediksi tumbuh 10% - 15% atau Rp 1,65 triliun - Rp 1,72 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun di lain sisi sosis juga menjadi penyumbang besar kasus keracunan pangan di Indonesia. Hal ini dikarenakan sosis merupakan bahan pangan yang tergolong dalam perishable food (cepat mengalami kebusukan) akibat kandungan air dan proteinnya yang tinggi, serta kondisi lingkungan yang sangat sesuai untuk pertumbuhan mikroba pembusuk. Untuk itu perlu dikembangkan suatu teknologi pengemas edible film bioindikator pH yang dapat mendeteksi kerusakan sosis sehingga proteksi pemerintah akan lebih mudah dalam

  • tindakan preventif penurunan kasus keracunan makanan.

    Saat ini peran edible film mulai banyak digunakan untuk pelapis produk olahan daging seperti sosis (Krochta et al., 1994). Kelebihan yang dimiliki edible film yaitu selain sebagai bahan lapis tipis yang melapisi suatu bahan pangan, pengemas ini juga layak untuk dikonsumsi, dan dapat terdegradasi oleh alam secara biologis.

    Dalam penelitian ini memanfaatkan ekstrak kubis ungu (Brassica Oleracea Var. Capitata L. F. Rubra) sebagai bioindikator pH. Digunakan kubis ungu dikarenakan mengandung antosianin yang berperan dalam berbagai warna merah dan biru pada tanaman (Harborne, 1987). Antosianin memiliki sifat yang unik yaitu dapat berubah warna seiring dengan perubahan pH. Dalam media asam, tampak merah, saat pH meningkat menjadi lebih biru hingga kuning.

    Kerusakan produk sosis ditandai dengan adanya perubahan pH menjadi semakin meningkat karena terbentuknya komponen basa seperti amonia yang merupakan hasil degradasi dari protein (Anhar, 1996). Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikembangkan pembuatan pengemas edible film bioindikator pH sehingga kerusakan sosis dapat diketahui secara visual yang ditunjukkan melalui perubahan warna pada kemasan.

    Untuk memenuhi fungsi edible film bioindikator pH, maka dalam penelitian ini digunakan pati tapioka yang dikombinasikan dengan konsentrasi karagenan, gliserol dan ekstrak kubis ungu (Brassica Oleracea Var. Capitata L. F. Rubra) yang mengandung pigmen alami antosianin. Mengingat antosianin bersifat berubah warna seiring dengan perubahan pH yang terjadi maka diharapkan dapat mendeteksi adanya perubahan pH sosis akibat dari metabolit mikroba pembusuk. Kombinasi yang tepat dari pati tapioka, karagenan, gliserol dan ekstrak kubis ungu (Brassica Oleracea Var. Capitata L. F. Rubra) diharapkan dapat menghasilkan edible film bioindikator pH yang mempunyai sifat fisik dan kimia yang terbaik. METODOLOGI PENELITIAN Bahan

    Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tapioka, karagenan, kubis ungu (Brassica Oleracea Var. Capitata L. F. Rubra), aquades, gliserol, HCl 37%, KCl, Na Asetat, As Asetat, daging sapi, silica gel, larutan buffer pH 1, larutan buffer pH 4,

    larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 7, sosis sapi. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor yang semuanya dikombinasikan dengan konsentrasi tapioka 4% (b/v) dan gliserol 0,5% (v/v). Faktor I terdiri dari 3 level dan faktor II terdiri dari 3 level dengan 3 kali ulangan. Sehingga ada 27 satuan percobaan. Faktor tersebut adalah sebagai berikut: Faktor I : konsentrasi karagenan (K) (b/bpati) K1 : konsentrasi karagenan 3% K2 : konsentrasi karagenan 5% K3 : konsentrasi karagenan 7% Faktor II :konsentrasi sari kubis ungu (A) (v/v) A1: kosentrasi sari kubis ungu 10% A2: kosentrasi sari kubis ungu 15% A3: kosentrasi sari kubis ungu 20%

    Dari kedua faktor tersebut diperoleh 9 kombinasi perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Pelaksanaan Penelitian

    Proses pembuatan ekstrak sari kubis ungu. Tahap ini bertujuan untuk menghasilkan sari dari kubis ungu. Proses pembuatan sari kubis ungu adalah kubis ungu dibersihkan dengan air hingga kotoran dan debu lainnya hilang Kemudian dilakukan sortasi dari lapisan kubis yang rusak, dan ditimbang sebanyak 100 gr. Kemudian diblender dengan ditambahkan aquades sebanyak 100 ml. Disaring dengan kain saring, kemudian dengan kertas saring.

    Proses pembuatan edible film langkah-langkahnya adalah pati tapioka ditimbang sebanyak 4% (b/v) dari volume larutan. Kemudian karagenan ditimbang sebanyak 3%, 5%, dan 7% (b/b) dari berat pati. Tapioka, gliserol dam karagenan dimasukkan dalam 100 ml aquades kemudian dipanaskan dengan hotplate stirer dengan suhu 650C-700C. Ditunggu 10 menit hingga jernih. Suspensi didinginkan pada suhu 250C. Dituang pada plat mika dengan ukuran 15cm x 7cm x 2cm. Sari kubis ungu ditambahkan sebanyak 10%, 15%, 20% (v/v) ke dalam suspensi yang telah dingin. Diaduk hingga homogen. Dikeringkan dalam kabinet dengan suhu 600C selama 12 jam. Edible film kering didinginkan selama 5 menit untuk mempermudah pengambilan. Edible film dipisahkan dari plat.

    Proses pembuatan sosis adalah daging ditimbang sebanyak 250 gr. Dipotong kecil-kecil untuk membantu proses

  • penggilingan. Digiling dengan blender kering hingga lembut. Ditambahkan air 50 ml dan tapioka 50 gr. Ditambahkan bumbu-bumbu seperti merica, bawang putih, garam, gula pasir, putih telur. Dicampur hingga adonan tercampur merata. Dimasukkan dalam selongsong. Dikukus dengan suhu 600C selama 45 m. Disimpan dalam freezer.

    Kemudian pengujian pada produk sosis. Langkah-langkahnya adalah sosis sapi disiapkan sebanyak 4 buah. Masing-masing sosis dibungkus dengan edible film selama 0 jam, 24 jam, 48 jam, 72 jam. Edible film dianalisa warnanya dengan menggunakan color reader. Edible film dianalisa perubahan warna yang terjadi sebelum maupum setelah pembungkusan sosis. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Bahan Baku Tabel 1. Karakteristik Kimia dan Fisik Ekstrak Kubis Ungu

    Parameter Hasil Analisa

    Literatur

    Antosianin (mg/100 gr) pH Kecerahan (L*) Kemerahan (a*) Kekuningan (b*)

    100,24 4,18 19,1 8,7

    6,43

    25-113 - - - -

    Berdasarkan hasil analisa, diperoleh nilai antosianin sebesar 100,24 mg/100gr kubis ungu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Astawan (2008), bahwa berdasarkan penelitian level antosianin kubis ungu berkisar antara 25 hingga 113 mg/100 gr. Kandungan pigmen antosianin tersebut diharapkan dapat berperan sebagai pendeteksi perubahan pH sosis.

    Hasil analisa pH sari kubis ungu diperoleh sebesar 4,18. Nilai pH yang cukup rendah tersebut dipengaruhi oleh keberadaan komposisi dari kubis ungu yang sebagian besar terdiri dari asam-asam organik. Eksin (1990) menyatakan bahwa pigmen antosianin lebih stabil pada kondisi asam.

    Pada parameter warna sari kubis ungu, diperoleh hasil secara visual yaitu berwarna ungu dan secara numerik melalui data nilai warna yang meliputi, kecerahan ( L*) sebesar 19,1, kemerahan (a*) sebesar 8,7 dan kekuningan (b*) sebesar 6,43. Warna yang ditunjukkan tersebut merupakan respon dari adanya reaksi kation flavium pada pigmen antosianin terhadap suasana pH asam. Hasil analisa tersebut sesuai dengan pernyataan

    Kumalaningsih (2006), bahwa antosianin dalam media asam, tampak merah, saat pH meningkat menjadi lebih biru.

    2. Karakteristik Kimia dan Fisik Edible film 2.1. Total Antosianin

    Nilai total antosianin pada berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1.

    Gambar 1. Total Antosianin Edible Film Akibat Pengaruh Konsentrasi karagenan dan Konsentrasi Sari Kubis Ungu

    Rerata total antosianin edible film akibat penambahan konsentrasi sari kubis ungu cenderung meningkat. Hal ini terjadi karena semakin banyak sari kubis ungu yang ditambahkan ke dalam suspensi pada saat suhu mencapai suhu kamar atau suhu 25C, maka akan semakin meningkatkan kadar senyawa antosianin yang terlarut pada suspensi film. Perlakuan pendinginan suspensi hingga mencapai suhu kamar, akan mengurangi kerusakan senyawa antosianin akibat panas. Hal ini didukung oleh Janna et al. (2006), bahwa persen degradasi dari total antosianin pada suatu ekstrak yang disimpan suhu 25 C akan menjadi lebih rendah sekitar 720% dibandingkan yang disimpan pada suhu 31 C. Pada akhirnya ketika telah mengalami tahap pengeringan, senyawa antosianin ini akan terperangkap ke dalam jaringan 3 dimensi hingga membentuk menjadi lapisan film. 2.2. Transmisi Uap Air

    Peningkatan konsentrasi karagenan dalam pembuatan edible film akan menurunkan transmisi uap air. Penambahan karagenan akan semakin meningkatkan konsentrasi polisakarida di dalam suspensi film sehingga akan berperan dalam meningkatkan gaya ikat antar jaringan pada saat terjadinya retrogradasi membentuk struktur matriks gel yang kokoh dan padat hingga menghasilkan film dengan ketebalan tertentu. Dengan struktur film yang semakin tebal dan padat akan menghasilkan lapisan edible film yang sulit untuk ditembus uap air sehingga transmisi

  • uap air dalam melewati edible film akan rendah. Fennema (1996), menyatakan bahwa peningkatan jumlah polimer, akan memperkecil rongga dalam gel yang terbentuk. Semakin besar penambahan konsentrasi karagenan juga akan meningkatkan jumlah padatan terlarut saat pembentukan pasta sehingga ruang antar sel pada gel yang terbentuk akan semakin sempit. Penyempitan rongga antar sel inilah yang menurunkan transmisi uap air. Hal ini didukung oleh Bodmeier,et al (1996), bahwa peningkatan struktur adhesif secara umum akan menurunkan fleksibilitas, porositas dan permeabilitas terhadap gas dan uap air.

    Gambar 2. Grafik Rerata Laju Transmisi Uap Air Akibat Pengaruh Konsentrasi Karagenan dan Konsentrasi Sari Kubis Ungu

    Penurunan transmisi uap air yang terjadi akibat adanya penambahan konsentrasi sari kubis ungu pada suspensi film dapat terjadi, dikarenakan jumlah padatan terlarut maupun tidak terlarut dalam sari kubis ungu akan berkontribusi dalam meningkatkan total padatan dari suspensi film. Keberadaan padatan-padatan tersebut akan memenuhi rongga antar sel di dalam suspensi yang menyebabkan meningkatnya kerapatan molekul dan menyempitnya rongga antar sel sehingga edible film yang dihasilkan menjadi lebih tebal dan sulit untuk ditembus oleh uap air. Guilbert and Biquet (1990) menyatakan bahwa secara umum peningkatan struktur kohesif akan menurunkan porositas dan permeabilitas terhadap gas dan uap air. Hal tersebut didukung oleh Fennema (1996) menyatakan bahwa transmisi uap air dipengaruhi oleh ketebalan dan rapat pori-pori film. Semakin tebal dan semakin rapat pori-pori edible film akan meningkatkan kemampuan edible film dalam menghambat transmisi uap air produk yang dilapisinya.

    2.3. Ketebalan

    Gambar 3. Grafik Rerata Ketebalan Edible Film Akibat Pengaruh Konsentrasi Karagenan dan Konsentrasi Sari Kubis Ungu

    Seiring meningkatnya konsentrasi karagenan maka akan menyebabkan ketebalan edible film semakin meningkat. Peningkatan ini dikarenakan kadar komponen pembentuk film semakin meningkat pula. Adanya polimer karagenan yang semakin meningkat maka akan berperan dalam meningkatkan viskositas suspensi film selama terjadinya proses gelatinisasi, sehingga ketika suspensi film mengalami pembentukan gel dan retrogradasi akan mempunyai ketebalan yang meningkat seiring dengan meningkatnya penambahan konsentrasi karagenan. Seperti yang dinyatakan oleh Henrique et. al. (2007) bahwa permebilitas, kelarutan, dan ketebalan film merupakan karakteristik yang pada umumnya dipengaruhi oleh konsentrasi bahan keringnya. Ditambahkan oleh pernyataan Chen (1995), bahwa viskositas suspensi edible film setelah pemanasan merupakan kontrol yang mempengaruhi ketebalan edible film selain plat pencetaknya. Semakin banyak karagenan dengan konsentrasi tertentu maka viskositasnya juga akan meningkat sehingga edible film yang terbentuk akan semakin tebal.

    Penambahan sari kubis ungu juga membawa pengaruh terhadap ketebalan dari edible film yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan dalam sari kubis ungu yang masih merupakan ekstrak kasar dari kubis ungu segar mengandung jenis padatan yang terlarut maupun tidak terlarut tertentu. Menurut Anonymous (2010), per 100 gram kubis mengandung thiamine (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), niacin (vitamin B3), asam pantotenat, vitamin B6, folat (vitamin B9), vitamin C 36,6 mg, kalsium, besi, magnesium, fosfor, kalium, dan seng.

  • 2.4. Tensile Strength

    Gambar 4. Grafik Rerata Tensile Strength Edible Film Akibat Pengaruh Konsentrasi Karagenan dan Konsentrasi Sari Kubis Ungu

    Tensile strength cenderung mengalami peningkatan seiring dengan semakin meningkatnya penambahan karagenan. Menurut Krotcha et al (1994) bahwa pemanasan polisakarida dengan air akan terjadi pengikatan dan pelepasan air membentuk jaringan tiga dimensi yang kompak sehingga menghasilkan gel yang kuat. Gel tersebut terdiri dari makromolekul yang berupa jalinan/anyaman benang. Pernyataan ini didukung oleh Guilbert and Biquet (1990), polisakarida dapat berfungsi dalam menjaga kekompakkan dan kestabilan edible film. Semakin banyak polisakarida penyusunnya akan meningkatkan kekuatan peregangan sehingga kemampuan untuk meregang semakin besar dan tahan terhadap kepatahan.

    Tensile strength cenderung mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya konsentrasi sari kubis ungu dalam edible film karena bersifat asam. Diduga penambahan sari kubis ungu memperlemah struktur jaringan dari matriks film sehingga kekuatan untuk menahan beban gaya akibat perlakuan mekanis semakin rendah.

    2.5. Elongasi

    Gambar 5. Grafik Rerata Elongasi Edible Film Akibat Pengaruh Konsentrasi Karagenan dan Sari Kubis Ungu

    Peningkatan nilai persen elongasi akibat adanya penambahan konsentrasi

    karagenan yang semakin banyak dikarenakan adanya kandungan polisakarida dari karagenan yang berpengaruh terhadap kekuatan, kestabilan dan elastisitas pembentukan matriks film yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Estiasih (2006) bahwa karagenan merupakan polisakarida alami yang sifatnya dapat membentuk gel dalam air dan berintaksi dengan hidrokoloid. Semakin tinggi kandungan karagenan dalam larutan pembentuk film berarti semakin banyak pula struktur tiga dimensi polimer film dan meningkatkan kemampuan membentuk gel sehingga film yang terbentuk akan semakin kompak jika dikenai gaya tarik dan nilai elongasi semakin kecil. Namun karena dalam proses pembuatan juga terdapat penambahan ekstrak kubis ungu yang mengandung beberapa komponen asam-asam organik maka secara kimia dapat mengurangi kestabilan kekuatan gel yang dihasilkan oleh edible film sehingga nilai elongasi menjadi semakin besar.

    2.6. Warna

    Gambar 6. Grafik Rerata Kecerahan Edible Film Akibat Pengaruh Konsentrasi Karagenan dan Sari Kubis Ungu

    Nilai kecerahan edible film akibat penambahan sari kubis ungu akan semakin menurun karena sari kubis ungu mengandung senyawa pigmen alami yaitu antosianin, yang mana apabila senyawa ini berada dalam suasana pH asam maka senyawa ini akan memberikan warna yang cenderung kemerah-merahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Kumalaningsih (2006), bahwa antosianin adalah indikator alami dari pH. Dalam media asam, tampak merah, saat pH meningkat menjadi lebih biru.

  • Gambar 7. Grafik Rerata Kemerahan Edible Film Akibat Pengaruh Konsentrasi Karagenan dan Sari Kubis Ungu

    Peningkatan konsentrasi sari kubis ungu yang ditambahkan akan semakin menurunkan tingkat kemerahan dari edible film. Hal ini dikarenakan bahan baku sari kubis ungu mempunyai warna ungu. Sesuai dengan pernyataan dari Shi et al.,(1992) bahwa warna antosianin sangat sensitif kestabilannya terhadap kondisi pH. Didalam larutan dengan pH antara 3-6 pigmen ini akan berwarna keunguan dan pada pH yang tinggi akan mulai terjadi perubahan warna menjadi biru hingga kuning. Dengan demikian dengan semakin bertambah konsentrasi sari kubis ungu akan makin menurunkan warna merah dari edible film yang dihasilkan.

    Gambar 8. Grafik Rerata Kekuningan Edible Film Akibat Pengaruh Konsentrasi Karagenan dan Sari Kubis Ungu

    Peningkatan konsentrasi sari kubis ungu yang ditambahkan akan semakin menurunkan tingkat kekuningan dari edible film. Hal ini dikarenakan bahan baku sari kubis ungu mempunyai warna ungu sebagai akibat dari keberadaan pigmen senyawa antosianin yang terkondisikan pada suasana asam dalam sari kubis ungu. Sesuai dengan pernyataan dari Shi et al.,(1992) bahwa warna antosianin sangat sensitif kestabilannya terhadap kondisi pH. Didalam larutan dengan pH antara 3-6 pigmen ini akan berwarna keunguan dan pada pH yang tinggi akan mulai terjadi perubahan warna menjadi biru hingga kuning. Dengan

    demikian dengan semakin bertambah konsentrasi sari kubis ungu akan makin menurunkan warna kuning dari edible film yang dihasilkan. 2.7. Pemilihan Perlakuan Terbaik

    Berdasarkan hasil analisa terhadap perlakuan konsentrasi karagenan 7% dan sari kubis ungu 20%, memiliki sifat fisik dan kimia yang cenderung paling baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun dari hasil analisa penelitian ini, beberapa karakteristik dari edible film masih belum bisa dikategorikan baik seperti nilai elongasi, tensile strength, serta laju transmisi uap air. Hal ini dikarenakan pada proses pembuatan terdapat penambahan ekstrak kubis ungu yang mengandung beberapa komponen asam-asam organik yang dapat mengurangi kestabilan dari edible film yang dihasilkan. Diduga dengan penambahan pati tapioka dan karagenan menggunakan konsentrasi yang lebih besar lagi akan meningkatkan kualitas fisik maupun kimia dari edibe film yang dihasilkan.

    3. Aplikasi Edible Film pada Sosis 3.1.Total Mikroorganisme pada Sosis Sapi

    Gambar 9. Rerata Total Mikroorganisme Sosis Sapi yang Dikemas dengan Edible Film Perlakuan Terbaik

    Semakin lama penyimpanan maka semakin tinggi pula jumlah mikroorganisme yang tumbuh, begitu juga metabolit yang dihasilkan juga semakin banyak. Denaturasi terjadi saat mikroorganisme melalui enzim proteolitik memecah protein menjadi senyawa-senyawa yang tidak diharapkan seperti, senyawa-senyawa indol, trimetilamin dimana senyawa tersebut lebih bersifat basa (Laksmi, 1997). Mekanisme pemecahannya yaitu enzim-enzim proteolitik mikroorganisme akan memecah protein yang ada pada sosis sapi menjadi asam-asam amino dan bila pemecahan tersebut berkelanjutan maka asam-asam amino tersebut akan terpecah menjadi senyawa yang bersifat basa sehingga

  • pH sosis semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah mikroorganisme. 3.2. pH Sosis Sapi

    Gambar 10. Rerata pH Sosis Sapi yang Dikemas Edible Film Perlakuan Terbaik

    pH pada sosis sapi naik seiring dengan pembusukan yang terjadi pada sosis sapi yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Dimana semakin banyak mikroorganisme yang tumbuh, maka proses pemecahan protein juga akan semakin tinggi. Peningkatan pH tersebut diharapkan nantinya akan terdeteksi oleh senyawa antosianin pada edible film yang ditunjukkan melalui perubahan warna dari ungu menjadi kehijauan yang mengindikasikan bahwa sosis tersebut sudah tidak layak konsumsi. Hal ini dikarenakan semakin tinggi pH sosis yang dikontakkan dengan edible film tersebut maka kation flavilium dalam senyawa antosianin pada edible film akan segera merespon kondisi tersebut. Hal ini didukung oleh pernyataan dari (Parisa, 2007) bahwa pada suasana asam antosianin berada dalam bentuk garam flavilium yang lebih stabil sedangkan pada pH semakin besar warna ekstrak kubis ungu menjadi memudar dan berubah menjadi warna biru 3.3. Warna Edible Film pada Sosis

    Gambar 11. Grafik Rerata Perubahan Warna Aplikasi Edible Film pada Sosis

    Berdasarkan grafik hasil penelitian pada tahap ini dapat diketahui bahwa adanya perubahan pH pada penyimpanan sosis berpengaruh terhadap nilai dari tiga parameter analisa warna pada edible film perlakuan

    terbaik, yaitu kecerahan (L*), kemerahan (a*), dan kekuningan (b*). Adanya peningkatan pH dari sosis akibat dari metabolit mikroba akan semakin menurunkan nilai kemerahan (a*), dan kekuningan (b*), sedangkan nilai kecerahan (L*) menjadi semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Shi et al.,(1992), bahwa warna antosianin sangat sensitif kestabilannya terhadap kondisi pH. Didalam larutan dengan pH rendah antara 1-4 (asam) pigmen ini akan berwarna merah dan pada pH yang tinggi akan mulai terjadi perubahan warna. 3.4. Perubahan Warna/hue (H*)

    Gambar 12. Grafik Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Nilai H Edible Film Perlakuan Terbaik

    Rerata nilai H mengalami peningkatan seiring dengan semakin meningkatnya pH dari sosis. Hal ini dikarenakan semakin lama penyimpanan maka pH juga akan semakin meningkat. Nilai rerata H paling besar diperoleh setelah edible film tersebut dibungkuskan pada sosis selama 72 jam, sedangkan nilai rerata H paling rendah diperoleh setelah edible film tersebut dibungkuskan pada sosis selama 0 jam. Secara keseluruhan kisaran nilai H tersebut menunjukkan adanya nilai kuantitatif dari perubahan warna yang secara visual dapat diamati mulai dari warna produk sebelum maupun sesudah dikontakkan dengan sosis yang memiliki pH tertentu dan perubahan warna edible film akibat respon pengaruh kontak dari pH yang berbeda-beda.

    KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa

    perlakuan pati tapioka yang dikombinasi dengan karagenan dan sari kubis ungu memberikan pengaruh terhadap karakteristik fisik dan kimia edible film bioindikator pH yang dihasilkan. Konsentrasi karagenan yang ditambahkan berpengaruh nyata ( = 0,05) terhadap parameter fisik dan kimia edible film yang di hasilkan yaitu total antosianin,

  • ketebalan, elongasi, tensile strength, laju transmisi uap air, tetapi tidak berpengaruh nyata ( = 0,05) terhadap warna (L*, a*, dan b*) edible film. Konsentrasi sari kubis ungu mempunyai pengaruh yang nyata ( = 0,05) terhadap parameter total antosianin, ketebalan, tensile strength, laju transmisi uap air, dan warna (L*, a*, dan b*), tetapi tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap elongasi edible film. Interaksi kedua faktor berpengaruh nyata ( = 0,05) terhadap tensile strength.

    Perlakuan terbaik untuk edible film diperoleh pada perlakuan K3A3 dengan kombinasi konsentrasi pati jagung 4% yang dikombinasikan dengan karagenan 7% (b/b) dan sari kubis ungu 20% (v/v). Dengan nilai masing-masing parameter yaitu total antosianin 44,95 mg/100 g, ketebalan 0,04 mm, tensile strength 0,36 N/cm2, elongasi 9,83%, laju transmisi uap air 35.43 g/m2.24 jam, kecerahan 34,43, kemerahan 27,29, dan kekuningan 9,23. Produk edible film perlakuan terbaik mampu mendeteksi perubahan pH pada sosis yang disimpan pada 0 jam, 24 jam, 48 jam, dan 72 jam yang ditunjukkan melalui perubahan warna edible film dari merah keunguan menjadi hijau.

    SARAN Perlu dikembangkan optimasi proses

    pengolahan sehingga diperoleh produk edible film bioindikator pH yang mempunyai sifat fisik, kimia dan organoleptik yang baik. Kemudian perlu diadakan penelitian lanjutan terhadap sifat sensifitas dari bioindikator pH pada edible film agar kemampuannya dalam mendeteksi kerusakan pangan yang disebabkan oleh perubahan pH menjadi lebih baik. Selain itu, penelitian ini perlu dilakukan aplikasi lebih lanjut terhadap produk pangan yang rentan untuk mengalami perubahan pH dari netral atau asam menjadi basa seperti pada produk pangan berbasis protein selain sosis sapi. DAFTAR PUSTAKA Ajityas Anggit Saputra C. 2010.

    Karakterisasi Trayek pH dan Spektruk Absorpsi Ekstrak Kubis Ungu Kering (Brassica oleracea) sebagai Indikator Alami Titrasi Asam Basa. Laporan Penelitian, FMIPA UNY: Yogyakarta.

    Anhar, Khairul. 1996. Pengaruh Penambahan Kalium Sorbat dan Natrium Propionat Terhadap Pertumbuhan Kapang dan Mutu Sosis Fermentasi

    Ikan Jangius Selama Inkubasi. Bogor: FTP IPB.

    Anonim. 2008a. CIE L*a*b* Color Scale . Vol. 8 No.7. Hunterlab. Application Note. Technical Service Departement Hunter Associates Laboratory, Inc. Vol. 8 No.7 Hal. 1-4. Diakses Pada 30 Januari 2012.

    Anonymous. 2010 b. Komposisi Zat Tepung Tapioka. http://nutritionanalyser.com. Diakses tanggal 27 Februari 2012.

    Anonymous. 2011c. Kubis Ungu. http://temansebangku.com. Diakses tanggal 27 Februari 2012.

    Anonymous. 2012d. Kubis Merah Sebagai Indikator Asam Basa. http://nining-okeh.blogspot.com. Diakses tanggal 27 Februari 2012.

    Anonymous. 2012e. Carbohydrate-Chemical Structure. http://scientificpsychic.com. Diakses tanggal 27 Februari 2012.

    Apriyantono, A. Fardiaz, D. Luh, P.N. Sedarnawati dan Budiyanto, S. 1989. Petunjuk Analisis Laboratorium Pangan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.

    Astawan. 2008. Nutrition. http://www.cbn.nrt,id. Diakses tanggal 11 Oktober 2011.

    Bodmeier,R and Lopez,C. 1996. Mechanical and Water Vapour Transmission Properties of Polysaccharide Films. Drug Dev Ind Pharm.

    Buckle, et al. 1987. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta.

    Cabrita L. 1999. Analysis and Stability of Anthocyanins. dissertation.University of Bergen, Department of Chemistry, Bergen.

    Chan, H. T., JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods. Marcel Dekker Inc., New Yorkand Bassel.

    Cheminat A. and Brouillard R. 1986. PMR Investigation of 3-O-(-D-glucosyl) Malvidin Structural Transformations in Aqueous Solutions, Tetrahedron Lett, 27, 4457-4456.

    Chigurupati, N., Saiki, L., Geyser, C., Dash, K.A. 2002. Evaluation of Red Cabbage Dye as A Potential Natural Color for Pharmaceutical Use. International of Journal Pharmaceutical 2002 July 25; 241(2): 293-299.

  • Cuq, B., N Gontard., J.L Cuq dan S Guilbert. 1996. Fuctional Properties of Miofibrilar Protein-Based Biopackaging as Affected by Film Thickness. J. Food Sci, Vol 61. No3: 580-584 and 588-884.

    Diredja, D. 1996. Mempelajari Pengaruh Penambahan Sodium Karboksimetilselulosa terhadap Karakteristik Ediblefilm dari Protein Bungkil Kedelai. Fateta: IPB.

    Diyar Salahudin Ali. 2009. Identification of an Anthocyanin Compound from Strawberry Fruits then Using as An Indicator in Volumetric Analysis. Journal of Family Medicine. Vol 7 Issue 7.

    Druchta.J.M and Catherine D. J. 2004 . An Update on Edible Films. http://www.csaceliacs.org. Diakses tanggal 9 agustus 2006.

    Eksin, N. A. M.1990. Plants Pigments, Flavors and Fextures. Academic Press. New York.

    Elbe JH., Attoe EL.1981. Photochemical Degradation of Betanine and Selected Anthocyanins. J Food Sci 46: 1934-1937.

    Estiasih, Teti. 2006. Teknologi dan Aplikasi Polisakarida dalam Pengolahan Pangan. FTP-UB: Malang.

    Fennema. O. R. 1996. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York.

    Francis, F. J. 1995. Pigment an Other Colorantin. O. R. Fennema, (ed) Food Chemistry.

    Gennadios, A., and C.L., 1990. Edible Film, Influence of The Main Process Variable On Properties, Using Response Surface Methodolg, J. Food Tech . 57 ( 1 ): 190 195, 199.

    Gontard, N., Guilberts, and Cuq, J. L. 1992. Water and Glycerol as Plasticizers Effect Mechanical and Water Vapour Barrier Properties of an Edible Wheat Gluten Film. Journal of Food Science 58 (1).

    Gorris LGM. 2005. Food Safety Objective:an Integral Part of Food Chain Management. Journal Food Control 16:801-809.

    Griffin, W. C.M. and J. Lynch. 1968. Polyhidriric Alcohol in Furis. Hand Book of Food Additives. The Chemical Rabber Co. Ohio.

    Guilbert, S. and Biquet, B. 1990. Edible Film and Costing in Food Packaging

    Technology Vol 1. VCH Publishers, Inc. New York.

    Harborne J.B. 1987. Phytochemistry Methods. John Wiley and Sons: New York.

    Harian Joglo Semar. 2011. 13 Anak Keracunan Sosis, 2 Kritis. http://harianjoglosemar.com. Diakses tanggal 15 Agustus 2011.

    Henrique, C. M., R. F. Teofilo, L. Sabino, M. M. C. Ferreira, dan M. P. Cereda. 2007. Classification of Cassava Starch Film by Physicochemical Properties and Water Vapor Permeability Quantification by FTIR and PLS. Journal of Food Science. 74: E184-E189 (on line). Avaliable at: http://chipre.iqm.unicamp.br/~marcia/Pub104.pdf (diakses tanggal 27 Februari 2009).

    Hui, Y. H. 2006. Handbook of Food Science, Technology, and, Engineering. VolumeCRC Press, USA.

    Iversen, C. K. 1999. Black Currant Nectar : Effect of Processing and Storage on Anthocyanins and Ascorbic Acid Content. Journal of Food Science 64 (1); 37-41.(http://www.confex.com/ift/JFSonline 81D4ycobCLoA/pdfs?jfsv64n1p037-041ms0848.pdf). Diakses pada 1 Oktober 2009.

    Jackman RL, Yada RY, Tung MA, Speers RA. 1987. Anthocyanins as Food Colorants. Journal of Food Biochem 11: 201-247.

    Johnson, C. M., and Krochta, J. M. 1997. Edible Film and Biodegradable Polymer Film Challenger and Opportunities. Food Tech , 51 ( 2 ); 61-74

    Krochta J.M, Elizabeth A.B., Myrna O.N. 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic publishing co.INC. Lancaster.

    Kumalaningsih, S., N. Hidayat. 1996. Mikrobiologi Hasil Pertanian. Penerbit IKIP. Malang. Marcel Dekker Inc. New York.

    Laksmi, Betty Sri, Srikandi Fardiaz, Novandhani Trandianto. 1997. Produksi Kultur Kering Lactobacillus dan Aplikasinya Pada Pengawetan Ikan Lemuru. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan vol 8(1):hal 21-29.

  • Lehninger, A., L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Penterjemah: M. Thenawijaya. Erlangga, Jakarta.

    Liputan6. 2008. Puluhan Orang Keracunan Sosis Kadaluarsa. http://www.liputan6.com. Diakses tanggal 15 Agustus 2011.

    Liu, X., G. Xiao, W. Chen, Y. Xu, and J. Wu. 2004. Quantification and Purification of Mulberry Anthocyanin with Macroporus Resins. J Biomed Biotechnol. 2004 (5): 326-331. Retrieved May 8, 2008.

    Markakis, P. 1982. Anthocyanins as Food Coloors. Academic Press. America.

    Marseno, D. W. 2000. Pengaruh Sorbitol Terhadap Sifat Meknik dan Transmisi Uap Air Film dari Pati Jagung. Prosiding Seminar Nasional Industri Pangan. Vol 1. Hal 221-231. PATPI. Surabaya.

    Mc Hugh, T. H and J. M. Krochta, 1994 . Permeability Properties of Edible Film. dalam Krochta, J. M. , E. A. Baldwin and M.O. Nisperos Carriedo ( Eds ), Edible Coating and Film to Improve Food Quality, Technomic Pulb. Co. Inc. , Lancester, Basel.

    Mehyar, G.F. and J.H. Han. 2003. Physial and Mechanical Properties of Edible Film Made From High Amylose Rice and Pea Starches. Dalam 2003 IFT Annual Meeting: Book of Abstracs. Institute of Food Technologists. Chicago.

    Murdiono Aji C. 2010. Karakterisasi Trayek ph dan Spektruk Absorpsi Ekstrak Kubis Ungu Segar (Brassica oleracea) sebagai Indikator Alami Titrasi Asam Basa. Laporan Penelitian, FMIPA UNY: Yogyakarta.

    Nisperos-Carriedo, MO. 1994. Edible Coatings and Films Based on Polysaccharide. Technomic Pub. Co. Inc. USA.

    Okezone. 2008. 29 Siswa SD Keracunan Sosis. http://www.okezone.com. Diakses tanggal 15 Agustus 2011.

    Parisa, S., H. Reza, G. Elham and J. Rashid. 2007. Effect of Heating, UV Irradiation and pH on Stability of The Anthocyanin Copigment Complex. J. Biol. Sci., 10: 267-272.

    Phillips, G. O., P. A. Williams. 2000. Starch. Dalam: Handbook of Hydrocolloids. CRC Press, Cambridge, London.

    Pifferi, P. G. and A. Vaccari. 1996. The Anthocyanins of Sunflower. Dalam Extraction of Anthocyanins Pigments From Sunflower Hulls. Gao L. and G. Mazza. 1996. Journal of Food Science 61 (3); 600-603.

    Santoso, B., D. Saputra, dan Pambayun, R. 2004. Kajian Teknologi Edible Coating dari Pati dan Aplikasinya Untuk Pengemas Primer Lempok Durian. Jurnal Teknol dan Industri Pangan XV (3).

    Shi,Z; Min. L; and F.S. Francis. 1992. Stability of Anthocyanins from Tradescania pallida. Journal of Foods Science 57(3): 758-771.

    Sistrunk, W.A., and Morris, J. R. (1984). Changes in Muscadine Grape juice Quality During Cold Stabilization and Storage of Bottled Juice. Journal of Science. 49 : 239-245.

    Sutaryo, SPt, Mp. 2004. Penyimpana dan Pengawetan Daging Modul Materi Kuliah. Fakultas Peternakan UNDIP: Semarang.

    Rein., M. 2005. Copygment Reaction and Stability of Berry Anthocyanin, Desertation, University of Helsinki.

    Robertson, G.L. 1992. Food Packaging, Principles and Practice. Marcell Dekker .New York.

    Rodriguez N, Kearsley MW. 1981. The Stability and Use of Natural Colors in Foods: Anthocyanin, -carotene and Riboflavin. Journal of Food Technology 16: 421-431.

    Rut Pramesti. 2009. Pemanfaatan Kubis Ungu (Brassica oleracea) sebagai Detektor Kadar Asam pada Limbah Tekstil. www.docstoc.com. diakses 10 Maret 2010.

    Shi,Z; Min. L; and F.S. Francis. 1992. Stability of Anthocyanins from Tradescania pallida. Journal of Foods Science 57(3): 758-771.

    Siagian Albiner. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, 2002 digitized by USUdigital library.

    Stretch AW, Wang SY. 2001. Antioxidant Capacity in Cranberry is Influenced by Cultivar and Storage Temperature. J Agric Food Chem 49: 969-974.

  • Stauffer, C. E. 1999. Starches : practical guide for the food industry. Bager press. Minnesota. USA.

    Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

    Susanto, T., dan S.S. Yuwono. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

    Thomas, David J. and William A. Atwell. 1999. Starches. Eagen Press. Minnesota. USA.

    Tubari, W, A. 2009. Pembuatan Edible Film dari Tepung Porang dengan Penambahan Sari Wortel. Skripsi. FTP UB. Malang.

    Vaikousi, H. and C. G. Biliaderis. 2008. Development of a Microbial Time/Temperature Indicator Prototype for Monitoring the Microbiological Quality of Chilled Foods. http://www.bdresearchpublications.com. Tanggal akses 15 Januari 2010

    Vargas, F. D and Lopez, O. P. 2003. Natural Colorants for Food and Nutraceulitical Uses. CRC Press. USA.

    William, J.I., and A. Shaw. 1992. Microorganism. Collins Educational Publshers 2nd Edition. pp:100-103.

    Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

    Zeleny, M. 1982. Multiple Criteria Decision Making. McGraw Hill: New York.